BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal
dengan Gus Dur merupakan keturunan darah biru. Darah biru bukan dalam arti
kebangsawanan, melainkan bekal dari Allah Subhanahu Wataala berupa kecerdasan
luar biasa. Dia anak seorang tokoh besar umat Islam, khususnya NU. Ayahnya, KH
Wahid Hasyim, anak pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi Islam
terbesar di Indonesia, bernama Hasyim Asy'ari.
Tidak jelas kapan tepatnya tanggal kelahiran
beliau, karena walaupun dia selalu berulang tahun pada tanggal 4 Agustus,
sebenarnya itu bukanlah hari kelahiran beliau yang sesungguhnya, Gus Dur memang
dilahirkan pada hari keempat bulan kedelapan, akan tetapi perlu diketahui bahwa
tanggal itu adalah menurut kalender Islam yakni tanggal 4 Sya’ban 1940 yang
jika ditelusuri maka tanggal itu sebenarnya adalah 7 september[1] .
Dilahirkan di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa Timur, dengan nama asli Abdurrahman
ad-Dakhil, nama yang diberikan oleh ayahnya yang diambil dari nama salah
seorang pahlawan dari dinasti Umayyah[2].
Ibunya, Hajjah Sholehah, juga keturunan tokoh
besar NU, KH Bisri Syamsuri. Ayahnya menjadi menteri agama pertama Indonesia.
Dengan demikian, baik dari garis ayah maupun ibu, Gus Dur merupakan sosok yang
menempati strata sosial tinggi dalam masyarakat Indonesia. Namun, sejarah
kehidupannya tak mencerminkan kehidupan seorang ningrat. Dia berproses dan
hidup sebagaimana layaknya masyarakat banyak. Gus Dur kecil belajar di pesantren.
Abdurrahman Wahid merupakan tokoh sekaligus aktor
politik yang sangat berpengaruh diranah
politik Indonesia. Pemikiran dan ucapan (Uloek-uloek) yang
dilontarkan Gus
Dur tidak lazim
sebagaimana tokoh besar yang
selalu
menjaga dan mengkonsep
kata-katanya
sebelum
diucapkan. Apa yang
menurut Gus Dur benar, itulah
yang dikatakan.Tak peduli
ucapannya itu
melawan arus atau bahkan
menjadi kritikan banyak
orang. Karena itu,
Gus Dur nyaris tak pernah
sepi dari konflik dan
kontroversi. Tapi dari ketidaklaziman itulah,
nama Gus Dur kian menjulang dan ketokohannya
makin berkibar. Gusdur merupakan seorang Pemimpin Negara dan Juga seorang
pemimpin Organisasi Nahdatul Ulama.[3]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pluralisme
Secara
etimologi Pluralisme terdiri dari dua kata yaitu plural (banyak) dan isme (paham) sehingga bila
digabungkan menjadi beragam pemahaman, atau bermacam macam paham. Secara
terminology pluralism merupakan suatu kerangka interaksi yang mana setiap
kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, dan selalu
berinteraksi tanpa konflik dan asimilasi. Seiring berjalan nya waktu kata
pluralism telah mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan prubahan zaman
dan kepentingan dari beberapa pihak. Seperti yang di kemukan oleh Jhon Hick
bahwa ia mengasumsikan pluralism sebagai identitas kultural, kepercayaan dan
agama harus disesuaikan dengan zaman modern, karena agama-agama tersebut kan
berevolusi menjadi satu dan menganggap semua agama itu sama.
Pluralisme
memiliki tiga pengertian : pertama, sebutan untuk orang yang memegang lebih
dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan. Atau memegang dua jabatan atau
lebih secara bersamaan, baik kegerejaan maupun bukan. Kedua, Pengertian
filosofis yakni sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang
mendasar yang lebih dari satu. sedangkan ketiga, pengertian sosio politis,
yakni suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang
bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi
aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok
tersebut.[4]
Pluralisme adalah suatu sikap yang mengakui dan sekaligus menghargai,
menghormati memelihara dan, bahkan, mengembangkan atau memperkaya keadaan yang
bersifat plural, jamak, atau banyak. Pluralisme di sini dapat pula berarti
kebijakan politik yang mendukung pemeliharaan kelompok-kelompok yang
berbeda-beda etnik, pola budaya, agama dan seterusnya.
Pluralisme juga sering digunakan untuk menunjuk pada makna realitas
keragaman sosial sekaligus sebagai prinsip atau sikap terhadap keragaman itu.
Ramundo Panikar, melihat pluralisme sebagai bentuk pemahaman moderasi yang bertujuan
menciptakan komunikasi untuk menjembatani jurang ketidaktahuan dan
kesalahpahaman timbal-balik antara budaya dunia yang berbeda dan membiarkan
mereka bicara dan mengungkapkan pandangan mereka dalam bahasanya sendiri. [5]
Maskuri Abdillah mengatakan pluralisme adalah keberadaan atau
toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu
masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu
badan, kelembagaan dan sebagainya. [6]
Menurut Nurcholis Majid pluralisme tidak dapat difahami hanya
dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari
berbagai suku dan agama yang justru hanya mengambarkan kesan fragmentasi bukan
pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh difahami sekdar kebaikan negatif, hanya
ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus
difahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. [7] Maka
pluralisme menurut Nurcholis Majid adalah sebuah aturan Tuhan (Sunnat Allah
“Sunnatullah”) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan
atau di ingkari. [8]
Di Indonesia Pluralisme dilambangkan dengan moto Bhineka Tunggal
Ika. Negeri ini terdiri dari berbagai pulau, suku bangsa, tradisi, agama dan
lain-lain. Karena, itu Indonesia memerlukan pengembangan konsep pluralisme
untuk mempertahankan persatuannya. [9]
Sedangkan Alwi Shihab mempunyai pandangan tentang pluralisme yaitu Pertama,
pluralisme tidaklah semata-mata menunjuk pada kenyataan tentang adanya
kemajemukan, namun keterlibatan secara aktif terhadap realitas majemuk
tersebut. Hal ini akan melahirkan interaksi positif. Kedua, pluralisme
bukan kosmopolitanisme karena kosmopolitanisme menunjuk pada suatu realitas
dimana keanekaragaman agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi,
namun interaksi positif yang berkembang di dalamnya sangat minim dan malah
tidak ada sama sekali. Ketiga, pluralisme tidak sama dengan relativisme
karena konsekuensi dari relativisme agama adalah munculnya doktrin bahwa semua
agama adalah sama, hanya didasari pada kebenaran agama walaupun berbedabeda
satu sama lain tetapi harus diterima. Seorang relativisme tidak mengenal adanya
kebenaran adanya kebenaran universal yang ada pada agama. Keempat,
pluralisme agama bukan singkritisme yakni untuk menciptakan agama baru dengan
mengabungkan unsur-unsur tertentu dari beberapa agama menjadi satu integral
dalam agama baru. [10]
Sedangkan menurut Abdurrahman Wahid pluralisme adalah upaya
menyikapi pluralitas masyarkat dengan perbedaan budaya, agama, etnik, bahasa,
warna kulit dan idiologi-idiologi dari manusia satu dengan yang lainnya.
Melihat
pengertian dari pluralism diatas arti pluralism itu memiliki multi tafsir
Sehingga menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) arti dan makna dari kata
pluralism ini masih ambigu. Karena pluralism disini bisa menjadi multi tafsir.
Bahkan pluralism itu sendiri terbagi menjadi beberapa bagian atau kategori,
yaitu:
a.
Pluralisme
Sosial
Pluralisme ini merupakan sebuah
kerangka diamana ada interaksi beberapa kelompok yang menunjukan rasa saling
menghormati dan toleransi satu sama lain. Sehingga minim terjadi konflik.
Pluralisme dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan klompok
social yang paling penting.
b.
Pluralisme
Ilmu Pengetahuan
Pluralisme ini bisa di
argumentasikan bahwa sifat pluralisme ilmiah adalah factor utama dalam
pertumbuhan pasat ilmu pengetahuan, karena pada giliran nya pertumbuhan
pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah.
Pluralism juga menunjukan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran
yuniversalnya masing-masing.
c.
Pluralisme
Agama
Pluralisme ini merupakan istilah
husus dalam kajian agama sebagai terminology khusus, istilah ini tidak dapat
dimaknai sembarangan. Sebagai satu paham (isme) yang membahas cara pandang
terhadap agam-agama yang ada.
Sedangkan menurut pandangan Islam
pada tanggal 28 juli 2005 MUI menerbitkan fatwa yang melarang prulisme dalam
hal Agama yang mendefinisikan “suatu faham yang mengajarkan bahwa semua agama
adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative, oleh sebab
itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang
benar sedangkan agama yang lain salah. Dengan demikian MUI menyatakan bahwa
pluralism dalam konteks agama tersebut bertentangan dengan ajaran Islam
B.
Gagasan
/ Pemikiran K.H. AbdurrahmanWahid
K.H.
Abdurrahman Wahid
memiliki sebuah pemikiran
yang sangat
bagus dalam
hal tasamuh (toleransi) antar
umat manusia. Toleransi antar
umat manusia ini yang akan mampu menciptakan kedamaian dunia,
memangkas
sekat-sekat pemisah
untuk saling berinteraksi dengan
damai. Tiga pilar pemikiran gusdur : (1)
keyakinan bahwa Islam harus secara katif dan subtansif ditafsirkan ulang atau
dirumuskan ulang agar tanggap terhadap tuntunan kehidupan modern, (2) keyakinan
bahwa, dalam kontek Indonesia Islam tidak boleh menjadi agama Negara, dan (3)
Islam harus menjadi kekuatan yang inklusif, demokratis dan pluralis, bukan
ideologi Negara yang ekskusif.[11]
Wawasan Gus Dur
tentang ajaran Islam demikian konprehensif dan mendalam (kaffah),
sehingga sangat menghargai pluralisme (kemajemukan). Gus dur tidak membedakan
satu individu dengan individu lainnya atau kelompok satu dengan kelompok
lainnya. Mereka adalah manusia yang hidup dalam suatu kemajemukan. Perbedaan
etnik, bangsa, warna kulit, bahasa, profesi, hobi, bahkan agama dan keyakinan merupakan
suatu keniscayaan yang harus dihormati, dihargai dan tidak perlu dijadikan
kendala dalam pergaulan antar umat manusia.
Pluralisme
bukan berarti generalisasi terhadap kebenaran, tetapi sebuah paham yang
mengajarkan kesadaran bahwa, di luar keyakinan yang kita pegang, ada
keyakinan-keyakinan lain yang berbeda. Pluralisme mengajarkan akan adanya
kemajemukan dalam kelompok-kelompok manusia.
Karena
pluralismenya, sehingga tidak jarang Gus Dur tidak mengetahui agama dan
keyakinan orang yang sudah lama dikenalnya. Terhadap orang-orang dan dalam
kondisi tertentu, Gus Dur tidak pernah bertanya tentang hal-hal yang
dianggapnya sensitif, termasuk agama dan keyakinan. Demikianlah Gus dur dalam
bergaul. Ia begitu luwes, hangat, dan tidak pandang bulu dan anti diskriminasi.[12]
Sebagai
ulama, budayawan dan pemikir, ia banyak mengeluarkan gagasan-gagasan
diantaranya membentuk kelompok warung pemikir yang bertujuan untuk melakukan
terobosan-terobosan baru dalam NU, mendirikan kelompok Forum demokrasi pada
tahun 1991.[13]
Gus
Dur adalah intelektual bebas dari tradisi akademik pesantren sehingga
tulisan-tulisannya cenderung bersifat reflektif, membumi, terkait dengan dunia
penghayatan realitas. Dengan adanya tulisan-tulisannya menjadi bukti bahwa
gerakan atau aksi Gus Dur tidak hampir teori atau tanpa visi, yang
sewaktu-waktu bisa terjerumus pada fragmatisme politik.
Jika
dilihat dari segi kultural Gus Dur melintasi tiga cultural :
1.
Kultural dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh
dengan etika yang serba formal.
2.
Budaya Timur Tengah yang terbuka dan keras.
Abdurahman Wahid yakin bahwa Islam bermula sebagai suatu
reformasi dinamis yang mengangungkan status manusia sebagai khalifah Allah di
muka bumi yang bertanggungjawab untuk menyaksikan, menyebarkan dan menerapkan
cara hidup yang dibenarkan Tuhan.[15]
Abdurrahman Wahid pernah mengatakan megenai toleransi dan dialog
antar agama atau antar iman dalam pemikirannya mengenai pluralisme. Apabila
berfikir positif tentang pluralisme. Otomatis di dalamnya sudah ada unsur-unsur
yang menunjukkan sikap toleran terhadap keberbedaan. [16]
Setidaknya ada lima gagasan besar pemikiran
yang diperjuangkan Abdurrahman Wahid sepanjang hidupnya melalui berbagai
aktivitas sosial, politik dan keagamaannya.
Pertama, dalam keyakinan Abdurrahman Wahid sesuai
dengan khazanah keilmuan NU, syariat Islam diturunkan kepada manusia tidak
memiliki tujuan lain kecuali untuk melindungi kepentingan dasar manusia itu
sendiri, mewujudkan kedamaian, kemaslahatan dan kemajuan di antara mereka.
Untuk tujuan itu, para ulama di masa lampau merumuskan sebuah konsep yang
dienal dengan maqashid as-syari’ah atau tujuan-tujuan syariat.
Dalam satu karya monumentalnya, al-Mustasyfa
(Jilid I, hlm. 278), Al-Ghazali menyebutkan tujuan syariat diturunan kepada
manusia adalah untuk melindungi lima hal, yaitu: agama dan keyakinan, jiwa,
akal, keturunan, dan harta atau hak milik pribadi. Dengan demikian, Islam dalam
pandangan Abdurrahman Wahid sangat melindungi kebebasan beragama, berkeyakinan,
berprofesi dan berfikir. Islam sangat melindungi dan menghormati hak-hak asasi
manusia (HAM).
Sesuai dengan tujuan syariat, Abdurrahman Wahid
sangat mengedepankan toleransi beeragama dan menjunjung tinggi komunikasi
dengan kelompok agama berbeda. Bagi Abdurrahman Wahid, kebesaran Islam di masa
lampau bisa dimungkinkan karena peradaban Islam mampu menyerap nilai-nilai dari
peradaban dan agama lain.
Kedua, Abdurrahman Wahid adalah tokoh agama yang
sangat anti-kekerasan. Baginya, kekerasan bukan hanya bertentangan secara
diametral dengan ajaran Islam, tetai juga merugikan Islam itu sendiri. Dalam
konteks inilah, Abdurrahman Wahid selalu mengedepankan dialog, baik antar-umat
seagama maupun antar-agama.
Menurut Abdurrahman Wahid, pertentangan
penadapat tidak semuanya harus diselesaikan dengan melarang atau menyesatkan
kelompok lain. Toleransi justeru bisa lebih membawa hasil. Baginya, hak hidup
dan menjalankan ajaran agama yang diyakini merupakan hak dasar yang dijamin
sepenuhnya oleh syariat.
Ketiga, demokrasi adalah bagian dari manifestasi
tujuan syariat dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dalam pandangan
Abdurrahman Wahid, dalam dunia modern demokrasilah yang dapat mempersatukan
beragam arah kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa.
Demokrasi dapat mengubah kecerai-beraian arah
masing-masing kelompok menjadi berputar bersama-sama menuju kedewasaan,
kemajuan dan integritas bangsa.
Keempat, Abdurrahman Wahid adalah penjaga tradisi,
dimana menurut pandangannya, agama dan budaya bersifat saling melengkapi. Agama
bersumber dari wahyu dan memiliki norma-norma sendiri. Norma-norma agama
bersifat normatif, karenanya ia cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya
adalah kreativitas manusia, karenanya ia berkembang sesuai dengan perkembangan
zaman dan cenderung untukk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi
kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk udaya.
Kelima, menurut Abdurrahman Wahid, Islam akan
lebih efektif dan membumi jika berfungsi sebagai etika sosial. Hukum agama,
kata beliau, tidak akan kehilangan kebesarannya dengan berfungsi sebagai etika
masyarakat. Bahkan kebesarannya akan memancar, karena ia mampu mengembangkan
diri tanpa dukungan massif dari institusi negara.[17]
Diantara
gagasan yang menjadi kontrofersi adalah ketika Gus Dur mengatakan Assalamu’alaikum seperti Ahlan
Wasahlan atau Sobahul Khoirat artinya bisa diganti
dengan “selamat pagi” atau “apa kabar”. Gagasan ini membuat geger umat,
termasuk kalangan NU sendiri, wakil ketua PBNU Syaiful Madjad mengakui bahwa
ucapan Gus Dur tentang masalah tersebut sempat membuat gelisah warga NU, dan
sejumlah kiyai sesepuh NU. Golongan NU yang tidak sepakat dengan Gus Dur lebih
banyak, sampai akhirnya kurang lebih dari 200 kiyai berkumpul di Darul Tauhid
untuk mengadili Gus Dur.[18]
Gus Dur diadili atas apa yang telah dan tengah
dilakukan. Ini membuktikan Ad Dakhi (Gus Dur) yang sedang
menjabat sebagai Presiden dengan permasalahan Negara Indonesia dimana umat yang
berbagai macama kepercayaannya dan tidak mudah dipahami apa yang ada dalam
pikiran Gus Dur. Bahkan hampir tidak ada pemikir atau negarawan semasa
Indonesia modern yang paling disalahpahami selain Gus Dur. Para kiai yang
terbiasa dengan pemikiran abad pertengahan tentu tidak mudah menerima
pernyataan Gus Dur akan pentingnya rukun
tetangga disamping rukun iman dan rukun
islam. Karena sikapnya yang Posmodern dan terbuka Gus Dur pun
dituding sebagai simpatisan muktazilah tentang keadilan dan syiah tentang
imamah. Dengan Gagasan pribumisasi islamnya Gus Dur secara serampangan dianggap
berupaya mengganti “Assalamualaikum” dengan “selamat pagi.” Belum lagi
keterlibatannya sebagai juri festival Film Nasional dan jabantannya sebagai
ketua Dewan Kesenian Jakarta atau DKJ.[19] Bahkan yang lebih mencengangkan adalah
tudingan kelompok konservitif terhadap Gus Dur sebagai agen zionis yahudi atas
keterlibatannya dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh Israel.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Abdurrahman
Wahid yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur lahir di Desa
Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Ia adalah
putra dari mantan Menteri Agama RI pertama, K.H. Wahid Hasyim, dengan Ny. Hj.
Solehah, dan merupakan titisan langsung dari para kyai besar di Jawa.
Pada Muktamar
NU ke-27 di Situbondo, 18-21 Desember 1984 Abdurrahman Wahid terpilih sebagai
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama (PBNU).
Lima gagasan pemikiran Gus Dur:
1.
Dalam keyakinan Abdurrahman Wahid sesuai dengan
khazanah keilmuan NU
2.
Abdurrahman Wahid adalah tokoh agama yang
sangat anti-kekerasan
3.
Demokrasi adalah bagian dari manifestasi tujuan
syariat dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa
4.
Abdurrahman Wahid adalah penjaga tradisi
5.
Islam akan lebih efektif dan membumi jika
berfungsi sebagai etika sosial.
Pandangan dan
sikap Gus Dur dalam keislaman menekankan sikap rahmatan lil ‘alamin,
memberikan kasih sayang kepada semua manusia tanpa pandang bulu. Keislaman Gus
Dur kemudian dinaikkan pada tahapan keislaman yang lebih tinggi, yakni khalifah
fil ardhi (wakil Tuhan di bumi). Salah satu tugas utama dari setiap
orang yang berpegang pada prinsip khalifah ini adalah
menempatkan segala sesuatu sesuai dengan tempatnya (al-‘adalah) dan
memandang segala sesuatu yang ada di muka bumi ini memiliki potensi kebaikan (al-hikmah).
Sebagai seorang
yang ‘alim beliau mempunyai banyak keistimewaan, seperti mudah mengenal dan
dikenal oleh orang lain, sense of humornya yang tinggi dan juga jiwa pluralisme
yang melekat pada diri beliau.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar , A.
Nur Alam. 2008. 99 Keistimewaan Gus Dur. Jakarta:
Kultura.
E. Kosasih, , 2000 Hak Gus Dur Untuk Nyeleneh,Bandung:
Pustaka Hidayat
Greg Barton,
2006, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid,
Yogyakarta, LkiS
Muhaimin Iskandar, 2010. Melanjutkan Pemikiran dan
Perjuangan Gus Dur. Yogyakarta
K.H. Mustafa Bisri,
, 2000 Beyond The
Simbol, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya LKiS.
Masdar, Umaruddin. 2005. Gus Dur:
Pecinta Ulama Sepanjang Zaman, Pembela Minoritas Etnis-Keagamaan.
Jogjakarta: KLIK.R
N. Ibad, M. 2010. Leadership Secrets of
Gus Dur-Gus Miek: Rahasia Mengelola Potensi Diri Untuk Menjadi Pemimpin yang
Dicintai. Yogyakarta: PT. LKiS.
Romdono Muslim, S.Ag, 2005 Tokoh Muslim
Indonesia, Jakarta : Restu Ilahi
Saefullah,
Aris. 2003. Gus Dur VS Amien Rais: Dakwah Kultural-Struktural.
The shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles,
revised and edited 1933 by C.T. Onions Oxford
Jhon
L. Esposito-Jhon O. Voll Tokoh-tokoh Kunci Gerakan isLam Kontemporer,
Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta
KH Imron Hamzah, Gus Dur Diadili Kiai-Kiai,
Surabaya: Jawa Pos, 1989
[1] Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized
Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta, LkiS, 2006, h. 25
[3] Jhon L.
Esposito-Jhon O. Voll , Tokoh-tokoh Kunci Gerakan islam Kontemporer, Pt. raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal.255.
[4] The shorter
Oxford English Dictionary on Historical Principles, revised and edited by C.T.
Onions [Oxford: The Clarendon Press, 1933
[5] Pius A.
Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Ar Kolah,
1994), hlm. 604
[6] Abdullah,
Amin, M., Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), hlm 11
[7] Rachman, Budi
Munawar, Islam Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm.31
[8] Nurcholis
Majid, kata pengantar “Islam Doktrin dan Peradaban”, Jakarta: Paramadina, cet v
2005 hlm xxvii
[9] Azyumardi
Azra, dkk, Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam: Bingkai Gagasan yang Berserak,
(Bandung: Nuansa, 2005), hlm. 67 70 i
[10] Alwi Shihab,
Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan 1997), hlm.
41-42
[11] Jhon L, Esposito-Jhon O, Vall, Opcit,, hal. 264
[13] Romdono Muslim, S.Ag, Tokoh Muslim
Indonesia, (Jakarta : Restu Ilahi, 2005) hlm. 32
[14] K.H. Mustafa Bisri, Beyond The
Simbol, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000), cet.1 h 36
[15] Jhon L,
Esposito-Jhon O, Vall, Opcit, h. 234-235
[16] Th. Sumarta, Penebar Pluralisme, dalam Beyond
The Symbols, hlm 107
[17] A Muhaimin Iskandar. Melanjutkan
Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur. (Yogyakarta: LKiS, 2010)
[18] E. Kosasih, Hak Gus Dur Untuk Nyeleneh, (Bandung:
Pustaka Hidayat, 2000) cet. 1 hlm. 55
[19] KH Imron Hamzah, Gus Dur Diadili Kiai-Kiai,
Surabaya: Jawa Pos, 1989, hlm. 16
No comments:
Post a Comment