BELAJAR ADALAH KEWAJIBAN

Monday, July 18, 2016

Pemikiran Gus Dur

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur merupakan keturunan darah biru. Darah biru bukan dalam arti kebangsawanan, melainkan bekal dari Allah Subhanahu Wataala berupa kecerdasan luar biasa. Dia anak seorang tokoh besar umat Islam, khususnya NU. Ayahnya, KH Wahid Hasyim, anak pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia, bernama Hasyim Asy'ari.
Tidak jelas kapan tepatnya tanggal kelahiran beliau, karena walaupun dia selalu berulang tahun pada tanggal 4 Agustus, sebenarnya itu bukanlah hari kelahiran beliau yang sesungguhnya, Gus Dur memang dilahirkan pada hari keempat bulan kedelapan, akan tetapi perlu diketahui bahwa tanggal itu adalah menurut kalender Islam yakni tanggal 4 Sya’ban 1940 yang jika ditelusuri maka tanggal itu sebenarnya adalah 7 september[1] . Dilahirkan di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa Timur, dengan nama asli Abdurrahman ad-Dakhil, nama yang diberikan oleh ayahnya yang diambil dari nama salah seorang pahlawan dari dinasti Umayyah[2].
Ibunya, Hajjah Sholehah, juga keturunan tokoh besar NU, KH Bisri Syamsuri. Ayahnya menjadi menteri agama pertama Indonesia. Dengan demikian, baik dari garis ayah maupun ibu, Gus Dur merupakan sosok yang menempati strata sosial tinggi dalam masyarakat Indonesia. Namun, sejarah kehidupannya tak mencerminkan kehidupan seorang ningrat. Dia berproses dan hidup sebagaimana layaknya masyarakat banyak. Gus Dur kecil belajar di pesantren.
Abdurrahman Wahid merupakan tokoh sekaligus aktor politik yang sangat berpengaruh diranah politik Indonesia.  Pemikiran  dan  ucapan  (Uloek-uloek) yang   dilontarkan  Gus  Dur  tidak  lazim sebagaimana tokoh besar yang selalu menjaga dan mengkonsep kata-katanya sebelum diucapkan. Apa yang menurut Gus Dur benar, itulah yang dikatakan.Tak peduli ucapannya itu melawan arus atau bahkan menjadi kritikan banyak orang. Karena itu, Gus Dur nyaris tak pernah sepi dari konflik dan kontroversi. Tapi dari ketidaklaziman itulah, nama Gus Dur kian menjulang dan ketokohannya makin berkibar. Gusdur merupakan seorang Pemimpin Negara dan Juga seorang pemimpin Organisasi Nahdatul Ulama.[3]


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pluralisme

Secara etimologi Pluralisme terdiri dari dua kata yaitu plural (banyak) dan isme (paham) sehingga bila digabungkan menjadi beragam pemahaman, atau bermacam macam paham. Secara terminology pluralism merupakan suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, dan selalu berinteraksi tanpa konflik dan asimilasi. Seiring berjalan nya waktu kata pluralism telah mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan prubahan zaman dan kepentingan dari beberapa pihak. Seperti yang di kemukan oleh Jhon Hick bahwa ia mengasumsikan pluralism sebagai identitas kultural, kepercayaan dan agama harus disesuaikan dengan zaman modern, karena agama-agama tersebut kan berevolusi menjadi satu dan menganggap semua agama itu sama.
Pluralisme memiliki tiga pengertian : pertama, sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan. Atau memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik kegerejaan maupun bukan. Kedua, Pengertian filosofis yakni sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. sedangkan ketiga, pengertian sosio politis, yakni suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut.[4]
Pluralisme adalah suatu sikap yang mengakui dan sekaligus menghargai, menghormati memelihara dan, bahkan, mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak, atau banyak. Pluralisme di sini dapat pula berarti kebijakan politik yang mendukung pemeliharaan kelompok-kelompok yang berbeda-beda etnik, pola budaya, agama dan seterusnya. 
Pluralisme juga sering digunakan untuk menunjuk pada makna realitas keragaman sosial sekaligus sebagai prinsip atau sikap terhadap keragaman itu. Ramundo Panikar, melihat pluralisme sebagai bentuk pemahaman moderasi yang bertujuan menciptakan komunikasi untuk menjembatani jurang ketidaktahuan dan kesalahpahaman timbal-balik antara budaya dunia yang berbeda dan membiarkan mereka bicara dan mengungkapkan pandangan mereka dalam bahasanya sendiri. [5]
Maskuri Abdillah mengatakan pluralisme adalah keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan dan sebagainya. [6]
Menurut Nurcholis Majid pluralisme tidak dapat difahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru hanya mengambarkan kesan fragmentasi bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh difahami sekdar kebaikan negatif, hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus difahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. [7] Maka pluralisme menurut Nurcholis Majid adalah sebuah aturan Tuhan (Sunnat Allah “Sunnatullah”) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau di ingkari. [8]
Di Indonesia Pluralisme dilambangkan dengan moto Bhineka Tunggal Ika. Negeri ini terdiri dari berbagai pulau, suku bangsa, tradisi, agama dan lain-lain. Karena, itu Indonesia memerlukan pengembangan konsep pluralisme untuk mempertahankan persatuannya. [9]
Sedangkan Alwi Shihab mempunyai pandangan tentang pluralisme yaitu Pertama, pluralisme tidaklah semata-mata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun keterlibatan secara aktif terhadap realitas majemuk tersebut. Hal ini akan melahirkan interaksi positif. Kedua, pluralisme bukan kosmopolitanisme karena kosmopolitanisme menunjuk pada suatu realitas dimana keanekaragaman agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi, namun interaksi positif yang berkembang di dalamnya sangat minim dan malah tidak ada sama sekali. Ketiga, pluralisme tidak sama dengan relativisme karena konsekuensi dari relativisme agama adalah munculnya doktrin bahwa semua agama adalah sama, hanya didasari pada kebenaran agama walaupun berbedabeda satu sama lain tetapi harus diterima. Seorang relativisme tidak mengenal adanya kebenaran adanya kebenaran universal yang ada pada agama. Keempat, pluralisme agama bukan singkritisme yakni untuk menciptakan agama baru dengan mengabungkan unsur-unsur tertentu dari beberapa agama menjadi satu integral dalam agama baru. [10]
Sedangkan menurut Abdurrahman Wahid pluralisme adalah upaya menyikapi pluralitas masyarkat dengan perbedaan budaya, agama, etnik, bahasa, warna kulit dan idiologi-idiologi dari manusia satu dengan yang lainnya.
Melihat pengertian dari pluralism diatas arti pluralism itu memiliki multi tafsir Sehingga menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) arti dan makna dari kata pluralism ini masih ambigu. Karena pluralism disini bisa menjadi multi tafsir. Bahkan pluralism itu sendiri terbagi menjadi beberapa bagian atau kategori, yaitu:
a.          Pluralisme Sosial
Pluralisme ini merupakan sebuah kerangka diamana ada interaksi beberapa kelompok yang menunjukan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Sehingga minim terjadi konflik. Pluralisme dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan klompok social yang paling penting.
b.          Pluralisme Ilmu Pengetahuan
Pluralisme ini bisa di argumentasikan bahwa sifat pluralisme ilmiah adalah factor utama dalam pertumbuhan pasat ilmu pengetahuan, karena pada giliran nya pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah. Pluralism juga menunjukan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran yuniversalnya masing-masing.
c.          Pluralisme Agama
Pluralisme ini merupakan istilah husus dalam kajian agama sebagai terminology khusus, istilah ini tidak dapat dimaknai sembarangan. Sebagai satu paham (isme) yang membahas cara pandang terhadap agam-agama yang ada.
Sedangkan menurut pandangan Islam pada tanggal 28 juli 2005 MUI menerbitkan fatwa yang melarang prulisme dalam hal Agama yang mendefinisikan “suatu faham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative, oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Dengan demikian MUI menyatakan bahwa pluralism dalam konteks agama tersebut bertentangan dengan ajaran Islam

B.    Gagasan / Pemikiran K.H. AbdurrahmanWahid
K.H. Abdurrahman Wahid memiliki sebuah pemikiran yang sangat bagus dalam hal tasamuh (toleransi) antar umat manusia. Toleransi antar umat manusia ini yang akan mampu menciptakan kedamaian dunia,  memangkas sekat-sekat pemisah untuk saling berinteraksi dengan damai. Tiga pilar pemikiran gusdur : (1) keyakinan bahwa Islam harus secara katif dan subtansif ditafsirkan ulang atau dirumuskan ulang agar tanggap terhadap tuntunan kehidupan modern, (2) keyakinan bahwa, dalam kontek Indonesia Islam tidak boleh menjadi agama Negara, dan (3) Islam harus menjadi kekuatan yang inklusif, demokratis dan pluralis, bukan ideologi Negara yang ekskusif.[11]
Wawasan Gus Dur tentang ajaran Islam demikian konprehensif dan mendalam (kaffah), sehingga sangat menghargai pluralisme (kemajemukan). Gus dur tidak membedakan satu individu dengan individu lainnya atau kelompok satu dengan kelompok lainnya. Mereka adalah manusia yang hidup dalam suatu kemajemukan. Perbedaan etnik, bangsa, warna kulit, bahasa, profesi, hobi, bahkan agama dan keyakinan merupakan suatu keniscayaan yang harus dihormati, dihargai dan tidak perlu dijadikan kendala dalam pergaulan antar umat manusia.
Pluralisme bukan berarti generalisasi terhadap kebenaran, tetapi sebuah paham yang mengajarkan kesadaran bahwa, di luar keyakinan yang kita pegang, ada keyakinan-keyakinan lain yang berbeda. Pluralisme mengajarkan akan adanya kemajemukan dalam kelompok-kelompok manusia.
Karena pluralismenya, sehingga tidak jarang Gus Dur tidak mengetahui agama dan keyakinan orang yang sudah lama dikenalnya. Terhadap orang-orang dan dalam kondisi tertentu, Gus Dur tidak pernah bertanya tentang hal-hal yang dianggapnya sensitif, termasuk agama dan keyakinan. Demikianlah Gus dur dalam bergaul. Ia begitu luwes, hangat, dan tidak pandang bulu dan anti diskriminasi.[12]
Sebagai ulama, budayawan dan pemikir, ia banyak mengeluarkan gagasan-gagasan diantaranya membentuk kelompok warung pemikir yang bertujuan untuk melakukan terobosan-terobosan baru dalam NU, mendirikan kelompok Forum demokrasi pada tahun 1991.[13]
Gus Dur adalah intelektual bebas dari tradisi akademik pesantren sehingga tulisan-tulisannya cenderung bersifat reflektif, membumi, terkait dengan dunia penghayatan realitas. Dengan adanya tulisan-tulisannya menjadi bukti bahwa gerakan atau aksi Gus Dur tidak hampir teori atau tanpa visi, yang sewaktu-waktu bisa terjerumus pada fragmatisme politik.
Jika dilihat dari segi kultural Gus Dur melintasi tiga cultural :
1.     Kultural dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal.
2.     Budaya Timur Tengah yang terbuka dan keras.
3.     Lapisan budaya barat yang liberal, rasional dan sekuler.[14]
Abdurahman Wahid yakin bahwa Islam bermula sebagai suatu reformasi dinamis yang mengangungkan status manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi yang bertanggungjawab untuk menyaksikan, menyebarkan dan menerapkan cara hidup yang dibenarkan Tuhan.[15]
Abdurrahman Wahid pernah mengatakan megenai toleransi dan dialog antar agama atau antar iman dalam pemikirannya mengenai pluralisme. Apabila berfikir positif tentang pluralisme. Otomatis di dalamnya sudah ada unsur-unsur yang menunjukkan sikap toleran terhadap keberbedaan. [16]
Setidaknya ada lima gagasan besar pemikiran yang diperjuangkan Abdurrahman Wahid sepanjang hidupnya melalui berbagai aktivitas sosial, politik dan keagamaannya.
Pertama, dalam keyakinan Abdurrahman Wahid sesuai dengan khazanah keilmuan NU, syariat Islam diturunkan kepada manusia tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk melindungi kepentingan dasar manusia itu sendiri, mewujudkan kedamaian, kemaslahatan dan kemajuan di antara mereka. Untuk tujuan itu, para ulama di masa lampau merumuskan sebuah konsep yang dienal dengan maqashid as-syari’ah atau tujuan-tujuan syariat.
Dalam satu karya monumentalnya, al-Mustasyfa (Jilid I, hlm. 278), Al-Ghazali menyebutkan tujuan syariat diturunan kepada manusia adalah untuk melindungi lima hal, yaitu: agama dan keyakinan, jiwa, akal, keturunan, dan harta atau hak milik pribadi. Dengan demikian, Islam dalam pandangan Abdurrahman Wahid sangat melindungi kebebasan beragama, berkeyakinan, berprofesi dan berfikir. Islam sangat melindungi dan menghormati hak-hak asasi manusia (HAM).
Sesuai dengan tujuan syariat, Abdurrahman Wahid sangat mengedepankan toleransi beeragama dan menjunjung tinggi komunikasi dengan kelompok agama berbeda. Bagi Abdurrahman Wahid, kebesaran Islam di masa lampau bisa dimungkinkan karena peradaban Islam mampu menyerap nilai-nilai dari peradaban dan agama lain.
Kedua, Abdurrahman Wahid adalah tokoh agama yang sangat anti-kekerasan. Baginya, kekerasan bukan hanya bertentangan secara diametral dengan ajaran Islam, tetai juga merugikan Islam itu sendiri. Dalam konteks inilah, Abdurrahman Wahid selalu mengedepankan dialog, baik antar-umat seagama maupun antar-agama.
Menurut Abdurrahman Wahid, pertentangan penadapat tidak semuanya harus diselesaikan dengan melarang atau menyesatkan kelompok lain. Toleransi justeru bisa lebih membawa hasil. Baginya, hak hidup dan menjalankan ajaran agama yang diyakini merupakan hak dasar yang dijamin sepenuhnya oleh syariat.
Ketiga, demokrasi adalah bagian dari manifestasi tujuan syariat dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, dalam dunia modern demokrasilah yang dapat mempersatukan beragam arah kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa.
Demokrasi dapat mengubah kecerai-beraian arah masing-masing kelompok menjadi berputar bersama-sama menuju kedewasaan, kemajuan dan integritas bangsa.
Keempat, Abdurrahman Wahid adalah penjaga tradisi, dimana menurut pandangannya, agama dan budaya bersifat saling melengkapi. Agama bersumber dari wahyu dan memiliki norma-norma sendiri. Norma-norma agama bersifat normatif, karenanya ia cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya adalah kreativitas manusia, karenanya ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung untukk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk udaya.
Kelima, menurut Abdurrahman Wahid, Islam akan lebih efektif dan membumi jika berfungsi sebagai etika sosial. Hukum agama, kata beliau, tidak akan kehilangan kebesarannya dengan berfungsi sebagai etika masyarakat. Bahkan kebesarannya akan memancar, karena ia mampu mengembangkan diri tanpa dukungan massif dari institusi negara.[17]
Diantara gagasan yang menjadi kontrofersi adalah ketika Gus Dur mengatakan  Assalamu’alaikum seperti Ahlan Wasahlan atau Sobahul Khoirat artinya bisa diganti dengan “selamat pagi” atau “apa kabar”. Gagasan ini membuat geger umat, termasuk kalangan NU sendiri, wakil ketua PBNU Syaiful Madjad mengakui bahwa ucapan Gus Dur tentang masalah tersebut sempat membuat gelisah warga NU, dan sejumlah kiyai sesepuh NU. Golongan NU yang tidak sepakat dengan Gus Dur lebih banyak, sampai akhirnya kurang lebih dari 200 kiyai berkumpul di Darul Tauhid untuk mengadili Gus Dur.[18]
Gus  Dur diadili atas apa yang telah dan tengah dilakukan. Ini membuktikan  Ad Dakhi (Gus Dur) yang sedang menjabat sebagai Presiden dengan permasalahan Negara Indonesia dimana umat yang berbagai macama kepercayaannya dan tidak mudah dipahami apa yang ada dalam pikiran Gus Dur. Bahkan hampir tidak ada pemikir atau negarawan semasa Indonesia modern yang paling disalahpahami selain Gus Dur. Para kiai yang terbiasa dengan pemikiran abad pertengahan tentu tidak mudah menerima pernyataan Gus Dur akan pentingnya rukun tetangga disamping rukun iman dan rukun islam. Karena sikapnya yang Posmodern dan terbuka Gus Dur pun dituding sebagai simpatisan muktazilah tentang keadilan dan syiah tentang imamah. Dengan Gagasan pribumisasi islamnya Gus Dur secara serampangan dianggap berupaya mengganti  “Assalamualaikum” dengan “selamat pagi.” Belum lagi keterlibatannya sebagai juri festival Film Nasional dan jabantannya sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta atau DKJ.[19] Bahkan yang lebih mencengangkan adalah tudingan kelompok konservitif terhadap Gus Dur sebagai agen zionis yahudi atas keterlibatannya dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh Israel. 




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Abdurrahman Wahid yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur lahir di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940.  Ia adalah putra dari mantan Menteri Agama RI pertama, K.H. Wahid Hasyim, dengan Ny. Hj. Solehah, dan merupakan titisan langsung dari para kyai besar di Jawa. 
Pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo, 18-21 Desember 1984 Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama (PBNU).
Lima gagasan pemikiran Gus Dur:
1.     Dalam keyakinan Abdurrahman Wahid sesuai dengan khazanah keilmuan NU
2.     Abdurrahman Wahid adalah tokoh agama yang sangat anti-kekerasan
3.     Demokrasi adalah bagian dari manifestasi tujuan syariat dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa
4.     Abdurrahman Wahid adalah penjaga tradisi
5.     Islam akan lebih efektif dan membumi jika berfungsi sebagai etika sosial.
Pandangan dan sikap Gus Dur dalam keislaman menekankan sikap rahmatan lil ‘alamin, memberikan kasih sayang kepada semua manusia tanpa pandang bulu. Keislaman Gus Dur kemudian dinaikkan pada tahapan keislaman yang lebih tinggi, yakni khalifah fil ardhi (wakil Tuhan di bumi). Salah satu tugas utama dari setiap orang yang berpegang pada prinsip khalifah ini adalah menempatkan segala sesuatu sesuai dengan tempatnya (al-‘adalah) dan memandang segala sesuatu yang ada di muka bumi ini memiliki potensi kebaikan (al-hikmah).
Sebagai seorang yang ‘alim beliau mempunyai banyak keistimewaan, seperti mudah mengenal dan dikenal oleh orang lain, sense of humornya yang tinggi dan juga jiwa pluralisme yang melekat pada diri beliau.




DAFTAR PUSTAKA


Bakhtiar , A. Nur Alam. 2008.  99 Keistimewaan Gus Dur.  Jakarta: Kultura.
E. Kosasih, , 2000 Hak Gus Dur Untuk Nyeleneh,Bandung: Pustaka Hidayat
Greg Barton, 2006, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta, LkiS

Muhaimin  Iskandar,  2010. Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur. Yogyakarta
K.H. Mustafa Bisri, , 2000  Beyond The Simbol, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya LKiS.
Masdar, Umaruddin. 2005. Gus Dur: Pecinta Ulama Sepanjang Zaman, Pembela Minoritas Etnis-Keagamaan. Jogjakarta: KLIK.R

N. Ibad, M. 2010. Leadership Secrets of Gus Dur-Gus Miek: Rahasia Mengelola Potensi Diri Untuk Menjadi Pemimpin yang Dicintai. Yogyakarta: PT. LKiS.

Romdono Muslim, S.Ag, 2005 Tokoh Muslim Indonesia,  Jakarta : Restu Ilahi
Saefullah, Aris. 2003. Gus Dur VS Amien Rais: Dakwah Kultural-Struktural.
The shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles, revised and edited 1933 by C.T. Onions Oxford

Jhon L. Esposito-Jhon O. Voll Tokoh-tokoh Kunci Gerakan isLam Kontemporer, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta

KH Imron Hamzah, Gus Dur Diadili Kiai-Kiai, Surabaya: Jawa Pos, 1989




[1] Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta, LkiS, 2006, h. 25
[2] Ibid h.35
[3] Jhon L. Esposito-Jhon O. Voll , Tokoh-tokoh Kunci Gerakan islam Kontemporer,  Pt. raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal.255.
[4] The shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles, revised and edited by C.T. Onions [Oxford: The Clarendon Press, 1933
[5] Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Ar Kolah, 1994), hlm. 604
[6] Abdullah, Amin, M., Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm 11
[7] Rachman, Budi Munawar, Islam Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm.31
[8] Nurcholis Majid, kata pengantar “Islam Doktrin dan Peradaban”, Jakarta: Paramadina, cet v 2005 hlm xxvii
[9] Azyumardi Azra, dkk, Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam: Bingkai Gagasan yang Berserak, (Bandung: Nuansa, 2005), hlm. 67 70 i
[10] Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan 1997), hlm. 41-42
[11] Jhon L, Esposito-Jhon O, Vall, Opcit,,  hal. 264
[12]  A. Nur Alam Bakhtir. 99 Keistimewaan Gus Dur. (Jakarta: Kultura, 2008). Hlm. 20-22
[13] Romdono Muslim, S.Ag, Tokoh Muslim Indonesia, (Jakarta : Restu Ilahi, 2005) hlm. 32
[14]  K.H. Mustafa Bisri, Beyond The Simbol, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000), cet.1 h 36
[15]  Jhon L, Esposito-Jhon O, Vall, Opcit, h. 234-235
[16]  Th. Sumarta, Penebar Pluralisme, dalam Beyond The Symbols, hlm 107
[17] A Muhaimin Iskandar. Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur. (Yogyakarta: LKiS, 2010)
[18] E. Kosasih, Hak Gus Dur Untuk Nyeleneh, (Bandung: Pustaka Hidayat, 2000) cet. 1 hlm. 55
[19] KH Imron Hamzah, Gus Dur Diadili Kiai-Kiai, Surabaya: Jawa Pos, 1989, hlm. 16

No comments:

Post a Comment