BELAJAR ADALAH KEWAJIBAN

Monday, July 18, 2016

Soal dan Jawaban

PASCASARJANA UIN AR-RANIRY BANDA ACEH
SOAL UJIAN  KHAZANAH PEMIKIRAN ISLAM 2015/2016
Pengasuh: Dr. Damanhuri Basyir, M.Ag

Nama  : Zainal Abidin, S.Hum
NIM    : 27153192-2
Unit     : Ekonomi Islam

Soal Ujian:
1.     Berikan pandangan dan penilaian Anda tentang Mata Kuliah Khazanah Pemikiran Islam. Penilaiannya meliputi Materi dan Metode penyajiannya.
Jawaban:
Khazanah Pemikiran Islam merupakan Mata Kuliah yang telah merubah pola pikir dan membuka wawasan saya disebabkan oleh pencerahan-pencerahan yang disampaikan oleh dosen dengan baik, dan saya menjadi tau tentang bentuk dan karakter Pemikiran Islam yang sebenarnya, banyak yang saya peroleh dari pembelajaran dan pengkajian materi baik dari Dosen Pembimbing terutama sekali, teman-teman ataupun  buku yang pernah saya baca. Dalam metode  penyajiannya yang disampaikan oleh dosen pembimbing telah mampu mengubah pola pemahaman saya dari yang saya anggap salah/sesat  ternyata hanya ilmu dan pemahaman saya yang masih kurang. Menjadi perbedaan pengkajian dan penafsiran dari Ulama lain.

2.     Ada tiga dimensi pemikiran Islam:  Pemikiran teologis (akidah), syari’ah (hukum)  dan ihsan (tasawuf). Jelaskalah  apa yang Anda ketahui dengan hal tersebut.
Jawaban:
Theologi Islam adalah pengetahuan ketuhanan. Sedangkan pengertian theologi Islam menurut terminologi adalah ilmu yang membahas tentang ketuhanan yang mencakup seluruh ketauhidan. Teologi islam sebagai disiplin sebuah Ilmu merupakan salah satu dari tiga pondasi Islam yang pemahamannya harus ada pada setiap orang. Dengan mempelajari teologi Islam, kita dapat memperkuat aqidah kita, dan mempererat serta menjaga ukhwah islamiyah dalam ber’itiqod. Wiliem Ockham (1287-1347) mengatakan teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara kebenaran wahyu serta independesi filsafat dan pengetahuan. Dikatakan A’qidah karena membahas tentang keyakinan kepada tuhan. Syariah adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu agama, sehingga istilah hukum Islam mencerminkan konsep yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Seperti lazim diartikan agama adalah suasana spiritual dari kemanusiaan yang lebih tinggi dan tidak bisa disamakan dengan hukum. Sebab hukum dalam pengertian biasa hanya menyangkut soal keduniaan semata. Syariah adalah sebagai totalitas perintah Allah yang mengatur kehidupan umat Islam dalam keseluruhan aspek menyangkut penyembahan dan ritual, politik dan hukum.
Tasawuf itu adalah salah satu cabang ilmu Islam yang yang menekankan aspek spiritual dari islam. Spiritual ini dapat mengambil bentuk yang beraneka didalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan aspek rohaninya daripada aspek jasmani. Dalam kaitannya dengan kehidupan, ia lebih menekankan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia. Sedangkan dalam kaitannya dengan pemahaman keagamaan, ia lebih menekankan aspek esoteric daripada eksoterik, lebih menekankan penafsiran batin daripada lahiriah.
Tasawuf adalah sebuah istilah yang menghimpun makna: Tidak terikat dengan semua yang ada di dunia sehingga tidak berlomba- lomba mengerjarnya, hanya dan selalu bersandar kepada Allah `azza wa jalla, suka dan gemar melakukan ibadah ketika sehat, Selalu sabar kehilangan harta dan semua yang dimiliki di dunia, sangat cermat dan berhati-hati bisa membedakan yang baik dan yang buruk, menyibukkan diri dengan Allah Swt dan tidak sibuk dengan yang lain, Selau berdzikir di dalam hati, Merealisasikan rasa ikhlas ketika muncul godaan dari dunia, Tetap yakin ketika muncul keraguan dan Teguh kepada Allah dalam semua keadaan. Jika semua ini berhimpun dalam diri seseorang, maka ia layak menyandang istilah Sufi yang dikenal dalam Tasawuf; dan jika tidak, maka ia adalah pendusta.

3.     Kasab (upaya dan ikhtiar manusia) adalah bagian dari pembahasan kalami.  Satu pendapat, kaum qadariah mengatakan hasil upaya manusia terpulang kepada manusia. Pada sisi lain dikatakan bahwa Allah yang memutuskan segalanya sebagai  yang  dipahami kaum Jabariah. Bagaimana analisa Anda  tentang dua macam pemikiran umat Islam tersebut ?
Kaum Qadariyah dam Kaum Jabariyah  dalam menafsirkan Upaya dan Ikhtiar Manusia. Dalam permasalahan taqdir (qadha dah qadar) ini beberapa kelompok besar yang pemahamannya sangat ekstrim (berlebihan) dan saling bertolak belakang. Kelompok ini muncul di akhir era para sahabat. Di antara kelompok tersebut adalah Qadariyah dan Jabariyah. Pemikiran Qadariyah ini bercorak liberal, sedangkan Jabariyah mempunyai corak pemikiran tradisional. Qadariyah adalah sebuah firqah yang mengingkari ilmu Allah terhadap perbuatan hambaNya dan berkeyakinan bahwa Allah belum membuat ketentuan terhadap makhlukNya. Jabariyah adalah paham yang menafikan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah Swt. Artinya, manusia tidak punya andil sama sekali dalam melakukan perbuatannya, Tuhanlah yang menentukan segala-galanya. Takdir adalah sesuatu yang harus kita imani, dan ini merupakan salah satu rukun dari enam rukun Iman. Agama kita adalah agama rasional, sesuai dengan sabda Rasulullah Saw: “Laa diina liman laa ‘aqla lah”. Tetapi tidak semuanya yang bisa kita terima dengan akal, ada beberapa hal yang harus kita terima dengan iman. Imam ‘Ali pernah berkata: “Seandainya semua hal dalam agama ini bisa diakali, pastilah telapak khuf lebih utama untuk disapu.” Ada hal yang bisa kita cerna dan kita rasionalkan dan ada hal yang memang sudah begitu adanya dan itu harus kita terima dan kita Imani. Kasab adalah kewajiban dari makhluk Allah, setiap manusia harus berusaha dan berdoa, karena Takdir yang tidak bisa dirubah hanyalah kematian, sedangkan yang lain masih ada campurtangan manusia untuk merubahnya.

4.     Iman  dan kufur dua hal yang sangat tajam dibahas dalam pemikiran kalami.  Uraikan kedua persoalan tersebut. Penjelasan  dilkaitkan dengan Ushul al-Khamsah Muktazilah.  
Masalah iman dan kufur pertamakali muncul pada pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib yang ketika itu terjadi peperangan dengan Mu’awiyah Bin Abu Sofyan dari bani Umayyah lantaran tidak setuju terhadap pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib. Karena hal itu muncullah golongan yang disebut Khawarij yang keluar dari barisan Ali Bin Abi Thalib lantaran tidak setuju dengan keputusan Ali Bin Abi Thalib yang menerima ajakan tahkim(arbitrase), bahkan mereka mengatakan Ali Bin Abi Thalib dan semua yang terlibat dalam tahkim itu telah kafir, Karena menurut Khawarij mereka tidak mengembalikan hukum pada al-Qur’an seperti yang diterangkan dalam firman Allah surat al-Maidah ayat 44.[4]
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang di turunkan Allah, maka orang itu adalah orang-orang yang kafir”.
Dari peristiwa di atas lah timbulnya persoalan, apakah orang yang berbuat dosa besar itu kafir atau muslim dimana aliran-aliran toelogi yang timbul kemudian juga membahas hal tersebut dengan begitu tajam dan saling bersinggungan di antara mereka.
Perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan Mutakallimin mengenai iman dan kufur, meskipun tidak sedikit dari pendapat mereka yang cenderung sama pada sisi lain dari pengertian iman dan kufur itu sendiri.
Seperti Aliran Mu’tazilah Pokok ajaran Aliran ini adalah bahwa mu’min yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mu’min atau kafir, tetapi fasiq. Izutsu, dengan mengutip ibn hazm, menguraikan pandangan mu’tazilah sebagia berikut “orang yang melakukan dosa besar disebut fasiqin . Ia bukan mu’min bukan pula kafir, bukan pula munafik (hipokrit). Mengomentari pendapat tersebut izutsu menjelaskan bahwa sikap mu’tazilah adalah membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antara mu’min pelaku dosa besar dan mu’min lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya.  Ushulul khamsah (mandhilah baina manzilatain) Inilah ajaran yang mula-mula melahirkannya aliran Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti yang tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai orang musyrik, sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mu’min dan dosanya sepenuhnya diserahkan sepenuhnya pada tuhan. Boleh jadi dosa itu diampuni tuhan. Adapun pendapat wasil bin ata’ (pendiri mazhab Mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada diantara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain). Karena ajaran ini, wasil bin ata’ dan sahabatnya amr bin ubaid harus memisahkan diri (I’tizal) dari majlis gurunya, hasan al-basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya. Menurut pandangan mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mu’min secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada tuhan, tidak cukup hanya dengan pengakuan dan pembenaran. Bagi pelaku dosa besar, tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada tuhan dan rasulnya, dan masih mengerjakan kebaikan. Hanya saja, kalau meninggal dan belum bertobat, maka ia akan dimasukkan kedalam neraka dan kekal didalamnya. Orang fasikpun akan dimasukkan kedalam neraka, hanya saja siksaannya lebih ringan dari pada orang kafir. Jikalau ada pertanyaan “mengapa orang fasik tidak dimasukkan kedalam surga yang lebih rendah dibandingkan orang mu’min sejati?”. Tampaknya disini mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak meremehkan dosa, baik besar maupun yang kecil.

5.     Sebagai  mahasisawa pendidikan lanjut,  bagaimana pandangan anda tentang persoalan informasi aliran sesat, salafi dan wahabi di Aceh.
Jawaban :   



6.     Al-Ghazali dan Ibn Rusyd dua tokoh yang sangat berbeda, sampai ada yang  berpandangan dunia Barat maju karena Ibnu Rusyd dunia Islam mundur karena al-Ghazali.  Bagaimana komentar Anda.
Jawaban :
.      Pendapat bahwa barat maju karena ibnu rusyd dan islam mundur karena ghazali adalah tidak berdasar, Kajian-kajian ilmiah yang serius menunjukkan, kemajuan Barat di dalam bidang sains dan teknologi justru tidak ada kaitannya dengan pemikiran Ibn Rusyd (averroisme), Hampir semua tulisan barat mencopot pendapat-pendapat kaum muslim (saya akan bahas hal ini dalam tulisan khusus). Dalam buku-bukunya Ghazali malah berfikir integratif:”Semua ilmu rasional adalah religious dan semua ilmu agama adalah rasional”. Buktinya sains dalam Islam, khususnya Astronomi tidak terpengaruh oleh Tahafut dan masih terus berjalan hingga abad ke 15. Empat abad setelah Tahafut al-Ghazzali terbit. Karya-karya dan pusat studi sains Ibn Shatir di Maragha masih berjalan. Lagi pula politik, ekonomi dan pendidikan umat Islam mundur bukan karena kritik al-Ghazzali.
Ghazali berpendapat bahwa tujuan akhir manusia adalah kebahagiaan dan kebahagiaan hanya dapatdicapai dengan:
-          Amal dan latihan berat dalam memurnikan jiwa dan menumpas syahwat yang menjadi kebanggaan manusia.
-          Ilmu pengetahuan sebagai jalan untuk meningkatkan kesempurnaan dan keutamaan.



Justru karya Ghazali mendorong Kebangkitan umat Islam di masa Perang Salib terbukti tidak lepas dari peran seorang ulama bernama Syekh Ali al-Sulami dan Imam al-Ghazali. Posisi al-Ghazali dalam Perang Salib menjadi jelas, setelah diterbitkannya Kitab al-Jihad karya Ali al-Sulami, imam di masjid Ummayyad Damascus, dan tokoh perumus serta  penggerak jihad melawan tentara Salib. Dalam naskah Kitab yang diringkas oleh Niall Christie,  al-Sulami banyak mengutip ucapan Imam al-Shafi‘i dan al-Ghazali tentang jihad.
Diantaranya, al-Ghazali menyatakan, bahwa jihad adalah fardu kifayah. Jika satu kelompok yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi, maka mereka dapat berjuang keras melawan musuh. Tetapi, jika kelompok itu lemah dan tidak memadai untuk menghadapi musuh dan menghapuskan kejahatannya, maka kewajiban jihad itu dibebankan kepada negara terdekat.
Jadi tak ada bukti sama sekali bahwa Ghazali menjadi penyebab kemunduran ummat islam, justru ummatlah yang mulai meninggalkan ajarannya, ecara umum penyebab kemunduran umat Islam karena umat Islam meninggalkan ajaran agama mereka. Dengan kata lain, sikap dan perilaku umat        Islam jauh dari nilai-nilai al-Quran. Muhammad Abduh pernah berkata, “wajatul islama fi baris, falam ajid al-muslim,Wawajadtu al-muslima fi mishr, falam ajid al-islama” (Saya menemukan Islam di Paris, tapi tidak ada muslim. Dan saya menemukan Muslim di Mesir tapi tidak menemukan Islam). Ini adalah kritik yang diungkapkan oleh Abduh bahwa kita yang mengaku Muslim belum melaksanakan ajaran Islam sepenuhnya.
Pengacuhan terhadap nilai-nilai al-Quran adalah faktor utama kemunduran umat Islam. Menurut Ibnu Taimiyah, orang yang mengacuhkan al-Quran adalah mereka yang tidak membaca al-Quran, membaca al-Quran tapi tidak mentadaburinya, serta membaca dan mentadaburi al-Quran tapi tidak mengamalkannya. Dr. Ahmad Amin dalam bukunya “Islam Sepanjang Zaman” menyatakan bahwa penyebab kemunduran Islam antara lain disebabkan hilangnya ruh Islam dalam sikap dan perbuatan umat Islam. Agama Islam ibarat tubuh tanpa nyawa karena umat Islam tidak mengamalkan ajaran Islam seperti yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Tidak dapat dipungkuri lagi bahwa runtuhnya kejayaan Islam bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Islam (khilafah) dan penjajahan yang dialami negeri-negeri Muslim. Bernard Lewis dalam “What Went Wrong? Western Impact and Middle East Response” melihat keruntuhan khilafah dan kemunduran umat Islam itu banyak disebabkan oleh persoalan internal umat Islam, seperti kecenderungan penguasa korup yang lebih mementingkan uang dan kekuasaan, serta perpecahan di kalangan umat Islam.
Kita lihat pula kemajuan teknologi di barat ternyata malah menjauhkan mereka dengan agama dan mengagungkan akal sebagai acuan dan bukan wahyu, dapat kita bayangkan seandainya Al Ghazali tidak muncul menyelamatkan para ulama saat itu, bisa jadi arah perkembangan iptek islam yang didasari filsafat akan membuat islam ditinggalkan, saya baca dari beberapa buku sebagian ummat kita di fakultas psikologi universitas islam mulai mengarah ke hal tersebut, seperti kalimat daerah bebas tuhan, atau mempertanyakan keagungan Tuhan berdasarkan akal semata, itu merupakan cermin betapa berbahayanya efek dari filsafat yang keliru. Beberapa kelompok yang menyatakan liberalis dan mengadopsi pendekatan barat juga sebenarnya belum kedengaran prestasinya selain mencomot sumber-sumber non muslim atau sumber muslim yang sefaham berargumen, sejauh ini kita belum menemukan orang muslim yang karyanya sedahsyat Al Ghazali, bisa jadi salah satu diantara kita mengikuti jejaknya.

7.     Maqam dan Ahwal merupakan proses yang dilalui sufi,  tingkat terakhir diperoleh Sufi  antaranya mahabbah,  makrifah, Ittihat, Hulul dan Wahdat al-Wujud.  Bagaimana pandangan Anda terhadap hal itu.
Jawaban
Maqamat
Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini kemudian digunakan sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stage yang berarti tangga. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stage yang artinya tangga.
Tingkatan atau maqamat yang harus ditempuh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhannya , ada 7 menurut Abu Nasr As Sarraj, antara lain:
Taubat
Kata Taubat adalah bentuk mashdar dari bahasa Arab taba, yatuubu, taubatan yang artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan. Untuk mencapai taubat yang sesungguhnya dan dirasakan diterima oleh Allah terkadang tidak dapat dicapai satu kali saja. Ada kisah yang mengatakan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubat, baru ia mencapai tingkat taubat yang sesungguhnya. Taubat yang sebenarnya dalam paham sufisme ialah lupa pada segala hal kecuali Allah.
Wara’
Wara’ berarti shaleh, yaitu menghindari diri dari perbuatan dosa atau menjauhi hal-hal yang tidak baik dan syubhat. Dan dalam pengertian sufi, wara adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat). Sikap menjauhi diri dari yang syubhat ini sejalan dengan hadis Nabi yang berbunyi: “Barangsiapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah terbebas dari yang haram.” (HR. Bukhari). Hadits tersebut menunjukkan bahwa syubhat lebih dekat pada yang haram. Kaum sufi menyadari benar bahwa setiap makanan, minuman, pakaian dan sebagainya yang haram dapat memberi pengaruh bagi orang yang memakan, meminum atau memakannya. Orang yang demikian akan keras hatinya, sulit mendapatkan hidayah dan ilham dari Tuhan. Hal ini dipahami dari hadits Nabi yang menyatakan bahwa setiap makanan yang haram yang dimakan oleh manusia akan menyebabkan noda hitam pada hati yang lama-kelamaan hati menjadi keras. ini sangat ditakuti oleh para sufi yang senantiasa mengharapka Nur Ilahi yang dipancarkan lewat hatinya yang bersih.
   Zuhud
Secara harfiah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian.
Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu. Hal ini dapat dipahami dari isyarat ayat yang berbunyi,“Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” (QS. 4: 78)
Fakir
Fakir menurut bahasa adalah orang yang berhajat, butuh atau orang miskin, sedangkan dalam pandangan kaum sufi , fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang menjadi haknya,tidak banyak mengharap dan memohon rezeki, kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Sabar
Sabar berarti menghindari diri dari hal-hal yang bertentangan dengan apa yang dilarang Allah, ia tenang ketika mendapatkan cobaan dan menampakkan sikap perwira walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran bidang ekonomi. Dalam kalangan sufi sabar itu , ada sabar dalam menjalani perintah-perintah Allah, sabar dalam menjauhi segala larangan-Nya, dan sabar dalam menerima segala cobaan yang ditimpa kepadanya.
 Tawakkal
Tawakkal adalah penyerahan diri seorang hamba kepada Allah setelah ada usaha yang maksimal.
Ridha
Ridha dilihat dari segi bahasa berarti senang, rela, suka. Harun Nasution mengatakan bahwa ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang qadha dan qadhar Allah, menerima qadha dan qadhar Allah dengan senang hati, mengeluarkan perasaan benci dari hatinya, merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang ketika mereka mendapatkan nikmat, tidak meminta surga dari Allah dan tidak minta dijauhkan dari neraka.



Ahwal  atau keadaan kaum sufi dalam tasawuf

Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (Khauf), rendah hati (tawadhu), patuh (Taqwa), ikhlas (Ikhlas), rasa berteman (uns), gembira hati (Wajd), berterima kasih (Syukur).
Hal berlainan dengan maqam, bukan diperoleh atas usaha manusia,tetapi didapat sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.
Selain melaksanakan berbagai kegiatan dan usaha sebagai mana disebutkan di atas, seorang sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan mental tersebut seperti riyadah, mujahadah, khalwat, uzlah, muraqabah, suluk dan sebagainya. Riyadah berarti latihan mental dengan melaksanakan zikir dan tafakkur yang sebanyak-banyaknya serta melatih diri dengan berbagai sifat yang terdapat dalam maqam. Selanjutnya mujahadah berarti berusaha sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah. Selanjutnyakhalwat berarti menyepi atau bersemedi, dan uzlah berarti mengasingkan diri dari pengaruh keduniaan. Dan muraqabah berarti mendekatkan diri kepada Allah; dan suluk berarti menjalankan cara hidup sebagai sufi dengan fikir dan zikir.
Perjalanan spiritual yang dilakukan seorang sufi dalam menemukan hakikat dan ma’rifah TuhanNya mempunyai kecendrungan yang berbeda sehingga muncul beberapa tokoh sufi yang menonjol dalam pengalaman rohaninya , seperti mahabbah, ma’rifah, fana, baqa, ittihad, hulul, wahdatul wujud, insan kamil.

MAHABBAH.

Kata mahabbah mempunyai banyak arti sedang dalam masa alah  ini mahabbah obyeknya lebih ditujukan pada Tuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah , tampaknya ada juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhiah pada Tuhan.
Rabi'ah al-Adawiyah adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari Bashrah, di Irak. Menurut riwayatnya ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadat, bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. la hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Dalam berbagai doa yang dipanjatkannya ia tak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. la betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.

 MA’RIFAH


Dari segi bahasa ma'rifah berasal dari kata arafa, ya'rifu, irfan, ma'rifah yang artinya pengetahuan atau pengalaman Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya.Ma'rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu.
Selanjutnya ma'rifah digunakan untuk menunjukan, pada salah satu tingkatan dalam tasawuf. Dalam arti sufistik ini, ma'rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan: melalui hati sanubari.Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu, yaitu Tuhan. Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa ma'rifah menggambarkan hubungan rapat daiam bentuk gnosis (pengetahuan dengan hati sanubari).
Seterusnya al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma'rifah tentang Tuhan, yaitu arif, tidak akan mengatakan ya Allah atau ya rabb karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di bekalang tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya itu. Tetapi bagi al-Ghazali ma'rifah urutannya terlebih dahulu daripada mahabbah, karena mahabbah timbul dari ma'rifah. Namun mahabbah yang dimaksud al-Ghazali berlainan dengan mahabbah yang diucapkan oleh Rabi'ah al-Adawiyah, yaitu mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan dan lain-lain. Al-Ghazali lebih lanjut mengatakan bahwa ma'rifah dan mahabbah itulah setinggi-tinggi tingkat yang dapat dicapai seorang sufi. Dan pengetahuan yang diper­oleh dari ma'rifah lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang diperoleh dengan akal.

 FANA, BAQA DAN ITTIHAD

Dari segi bahasa kata fana’ artinya sirna, lebur atau hilang. Sedangkan baqa artinya kekal, abadi dan senantiasa ada. Sedangkan ittihad yaitu pengalaman bathin akan kesatuan seorang sufi. Jadi, ketika seorang sufi mencapai tingkat ini merasa fana’ yaitu hilangnya sifat-sifat yang tercela dan munculnya sifat terpuji. Pendapat kaum orientalis maqamat fana’ ini dianggap ada persamaan dengan ajaran windu tentang nirwana. Dan ketika telah mencapai maqamat ittihad seorang sufi akan mabuk dalam kenikmatan bersatu dengan Allah. Tokoh yang terpopuler dalam ittihad adalah Abu Yazid Al-Bustami.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa yang dituju dengan fana dan baqa ini adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya.

HULUL
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma' sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Di dalam teks Arab pernyataan tersebut berbunyi: "Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan me-nempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan".[13]
Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat; dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya bernama al-thaiwasim “Sebelum Tuhan menjadikan makhluk”, la hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang didalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada zat-nya dan la pun cinta pada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini.

 WAHDATUL WUJUD

Wahdatul wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demi kian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Selain itu kata al-wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan. Pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah yang se lanjutnya digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam paham wahdatul wujud.
Tokoh yang Membawa Paham Wahdatul Wujud
Paham Wahdatul Wujud dibawa oleh Muhyiddin Ibn Arabi yang lahir di Murcia, Spanyol di tahun 1165. Selain sebagai sufi, Ibn Arabi juga dikenal sebagai penulis yang produktif,  bukunya yang termasyhur ialah Fusus al-Hikam yang berisi tentang tasawuf.
      Hamka, Ibn Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan pikir dan filsafat dan zauq tasawuf. la menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah dan ancaman kaum awam sebagaimana dialami al-Hallaj.



No comments:

Post a Comment