PASCASARJANA
UIN AR-RANIRY BANDA ACEH
SOAL UJIAN KHAZANAH PEMIKIRAN
ISLAM 2015/2016
Pengasuh: Dr. Damanhuri Basyir, M.Ag
Nama :
Zainal Abidin, S.Hum
NIM :
27153192-2
Unit :
Ekonomi Islam
Soal Ujian:
1.
Berikan
pandangan dan penilaian Anda tentang Mata Kuliah Khazanah Pemikiran Islam.
Penilaiannya meliputi Materi dan Metode penyajiannya.
Jawaban:
Khazanah Pemikiran Islam merupakan Mata Kuliah yang telah merubah pola
pikir dan membuka wawasan saya disebabkan oleh pencerahan-pencerahan yang
disampaikan oleh dosen dengan baik, dan saya menjadi tau tentang bentuk dan
karakter Pemikiran Islam yang sebenarnya, banyak yang saya peroleh dari pembelajaran
dan pengkajian materi baik dari Dosen Pembimbing terutama sekali, teman-teman
ataupun buku yang pernah saya baca. Dalam metode penyajiannya yang
disampaikan oleh dosen pembimbing telah mampu mengubah pola pemahaman saya dari
yang saya anggap salah/sesat ternyata
hanya ilmu dan pemahaman saya yang masih kurang. Menjadi perbedaan pengkajian
dan penafsiran dari Ulama lain.
2.
Ada
tiga dimensi pemikiran Islam: Pemikiran
teologis (akidah), syari’ah (hukum) dan
ihsan (tasawuf). Jelaskalah apa yang Anda
ketahui dengan hal tersebut.
Jawaban:
Theologi Islam adalah pengetahuan ketuhanan.
Sedangkan pengertian theologi Islam menurut terminologi adalah ilmu yang
membahas tentang ketuhanan yang mencakup seluruh ketauhidan. Teologi islam sebagai disiplin sebuah Ilmu merupakan
salah satu dari tiga pondasi Islam yang pemahamannya harus ada pada setiap
orang. Dengan mempelajari teologi Islam, kita dapat memperkuat aqidah kita, dan
mempererat serta menjaga ukhwah islamiyah dalam ber’itiqod. Wiliem Ockham
(1287-1347) mengatakan teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara kebenaran
wahyu serta independesi filsafat dan pengetahuan. Dikatakan A’qidah karena
membahas tentang keyakinan kepada tuhan. Syariah
adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu agama, sehingga istilah hukum
Islam mencerminkan konsep yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan konsep,
sifat dan fungsi hukum biasa. Seperti lazim diartikan agama adalah suasana
spiritual dari kemanusiaan yang lebih tinggi dan tidak bisa disamakan dengan
hukum. Sebab hukum dalam pengertian biasa hanya menyangkut soal keduniaan
semata. Syariah adalah sebagai totalitas perintah Allah yang mengatur kehidupan
umat Islam dalam keseluruhan aspek menyangkut penyembahan dan ritual, politik
dan hukum.
Tasawuf itu adalah salah satu
cabang ilmu Islam yang yang menekankan aspek spiritual dari islam. Spiritual
ini dapat mengambil bentuk yang beraneka didalamnya. Dalam kaitannya dengan
manusia, tasawuf lebih menekankan aspek rohaninya daripada aspek jasmani. Dalam
kaitannya dengan kehidupan, ia lebih menekankan kehidupan akhirat daripada kehidupan
dunia. Sedangkan dalam kaitannya dengan pemahaman keagamaan, ia lebih
menekankan aspek esoteric daripada eksoterik, lebih menekankan penafsiran batin
daripada lahiriah.
Tasawuf adalah sebuah istilah yang menghimpun makna: Tidak terikat dengan semua
yang ada di dunia sehingga tidak berlomba- lomba mengerjarnya, hanya dan selalu
bersandar kepada Allah `azza wa jalla, suka dan gemar melakukan ibadah ketika
sehat, Selalu sabar kehilangan harta dan
semua yang dimiliki di dunia, sangat cermat dan berhati-hati bisa membedakan
yang baik dan yang buruk, menyibukkan diri dengan Allah Swt dan tidak sibuk
dengan yang lain, Selau berdzikir di dalam hati, Merealisasikan rasa ikhlas
ketika muncul godaan dari dunia, Tetap yakin ketika muncul keraguan dan Teguh kepada Allah dalam semua keadaan. Jika semua ini
berhimpun dalam diri seseorang, maka ia layak menyandang istilah Sufi yang
dikenal dalam Tasawuf; dan jika tidak, maka ia adalah pendusta.
3.
Kasab (upaya dan
ikhtiar manusia) adalah bagian dari pembahasan kalami. Satu pendapat, kaum qadariah mengatakan hasil
upaya manusia terpulang kepada manusia. Pada sisi lain dikatakan bahwa Allah yang
memutuskan segalanya sebagai yang dipahami kaum Jabariah. Bagaimana analisa Anda
tentang dua macam pemikiran umat Islam
tersebut ?
Kaum Qadariyah
dam Kaum Jabariyah dalam menafsirkan Upaya dan Ikhtiar Manusia. Dalam
permasalahan taqdir (qadha dah qadar) ini beberapa kelompok besar yang
pemahamannya sangat ekstrim (berlebihan) dan saling bertolak belakang. Kelompok
ini muncul di akhir era para sahabat. Di antara
kelompok tersebut adalah Qadariyah dan Jabariyah. Pemikiran Qadariyah ini
bercorak liberal, sedangkan Jabariyah mempunyai corak pemikiran tradisional. Qadariyah adalah sebuah firqah yang
mengingkari ilmu Allah terhadap perbuatan hambaNya dan berkeyakinan bahwa Allah
belum membuat ketentuan terhadap makhlukNya. Jabariyah
adalah paham yang menafikan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyerahkan
perbuatan tersebut kepada Allah Swt. Artinya, manusia tidak punya andil sama
sekali dalam melakukan perbuatannya, Tuhanlah yang menentukan segala-galanya. Takdir
adalah sesuatu yang harus kita imani, dan ini merupakan salah satu rukun dari
enam rukun Iman. Agama kita adalah agama rasional, sesuai dengan sabda
Rasulullah Saw: “Laa diina liman laa ‘aqla lah”. Tetapi tidak semuanya yang
bisa kita terima dengan akal, ada beberapa hal yang harus kita terima dengan
iman. Imam ‘Ali pernah berkata: “Seandainya semua hal dalam agama ini bisa
diakali, pastilah telapak khuf lebih utama untuk disapu.” Ada hal yang bisa
kita cerna dan kita rasionalkan dan ada hal yang memang sudah begitu adanya dan
itu harus kita terima dan kita Imani. Kasab adalah kewajiban dari makhluk Allah,
setiap manusia harus berusaha dan berdoa, karena Takdir yang tidak bisa dirubah
hanyalah kematian, sedangkan yang lain masih ada campurtangan manusia untuk
merubahnya.
4.
Iman dan kufur dua hal yang sangat tajam dibahas dalam
pemikiran kalami. Uraikan kedua persoalan
tersebut. Penjelasan dilkaitkan dengan Ushul
al-Khamsah Muktazilah.
Masalah iman dan
kufur pertamakali muncul pada pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib yang
ketika itu terjadi peperangan dengan Mu’awiyah Bin Abu Sofyan dari bani Umayyah
lantaran tidak setuju terhadap pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib. Karena
hal itu muncullah golongan yang disebut Khawarij yang keluar dari barisan Ali
Bin Abi Thalib lantaran tidak setuju dengan keputusan Ali Bin Abi Thalib yang
menerima ajakan tahkim(arbitrase),
bahkan mereka mengatakan Ali Bin Abi Thalib dan semua yang terlibat dalam
tahkim itu telah kafir, Karena menurut Khawarij mereka tidak mengembalikan
hukum pada al-Qur’an seperti yang diterangkan dalam firman Allah surat
al-Maidah ayat 44.[4]
“Barang siapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang di turunkan Allah, maka orang itu adalah
orang-orang yang kafir”.
Dari peristiwa
di atas lah timbulnya persoalan, apakah orang yang berbuat dosa besar itu kafir
atau muslim dimana aliran-aliran toelogi yang timbul kemudian juga membahas hal
tersebut dengan begitu tajam dan saling bersinggungan di antara mereka.
Perbedaan-perbedaan pendapat
dikalangan Mutakallimin mengenai iman dan kufur, meskipun tidak
sedikit dari pendapat mereka yang cenderung sama pada sisi lain dari pengertian
iman dan kufur itu sendiri.
Seperti Aliran Mu’tazilah Pokok ajaran Aliran ini
adalah bahwa mu’min yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mu’min
atau kafir, tetapi fasiq. Izutsu, dengan mengutip ibn hazm, menguraikan
pandangan mu’tazilah sebagia berikut “orang yang melakukan dosa besar disebut
fasiqin . Ia bukan mu’min bukan pula kafir, bukan pula munafik (hipokrit).
Mengomentari pendapat tersebut izutsu menjelaskan bahwa sikap mu’tazilah adalah
membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antara mu’min pelaku dosa besar dan
mu’min lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya. Ushulul
khamsah (mandhilah baina manzilatain)
Inilah ajaran yang mula-mula melahirkannya aliran Mu’tazilah. Ajaran ini
terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar.
Seperti yang tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai
orang musyrik, sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mu’min dan
dosanya sepenuhnya diserahkan sepenuhnya pada tuhan. Boleh jadi dosa itu
diampuni tuhan. Adapun pendapat wasil bin ata’ (pendiri mazhab Mu’tazilah) lain
lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada diantara dua posisi (al-manzilah bain
al-manzilatain). Karena ajaran ini, wasil bin ata’ dan sahabatnya amr bin ubaid
harus memisahkan diri (I’tizal) dari majlis gurunya, hasan al-basri. Berawal
dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya. Menurut pandangan mu’tazilah,
pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mu’min secara mutlak. Hal ini
karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada tuhan, tidak cukup hanya
dengan pengakuan dan pembenaran. Bagi pelaku dosa besar, tidak dapat dikatakan
kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada tuhan dan rasulnya, dan
masih mengerjakan kebaikan. Hanya saja, kalau meninggal dan belum bertobat,
maka ia akan dimasukkan kedalam neraka dan kekal didalamnya. Orang fasikpun
akan dimasukkan kedalam neraka, hanya saja siksaannya lebih ringan dari pada
orang kafir. Jikalau ada pertanyaan “mengapa orang fasik tidak dimasukkan
kedalam surga yang lebih rendah dibandingkan orang mu’min sejati?”. Tampaknya
disini mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak meremehkan dosa, baik
besar maupun yang kecil.
5.
Sebagai
mahasisawa pendidikan lanjut, bagaimana pandangan anda tentang persoalan informasi
aliran sesat, salafi dan wahabi di Aceh.
Jawaban
:
6.
Al-Ghazali
dan Ibn Rusyd dua tokoh yang sangat berbeda, sampai ada yang berpandangan dunia Barat maju karena Ibnu Rusyd
dunia Islam mundur karena al-Ghazali. Bagaimana
komentar Anda.
Jawaban
:
. Pendapat
bahwa barat maju karena ibnu rusyd dan islam mundur karena ghazali adalah tidak
berdasar, Kajian-kajian ilmiah yang serius menunjukkan, kemajuan Barat di dalam
bidang sains dan teknologi justru tidak ada kaitannya dengan pemikiran Ibn
Rusyd (averroisme), Hampir
semua tulisan barat mencopot pendapat-pendapat kaum muslim (saya akan bahas hal
ini dalam tulisan khusus). Dalam buku-bukunya Ghazali malah berfikir
integratif:”Semua ilmu rasional adalah religious dan semua ilmu agama adalah
rasional”. Buktinya sains dalam Islam, khususnya Astronomi tidak terpengaruh
oleh Tahafut dan
masih terus berjalan hingga abad ke 15. Empat abad setelah Tahafut al-Ghazzali terbit.
Karya-karya dan pusat studi sains Ibn Shatir di Maragha masih berjalan. Lagi
pula politik, ekonomi dan pendidikan umat Islam mundur bukan karena kritik
al-Ghazzali.
Ghazali berpendapat
bahwa tujuan akhir manusia adalah kebahagiaan dan kebahagiaan hanya
dapatdicapai dengan:
- Amal
dan latihan berat dalam memurnikan jiwa dan menumpas syahwat yang menjadi
kebanggaan manusia.
- Ilmu
pengetahuan sebagai jalan untuk meningkatkan kesempurnaan dan keutamaan.
Justru karya Ghazali
mendorong Kebangkitan umat Islam di masa Perang Salib terbukti tidak lepas dari
peran seorang ulama bernama Syekh Ali al-Sulami dan Imam al-Ghazali. Posisi
al-Ghazali dalam Perang Salib menjadi jelas, setelah diterbitkannya Kitab al-Jihad karya Ali
al-Sulami, imam di masjid Ummayyad Damascus, dan tokoh perumus serta
penggerak jihad melawan tentara Salib. Dalam naskah Kitab yang diringkas
oleh Niall Christie, al-Sulami banyak mengutip ucapan Imam al-Shafi‘i dan
al-Ghazali tentang jihad.
Diantaranya,
al-Ghazali menyatakan, bahwa jihad adalah fardu kifayah. Jika satu kelompok
yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi, maka mereka dapat berjuang keras
melawan musuh. Tetapi, jika kelompok itu lemah dan tidak memadai untuk
menghadapi musuh dan menghapuskan kejahatannya, maka kewajiban jihad itu
dibebankan kepada negara terdekat.
Jadi tak ada bukti
sama sekali bahwa Ghazali menjadi penyebab kemunduran ummat islam, justru
ummatlah yang mulai meninggalkan ajarannya, ecara umum penyebab kemunduran
umat Islam karena umat Islam meninggalkan ajaran agama mereka. Dengan kata
lain, sikap dan perilaku umat Islam
jauh dari nilai-nilai al-Quran. Muhammad Abduh pernah berkata, “wajatul islama
fi baris, falam ajid al-muslim,Wawajadtu al-muslima fi mishr, falam ajid
al-islama” (Saya menemukan Islam di Paris, tapi tidak ada muslim. Dan saya
menemukan Muslim di Mesir tapi tidak menemukan Islam). Ini adalah kritik yang
diungkapkan oleh Abduh bahwa kita yang mengaku Muslim belum melaksanakan ajaran
Islam sepenuhnya.
Pengacuhan terhadap
nilai-nilai al-Quran adalah faktor utama kemunduran umat Islam. Menurut Ibnu
Taimiyah, orang yang mengacuhkan al-Quran adalah mereka yang tidak membaca
al-Quran, membaca al-Quran tapi tidak mentadaburinya, serta membaca dan
mentadaburi al-Quran tapi tidak mengamalkannya. Dr. Ahmad Amin dalam bukunya
“Islam Sepanjang Zaman” menyatakan bahwa penyebab kemunduran Islam antara lain
disebabkan hilangnya ruh Islam dalam sikap dan perbuatan umat Islam. Agama
Islam ibarat tubuh tanpa nyawa karena umat Islam tidak mengamalkan ajaran Islam
seperti yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Tidak dapat
dipungkuri lagi bahwa runtuhnya kejayaan Islam bersamaan dengan runtuhnya
kekuasaan Islam (khilafah) dan penjajahan yang dialami negeri-negeri Muslim.
Bernard Lewis dalam “What Went Wrong? Western Impact and Middle East Response”
melihat keruntuhan khilafah dan kemunduran umat Islam itu banyak disebabkan
oleh persoalan internal umat Islam, seperti kecenderungan penguasa korup yang
lebih mementingkan uang dan kekuasaan, serta perpecahan di kalangan umat Islam.
Kita lihat pula
kemajuan teknologi di barat ternyata malah menjauhkan mereka dengan agama dan
mengagungkan akal sebagai acuan dan bukan wahyu, dapat kita bayangkan
seandainya Al Ghazali tidak muncul menyelamatkan para ulama saat itu, bisa jadi
arah perkembangan iptek islam yang didasari filsafat akan membuat islam
ditinggalkan, saya baca dari beberapa buku sebagian ummat kita di fakultas
psikologi universitas islam mulai mengarah ke hal tersebut, seperti kalimat
daerah bebas tuhan, atau mempertanyakan keagungan Tuhan berdasarkan akal
semata, itu merupakan cermin betapa berbahayanya efek dari filsafat yang
keliru. Beberapa kelompok yang menyatakan liberalis dan mengadopsi pendekatan
barat juga sebenarnya belum kedengaran prestasinya selain mencomot
sumber-sumber non muslim atau sumber muslim yang sefaham berargumen, sejauh ini
kita belum menemukan orang muslim yang karyanya sedahsyat Al Ghazali, bisa jadi
salah satu diantara kita mengikuti jejaknya.
7.
Maqam dan Ahwal
merupakan proses yang dilalui sufi,
tingkat terakhir diperoleh Sufi antaranya mahabbah, makrifah, Ittihat, Hulul dan Wahdat
al-Wujud. Bagaimana pandangan
Anda terhadap hal itu.
Jawaban
Maqamat
Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa
Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini kemudian
digunakan sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk
berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah
stage yang berarti tangga. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stage
yang artinya tangga.
Tingkatan atau maqamat yang harus ditempuh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhannya , ada 7 menurut Abu Nasr As Sarraj, antara lain:
Tingkatan atau maqamat yang harus ditempuh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhannya , ada 7 menurut Abu Nasr As Sarraj, antara lain:
Taubat
Kata Taubat adalah bentuk mashdar dari bahasa Arab taba, yatuubu, taubatan yang artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan. Untuk mencapai taubat yang sesungguhnya dan dirasakan diterima oleh Allah terkadang tidak dapat dicapai satu kali saja. Ada kisah yang mengatakan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubat, baru ia mencapai tingkat taubat yang sesungguhnya. Taubat yang sebenarnya dalam paham sufisme ialah lupa pada segala hal kecuali Allah.
Kata Taubat adalah bentuk mashdar dari bahasa Arab taba, yatuubu, taubatan yang artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan. Untuk mencapai taubat yang sesungguhnya dan dirasakan diterima oleh Allah terkadang tidak dapat dicapai satu kali saja. Ada kisah yang mengatakan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubat, baru ia mencapai tingkat taubat yang sesungguhnya. Taubat yang sebenarnya dalam paham sufisme ialah lupa pada segala hal kecuali Allah.
Wara’
Wara’ berarti
shaleh, yaitu menghindari diri dari perbuatan dosa atau menjauhi hal-hal
yang tidak baik dan syubhat. Dan dalam pengertian sufi, wara adalah
meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan
haram (syubhat). Sikap menjauhi diri dari yang syubhat ini sejalan dengan hadis
Nabi yang berbunyi: “Barangsiapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka
sesungguhnya ia telah terbebas dari yang haram.” (HR. Bukhari). Hadits tersebut
menunjukkan bahwa syubhat lebih dekat pada yang haram. Kaum sufi menyadari
benar bahwa setiap makanan, minuman, pakaian dan sebagainya yang haram dapat
memberi pengaruh bagi orang yang memakan, meminum atau memakannya. Orang yang demikian
akan keras hatinya, sulit mendapatkan hidayah dan ilham dari Tuhan. Hal ini
dipahami dari hadits Nabi yang menyatakan bahwa setiap makanan yang haram yang
dimakan oleh manusia akan menyebabkan noda hitam pada hati yang lama-kelamaan
hati menjadi keras. ini sangat ditakuti oleh para sufi yang senantiasa
mengharapka Nur Ilahi yang dipancarkan lewat hatinya yang bersih.
Zuhud
Secara harfiah zuhud
berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian.
Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu. Hal ini dapat dipahami dari isyarat ayat yang berbunyi,“Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” (QS. 4: 78)
Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu. Hal ini dapat dipahami dari isyarat ayat yang berbunyi,“Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” (QS. 4: 78)
Fakir
Fakir menurut bahasa
adalah orang yang berhajat, butuh atau orang miskin, sedangkan dalam pandangan
kaum sufi , fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang menjadi haknya,tidak
banyak mengharap dan memohon rezeki, kecuali hanya untuk menjalankan
kewajiban-kewajiban dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Sabar
Sabar berarti
menghindari diri dari hal-hal yang bertentangan dengan apa yang dilarang Allah,
ia tenang ketika mendapatkan cobaan dan menampakkan sikap perwira walaupun
sebenarnya berada dalam kefakiran bidang ekonomi. Dalam kalangan sufi sabar itu
, ada sabar dalam menjalani perintah-perintah Allah, sabar dalam menjauhi
segala larangan-Nya, dan sabar dalam menerima segala cobaan yang ditimpa
kepadanya.
Tawakkal
Tawakkal adalah
penyerahan diri seorang hamba kepada Allah setelah ada usaha yang
maksimal.
Ridha
Ridha dilihat dari
segi bahasa berarti senang, rela, suka. Harun Nasution mengatakan bahwa ridha
berarti tidak berusaha, tidak menentang qadha dan qadhar Allah, menerima qadha
dan qadhar Allah dengan senang hati, mengeluarkan perasaan benci dari hatinya,
merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang ketika mereka
mendapatkan nikmat, tidak meminta surga dari Allah dan tidak minta dijauhkan
dari neraka.
Ahwal atau
keadaan kaum sufi dalam tasawuf
Menurut Harun
Nasution, hal merupakan
keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan
sebagainya. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (Khauf), rendah
hati (tawadhu), patuh (Taqwa), ikhlas (Ikhlas), rasa berteman (uns), gembira
hati (Wajd), berterima kasih (Syukur).
Hal berlainan dengan
maqam, bukan diperoleh atas usaha manusia,tetapi didapat sebagai anugerah dan
rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara,
datang dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya
mendekati Tuhan.
Selain melaksanakan berbagai kegiatan dan usaha sebagai mana disebutkan di atas, seorang sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan mental tersebut seperti riyadah, mujahadah, khalwat, uzlah, muraqabah, suluk dan sebagainya. Riyadah berarti latihan mental dengan melaksanakan zikir dan tafakkur yang sebanyak-banyaknya serta melatih diri dengan berbagai sifat yang terdapat dalam maqam. Selanjutnya mujahadah berarti berusaha sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah. Selanjutnyakhalwat berarti menyepi atau bersemedi, dan uzlah berarti mengasingkan diri dari pengaruh keduniaan. Dan muraqabah berarti mendekatkan diri kepada Allah; dan suluk berarti menjalankan cara hidup sebagai sufi dengan fikir dan zikir.
Selain melaksanakan berbagai kegiatan dan usaha sebagai mana disebutkan di atas, seorang sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan mental tersebut seperti riyadah, mujahadah, khalwat, uzlah, muraqabah, suluk dan sebagainya. Riyadah berarti latihan mental dengan melaksanakan zikir dan tafakkur yang sebanyak-banyaknya serta melatih diri dengan berbagai sifat yang terdapat dalam maqam. Selanjutnya mujahadah berarti berusaha sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah. Selanjutnyakhalwat berarti menyepi atau bersemedi, dan uzlah berarti mengasingkan diri dari pengaruh keduniaan. Dan muraqabah berarti mendekatkan diri kepada Allah; dan suluk berarti menjalankan cara hidup sebagai sufi dengan fikir dan zikir.
Perjalanan spiritual
yang dilakukan seorang sufi dalam menemukan hakikat dan ma’rifah TuhanNya
mempunyai kecendrungan yang berbeda sehingga muncul beberapa tokoh sufi yang
menonjol dalam pengalaman rohaninya , seperti mahabbah, ma’rifah, fana,
baqa, ittihad, hulul, wahdatul wujud, insan kamil.
MAHABBAH.
Kata mahabbah
mempunyai banyak arti sedang dalam masa alah ini mahabbah obyeknya lebih
ditujukan pada Tuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah , tampaknya ada juga
yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah
yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhiah pada Tuhan.
Rabi'ah al-Adawiyah
adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari Bashrah, di Irak. Menurut
riwayatnya ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup
selanjutnya ia banyak beribadat, bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. la hidup
dalam kesederhanaan dan menolak segala bantuan material yang diberikan orang
kepadanya. Dalam berbagai doa yang dipanjatkannya ia tak mau meminta hal-hal
yang bersifat materi dari Tuhan. la betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan
hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.
MA’RIFAH
Dari segi bahasa
ma'rifah berasal dari kata arafa, ya'rifu, irfan, ma'rifah yang artinya
pengetahuan atau pengalaman Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia
hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati
oleh orang-orang pada umumnya.Ma'rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan
pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi
lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan
pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan
hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu.
Selanjutnya ma'rifah
digunakan untuk menunjukan, pada salah satu tingkatan dalam tasawuf. Dalam arti
sufistik ini, ma'rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan: melalui
hati sanubari.Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya
merasa satu dengan yang diketahuinya itu, yaitu Tuhan. Selanjutnya Harun
Nasution mengatakan bahwa ma'rifah menggambarkan hubungan rapat daiam bentuk
gnosis (pengetahuan dengan hati sanubari).
Seterusnya al-Ghazali
menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma'rifah tentang Tuhan, yaitu arif,
tidak akan mengatakan ya Allah atau ya rabb karena memanggil Tuhan dengan kata-kata
serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di bekalang tabir. Orang yang duduk
berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya itu. Tetapi bagi
al-Ghazali ma'rifah urutannya terlebih dahulu daripada mahabbah, karena
mahabbah timbul dari ma'rifah. Namun mahabbah yang dimaksud al-Ghazali
berlainan dengan mahabbah yang diucapkan oleh Rabi'ah al-Adawiyah, yaitu
mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta
yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia
hidup, rezeki, kesenangan dan lain-lain. Al-Ghazali lebih lanjut mengatakan
bahwa ma'rifah dan mahabbah itulah setinggi-tinggi tingkat yang dapat dicapai
seorang sufi. Dan pengetahuan yang diperoleh dari ma'rifah lebih tinggi
mutunya dari pengetahuan yang diperoleh dengan akal.
FANA, BAQA DAN
ITTIHAD
Dari segi bahasa kata
fana’ artinya sirna, lebur atau hilang. Sedangkan baqa artinya kekal, abadi dan
senantiasa ada. Sedangkan ittihad yaitu pengalaman bathin akan kesatuan seorang
sufi. Jadi, ketika seorang sufi mencapai tingkat ini merasa fana’ yaitu
hilangnya sifat-sifat yang tercela dan munculnya sifat terpuji. Pendapat kaum
orientalis maqamat fana’ ini dianggap ada persamaan dengan ajaran windu tentang
nirwana. Dan ketika telah mencapai maqamat ittihad seorang sufi akan mabuk
dalam kenikmatan bersatu dengan Allah. Tokoh yang terpopuler dalam ittihad
adalah Abu Yazid Al-Bustami.
Berdasarkan uraian
tersebut dapat diketahui bahwa yang dituju dengan fana dan baqa ini
adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan,
sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya.
HULUL
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma' sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Di dalam teks Arab pernyataan tersebut berbunyi: "Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan me-nempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan".[13]
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma' sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Di dalam teks Arab pernyataan tersebut berbunyi: "Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan me-nempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan".[13]
Paham bahwa Allah
dapat mengambil tempat pada manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran
al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar
yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat; dilihat dari
teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya bernama al-thaiwasim “Sebelum
Tuhan menjadikan makhluk”, la hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam
kesendian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu
dialog yang didalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah
hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada zat-nya dan la
pun cinta pada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta
inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini.
WAHDATUL WUJUD
Wahdatul wujud adalah
ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya
sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demi
kian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Selain itu kata al-wahdah
digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi
(hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak (lahir) dan yang batin, antara
alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.
Pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah yang se lanjutnya digunakan para
sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution
lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam paham
wahdatul wujud.
Tokoh yang Membawa
Paham Wahdatul Wujud
Paham Wahdatul Wujud
dibawa oleh Muhyiddin Ibn Arabi yang lahir di Murcia, Spanyol di tahun
1165. Selain sebagai sufi, Ibn Arabi juga dikenal sebagai penulis yang
produktif, bukunya yang termasyhur ialah Fusus al-Hikam yang berisi
tentang tasawuf.
Hamka, Ibn Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada
puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan
renungan pikir dan filsafat dan zauq tasawuf. la menyajikan ajaran tasawufnya
dengan bahasa yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan,
fitnah dan ancaman kaum awam sebagaimana dialami al-Hallaj.
No comments:
Post a Comment