JAWABAN
UJIAN
MK PERKEMBANGAN
PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA
DOSEN
PEMIMBING. Dr. GUNAWAN ADNAN, MA
1.
Kenapa Allah melengkapi manusia dengan Akal
Akal berasal dari kata Arab (‘aqal). Dalam
bahasa Indonesia orang biasa menyalinnya dengan pikir atau pikiran. Jadi
kejadian berakal, disalin dengan berpikir. Menurut bahasa Arab, arti akal
mula-mula “mengikat” (menahan) dan “membedakan”. Dalam rangka ini orang
menghubungkan, bahwa akal merupakan tenaga yang menahan diri makhluk yang
memilikinya dari pada perbuatan buruk atau jahat, membedakannya dari
makhluk-makhluk lain, karena tenaga akal itu dapat membedakan antara yang baik
dan yang buruk. Umumnya akal dimaknakan sebagai alat untuk berpikir, menimbang
buruk-baik atau merasakan segala perubahan keadaan, sehingga dapat mengambil manfaat
daripadanya.
Akal
merupakan makhluk Tuhan yang tertinggi dan akallah yang memperbedakan manusia
dari binatang dan makhluk Tuhan yang lainnya. Karena akallah manusia
bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya
dan akal yang ada dalam diri manusia itulah yang dipakai Tuhan sebagai pegangan
dalam menentukan pemberian pahala atau hukuman kepada seseorang. Begitulah
tingginya kedudukan akal dalam ajaran Islam, bukan hanya tinggi dalan soal-soal
keduniaan saja tapi juga dalam soal keagamaan.
Penghargaan
tertinggi terhadap akal ini sejalan pula dengan ajaran Islam lain yang erat
hubungannya dengan akal, yaitu menuntut ilmu. Sesuai juga dengan wahyu pertama yang
diterima oleh Nabi saw.
Selain
itu terdapat pula dalam Al-Qur’an sebutan-sebutan yang memberi sifat berfikir
bagi seorang muslim, yaitu ulul
albab (orang berfikir), ulul
‘ilm (orang berilmu), ulil
abshar (orang yang mempunyai pandangan), dan ulin nuha (orang bijaksana)[1]
Semua
bentuk ayat-ayat yang didalamnya terdapat kata-kata Nadzara, Tadabbara, Tafakkaru, Faqiha, Fahima,
‘aqala, serta
ayat yang berisi sebutan ulul
albab, ulul ‘ilm, ulil abshar, mengandung anjuran, dorongan dan perintah
agar manusia banyak berfikir dan mempergunakan akalnya.Keduanya ini adalah
ajaran yang jelas dan tegas dalam Al-Qur’an, sebagai sumber utama ajaran Islam.
Hadits
sebagai sumber kedua dari ajaran Islam, juga member kedudukan tertinggi pada
akal. Salah satu haditsnya sebagai berikut:
ا لد ين
عقل لا د ين لمن لا عقل له
“Agama
adalah penggunaanakal, tiada agama bagi orang yang tak berakal”.
Akal
terdiri atas unsur rasio dan hati/rasa. Setelah manusia memikirkan/meraiso
tanda-tanda kekuasaan Allah yang terbentang di alam atau tertulis dalam
kitabNya maka tidak akan mengakui adanya Allah kalau hatinya tidak berfungsi, sebab
buta, tidak yakin dan kotor.[2]
Yang
masuk akal belum tentu dapat dirasionalkan, sebab berfungsinya kemampuan rasio
manusia sangat terbatas, hatinya buta dan menyebabkannya tidak yakin. Banyaknya
manusia yang tidak mau memahami tanda-tanda kekuasaan dan keesaan Allah,
mereka tidak mau menggunakan hati dan rasionya. Tapi ada juga yang mau
menggunakan raiso namun mereka tidak yakin karena hatinya buta. Mereka bahkan
lebih sesat daripada binatang yang tidak mempunyai akal.[3]
2.
Jelaskan perbedaan antara pemikiran dan filsafat
Pemikiran
Pemikiran adalah hasil dari refleksi
(pemantulan) fakta terhadap otak. Artinya, pengetahuan mereka tentang fakta.
Pemikiran itu terbentuk dari fakta, otak, dan proses refleksi fakta terhadap
otak.[4]
Menurut Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani, pemikiran
adalah pemindahan fakta melalui panca indera ke dalam otak yang disertai adanya
informasi-informasi terdahulu yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta
tersebut.[5]
Burhanuddin Salam berpendapat bahwa berpikir
merupakan suatu bentuk kegiatan akal/ratio manusia dengan mana
pengetahuan yang kita terima melalui panca indera diolah dan ditujukan untuk
mencapai kebenaran. Aktivitas berpikir adalah berdialog dengan diri sendiri
dalam batin dengan manisfestasinya ialah mempertimbangkan, merenungkan,
menganalisis, menunjukkan alasan-alasan, membuktikan sesuatu,
menggolong-golongkan, membandingkan-bandingkan, menarik kesimpulan, meneliti
suatu jalan pikiran, mencari kausalitasnya, membahas secara realitas dan
lain-lain.[6]
Dalam proses berfikir setiap manusia menempuh
jalan yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Semakin
banyak pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dan semakin sering seseorang
melakukan penelitian maka akan semakin tinggi taraf berpikirnya. Sebaliknya,
jika seseorang kekurangan informasi dan jarang melakukan penelitian maka
semakin maka akan semakin rendah pula taraf berfikirnya.
Filsafat
Hatta mengatakan bahwa pengertian filsafat
lebih baik tidak dibicarakan lebih dulu, nanti bila orang telah banyak
mempelajari filsafat orang itu akan mengerti dengan sendirinya apa filsafat itu[7]. Langeveld juga
berpendapat seperti itu. Katanya, setelah orang berfilsafat sendiri, barulah ia
maklum apa filsafat itu, maka dalam ia berfilsafat akan semakin mengerti ia apa
filsafat itu[8].
Filsafat disebut juga sebagai pengetahuan yang
berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan
akal pikiran belaka[8].
Filsafat merupakan pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam
mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia, sehingga dapat menghasilkan
pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia
dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya mencapai pengetahuan itu[9].
Apa yang
diingatkan oleh Hatta dan Langeveld memang ada
benarnya. Kita sebenarnya tidak cukup hanya dengan mengatakan filsafat
ialah hasil pemikiran yang tidak empiris, karena pernyataan itu memang belum
lengkap.Bertnard Russel menyatakan bahwa filsafat adalah the attempt to
answer ultimate question critically[10].
D.C. Mulder mendefinisikan filsafat sebagai pemikiran teorirtis tentang susunan
kenyataan sebagai keseluruhan[11].
Sedangkan filsafat menurut arti kata, terdiri
atas kata philein yang artinya cinta dan sophia yang
artinya kebijaksanaan. Filsafat berarti cinta kebijaksanaan.Cinta artinya
hasrat yang besar, atau yang berkobar-kobar, atau yang
sungguh-sungguh.Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya.
Jadi filsafat artinya hasrat atau keinginan yang sungguh akan kebenaran
sejati. Pengertian umum filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran.Filsafat adalah ilmu
pengetahuan tentang hakikat. Ilmu pengetahuan tentang hakikat menanyakan
tentang apa hakikat atau sari atau inti atau esensi segala sesuatu. Dengan cara
ini, jawaban yang akan diberikan berupa kebenaran yang hakiki. Ini
sesuai dengan arti filsafat menurut kata-katanya.
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa
filsafat adalah hasrat atau keinginan yang sungguh-sungguh untuk menyelidiki
hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran sejati
dengan menggunakan akal untuk melakukan tesis-antitesis yang
bersifat bebas dan tanpa metodologi.
Jadi Pemikiran dan Filsafat mempunyai hubungan
yang erat, Ciri pemikiran filsafat
mengacu pada tiga konsep pokok yakni persoalan filsafat bercorak sangat umum,
persoalan filsafat tidak bersifat empiris, dan menyangkut
masalah-masalah asasi. Kemudian Kattsoff menyatakan karakteristik filsafat
dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1) Filsafat adalah berpikir
secara kritis.
2) Filsafat adalah berpikir
dalam bentuknya yang sistematis.
3) Filsafat menghasilkan
sesuatu yang runtut.
4)
Filsafat adalah berpikir secara rasional.
5)
Filsafat bersifat komprehensif.
6) Jadi berfikir filsafat
mengandung makna berfikir tentang segala sesuatu yang ada secara kritis,
sistematis,tertib,rasional dan komprehensip.
3.
Jelaskan fungsi dan hubungan antara Akal, Wahyu dan Nafsu
Arti asli dari kata ‘aqala kelihatannya
adalah mengikat dan menahan dan orang yang ‘aqil di jaman
jahiliah, yang dikenal dengan hamiyyah atau darah panasnya,
adalah orang yang dapat menahan amarahnya dan oleh karenanya dapat mengambil
sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang
dihadapinya.[12]
Dalam pemahaman Profesor Izutsu kata ‘aql di
jaman jahiliah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence)
yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving
capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah, orang yang mempunyai
kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan
problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi.
Kebijaksanaan praktis serupa ini amat dihargai oleh orang Arab jaman jahiliah.[13]
Wahyu sendiri berasal dari kata Arab al-wahy, dan al-wahy adalah
kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti
suara, api dan kecepatan. Di samping itu ia juga mengandung arti bisikan,
isyarat, tulisan dan kitab. Al-Wahy selanjutnya mengandung
arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat.Tetapi kata itu lebih
dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”.
Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung
arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihanNya agar diteruskan kepada
umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik di dunia ini maupun di akhirat
nanti.Dalam Islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
SAW terkumpul semuanya dalam Al-Quran.[14]
Akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu,
yang di dalamnya terdapat kemungkinan bahwa pemahaman yang didapat oleh akal
bisa salah juga bisa benar.Wahyu adalah firman Allah yang disampaikan kepada Nabi-Nya
baik untuk dirinya sendiri maupun untuk disampaikan kepada umat.Pengetahuan
adalah hubungan subjek dan objek, sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang telah
teruji secara ilmiah dan kebenarannya jelas.
Akal dan wahyu digunakan untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan bagi umat manusia.Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana
keduanya dapat bertemu dan bahkan saling berinteraksi dan terdapat ruang dimana
keduanya harus berpisah.Pada saat wahyu merekomendasikan berkembangnya sains
dan lestarinya budaya dengan memberikan ruang kebebasan untuk akal agar
berpikir dengan dinamis, kreatif dan terbuka, disanalah terdapat ruang bertemu
antara akal dan wahyu. Sehingga hubungan antara akal dan wahyu tidak
bertentangan akan tetapi sangat berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya,
bahkan kedua-duanya saling menyempurnakan.
Sementara itu pula kata hawa nafsu yang diungkapkan Al-Qur’an dengan
kata al-Hawa’ (الهوى) yang diulang 37 kali, mencakup berbagai aspeknya. Pertama, menyangkut
pengertiannya kebinasaan. Kedua, berkenaan dengan sifatnya yatiu
enggan menerima kebenaran. Ketiga, berkenaan dengan sasarannya yang
menyesatkan manusia (Q.S.an-Nisa/4:135). Keempat, berkenaan dengan
lawannya yaitu al-haqq (kebenaran). Kelima, berkenaan
dengan pahala bagi orang yang tak terpedaya dengan hawa nafsu dan mematuhi
perintah Allah SWT (Q.S. An-Nazia’at/79:40-41). Dengan begitu, dapatlah
diketahui bahwa hawa nafsu yang terdapat dalam diri manusia cenderung untuk
mengajak manusia kepada hal-hal yang bersifat merusak, menyesatkan,
menyengsarakan dan menghinakan bagi orang yang mengikutinya.
Dalam salah satu ayat-Nya Allah berfirman :
يا
داود انا جعلناك خليفة فى الارض فاحكم بين الناس بالحق ولاتتبع الهوى فيضلك عن
سبيل الله لهم عذاب شديد بما نسوا يوم الحسا ب (ص: 26)
Pada ayat tersebut
dengan tegas Allah mengingatkan nabi Daud sebagai penguasa (raja) agar memimpin
rakyatnya dan memutuskan berbagai perkara dengan seadil-adilnya, yaitu sikap
yang tidak membeda-membedakan antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya.Selanjutnya
Daud diingatkan pula agar tidak memperturutkan hawa nafsu, karena dapat
menyebabkan manusia melakukan perbuatan yang tidak sejalan dengan kehendak
Allah dan Rasul-Nya. Perbuatan tersebut akan merugikan dirinya, masyarakat
sekitarnya bahkan pelakunya akan menerima azab dari Allah SWT. Maka jelaslah
bahwa seorang pemimpin yang baik adalah orang yang mendahulukan kebenaran yang
diputuskan akalnya, bukan yang gemar mempertaruhkan hawa nafsunya dalam setiap
perbuatan dan tindakannya.
Hawa nafsu yang ada
dalam diri manusia adalah merupakan tempat dimana syetan memasukan peranan, dan
pengaruhnya.Pengaruh itu dapat tampil dalam berbagai bentuknya dan menyentuh
berbagai lapisan masyarakat baik kaya atau miskin, pejabat atau rakyat,
pedagang atau pegawai, wanita atau pria, pemuda maupun orangtua dan seterusnya.
Padahal jika keadaan manusia dalam berbagai lapisan tersebut telah terpedaya
dan diperbudak oleh hawa nafsunya maka akan hancurlah segala tatanan kehidupan
baik ekonomi, politik, sosial, ilmu pengetahuan dan sebagainya.
Hubungan antara Akal, wahyu dan Nafsu
Nafs yaitu muara yang
menampung hasil oleh fu’ad, shadr, dan hawaa yang kemudian
menampakkan dirinya dalam bentuk perilaku nyata dihadapan manusia
lainnya. Akal yaitu menahan atau mengikat
hawa nafsunya sehingga nafsunya terkendali karena diikat atau ditaha,
sedangkan orang yang tidak mempunyai aql tidak mengikat nafsunya sehingga
nafsunya liar tak terkendali.
Akal adalah potensi berharga yang diberikan
Allah SWT hanya kepada manusia, anugerah tersebut diberikan Allah SWT untuk
membekali manusia yang mengemban misi penting menjadi khalifah fil ardi, dengan
kata lain manusia sebagai duta kecil Allah SWT.
Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena
akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk memenaklukan kekuatan mahkluk lain
di sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupanya
untuk mengalahkan mahluk lain. Bertambah rendah akal manusia, bertambah rendah
pulalah kesanggupanya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Dengan adanya akal manusia mampu melaksanakan
tugas tersebut dengan baik, dan dapat menemukan kebenaran yang hakiki
sebagaimana pendapat Mu’tazilah yang mengatakan segala pengetahuan dapat
diperoleh dengan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran
yang mendalam sehingga manusia sebetulnya ada wahyu atau tidak tetap wajib
bersyukur kepada Allah SWT, dan manusia wajib mengetahui baik dan buruk; indah
dan jelek; bahkan manusia wajib mengetahui Tuhan dengan akalnya walaupun wahyu
belum turun.[2]
Menurut Mu’tazilah, seluruh
pengetahuan dapat diperoleh melalui akal, termasuk mengetahui adanya
Tuhan dan kewajiban beribadah kepada Tuhan. Abu Huzail, menegaskan bahwa
meskipun wahyu tidak turun, maka manusia tetap wajib beribadah kepada Tuhan,
sesuai dengan pengetahuannya tentang Tuhan. Begitu juga dengan kebaikan dan
keburukan juga dapat diketahui melalui akal.Jika dengan akal manusia dapat
mengetahui baik dan buruk, maka dengan akal juga manusia harus tahu bahwa
melakukan kebaikan itu adalah wajib, dan menjauhi keburukan juga wajib.
Menurut Asy’ariyah, pertama semua
kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Jika wahyu tidak turun,
maka tidak ada kewajiban (taklif) bagi manusia.Karena akal tidak mampu membuat
kewajiban tersebut, terutama kewajiban beribadah pada Tuhan, dan kewajiban
melakukan yang baik serta kewajiban menjauhi yang buruk.
Adapun berkaitan dengan mengetahui Tuhan,
Asy’ariyah sepakat dengan Mu’tazilah yaitu dapat diketahui melalui
akal.Sedangkan mengetahui baik dan buruk, akal tidak mampu, karena sifat baik
dan buruk sangat terkait dengan syari’at. Sesuatu disebut baik, jika dapat
pujian syari’at, dan dianggap buruk jika dikecam oleh syari’at. Karena pujian
dan kecaman bersumber dari wahyu, maka sesuatu dapat dikatakan baik atau buruk
juga melalui wahyu[15].
4.
Kapan munculnya perselisihan dan perbedaan antara faham dalam
sejarah perjalanan umat Islam.
Perpecahan
umat Islam diawali ketika Nabi Muhammad SAW wafat pada tahun 632 M karena
beliau di samping menjadi Rasul telah pula menjadi seorang ahli negara.Jadi
ketika beliau wafat masyarakat Madinah sibuk memikirkan pengganti beliau untuk
mengepalai negara, sehingga penguburan Nabi merupakan soal kedua bagi
mereka.Timbullah soal khilafah, soal penggantiNabi Muhammad
sebagai kepala negara.[16]
Sejarah
meriwayatkan bahwa Abu Bakar-lah yang disetujui oleh masyarakat Islam diwaktu
itu menjadi pengganti atau khalifah Nabi dalam mengepalai negara mereka. Kemudian
Abu Bakar digantikan oleh Umar Ibn Khattab dan Umar digantikan oleh Usman Ibn
Affan.Karena pada masa pemerintahan Usman Ibn Affan menggunakan nepotisme
menimbulkan perasaan tidak senang, dan menimbulkan pemberontakan yang membawa
pada pembunuhan Usman oleh para pemuka-pemuka pemberontakan dari Mesir.[17]
Setelah
Usman wafat Ali, sebagai calon terkuat, menjadi khalifah yang keempat.Tetapi
segera mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah,
terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari
Aisyah.Tantangan dari Aisyah-Talhah-Zubeir ini dipatahkan Ali dalam pertempuran
yang terjadi di Irak tahun 656.Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan Aisyah
dikirim kembali ke Mekkah.[18]
Tantangan
kedua datang dari Muawiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga yang dekat bagi
Usman. Ia menuntut kepada Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Usman, bahkan
ia menuduh Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu. Salah seorang pemuka
pemberontak-pemberontak Mesir, yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh
Usman adalah Muhammad Ibn Abi Bakr, anak angkat dari Ali Ibn Abi Talib. Dan Ali
tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan
Muhammad Ibn Abi Bakr diangkat menjadi gubernur Mesir.[19]
Dalam
pertempuran yang terjadi antara Ali Ibn Abi Talib dengan Muawiyah, yang kaki
kanan dari Ali yaitu Abu Musa al-Asy,ari dan dari Muawiyah yaitu Amr Ibn As
yang terkenal sebagai orang licik. Karena kelicikan dari Amr Ibn As yang
meminta berdamai dengan mengangkat Al-Qur’an ke atas.Ali mendapat desakan
supaya menerima tawaran itu dan dengan demikian dicarilah perdamaian dengan
mengadakan tahkim.[20]
Sikap
Ali yang menerima tipu muslihat Amr Ibn As, menjadi masalah teologi yangmana
ada sebagian tentaranya yang tidak setuju dengan diadakannya tahkim.Yaitu
kelompok khawarij yang memandang bahwa tahkim adalah penyelesaian masalah atas
hasil rekayasa manusia, bukan didasarkan atas Al-Qur’an.Dan orang yang
memutuskan masalah tidak berdasarkan Al-Qur’an adalah kafir. Maka orang yang
melakukan dan menerima tahkim adalah kafir. Dengan demikian Ali, Muawiyah, Abu
Musa dan Amr pelaku tahkim menurut Khawarij adalah sudah keluar dari
Islam dan harus dibunuh. Untuk itu khawarij berusaha untuk membunuh tokoh-tokoh
tersebut, dan yang berhasil dibunuh adalah Ali Ibn Abi Talib (661 H).[21]
Dalam
perkembangan selanjutnya, yang dipandang kafir bukan hanya orang yang
memutuskan masalah tidak berdasarkan Al-Qur’an, tetapi yang dipandang kafir
oleh Khawarij adalah termasuk pelaku dosa besar adalah kafir. Reaksi tehadapnya
muncul dari aliran Murji’ah, yang memandang orang muslim yang melakukan dosa
besar tidak tidak kafir, ia masih mukmin. Kemudian muncul aliran yang lain,
yakni Mu’tazilah yang memandang muslim melakukan dosa besar, bukan mukmin dan
bukan kafir, tetapi menempati posisi diantara keduanya (al-manzilah bain
al-manzilatain).[22]
Pada
masa itu pula muncul aliran Qadariyah yang menyatakan bahwa manusia berkuasa
menciptakan perbuatannya sendiri, tanpa campur tangan Tuhan.Sebaliknya juga
muncul aliran Jabariyah yang berpendapat bahwa manusia tidak kuasa menciptakan
perbuatannya, tetapi semua perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan.[23]
Pada
zaman Abbasiyah, filsafat Yunani dan saint banyak dipelajari umat Islam.
Masalah kalam mendapat tantangan amat besar. Kaum muslimin tidak bisa
mematahkan argumentasi filosofis pihak lain tanpa menggunakan senjata filsafat
dan rasional pula. Untuk itu bangkitlah Mu’tazilah mempertahankan kalam dengan
menggunakan argumentasi-argumentasi filsafat tersebut. Tetapi sikap Mu’tazilah
terlalu mengagungkan akal, maka lahirlah aliran Ahl as-sunnah wa
al-Jama’ahyang mencoba mengkompromikan antara dalil-dalil naqli (Al-Qur’an
dan hadits) dan dalil-dalil aqli dengan tidak mengabaikan bahkan mendahulukan
nas. Karena, tampaknya ini dapat diterima oleh mayoritas kaum muslimin.[24]
5.
Apa yang anda ketahui tentang Ahlussunnah wal-Jamaah
Tokoh Ahlusunnah
Waljamaah yang kita kenal adalah yang pertama Abu Hasan Ali bin Isma’il bin
Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin
Abu Musa Al-Asy’ari. Abu Hasan Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H / 873-4 M.[[25]]
Tokoh Ahlussunnah
Wal Jamaah yang kedua adalah Imam al-Maturidi. Nama beliau adalah Abu Mansur
Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Almaturidi. Beliau lahir di Maturid, dan
meninggal di Samarkand pada 333 H/944 M. Nama Maturidi sebenarnya dinisbahkan
kepada daerah kelahirannya.[[26]]
Konsep Aqidah
Ahlussunnah wal Jama’ah yang berkembang hingga saat ini banyak berpijak kepada
konsep yang disusun oleh Imam Al-Asy’ari dan Imam Al-Maturidi.
Di Asia Tenggara
khususnya Aceh yang merupakan awal mulanya datang Islam, pondasi awal Islam di
Aceh yaitu akidah Ahlussunnah Waljamaah, akidah yang mengikuti konsep tauhidnya
mengikuti konsep tauhidnya Al Asy'ary Wal Maturiddy, fiqhnya Imam Asy Syafii.
Ditinjau dari ilmu bahasa (lughot/etimologi), Ahlussunah Wal Jama’ah berasal dari kata-kata:
a.
Ahl (Ahlun), berarti “golongan” atau “pengikut”
b.
Assunnah berarti “tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan yang
mencakupucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah SAW”.
c.
Wa,
huruf ‘athf yang berarti “dan” atau “serta”
d.
Al jama’ah berarti jama’ah, yakni jama’ah para
sahabat Rasul Saw. Maksudnya ialah perilaku atau jalan hidup para sahabat.[27]
Secara etimologis, istilah “Ahlus
Sunnah Wal Jamaah” berarti golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup
Rasulallah Saw.dan jalan hidup para sahabatnya. Atau, golongan yang berpegang
teguh pada sunnah Rasul dan Sunnah para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat
yang empat, yaitu Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan
Ali bin Abi Thalib.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum.
Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar
pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para
shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.
Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama,
mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu
'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya,
memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan
dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu
yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka
dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan
(As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu
kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam
dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah
terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ada beberapa riwayat hadits tentang
firqah atau millah ( golongan atau aliran) yang kemudian dijadikan landasan bagi
firqah ahlussunnah waljamaah. Sedikitnya ada 6 riwayat hadits tentang
firqah/millah yang semuanya sanadnya dapat dijadikan hujjah karena tidak ada
yang dhaif tetapi hadits shahih dan hasan. Dari hadits yang kesimpulannya
menjelaskan bahwa umat Rasulullah akan menjadi 73 firqah, semua di nearka
kecuali satu yang di surga. itulah yang disebut firqah yang selamat (الفرقة
الناجية). Dari beberpa riwayat itu ada yang secara tegas menyebutkan; ( أهل الســنة
والجمــاعة) ahlussunnah waljamaah”. ataub “aljamaah”. (الجماعة Tetapi
yang paling banyak dengan kalimat; “ maa ana alaihi wa ashhabi” ( ماأنا عليه
وأصحا) .
Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah
RA, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,
“ Akan terpecah umat Yahudi kepada
71 golongan, Dan terpecah umat Nasrani kepada 72 golongan, Dan akan terpecah
umatku menjadi 73 golongan. Semuanya akan dimasukkan keneraka kecuali satu.
Berkata para sahabat : Wahai Rasulullah, Siapakah mereka wahai Rasulullah?.
Rasulullah menjawab : Mereka yang mengikuti aku dan para sahabatku”. (HR Abu Daud,At-Tirmizi, dan Ibn
Majah)
Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap
paham-paham golongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau
718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam
masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah
Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa
Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab
resmi yang dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim,
tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada
lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut
mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi
sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus
menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan
Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal
Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok
pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini.
Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah
wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur
Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu
Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
Madzhab Asy’ari bertumpu pada Al-Qur’an dan al-sunnah.Mereka teguh
memegangi al-ma’sur.”Ittiba”lebih baik dari pada ibtida’ (Membuat bid’ah).
Dalam
mensitir ayat dan hadist yang hendak di jadikan argumentasi, kaum Asy’ariah
bertahap, yang ini merupakan pola sebelumnya sudah di terapkan oleh Asy’ariah.
Biasanya mereka mengambil makna lahir dari anas (Teks al-quran dan al-Hadist),
mereka berhati-hati tidak menolak penakwilan sebab memang ada nas-nas tertentu
yang memiliki pengertian sama yang tidak bias di ambil dari makna lahirnya,
tetapi harus di takwilkan untuk mengetahui pengertian yang di maksud.
Kaum
asy’ariah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan menolak akal
padahal Allah menganjurkan agar Ummat islam melakukan kjian rasional.
Pada
prinsipnya kaum Asy’ariah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal
seperti yang di lakukan kaum mu’tazilah, sehingga mereka tidak memenangkan dan
menempatka akal di dalam naql (teks agama).akal dan nql saling membutuhkan.naql
bagaikan matahari sedangkan akal laksana mata yang sehat.dengan akal kita akan
bias meneguhkan naql dan membela agama.[28]
Akidah Asy’ariyah
ini menyebar luas pada zaman Wazir
Nizhamul Muluk pada dinasti Bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi
negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan Madrasah
An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah
Nizhamiyah yang di Baghdad adalah Universitas terbesar di dunia. Didukung oleh
para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud
Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung
oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha Mazhab Asy-Syafi'i dan Mazhab
Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa
akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di
seluruh dunia
6.
Sebut aliran-aliran pemikiran yang (pernah) ada dalam sejarah
Pemikiran Islam dan jelaskan latarbelakang/alasan munculnya aliran-aliran
tersebut.
Sebab-sebab
timbulnya aliran-aliran itu sebenarnya banyak, akan tetapi dapat digolongkan
kepada dua bagian, yaitu sebab-sebab dari dalam dan sebab-sebab dari luar.
1.
Sebab-sebab dari dalam, maksudnya adalah
sebab-sebab yang datang dari Islam sendiri, antara lain:
a.
Al-Qur’an, disamping berisi masalah kalam
(ketauhidan), kenabian, dan lainnya, juga berisi bantahan dan tantangan
terutama terhadap agama-agama yang ada saat itu, seperti:
1)
Bantahan terhadap orang-orang musyrik, (yang
mentuhankan binatang). Seperti surat al-An’am ayat 76-78.
2)
Bantahan terhadap orang-orang yang mentuhankan
Nabi Isa. Seperti surat al-Maidah ayat 116.
3)
Perintah untuk melaksanakan dakwah dengan
bijaksana dan melakukan bantahan dengan cara yang baik. Seperti surat an-Nahl
ayat 125.
b.
Pada awal Islam, masalah keimanan tidak
dipersoalkan secara mendalam. Tetapi setelah Nabi wafat dan Umat Islam
berhubungan dengan kebudayaan dan peradaban asing, mereka mulai mengenal filsafat.
Mereka menggunakan filsafat untuk memahami memfilsafati ayat-ayat al-Qur’an,
terutama ayat-ayat yang secara lahiriah tampak bertentangan antara satu dengan
lainnya. Hal itu perlu pemecahan, sedang pemecahannya diperlukan ilmu sendiri.
c.
Masalah politik, terutama yang berkaitan dengan
khalifah, yang bermula dari terbunuhnya khalifah Usman yang melahirkan
perdebatan teologis dikalangan umat Islam, yakni pembunuh Usman itu berdosa
atau tidak. Kemudian masalah khilafah, apakah termasuk masalah agama atau hanya
sekedar masalah keduniaan. Pihak Syi’ah memandang bahwa khilafah atau imamah merupakan
bagian tak terpisahkan dari agama.
2.
Sebab-sebab dari luar, maksudnya adalah
sebab-sebab yang datang dari luar Islam. Seperti ajaran agama lain yang dibawa
oleh orang-orang tertentu termasuk umat Islam yang dulunya menganut agama lain.
Disamping itu, umat Islam juga ada yang mempelajari filsafat Yunani dan ilmu
pengetahuan lainnya untuk kepentingan dakwah Islam.[29]
Macam-macam
aliran dintaranya, yaitu:[30]
1)
Khawarij
Khawarij
menurut bahasa merupakan jamak dari kata kharijiy yang berarti
orang-orang yang keluar, mengungsi atau mengasingkan diri. Asy-Syihristani
mendefinisikan bahwa khawarij adalah setiap orang yang keluar dari Imam yang
berhak yang telah disepakati oleh masyarakat. Kelompok khawarij yang pertama
adalah Al-Muhakkimah (Syurah/Haruriyyah) yaitu pengikut Ali
yang memisahkan diri karena tidak setuju dengan adanya perdamaian antara beliau
dengan Muawiyah saat perang Siffin. Mereka menganggap Ali dan orang-orang yang
menyetujui perdamaian tadi adalah orang-orang kafir dan halal darahnya.
Kemudian Khawarij ini terpecah menjadi beberapa aliran, yang paling besar
adalah Al-Azariqah, An-Najdah, Al-Ajaridah, Ash-Shufriyyah, dan
Al-Ibadiyah.
2)
Syi’ah
Syi’ah
menurut bahasa berarti pengikut dan penolong, dan diucapkan untuk sekelompok
mamusia yang bersatu atau berkumpul dalam satu masalah, dan kepada setiap orang
yang menolong seseorang dan berhimpun membentuk suatu kelompok padanya.
Kemudian
kata ini dipergunakan untuk kelompok yang menolong dan membantu khalifah Ali
dan keluarganya, lalu menjadi nama khusus bagi kelompok ini. Menurut
Asy-Syihristaniy, Syi’ah adalah kelompok yang mengikuti khalifah Ali dan
menyatakan kepemimpinannya baik secara nash ataupun wasiat yang adakalanya
secara jelas ataupun samar, dan mereka berkeyakinan bahwa kepemimpinan (Imanah)
tidak keluar dari anak-anaknya, dan jika keluar darinya maka itu terjadi secara
zalim atau sebab taqiyah darinya.
3)
Murji’ah
Murji’ah
berasal dari kata Irja yang berarti menangguhkan.Kaum Murji’ah yang muncul pada
abad 1 H merupakan reaksi akibat adanya pendapat Syi’ah yang mengkafirkan
sahabat yang menurut mereka merampas kekhalifahan dari Ali, dan pendapat
Khawarij yang mengkafirkan kelompok Ali dan Muawiyyah.Pada saat itulah muncul
sekelompok umat Islam yang menjauhkan dari pertikaian, dan tidak mau ikut
mengkafirkan atau menghukum salah satu dan menangguhkan persoalannya sampai
dihadapan Allah SWT.
Pada
asalnya kelompok tersebut tidak membentuk sutu madzhab, dan hanya membenci
soal-soal politik, tetapi kemudian terbentuklah suatu madzhab dalam Ushuluddin
yang membicarakan tentang Iman, tauhid dan lain-lain. Pemimpin dari kaum
Murji’ah adalah Hasan bin Bilal (152 H)
4)
Jabariyah
Jabariyah
berasal dari kata jabr yang artinya paksaan. Aliran ini ditonjolkan pertama
kali oleh Jahm bin Safwan (131 H), sekretaris Harits bin Suraih yang
memberontak pada Bani Umayyah di Khurasan. Meskipun demikian sebelumnya sudah
ada dalam umat Islam yang membicarakan tentang hal ini seperti surat sahabat
Ibnu Abbas dan seorang tabi’in Al-Hasan Al-Bashriy kepada penganut paham ini.
5)
Qodariyah
Qadariyah
berasal dari kata qadr yang artinya mampu atau berkuasa.Pemimpin aliran ini
yang pertama adalah Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Ad-Dimasyqiy.Keduanya dihukum
mati oleh penguasa karena dianggap menganut paham yang salah. Pendapat kaum
Qadariyah adalah manusia sendirilah yang melakukan perbuatannya sendiri dan
Tuhan tidak ada hubungan sama sekali dengan perbuatannya itu.
6)
Mu’tazilah
Mu’tazilah
berasal dari kata I’tazala yang berarti menjauhkan diri.Asal mula kata ini
adalah suatu saat ketika Al-Hasan Al-Bashriy (110 H) sedang mengajar di masjid
Basrah datanglah seorang laki-laki bertanya tentang orang yang berdosa besar.
Maka ketika ia sedang berpikir menjawablah salah satu muridnya Wasil bin Atha’
(131 H) menjawab: “ saya berpendapar bahwa ia bukan mukmin dan bukan kafir,
tetapi mengambil posisi diantara keduanya”. Kemuadian ia menjauhkan diri dari
majlis Al-Hasan dan pergi ketempat lain dan mengulangi pendapatnya. Maka
Al-Hasan menyatakan bahwa Washil telah menjauhkan diri dri mereka.
7)
Ahli Sunnah dan Jama’ah
Kelompok
ini disebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah karena pendapat mereka berpijak pada
pendapat-pendapat para sahabat yang mereka terima dari Rasulullah.Kelompok ini
juga disebut kelompok ahli hadits dan ahli fiqh karena merekalah
pendukung-pendukung dari aliran ini.
Istilah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mulai dikenal pada saat pemerintahan bani Abbasy
dimana kelompok Mu’tazilah berkembang pesat, sehingga nama Ahlus Sunnah dirasa
harus dipakai untuk siapa yang berpegang pada ilmu kalam (theologische
dialektik), logika dan rasio. Ibnu Hajar Al-Haitamiy menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti
rumusan yang digagas oleh Imam Asy’Ariy dan Imam Maturidi.
7.
Apa yang anda ketahui tentang terminology/aliran berikut dan
sebutkan.
a.
Muhammadiyah dan pokok-pokok pemikirannya
Muhammadiyah
didirikan di Yogyakarta pada 18 november 1912 oleh kiai Haji Ahmad dahlan.
Berbeda dari kebanyakan organisasi yang didirikan pada masa yang sama,
muhammadiyah didirikan oleh seorang pendiri saja, yaitu Kiai Haji Ahmad Dahlan.[31]
Adapun faktor-faktor yang
menjadi pendorong lahirnya Muhammadiyah ialah antara lain:
1)
Umat
Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga
menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat
Islam tidak merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula
agama Islam tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi;
2)
Ketiadaan
persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah
Islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat;
3)
Kegagalan
dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader
Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman;
4)
Umat
Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta
berpikir secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan
tradisionalisme;
5)
kegiatan
misi dan zending Kristen di Indonesia yang semakin menanamkan pengaruhnya di
kalangan rakyat,[32]
Tujuan dari organisasi Muhammadiyah
kemudian dirumuskan sebagai berikut :
1)
Membersihkan
Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam dengan
Mengembalikan dasar kepercayaan umat pada tuntunan Al-Quran dan Hadits
2)
Reformulasi
doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern;
3)
Reformulasi
ajaran dan pendidikan Islam
4)
Mempertahankan
Islam dari pengaruh dan serangan luar
5)
Mengamalkan
ajaran-ajaran islam dalam amal perbuatan yang berguna bagi masyarakat
6)
Membebaskan
manusia dari ikatan-ikatan tradisionalisme, konservatisme, taqlidisme, dan
formalism yag membelenggu hidup dan kehidupan masyarakat islam sebenarnya
Pemikiran Muhammadiyah
Aqidah
Dari
berbagai penelitian tentang K.H.A. Dahlan hampir semuanya sepakat bahwa
pemikirannya tidak dapat dipisahkan dari ide-ide pembaharuan, seperti Ibnu
Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani,
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang menolak ajaran-ajaran yang tidak ada
sunnahnya dari rasulullah (bid’ah), hal-hal yang berbau tahayul dan kurafat.[34]
Selain
itu, salah satu doktrin lain yang amat melekat di muhamadiyah adalah tentang
Amar ma’ruf nahi munkar. Amar ma’ruf nahi munkar merupakan ungkapan terpenting
dalam lingkungan muhammadiyah.Awalnya gagasan ini hanya seputar masalah agama,
namun berkembang luas ke berbagai permasalahan umat seperti politik,
pendidikan, sosial, budaya dan lainnya.[35] Dalam
upaya mencegah dari kemungkaran, yang paling tampak adalah upaya mencegah
kemungkaran dalam bentuk TBC (tahayul, bid’ah dan churafat).[36]
Fiqh Ibadah
Karena
muhammadiyah menganut paham purifikasi (pemurnian), maka dalam kegiatan
beribadah pun muhammadiyah meninggalkan segala bentuk amal ibadah yang tidak
ada tuntunannya dari Rasulullah serta tidak sesuai dengan pamahaman salaf,
seperti Niat shalat yang dilafazkan, adzan dua kali pada shalat Jumat,
mewajibkan Qunut Subuh, Witir, dan Nazilah, Shalat Tarawih 23 rakaat, Dzikir
dengan suara keras, Penentuan awal ramadhan dan 1 syawal, Tawasul, Tahlil, dan
makruhnya hukum Rokok.[37]
Berikut sikap muhammadiyah
terhadap hal tersebut :[38]
a.
Niat
Shalat: Muhammadiyah berpendapat bahwa niat shalat itu di hati, tidak perlu
diucapkan.
b.
Shalat
Jum‘at: shalat Jum‘at biasanya diadakan dengan satu kali adzan dan tanpa
Ma‘ashiral
c.
Qunut
Subuh, Witir, dan Nazilah: Muhammadiyah berpendapat qunut Subuh bukan merupakan
sesuatu yang disunnahkan atau yang diwajibkan. Muhammadiyah berpendapat bahwa
Qunut Subuh dan Witir bukan suatu amalan sunnah.
d.
Shalat
Tarawih: mengenai Shalat Tarawih Muhammadiyah berpendapat dikerjakan 8 Raka‘at
di tambah Witir 3 Raka‘at
e.
Dzikir
dengan Suara Keras: dzikir ba‘da shalat menurut muhammadiyah dilakukan
sendiri-sendiri dan dengan suara rendah
f.
Penentuan
awal Ramadhan dan 1 Syawal: muhammadiyah menggunakan metode hisab (perhitungan
tanggal melalui ilmu astronomi)
g.
Tawassul:
Muhammadiyah menganggap bahwa berdoa melalui perantara atau dengan ber-tawassul
adalah tidak boleh hukumnya
h.
Tahlilan:
Muhammadiyah tidak membolehkannya, disebabkan ada unsur-unsur bid‘ah di dalamnya.
Esensi pokok tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai perbuatan bid'ah bukan
terletak pada membaca kalimat la ilaha illallah, melainkan pada hal pokok yang
menyertai tahlil, yaitu; Mengirimkan bacaan ayat-ayat al-Qur'an kepada jenazah
atau hadiah pahala kepada orang yang meninggal,Bacaan tahlil yang memakai pola
tertentu dan dikaitkan dengan peristiwa tertentu.[39]
b.
Nahdhatul Ulama dan pokok-pokok pemikirannya
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan
organisasi sosial keagamaan yang berhaluan Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah,[40] sebagai wadah pengemban dan
mengamalkan ajaran Islam Ala Ahadi al-Mazhabi al-Arba’ah dalam rangka
mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.[41] Dengan kata lain sebagai salah satu
ormas tertua, NU merupakan satu-satunya organisasi masa yang secara keseluruhan
bahwa Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah sebagai mazhabnya.[42]
Sehingga, ketika NU berpegang pada
mazhab, berarti mengambil produk hukum Islam (fiqh) dari empat Imam Mazhab,
yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali.[43]
Dalam kenyataan NU lebih condong
pada pendapat Imam asy-Syafi’i, oleh karenanya NU sering “dicap” sebagai
penganut fanatik mazhab Syafi’i. Hal ini dapat dilihat dari cara NU mengambil
sebuah rujukan dalam menyelesaikan kasus-kasus atau permasalahan-permasalahan
yang muncul. Alasan yang sering dilontarkan adalah umat Islam Indonesia
manyoritas bermazhab Syafi’i.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai
Jam’iyah Diniyah Islamiyah yang bertujuan membagun atau mengembangkan insan dan
masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT senantiasa berpegang teguh pada
kaidah-kaidah keagamaan (ajaran Islam) dan kaidah-kaidah fiqh lainnya dalam
merumuskan pendapat, sikap dan langkah guna memajukan jam’iyah tersebut. Dalam
bidang keagamaan dan kemasyarakatan alam pikiran (pokok ajaran) Nahdlatul
Ulama (NU) secara ringkas dapat dibagi menjadi tiga bidang ajaran
yaitu; bidang aqidah, fiqh, dan tasawuf.[44]
Dalam bidang aqidah yang dianut oleh
NU sejak didirikan pada 1926 adalah Islam atas dasar Ahlu as-Sunnah Wa
al-Jama’ah. Faham ini menjadi landasan utama bagi NU dalam menentukan segala
langkah dan kebijakannya, baik sebagai organisasi keagamaan murni, maupun
sebagai organisasi kemasyarakatan. Hal ini ditegaskan dalam Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)., bahwa NU mengikuti Ahlu as-Sunnah Wa
al-Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan (mazhab). Adapun faham Ahlu
as-Sunnah Wa al-Jama’ah yang dianut NU adalah faham yang dipelopori oleh
Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.[45]
Keduanya dikenal memiliki keahlian
dan keteguhan dalam mempertahankan i’tiqad (keimanan) Ahlu as-Sunnah Wa
al-Jama’ah seperti yang telah disyaratkan oleh Nabi SAW dan para sahabatnya.
Jadi dalam melaksanakan ajaran Islam, bila dikaitkan dengan masalah-masalah
aqidah harus memilih salah satu di antara dua yaitu al-Asy’ari dan al-Maturidi.
Sementara dalam bidang fiqh
ditegaskan bahwa: Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah
beraqidah Islam menurut faham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah dan mengikuti faham
salah satu mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Namun dalam
prakteknya para Kyai adalah penganut kuat dari pada mazhab Syafi’i.[46]
Jadi dengan demikian NU memegang
produk hukum Islam (fiqh) dari salah satu empat mazhab tersebutartinya bahwa
dalam rangka mengamalkan ajaran Islam, NU menganut dan mengikuti bahkan
mengamalkan produk hukum Islam (fiqh) dari salah satu empat mazhab empat
sebagai konsekuensi dari menganut faham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Walaupun
demikian tidak berarti terus Nahdlatul Ulama tidak lagi menganut ajaran yang
diterapkan Rasulullah SAW.sebab keempat mazhab tersebut dalam mempraktekkan
ajaran Islam juga mengambil landasan dari Al-Qur’an dan as-Sunnah di samping
Ijma’ dan Qiyas sebagai sumber pokok penetapan hukum Islam.[47]
Sikap kemasyarakatan NU bercirikan
pada sifat: tawasut dan i’tidal, tasamuh, tawazun dan amar ma’ruf nahi munkar.[48] Sikap ini harus dimiliki baik oleh
aktifis Nahdlatul Ulama maupun segenap warga dalam berorganisasi dan
bermasyarakat:
1.
Sikap
Tawasut dan I’tidal.
Tawasut artinya tengah, sedangkan
I’tidal artinya tegak.Sikap tawasuth dan i’tidal maksudnya adalah sikap tengah
yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku
adil dan lurus ditengah-tengah kehidupan bersama.[49] Dengan sikap dasar ini, maka NU akan
selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu
bersikap membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat
tatarruf (ekstrim).
2.
Sikap
Tasamuh.
Maksudnya adalah Nahdlatul Ulama
bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan
teruma hal-hal yang bersifat furu’ atau yang menjadi masalah khilafiyah maupun
dalam masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan kebudayaan.
3.
Sikap
Tawazun.
Yaitu sikap seimbang dalam
berkhidmad.Menyesuaikan berkhidmad kepada Allah SWT, khidmat sesama manusia
serta kepada lingkungan sekitarnya. Menserasikan kepentingan masa lalu, masa
kini dan masa yang akan datang.
4.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Segenap warga Nahdlatul Ulama
diharapkan mempunyai kepekaan untuk mendorong berbuat baik dan bermanfaat bagi
kehidupan bermasyarakat, serta mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan
merendahakan nilai-nilai kehidupan manusia.
Dengan adanya beberapa aspek tersebut di atas, diharapkan agar kehidupan
umat Islam pada umumnya dan warga Nahdlatul Ulama pada khususnya, akan
dapat terpelihara secara baik dan terjalin secara harmonis baik dalam
lingkungan organisasi maupun dalam segenap elemen masyarakat yang ada. Demikian
pula perilaku warga Nahdlatul Ulama agar senantiasa terbentuk atas dasar faham
keagamaan dan sikap kemasyarakatan, sebagai sarana untuk mencapai cita-cita dan
tujuan yang baik bagi agama maupun masyarakat.
c.
Aliran Jabariyah, tokoh-tokoh dan pokok-pokok pemikirannya
Kata Jabariyah berasal
dari katajabara yang
berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa namajabariyah berasal
dari katajabara yang
mengandung arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu.[50]Selanjutnya,
kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik
menjadi jabariyah (dengan
menambah ya nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme).Lebih lanjut Asy-Syahratsan menegaskan bahwa
paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan
manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah.[51])Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya
dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa Inggris Jabariyah disebut dalam fatalism atau predestination, yaitu faham yang menyebutkan bahwa
perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.[52]
Mengenai kemunculan faham al-jabar ini, para ahli sejarah pemikiran
mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab.Diantara ahli yang
dimaksud adalah Ahmad Amin.Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang
dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara
hidup mereka.[53]Ketergantungan
mereka kepada alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri
terhadap alam.
Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa
dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah
keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri.Mereka merasa
lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup.Akhirnya, mereka banyak
bergantung pada kehendak alam.Hal ini membawa mereka kepada sikap fatalism.[54]
Faham Jabariyah secara
nyata menjadi aliran yang disebarkan kepada orang lain pada masa pemerintahan
bani Umayah. Dan yang dianggap sebagai pendiri utama adalah Al-Ja’d bin Dirham.
Diperoleh berita bahwa pemahaman Ja’ad didapat dari Banan bin Sam’an dari Talut
bin Ukhtu Lubaid bin A’sam tukang sihir dan memusuhi Nabi SAW.[55]Ja’d
semula tinggal di Damsyik, tetapi karena pendapatnya bahwa Al-Qur’an itu
makhluk, maka ia selalu dikejar-kejar oleh penguasa bani Umayah, karena itu ia
lari ke Kufah dan ia bertemu dengan Jaham bin Sofwan.
Kemudian faham ini disebarkan dengan
gigih oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan yang merupakan murid
Ja’d bin Dirham. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang
mendirikan aliran Jahmiyah dalam
kalangan Murji’ah.Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan
selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayah.Dalamperlawanan
itu Jahm sendiri dapat ditangkap dan kemudian dihukum bunuh di tahun 131 H.[56]
Namun, dalam perkembangannya, faham al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya
diantaranya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar.
Menurut Asy-Syahratsani, Jabariyah dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat.[57] Di
antara doktrin Jabariyah ekstrim adalah
pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang
timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas
dirinya.Di antara pemuka Jabariyah ekstrimadalah berikut ini :
a)
Jahm bin
Shofwan
Sebagai seorang penganut dan penyebar faham Jabariyah, banyak
usaha yang dilakukan Jahm yang tersebar ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidz
dan Balk. Pendapatnya yang berkaitan dengan Teologi adalah :
1) Manusia
tidak mampu untuk berbuat apa-apa.
2) Surga
dan neraka tidak kekal.
3) Iman
adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati.
4) Kalam
Tuhan adalah makhluk.
5) Akal
sebagai ukuran baik dan buruk.
b)
Ja’d bin
Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim,
tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang
senang membicarakan teologi. Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran
Jahm. Al-Ghuraby menjelaskannya sebagai berikut :[58]
1)
Al-Qur’an itu adalah makhluk.
2)
Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan
makhluk.
3)
Manusia terpaksa oleh Allah dalam
segala-galanya.
Berbeda dengan Jabariyah ekstrim.Jabariyah moderat mengatakan
bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan yang jahat
maupun perbuatan yang baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya.Tenaga
yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatannya.Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisitin).[59]Menurut faham kasab, manusia tidaklah
majbur (dipaksa oleh
Tuhan).Yang termasuk tokoh Jabariyah moderat adalah
berikut ini :
a)
An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad
An-Najjar (meninggal 210 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Di
antara pendapat-pendapatnya adalah :
1) Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau
peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.
2) Tuhan
tidak dapat dilihat di akhirat.
b)
Adh-Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Di
antara pendapat-pendapatnya adalah :
1) Pendapatnya
tentang perbuatan manusia sama dengan Husain bin Muhammad An-Najjar, yakni
manusia mempunyai bagian dalam perwujudan dari perbuatannya dan tidak
semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya.
2) Mengenai
ma’rifat Tuhan di akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di
akhirat melalui indera keenam.
3) Hujjah
yang dapat diterima setelah nabi adalah Ijtihad. Hadits ahad tidak dapat
dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.[60]
d.
Aliran Qadariyah, tokoh-tokoh dan pokok-pokok pemikirannya
Qadariyah berasal
dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang
artinya kemampuan dan kekuatan.[61]
Adapun menurut pengertian terminology Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala
tindakan manusia tidak di intervesi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa
tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; Ia dapat berbuat
sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.Berdasarkan pengertian
tersebut, dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang
memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.
Latar belakang timbulnya Qadariyah ini sebagai isyarat menentang kebijaksanaan
politik Bani Umayyah yang dianggapnya kejam.Tak dapat diketahui dengan pasti
kapan faham ini timbul dalam sejarah perkembangan teologi Islam.Tetapi menurut
keterangan ahli-ahli teologi Islam, faham Qadariyahpertama kali dikenalkan oleh Ma’bad Al-Juhani
dan temannya Ghailan Al-Dimasyqi.Keduanya memperoleh pahamnya dari orang
Kristen yang masuk Islam di Irak.Sedangkan menurut Ali Sami’ bahwa Ma’bad
Al-Juhani sebagian besar hidupnya tinggal di Madinah, kemudian menjelang akhir
hayatnya baru pindah ke Basrah.Dia adalah murid Abu Dzar Al-Ghiffari,
musuh Utsman dan Bani Umayyah.Sementara Ghailan Al-Dimasyqi adalah seorang
Murji’ah yang pernah berguru kepada Hasan ibn Muhammad ibn Hanafiyah.[62]
Ma’bad Al-Juhani adalah seorang Tabi’i yang
baik.Tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abd Al-Rahman Ibn
Al-Asy’ari, Gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah.Dalam
pertempuran dengan Al-Hajjaj, Ma’bad mati terbunuh dalam tahun 80 H.
Perbuatan
manusia diciptakan atas kehendaknya sendiri, oleh karena itu ia bertanggung
jawab atas segala perbuatannya. Tuhan samasekali tidak ikut berperan serta
dalam perbuatan manusia, bahkan Tuhan tidak tahu sebelumnya apa yang akan
dilakukan oleh manusia kecuali setelah perbuatan itu dilakukan, barulah Tuhan
mengetahuinya.
b)
Ajaran
Ghailan Al-Dimasyqi
1)
Manusia menentukan perbuatannya dengan
kemauannya dan mampu berbuat baik dan buruk tanpa campur tangan Tuhan. Iman
ialah mengetahui dan mengakui Allah dan Rasul-Nya, sedangkan amal perbuatan
tidak mempengaruhi iman.
2)
Al-Qur’an itu makhluk.
3)
Allah tidak memiliki sifat.
4)
Iman adalah hak semua orang, bukan dominasi
Quraisy, asal cakap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.[63]
c)
Ajaran
An-Nazzam
Manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan
tindakan tanpa campur tangan Tuhan.
e.
Aliran Khawarij, tokoh-tokoh dan pokok-pokok pemikirannya
Khawarij adalah aliran dalam teologi
Islam yang pertama kali muncul.Secara etimologis, kata khawarij berasal dari
bahasa Arab yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul
atau memberontak. Menurut Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastani, bahwa yang disebut
Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah
disepakati jama’ah, baik ia keluar pada masa sahabat Khulafaur Rasyidin atau
pada masa tabi’in secara baik-baik.[64] Berdasarkan pengertian etimologi ini
pula, Khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat
Islam.[65]
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminologi
ilmu kalam adalah suatu sekte atau kelompok atau aliran pengikut Ali bin Abi
Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap
keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim) dalam perang Siffin pada
tahun 37H/648M, dengan kelompok bughat(pemberontak)
Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah.[66]
Kelompok yang tidak menerima tahkim
dan keluar dari kelompok Ali dikarenakan mereka menganggap bahwa orang yang
mau berdamai ketika pertempuran adalah orang yang ragu akan pendiriannya, dalam
kebenaran peperangan yang ditegakkan. Hukum Allah sudah nyata, kata
mereka.Siapa yang melawan khalifah yang sah harus diperangi. Mereka juga tidak
menyukai berhukum kepada Al Qur’an seperti yang diserukan Muawiyah, karena
mereka berpaham :
1.
Berhukum
kepada Qur’an itu hanya ucapan bibir saja, sedang hakikatnya akan berhukum pada
“delegasi” yang berunding.
2.
Menerima
penghentian tembak-menembak itu berarti ragu atas kebenaran pendirian.
3.
Orang
yang ragu-ragu tidak berhak menjadi imam, kata mereka.
Kaum ini akhirnya membenci Sayyidina
‘Ali karena dianggapnya lemah dalam menegakkan kebenaran, sebagaimana mereka
membenci Muawiyah yang melawan Khalifah yang sah.Inilah asal usul kaum
Khawarij.[67]
Diantara Doktrin-doktrin dari segi
teologi yang dikembangkan oleh khawarij:
a.
Seorang
yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus di bunuh. Yang
sangat anarkis ( kacau ) lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat
menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah di anggap
kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapakan pula.
b.
Setiap
muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau
bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam darul harb (negara musuh) ,
sedang golongan mereka sendiri di anggap darul islam (negara islam).
c.
Seseorang
harus menghindari pimpinan yang menyeleweng.
d.
Adanya
wa’ad dan wa’id ( orang yang baik harus masuk surga sedangkan orang yang jahat
masuk ke dalam neraka).
8.
Apa yang anda ketahui tentang tokoh pemikir berikut ini dan
sebutkan beberapa pokok pemikirannya
a.
K.H.
Ahmad Dahlan
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di
Yogyakarta, 1 Agustus 1868, Nama kecil KH.Ahmad Dahlan adalah
Muhammad Darwisy.Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang
keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya.
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji
dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai
berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad
Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke
kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pemikiran KH. Ahmad Dahlan
- Dalam bidang Akidah, pandangan KH Ahmad
Dahlan sejalan dengan pandangan dan pemikiran ulama salaf.
- Menurut perspektif KH Ahmad Dahlan, bahwa
beraga adalah beramal. Artinya, bahwa beragama itu berkarya dan berbuat
sesuatu: melakukan tindakan sesuai dengan isi pedoman al-Qur'an dan
Sunnah. Dalam pengertian ini, orang yang beragama adalah orang yang
menghadapkan jiwa dan hidupnya hanya dengan kepada Allah Swt., yang
dibuktikan dengan tindakan dan perbuatan, seperti rela berkorban, baik
dengan harta benda miliknya atau dengan ilmunya, dan bekerja dalam
berbagai segi kehidupan hanya karena dan untuk Allah semata.
- Dasar pokok (sumber pokok) hukum Islam
menurut KH Ahmad Dahlan adalah al-Qur'an dan Sunnah. Jika dari keduanya
tidak diketemukan kaidah hukum yang eksplisit, maka ditentukan berdasarkan
kepada penalaran dengan mempergunakan kemampuan berpikir logis (akal
pikiran) serta ijma' dan qiyas.
- Dalam pandangan KH Ahmad Dahlan terdapat 5
jalan untuk memahami al- Qur'an, yaitu: mengerti artinya, memahami
maksudnya (tafsir), selalu bertanya pada diri sendiri, apakah larangan
agama yang telah diketahui telah ditinggalkan dan apakah perintah agama
yang dipelajari sudah dikerjakan atau belum, tidak mencari ayat lain
sebelum isi ayat sebelumnya dikerjakan.
- KH Ahmad Dahlan menyatakan bahwa tindakan
nyata adalah wujud konkrit dari hasil penerjemahan al-Qur'an dan
organisasi adalah wadah tindakan nyata tersebut. Untuk memperoleh
pemahaman demikian, orang Islam harus selalu memperluas dan mempertajam
kemampuan akal pikiran dengan ilmu logika atau ilmu mantik (mantiq)
- Sesuai dengan dasar pemikiran bahwa sesorang
itu perlu suka dan bergembira, maka orang tersebut harus yakin bahwa mati
adalah bahaya, akan tetapi lupa kematian merupakan bahaya yang jauh lebih
besar dari kematian itu sendiri. Disamping itu, kyai menyatakan
selanjutnya, bahwa harus ditanamkan dalam hati seseorang ghirah dan
gerak hati untuk maju dengan landasan moral dan ikhlas dalam beramal.
- Kunci persoalan kehidupan adalah
peningkatan kualitas hidup dan kemajuan yang sedang berkembang dalam tata
kehidupan masyarakat ( dalam kaitannya dengan pandangan ini kyai
menyampaikan pesan kepada umat untuk menjadi insinyur, guru, master dan
untuk kembali berjuang dalam Muhammdiyah)
- Pembinaan generasi muda (kader) dilakukan
kyai dengan jalan interaksi langsung. Untuk melaksanakan teorinya
tersebut, kyai mendirikan kepanduan yang selanjutnya diberi nama
Hisbul-Wathan(HW)
- Strategi menghadapi perubahan sosial
akibat modernisasi adalah merujuk kepada al-Qur'an, menghilangkan sikap
fatalisme, dan sikap taqlid. Strategi tersebut dilaksanakan dengan
menghidupkan kiwa dan semangat ijtihad melalui peningkatan kemampuan
berpikir logis-rasional dan mengkaji realitas sosial.
b.
Mohd. Natsir
Muhammad
Natsir lahir di jembatan berukir, Alahan Panjang. Kabupaten Solok, Sumatera
Barat, pada hari Jum’at 17 Juli 1908.
Ibunya bernama Khadijah, sedangkan ayahnya bernama Muhammad Idris Sutan
Saripado, seorang pegawai rendah yang pernah menjadi juru tulis pada kantor
kontroler di Maninjau. Ia memiliki tiga saudara kandung bernama
Yukinah, Rubiah, dan Yohanusun. Ketika menamatkan pendidikan HIS di Padang, ia
melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi yaitu MULO (Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs) dengan mendapatkan beasiswa dari Belanda.[68]
Ide
Pemikiran Muhammad Natsir
a)
Pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk
memimpin dan membimbing agar manusia yang dikenakan sasaran pendidikan tersebut
dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna.
b)
Pendidikan harus diarahkan untuk menjadikan
anak didik yang memiliki sifat kemanusian dan mencapai akhlakul karimah yang
sempurna.
c)
Sarana harus berperan sebagai sarana untuk
menghasilkan manusia yang jujur dan benar
d)
Pendidikan agar berperan bahwa manusia dapat
mencapai tujuan hidupnya yaitu menjadi hamba Allah SWT.
e)
Pendidikan harus menjadikan manusia yang dalam
segala perilaku harus berinteraksi vertical dan horizontalnya selalu
menjadi rahmat bagi seluruh alam
f)
Pendidikan harus benar- benar mendorog sifat
kesempurnaan.[69]
Menurut
M. Natsir tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah merealisasikan idealitas Islam
yang pada intinya adalah menghasilkan manusia yang berperilaku islami, yaitu
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak
yang harus ditaati. Ketaatan kepada Allah mengandung makna menyerahkan diri
kepada Allah dan menjadikan manusia menghambakan diri hanya kepada- Nya.[70]
c.
Abu Daud Beureueh
Tidak
ada catatan yang pasti dimana dengan Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh lahir.
Mungkin zaman dulu belum ada untuk mencatat tanggal lahir dan belum ada akte kelahiran
layaknya zaman kita ini. Namun dalam Wikipedia disebutkan bahwa Daud Beureu-eh
lahir pada tanggal 17 September 1899.[71]
M.
Nur El Ibrahimy mengisahkan bahwa Daud Beureu-eh menempuh pendidikannya di
pesantren. Pertama sekali beliau belajar di Pesantren Titeu yang dipimpin oleh
Tgk. Muhammad Hamid selama enam bulan. Kemudian beliau belajar di Pesantren Iie
Leumbeu dibawah pimpinan Tgk. Ahmad Harun. Setelah menyelesaikan pendidikannya
selama 4,5 tahun di pesantren tersebut, beliau sudah mantap pengetahuannya dan
menjadi ulama.[72]
Daud
Beureu-eh tidak meninggalkan karya tulis yang memuat pokok-pokok pikirannya,
baik tentang agama maupun politik.Tgk Daud Beureu-eh terkenal sebagai singa
podium yang sering menyampaikan pikiran-pikirannya secara lisan. Dengan
demikian pemikiran-pemikiran beliau hanya terekam dalam memori para
pendengarnya dan sulit untuk dilacak.
Namun
Tgk. Daud Beure-eh adalah sosok ulama yang terpengaruh dengan
pemikiran-pemikiran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dari Saudi Arabiya dan juga
pemikiran Jamaluddin Al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh dari Mesir dan juga
ulama-ulama lain yang semisal mereka.
Gerakan
revolusioner yang dilakukan oleh Abu Beureu-eh dan kebenciannya kepada
kolonialisme hampir menyerupai dengan gaya-gaya Jamaluddin Al-Afghani. Sedangkan
dalam hal pendidikan modern, Daud Beureu-eh nampaknya terpengaruh dengan
pemikiran Abduh dari Mesir. Dalam hal ketauhidan, saya punya asumsi bahwa
keyakinan Abu Daud Beureu-eh hampir menyerupai dan bahkan seirama dengan
Muhammad bin Abdul Wahab yang sangat anti kepada syirik, bid’ah, khurafat dan
takhayul.
Tungku Muhammad Daud Beureueh
merupakan seorang ulama besar, seorang pemimpin rakyat, mantan Gubernur Militer
Aceh mempunyai keinginan untuk membentuk Negara Islam Aceh. Perjuangan beliau
mempertahankan Republik ini dengan maksud mengislamkan seluruh pelosok Negera
Indonesia khususnya Aceh. Namun dalam perjalanannya hal itu gagal dicapai
dikarenakan Indonesia menganut ideologi nasionalisme. Bahwa Konsep Negara Islam
Aceh dalam perspektif pemikiran politik Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah
Islam sebagai dasar Negara dan Syariat Islam sebagaimana yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT dan dijalankan oleh Rasulullah SAW.
Faktor yang menyebabkan kegagalan
dalam mengimplementasikan konsep Negara Islam Aceh adalah propaganda yang
dilakukan oleh pihak pemerintah pusat, perpecahan dalam kubu DI/TII, tidak
adanya dukungan dari pemerintah pusat. Yang bahwa Negara Islam Aceh adalah
cita-cita dari pemikiran Teungku Muhammad Daud Beureueh karena Islam tidak
dapat dipisahkan dengan Aceh karena Islam pula Aceh akan menjadi wilayah yang
subur, makmur aman dan sejahtera.
Tujuan
utama pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Abu Beureu-eh di Aceh pada 21
September 1953 adalah untuk membentuk Negara Islam. Dalam maklumat
pemberontakan tersebut dinyatakan bahwa mereka akan melenyapkan kekuasaan
Pancasila di Aceh dan menggantinya dengan Pemerintah Negara Islam.[73]
Abu
Beureu-eh juga menyatakan bahwa pemberontakan yang dilakukannya terhadap
Pemerintah Indonesia merupakan ekses dari tidak terealisasinya janji
Soekarno.Menurut Abu Beureu-eh Soekarno adalah orang yang paling bertanggung
jawab atas pemberontakan tersebut.Abu Beureu-eh juga berprinsip bahwa siapa
saja yang tidak menjalankan hukum Allah, maka di adalah kafir.[74]
A.
H. Geulanggang dalam bukunya menyimpulkan bahwa pemberontakan yang dilakukan
oleh Abu Beureue-eh adalah murni untuk menegakkan Syari’at Islam di Aceh dan
bukan karena beliau digeser dari kursi pemerintahan sebagaimana dituding
oleh sebagian pihak yang anti kepada perjuangan Abu Beureu-eh.[75]
d.
K.H. Abdurrahman Wahid
Abdurrahman
Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur merupakan anak seorang tokoh besar
umat Islam, khususnya NU. Ayahnya, KH Wahid Hasyim, anak pendiri Nahdlatul
Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia, bernama Hasyim Asy'ari.
Tidak
jelas kapan tepatnya tanggal kelahiran beliau, karena walaupun dia selalu
berulang tahun pada tanggal 4 Agustus, sebenarnya itu bukanlah hari kelahiran
beliau yang sesungguhnya, Gus Dur memang dilahirkan pada hari keempat bulan
kedelapan, akan tetapi perlu diketahui bahwa tanggal itu adalah menurut
kalender Islam yakni tanggal 4 Sya’ban 1940 yang jika ditelusuri maka tanggal
itu sebenarnya adalah 7 september[76].
Dilahirkan di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa Timur, dengan nama asli Abdurrahman
ad-Dakhil, nama yang diberikan oleh ayahnya yang diambil dari nama salah
seorang pahlawan dari dinasti Umayyah[77].
K.H.
Abdurrahman Wahid
memiliki sebuah pemikiran
yang sangat
bagus dalam
hal tasamuh (toleransi) antar
umat manusia. Toleransi antar
umat manusia ini yang akan mampu menciptakan kedamaian dunia,
memangkas
sekat-sekat pemisah
untuk saling berinteraksi dengan
damai. Tiga pilar pemikiran gusdur : (1)
keyakinan bahwa Islam harus secara katif dan subtansif ditafsirkan ulang atau
dirumuskan ulang agar tanggap terhadap tuntunan kehidupan modern, (2) keyakinan
bahwa, dalam kontek Indonesia Islam tidak boleh menjadi agama Negara, dan (3)
Islam harus menjadi kekuatan yang inklusif, demokratis dan pluralis, bukan
ideologi Negara yang ekskusif.[78]
Gus Dur adalah intelektual bebas dari tradisi akademik
pesantren sehingga tulisan-tulisannya cenderung
bersifat reflektif, membumi, terkait dengan dunia penghayatan realitas.Dengan
adanya tulisan-tulisannya menjadi bukti bahwa gerakan atau aksi Gus Dur tidak
hampir teori atau tanpa visi, yang sewaktu-waktu bisa terjerumus pada
fragmatisme politik.
Jika dilihat dari segi kultural Gus Dur melintasi tiga
cultural :
1.
Kultural dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh
dengan etika yang serba formal.
2.
Budaya Timur Tengah yang terbuka dan keras.
Abdurahman
Wahid yakin bahwa Islam bermula sebagai suatu reformasi dinamis yang
mengangungkan status manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi yang
bertanggungjawab untuk menyaksikan, menyebarkan dan menerapkan cara hidup yang
dibenarkan Tuhan.[80]
Abdurrahman Wahid pernah mengatakan
megenai toleransi dan dialog antar agama atau antar iman dalam pemikirannya
mengenai pluralisme. Apabila berfikir positif tentang pluralisme. Otomatis di
dalamnya sudah ada unsur-unsur yang menunjukkan sikap toleran terhadap
keberbedaan.[81]
Setidaknya
ada lima gagasan besar pemikiran yang diperjuangkan Abdurrahman Wahid sepanjang
hidupnya melalui berbagai aktivitas sosial, politik dan keagamaannya.
Pertama, dalam
keyakinan Abdurrahman Wahid sesuai dengan khazanah keilmuan NU, syariat Islam
diturunkan kepada manusia tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk melindungi
kepentingan dasar manusia itu sendiri, mewujudkan kedamaian, kemaslahatan dan
kemajuan di antara mereka. Untuk tujuan itu, para ulama di masa lampau
merumuskan sebuah konsep yang dienal dengan maqashid as-syari’ah atau
tujuan-tujuan syariat.
Kedua, Abdurrahman
Wahid adalah tokoh agama yang sangat anti-kekerasan. Baginya, kekerasan bukan
hanya bertentangan secara diametral dengan ajaran Islam, tetai juga merugikan
Islam itu sendiri. Dalam konteks inilah, Abdurrahman Wahid selalu mengedepankan
dialog, baik antar-umat seagama maupun antar-agama.
Ketiga, demokrasi
adalah bagian dari manifestasi tujuan syariat dalam kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa.Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, dalam dunia modern demokrasilah
yang dapat mempersatukan beragam arah kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa.
Keempat, Abdurrahman
Wahid adalah penjaga tradisi, dimana menurut pandangannya, agama dan budaya
bersifat saling melengkapi.Agama bersumber dari wahyu dan memiliki norma-norma
sendiri. Norma-norma agama bersifat normatif, karenanya ia cenderung menjadi
permanen. Sedangkan budaya adalah kreativitas manusia, karenanya ia berkembang
sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung untukk selalu berubah. Perbedaan
ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk
udaya.
Kelima, menurut
Abdurrahman Wahid, Islam akan lebih efektif dan membumi jika berfungsi sebagai
etika sosial. Hukum agama, kata beliau, tidak akan kehilangan kebesarannya
dengan berfungsi sebagai etika masyarakat. Bahkan kebesarannya akan memancar,
karena ia mampu mengembangkan diri tanpa dukungan massif dari institusi negara.[82]
e.
Nurchalis Madjid
Nurcholish
Madjid dilahirkan pada tanggal 17 Maret 1939 M dan bertepatan 26 Muharram 1358,
di Jombang, sebuah kota Kabupaten di Jawa Timur. Nurcholish Madjid dibesarkan
dalam kultur pesantren. Ayahnya bernama H. Abdul Madjid, adalah seorang alim
dari pesantren Tebu Ireng, dan masih memiliki pertalian kerabat dengan K.H.
Hasyim Asy’ari pemimpin pesantren Tebu Ireng Jombang dan tokoh pendiri NU, dan
juga Ra’is Akbar NU kakek Abdur Rahman Wahid. Ibu Nurcholish Madjid adalah
murid K.H Hasyim Asy’ari dan anak seorang aktivis Sarekat Dagang Islam (SDI) di
Kediri. Pada masa itu SDI banyak dipegang oleh kalangan kyai dari NU. Dengan
demikian Nurcholish Madjid memang berasal dari kultur NU. Ketika NU bergabung
dengan Masyumi tahun 1985, ayah Nurcholish Madjid masuk dalam kalangan Masyumi.
Dan ketika pada saat NU keluar dari Masyumi 1952, ayah Nurcholish Madjid tidak
kembali ke NU dan tetap bertahan pada Masyumi, karena berpegang pada semacam
fatwa K.H. Hasyim Asy’ari bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai Islam di
Indonesia yang sah.[83]
Pendidikan
dasar Nurcholish Madjid ditempuh di dua sekolah tingkat dasar, yaitu,
al-Wathaniyah yang dikelola oleh orang tuanya sendiri, dan di Sekolah Rakyat
(SR) di Mojoanyar, Jombang. Pada kota yang sama Nurcholish Madjid melanjutkan
Pendidikan Menengah Pertama (SMP). Dengan demikian, sejak dari pendidikan
dasar, beliau sudah menganut dua corak pendidikan. Pertama, pendidikan dasar
dengan modal pesantren, yang berorientasi pada corak “kearaban” dengan
menjadikan kitrab-kitab kuning sebagai referensi pokok dan lebih menonjolkan
metode tradisional. Kedua, pendidikan dengan pola umum, yang lebih berorientasi
pada metode pendidikan modern. Sejak pada pendidikan dasar inilah Nurcholish
Madjid sudah memperlihatkan kecerdasannya, hal ini ditandai dengan berbagai
penghargaan yang diterimanya karena prestasinya.[84]
Pemikiran
Nurcholis
Madjid
Kemunculan
neo-modernisme yang dikembangkan Nurcholish Madjid dilatar belakangi oleh
sejarah perkembangan umat Islam itu sendiri. Di satu pihak, Nurcholis Madjid
melihat modernisme Islam yang lahir di awal abad XX, gagal mempertahankan
kesegaran pemikiran-pemikiran “pembaharuannya”, ketika gerakan ini menjadi
besar. Apa yang kemudian terjadi adalah kerutinan kerja mengolah dan
menyelenggarakan lembaga-lembaga “pembaharuan secara amat praktikal”.
Kerutinan
ini telah menyebabkan kesempatan untuk pengolahan intelektual relatif semakin
menghilang. Sikap mereka yang menentang secara tegas pemikiran tradisionalis
semakin memperkering inspirasi-inspirasi intelektual. Modernisme Islam
cenderung menampilkan dirinya sebagai gerakan pemikiran yang tegar, bahkan kaku.
Sementara di pihak lainnya, tradisionalisme Islam cukup kaya dengan pemikiran
Islam klasik. Akan tetapi justru karena kekayaan itu, para pendukung pola
pemikiran ini menjadi sangat berorientasi pada masa lampau dan sempat selektif
menerima gagasan-gagasan modernisasi. Akibatnya, perkembangan dan dinamika
pemikiran di kalangan pendukung tradisionalme bergerak secara sangat lambat.
Nurchalis madjid menolak
konsep Negara islam, hal itu dipertegasnya dalam ceramah kebudayaan di Taman Ismail Marzuki yang kedua tahun
1972, yang mana sebagian isi ceramah itu sebenarnya merupakan pemikirannya
terhadap epistimologi Islam, khususnya menyangkut dua pendekatan, yaitu
pendekatan imani yang menyangkut masalah masalah keagamaan yang ukhrawi dan
pendekatan ilmiah ynag meliputi masalah masalah keduniaan, baik tentang alam
materi maupun social. pendekatan imani menghasilkan ibadah kepada Allah yang
akan berdampak pada penyempurnaan budi luhur manusia. sementara pendekatan
ilmiah harus bersifat rasional empiris yang mengahasilkan konsep amal amal
sholeh.
Ia juga mengkritik konsep
Negara Islam yang dianggapnya sebagai sebuah apologia saja. menurutnya ada
sebab mengapa umat Islam bersiakap apologi terhadap pemikiran pemikiran mereka.
Pertama, sikap defensive mereka terhadap serbuan ideology ideology barat
(modern), seperti demokrasi, sosialisme dan sebagainya yang bersifat totaliter.
Umat islam menjawab serbuan itu dengan kosep al-Dien yang mencakup kesatuan
agama dan Negara, namun tidak didasarkan kepada kajian ilmiah, hanya merupakan
apologia ilusif saja. kedua, paham legalisme yang yang hanya dihasilkan oleh
tuntunan pendekatan fikihisme, sehingga Negara dinilai sebagai susunan hokum
yang disebut syariat. padahal, menurutnya, kajian kajian fikih di zaman modern
telah kehilangan relevansinya terhadap persoalan persoalan masyarakat yang
senantiasa berubah.
Negara
misalnya, adalah suatu gejala yang berdimensi nasional objektif, sedangkan
agama berdimensi spiritual yang bersifat pribadi, keduanya memang saling
berkaitan, namun tetap dibedakan. jika Negara ikut mengatur masalah agama dan
kepercayaan, maka hal ini tidak sesuai dengan ajaran Islam sendiri yang tidak
mengenal otoritas keagamaan (la rahbaniyyah fi al Islam)
tak ada otoritas kependetaan atau
otoritas ulama dalam Islam.[85]
Dalam
masalah kepemimpinan menurut islam, nurcholis madjid juga mengatakan bahwa
kerja sama yang harmonis antara masyarakat dan pemimpin merupakan suatu
keharusan, sebab pada diri manusia juga terdapat kekuatan dan kelemahan
sekaligus. kekuatan diperoleh karena hakikat kesucian asalnya berada dalam
fitrah, yang membuatnya senantiasa berpotensi untuk benar dan baik. Adapun
kelemahannya diakibatkan oleh kenyataan bahwa ia diciptakan Tuhan sebagai
makhluk yang lemah, pendek pikiran dan sempit pandangan serta mudah mengeluh.
manusia dapat meningkatkan kekuatannya dalam kerja sama, dan dapat memperkecil
kelemahannya juga melalui kerja sama.
Ia juga
menyebutkan dalam konteks kekinian , syarat pokok bagi pemimpin adalah harus
mampu mengembangkan tradisi dialog dua arah, tidak menggurui dan juga tidak
provokatif, maka suasana keterbuakaan akan menjadi sebuah keniscayaan. Ia
membandingkan model kepemimpinan orde lama dengan zaman reformasi, ia
menyebutkan bahwa konsep kepemimpinan orde lama yang cenderung dictator seperti
halnya orde baru sudah tidak layak lagi digunakan di zaman sekarang
maupun di masa yang akan datang.[86]
Dalam pemikirannya tentang
politik Islam, ia menyebutkan ada 3 pokok permasalahan yang harus dihadapi oleh
umat islam, diantaranya adalah :
1.
Perlunya cara pemahaman yang lebih maju terhadap ajaran islam
dengan cara tidak terjebak dalam paham tradisonalisasi islam, yakni dengan
konsep sekularisasi yang menurut beliau tidak menjurus ke konsep sekularime.
2.
Perlunya cara berpikir yang lebih bebas, sehingga umat islam tidak lagi
terkungkung dalam kekangan doktrin yang membatasi umat islam mengembangkan
wawasan mereka dalam bidang politik.
3.
Perlunya idea of progress dan sikap yang lebih terbuka
erhadap umat lain.
DAFTRA
PUSTAKA
A Muhaimin Iskandar. Melanjutkan Pemikiran dan
Perjuangan Gus Dur. Yogyakarta: LKiS, 2010
A. H.
Geulanggang, Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik MR. S.M. Amin
Kutaradja: Pustaka Murnihati, 1956
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, cet,1 Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru; 2003
Abdul Rozak dan
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,
Bandung: Pustaka Setia, 2001
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001
____________, Tokoh-
Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005
Ahmad Amin, Fajr Al-Islam, Maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah li
Ashhabiba Hasan Muhammad wa Auladihi, kairo, 1924
Ahmad Januri, Ideology Kaum Reformis : Melacak
Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal Surabaya : lpam, 2002
Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-firaq al-Islamiyah, Mesir:Maktabah wa
Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Auladih
Ali Sami’
Nasyr, Nasy’ah
al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam jilid 1, Kairo:Dar al-Ma’arif, 1977
Asy-Syahratnasy, Al-Milal wa An-Nihal,
Darul Fikr, Beirut, 1997
Burhanuddin
Salam, Logika Formal, Jakarta : PT Bina Aksara, 1988
Choiruddin
Hadhiri, Klasifikasi
Kandungan Al-Qur’an Jilid I, Jakarta: Gema Insani, 2005
Depdikbud,
Kiai Haji Ahmad Dahlan dekdikbud, 1985
Ghazali Munir,
Ilmu Kalam Aliran-aliran dan Pemikiran Islam, Semarang, RASAIL Media Group,
2010
Greg Barton,
Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta,
LkiS, 2006
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Wlesbanden, 1971
Harun
Nasution, Akal dan Wahyu dalam
Islam, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986
____________, Teologi
Islam : Aliran Sejarah Analisa Perbandingan Jakarta: UI. Press. cet. I. 1985
____________, Teologi
Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Universitas
Indonesia, 1986
____________, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
UI, Press, cet. V, Jakarta, 1986
Ibrahim, Aliran dan Teori filsafat Islam,
Bumi Aksara, Jakarta,1995
K.H.
Mustafa Bisri, Beyond The
Simbol, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000
Luwis Ma’luf
Al-Yusu’I, Al-Munjid, Al-Khatahulikiyah, Beirut, 1945,
___________________, Al-Munjid fi Al-Lughah wa
Al-Alam, Beirut, Dar Al-Masyriq, 1998
M,
Dawam Rahardjo, merayakan kemajemukan kebebasan dan berkebangsaan, (Jakarta:
Kencana Media :2010
M. Nur El
Ibrahimy, Peranan Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh dalam Pergolakan Aceh,
Edisi Revisi Jakarta: Media Dakwah, 2001
Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota: Aktivitas Muda
NU Merambah Jalan Lain,cet. I Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000
MR. SM. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di
Atjeh Jakarta: Soeroengan Djakarta, 1956.
Muhammad
Hari Zamharir, Agama dan Politik,
analisis
kritis pemikiran politik Nurcholis madjid (Jakarta :Rajawali Press :2004
Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam:
Dalam Perspektif Historis dan Ideologis, cet.
I Yogyakarta: LPPI, 2000
Nurcholis
Madjid. Khazanah Intelektual Islam, Jakarta : Bulan
Bintang, 1984
Ramayulis, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan
Islam,( Jakarta: Ciputat Press Grup, 2010) h. 273
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam)
Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010
Sekretariat Jenderal Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama, Hasil-hasil
Muktamar XXX Nahdhatul Ulama Jakarta:
Sek. Jen.PBNU, 1999
Sirajuddin
Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal
Jamaah Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, cet. 32. 2006
Suadi
Asyari, Nalar politik NU dan Muhammadiyah Yogyakarta : LKiS, 2009
Taqiyuddin an-Nabhani, Hakekat Berpikir, Jakarta:
Hizbut Tahrir, 2006
Toshihiko
Izutsu, Litt. D., God and Man
in the Quran, Tokio, Keio University, 1964
Yusuf
Amin Nugroho, Fiqh Al-Ikhtilaf Nu-Muhammadiyah ebook, 2010
Zakaria Stapa& Mohammed bin Asin Dollah, Islam, Akidah dan Kerohanian,
Malaysia. Universiti Kebangsaan Malaysia. 2001
[1] Harun
Nasution, akal
dan wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), h.39-42.
[2] Choiruddin
Hadhiri, Klasifikasi
Kandungan Al-Qur’an Jilid I, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 62
[4] Taqiyuddin
an-Nabhani, Hakekat Berpikir,
(Jakarta: Hizbut Tahrir, 2006), h. 5
[6] Burhanuddin
Salam, Logika Formal, ( Jakarta
: PT Bina Aksara, 1988),h.1
[7] Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1966, h. 3
[8] Langeveld, Menudju Ke Pemikiran Filsafat, 1971, h.11
[9] Poedjawijatna, Pembimbing Ke Alam Filsafat, 1974, h.11
[10] Hasbullah
Bakry, Sistematik Filsafat, 1971, h.11
[11] D.C. Mulder, Pembimbing ke Dalam Ilmu Filsafat,
1966, h. 10
[12]
Harun Nasution, Akal dan Wahyu
dalam Islam, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986, h. 5-6
[13]Toshihiko
Izutsu, Litt. D., God and Man
in the Quran, Tokio, Keio University, 1964, h. 65.
[15]Abdul
Rozak, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam,
(bandung: pustaka setia, 2001), h. 125.
[16] Harun Nasution, Teologi Islam
Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1986), h. 5
[18]Ibid
[19]Harun Nasution, Ibid, h. 6
[21]Ghazali Munir, Ilmu Kalam Aliran-aliran dan
Pemikiran Islam, (Semarang, RASAIL Media Group, 2010), h. 4
[23]Ibid
[25]Zakaria Stapa& Mohammed bin Asin Dollah, Islam, Akidah dan Kerohanian, (Malaysia.
Universiti Kebangsaan Malaysia. 2001). h. 23
[26]. A.
Hanafi, Pengantar Teologi Islam,
(cet,1 Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru; 2003h. 167
[27]Sahilun
A. Nasir, Pemikiran Kalam
(Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2010), h. 187
[31]
Suadi Asyari, Nalar politik NU dan Muhammadiyah (Yogyakarta : LKiS,
2009), h. 44
[32]Depdikbud,
Kiai Haji Ahmad Dahlan (dekdikbud, 1985), h. 118 – 119
[33]Suadi
Asyari, Ibid, h. 41-43
[34]Suadi
Asyari, Ibid, h. 44-45
[35]Depdikbud,
Ibid, h. 41-43
[36]Ahmad
Januri, Ideology Kaum Reformis : Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah
Periode Awal (Surabaya : lpam, 2002), h. 175
[37]Yusuf
Amin Nugroho, Fiqh Al-Ikhtilaf Nu-Muhammadiyah (ebook, 2010), h. 5
[39]Yusuf
Amin Nugroho, Ibid, h. 136
[40]Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah pada hakekatnya adalah
ajaran Islam yang sebenarnya, seperti yang diajarkan dan daiamalkan oleh Rasulullah
SAW bersama para sahabatmnya. Oleh karena itu Ahlu as-Sunnah Wa
al-Jama’ah sudah timbul bersamaan dengan munculnya agama Islam sejak
disampaikan syari’ah dan ajarannya oleh Rasulullah SAW. Jadi, golongan Ahlu
as-Sunnah Wa al-Jama’ah adalah golongan pengikut setia ajaran yang diajarkan
dan diamalkan oleh Rasulullah SAW beserta para sahabatnya. A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran, h. 39.
[41]Sekretariat Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Hasil-hasil Muktamar XXX Nahdhatul
Ulama (Jakarta: Sek.
Jen.PBNU, 1999), h.23.
[42]Mohamad Shodik, Gejolak
Santri Kota: Aktivitas Muda NU Merambah Jalan Lain,cet. I (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2000), h. 86.
[43]Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam:
Dalam Perspektif Historis dan Ideologis, cet.
I (Yogyakarta: LPPI, 2000), h. 58
[44]M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik, h. 80. Lihat juga Mohamad Shodik,Gejolak
Santri Kota, h. 97
[46]Mohamad Shodik, Gejolak
Santri Kota, h. 97
[47]M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad, h. 83
[50]Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wa
Al-Alam, Beirut, Dar Al-Masyriq, 1998, h. 78
[51]Asy-Syahratnasy, Al-Milal wa An-Nihal,
Darul Fikr, Beirut, h. 85
[52]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, UI, Press, cet. V, Jakarta, 1986,
h. 31
[53]Ahmad Amin, Fajr Al-Islam,
Maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah li Ashhabiba Hasan Muhammad wa Auladihi, kairo,
1924, h. 45
[54]Nasution, loc, cit
[55]Muhammad Abu
Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah
[56]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, UI, Press, cet. V, Jakarta, 1986,
h. 33
[57]Asy-Syahratsani, op. cit., hlm. 85
[58]Al-Ghuraby, op., cit,.h. 28-29
[59]Nasution, op. cit., h. 35
[60]Asy-Syahratsani, Al-Mila …, h. 74
[61]Luwis Ma’luf
Al-Yusu’I, Al-Munjid, Al-Khatahulikiyah, Beirut, 1945, h.436;
lihat juga Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic,
Wlesbanden, 1971, h. 745.
[62]Ali Sami’
Nasyr, Nasy’ah
al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam jilid 1, (Kairo:Dar al-Ma’arif,
1977), h. 317
[63]Ali Musthafa
al-Ghurabi, Tarikh al-firaq al-Islamiyah, (Mesir:Maktabah wa
Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Auladih, t.t), h.34-35
[64]Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001),
h.4
[65]Abdul Rozak dan
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,
(Bandung: Pustaka Setia, 2001),h, 49
[66]Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran Sejarah
Analisa Perbandingan (Jakarta:
UI. Press. cet. I. 1985), h. 11
[67]Sirajuddin
Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal
Jamaah (Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, cet. 32. 2006) h. 115
[69] Abuddin Nata, Tokoh- Tokoh Pembaharuan
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)
h. 81
[70] Ibid
[71] Wikipedia, Daud Beureu’eh, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Daud_Beureurueh pada
tanggal 23 Januari 2016
[72] M. Nur El Ibrahimy, Peranan Tgk. Muhammad
Daud Beureu-eh dalam Pergolakan Aceh, Edisi Revisi (Jakarta: Media Dakwah,
2001), h. 262
[74] Ibid.
h.250
[75] A. H. Geulanggang, Rahasia Pemberontakan
Atjeh dan Kegagalan Politik MR. S.M. Amin (Kutaradja: Pustaka Murnihati,
1956), h. 43
[76]Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized
Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta, LkiS, 2006, h. 25
[77]Ibid h.35
[81] Th. Sumarta, Penebar Pluralisme, dalam Beyond
The Symbols, h. 107
[84] Ibid. h.
40
[85] M,
Dawam Rahardjo, merayakan kemajemukan kebebasan dan berkebangsaan, (
Kencana Media : 2010: Jakarta),h. 65
[86] Muhammad
Hari .zamharir, Agama dan Politik,analisis kritis pemikiran politik
Nurcholis madjid
(Rajawali Press :2004.Jakarta ), h. 98
No comments:
Post a Comment