BELAJAR ADALAH KEWAJIBAN

Monday, July 18, 2016

SOAL PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA

JAWABAN UJIAN
MK PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA
DOSEN PEMIMBING. Dr. GUNAWAN ADNAN, MA

1.     Kenapa Allah melengkapi manusia dengan Akal
Akal berasal dari kata Arab (‘aqal). Dalam bahasa Indonesia orang biasa menyalinnya dengan pikir atau pikiran. Jadi kejadian berakal, disalin dengan berpikir. Menurut bahasa Arab, arti akal mula-mula “mengikat” (menahan) dan “membedakan”. Dalam rangka ini orang menghubungkan, bahwa akal merupakan tenaga yang menahan diri makhluk yang memilikinya dari pada perbuatan buruk atau jahat, membedakannya dari makhluk-makhluk lain, karena tenaga akal itu dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Umumnya akal dimaknakan sebagai alat untuk berpikir, menimbang buruk-baik atau merasakan segala perubahan keadaan, sehingga dapat mengambil manfaat daripadanya.
Akal merupakan makhluk Tuhan yang tertinggi dan akallah yang memperbedakan manusia dari binatang dan makhluk Tuhan yang lainnya. Karena akallah manusia bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya dan akal yang ada dalam diri manusia itulah yang dipakai Tuhan sebagai pegangan dalam menentukan pemberian pahala atau hukuman kepada seseorang. Begitulah tingginya kedudukan akal dalam ajaran Islam, bukan hanya tinggi dalan soal-soal keduniaan saja tapi juga dalam soal keagamaan.
Penghargaan tertinggi terhadap akal ini sejalan pula dengan ajaran Islam lain yang erat hubungannya dengan akal, yaitu menuntut ilmu. Sesuai juga dengan wahyu pertama yang diterima oleh Nabi saw.
Selain itu terdapat pula dalam Al-Qur’an sebutan-sebutan yang memberi sifat berfikir bagi seorang muslim, yaitu ulul albab (orang berfikir), ulul ‘ilm (orang berilmu), ulil abshar (orang yang mempunyai pandangan), dan ulin nuha (orang bijaksana)[1]
Semua bentuk ayat-ayat yang didalamnya terdapat kata-kata Nadzara, Tadabbara, Tafakkaru, Faqiha, Fahima, ‘aqala, serta ayat yang berisi sebutan ulul albab, ulul ‘ilm, ulil abshar, mengandung anjuran, dorongan dan perintah agar manusia banyak berfikir dan mempergunakan akalnya.Keduanya ini adalah ajaran yang jelas dan tegas dalam Al-Qur’an, sebagai sumber utama ajaran Islam.
Hadits sebagai sumber kedua dari ajaran Islam, juga member kedudukan tertinggi pada akal. Salah satu haditsnya sebagai berikut: 
ا لد ين عقل لا د ين لمن لا عقل له
“Agama adalah penggunaanakal, tiada agama bagi orang yang tak berakal”.
Akal terdiri atas unsur rasio dan hati/rasa. Setelah manusia memikirkan/meraiso tanda-tanda kekuasaan Allah yang terbentang di alam atau tertulis dalam kitabNya maka tidak akan mengakui adanya Allah kalau hatinya tidak berfungsi, sebab buta, tidak yakin dan kotor.[2]
Yang masuk akal belum tentu dapat dirasionalkan, sebab berfungsinya kemampuan rasio manusia sangat terbatas, hatinya buta dan menyebabkannya tidak yakin. Banyaknya manusia  yang tidak mau memahami tanda-tanda kekuasaan dan keesaan Allah, mereka tidak mau menggunakan hati dan rasionya. Tapi ada juga yang mau menggunakan raiso namun mereka tidak yakin karena hatinya buta. Mereka bahkan lebih sesat daripada binatang yang tidak mempunyai akal.[3]  

2.     Jelaskan perbedaan antara pemikiran dan filsafat
Pemikiran
Pemikiran adalah hasil dari refleksi (pemantulan) fakta terhadap otak. Artinya, pengetahuan mereka tentang fakta. Pemikiran itu terbentuk dari fakta, otak, dan proses refleksi fakta terhadap otak.[4]
Menurut Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani, pemikiran adalah pemindahan fakta melalui panca indera ke dalam otak yang disertai adanya informasi-informasi terdahulu yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut.[5]
Burhanuddin Salam berpendapat bahwa berpikir merupakan suatu bentuk kegiatan  akal/ratio manusia dengan mana pengetahuan yang kita terima melalui panca indera diolah dan ditujukan untuk mencapai kebenaran. Aktivitas berpikir adalah berdialog dengan diri sendiri dalam batin dengan manisfestasinya ialah mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, menunjukkan alasan-alasan, membuktikan sesuatu, menggolong-golongkan, membandingkan-bandingkan, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalan pikiran, mencari kausalitasnya, membahas secara realitas dan lain-lain.[6]
Dalam proses berfikir setiap manusia menempuh jalan yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Semakin banyak pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dan semakin sering seseorang melakukan penelitian maka akan semakin tinggi taraf berpikirnya. Sebaliknya, jika seseorang kekurangan informasi dan jarang melakukan penelitian maka semakin maka akan semakin rendah pula taraf berfikirnya.

Filsafat
Hatta mengatakan bahwa pengertian filsafat lebih baik tidak dibicarakan lebih dulu, nanti bila orang telah banyak mempelajari filsafat orang itu akan mengerti dengan sendirinya apa filsafat itu[7].  Langeveld  juga berpendapat seperti itu. Katanya, setelah orang berfilsafat sendiri, barulah ia maklum apa filsafat itu, maka dalam ia berfilsafat akan semakin mengerti ia apa filsafat itu[8].
Filsafat disebut juga sebagai pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan akal pikiran belaka[8]. Filsafat merupakan pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya mencapai pengetahuan itu[9].
Apa yang diingatkan  oleh  Hatta dan Langeveld memang ada benarnya. Kita sebenarnya tidak cukup hanya dengan mengatakan filsafat ialah hasil pemikiran yang tidak empiris, karena pernyataan itu memang belum lengkap.Bertnard Russel menyatakan bahwa filsafat adalah the attempt to answer ultimate question critically[10]. D.C. Mulder mendefinisikan filsafat sebagai pemikiran teorirtis tentang susunan kenyataan sebagai keseluruhan[11].
Sedangkan filsafat menurut arti kata, terdiri atas kata philein yang artinya cinta dan sophia yang artinya kebijaksanaan. Filsafat berarti cinta kebijaksanaan.Cinta artinya hasrat yang besar, atau yang berkobar-kobar, atau yang sungguh-sungguh.Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Jadi filsafat artinya hasrat atau keinginan yang sungguh akan kebenaran sejati. Pengertian umum filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran.Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang hakikat. Ilmu pengetahuan tentang hakikat menanyakan tentang apa hakikat atau sari atau inti atau esensi segala sesuatu. Dengan cara ini, jawaban yang akan diberikan berupa kebenaran yang  hakiki. Ini sesuai dengan arti filsafat menurut  kata-katanya.
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa filsafat adalah hasrat atau keinginan yang sungguh-sungguh untuk menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran sejati dengan  menggunakan akal untuk melakukan tesis-antitesis yang bersifat bebas dan tanpa metodologi.
Jadi Pemikiran dan Filsafat mempunyai hubungan yang erat, Ciri pemikiran filsafat mengacu pada tiga konsep pokok yakni persoalan filsafat bercorak sangat umum, persoalan filsafat tidak bersifat empiris, dan menyangkut masalah-masalah asasi. Kemudian Kattsoff menyatakan karakteristik filsafat dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1)     Filsafat adalah berpikir secara kritis.
2)     Filsafat adalah berpikir dalam bentuknya yang sistematis.
3)     Filsafat menghasilkan sesuatu yang runtut.
4)     Filsafat adalah berpikir secara rasional.
5)     Filsafat bersifat komprehensif.
6)     Jadi berfikir filsafat mengandung makna berfikir tentang segala sesuatu yang ada secara kritis, sistematis,tertib,rasional dan komprehensip.

3.     Jelaskan fungsi dan hubungan antara Akal, Wahyu dan Nafsu
Arti asli dari kata ‘aqala kelihatannya adalah mengikat dan menahan dan orang yang ‘aqil di jaman jahiliah, yang dikenal dengan hamiyyah atau darah panasnya, adalah orang yang dapat menahan amarahnya dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.[12]
Dalam pemahaman Profesor Izutsu kata ‘aql di jaman jahiliah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah, orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi. Kebijaksanaan praktis serupa ini amat dihargai oleh orang Arab jaman jahiliah.[13]
Wahyu sendiri berasal dari kata Arab al-wahy, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Di samping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al-Wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat.Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”.
Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihanNya agar diteruskan kepada umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik di dunia ini maupun di akhirat nanti.Dalam Islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul semuanya dalam Al-Quran.[14]
Akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu, yang di dalamnya terdapat kemungkinan bahwa pemahaman yang didapat oleh akal bisa salah juga bisa benar.Wahyu adalah firman Allah yang disampaikan kepada Nabi-Nya baik untuk dirinya sendiri maupun untuk disampaikan kepada umat.Pengetahuan adalah hubungan subjek dan objek, sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang telah teruji secara ilmiah dan kebenarannya jelas.
Akal dan wahyu digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi umat manusia.Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana keduanya dapat bertemu dan bahkan saling berinteraksi dan terdapat ruang dimana keduanya harus berpisah.Pada saat wahyu merekomendasikan berkembangnya sains dan lestarinya budaya dengan memberikan ruang kebebasan untuk akal agar berpikir dengan dinamis, kreatif dan terbuka, disanalah terdapat ruang bertemu antara akal dan wahyu. Sehingga hubungan antara akal dan wahyu tidak bertentangan akan tetapi sangat berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, bahkan kedua-duanya saling menyempurnakan.
Sementara itu pula kata hawa nafsu yang diungkapkan Al-Qur’an dengan kata al-Hawa’ (الهوى) yang diulang 37 kali, mencakup berbagai aspeknya. Pertama, menyangkut pengertiannya kebinasaan. Kedua, berkenaan dengan sifatnya  yatiu enggan menerima kebenaran. Ketiga, berkenaan dengan sasarannya yang menyesatkan manusia (Q.S.an-Nisa/4:135). Keempat, berkenaan dengan lawannya yaitu al-haqq (kebenaran). Kelima, berkenaan dengan pahala bagi orang yang tak terpedaya dengan hawa nafsu dan mematuhi perintah Allah SWT (Q.S. An-Nazia’at/79:40-41). Dengan begitu, dapatlah diketahui bahwa hawa nafsu yang terdapat dalam diri manusia cenderung untuk mengajak manusia  kepada hal-hal yang bersifat merusak, menyesatkan, menyengsarakan dan menghinakan bagi orang yang mengikutinya.
Dalam salah satu ayat-Nya Allah berfirman :

يا داود انا جعلناك خليفة فى الارض فاحكم بين الناس بالحق ولاتتبع الهوى فيضلك عن سبيل الله لهم عذاب شديد بما نسوا يوم الحسا ب (ص: 26)

Pada ayat tersebut dengan tegas Allah mengingatkan nabi Daud sebagai penguasa (raja) agar memimpin rakyatnya dan memutuskan berbagai perkara dengan seadil-adilnya, yaitu sikap yang tidak membeda-membedakan antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya.Selanjutnya Daud diingatkan pula agar tidak memperturutkan hawa nafsu, karena dapat menyebabkan manusia melakukan perbuatan yang tidak sejalan dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Perbuatan tersebut akan merugikan dirinya, masyarakat sekitarnya bahkan pelakunya akan menerima azab dari Allah SWT. Maka jelaslah bahwa seorang pemimpin yang baik adalah orang yang mendahulukan kebenaran yang diputuskan akalnya, bukan yang gemar mempertaruhkan hawa nafsunya dalam setiap perbuatan dan tindakannya.
Hawa nafsu yang ada dalam diri manusia adalah merupakan tempat dimana syetan memasukan peranan, dan pengaruhnya.Pengaruh itu dapat tampil dalam berbagai bentuknya dan menyentuh berbagai lapisan masyarakat baik kaya atau miskin, pejabat atau rakyat, pedagang atau pegawai, wanita atau pria, pemuda maupun orangtua dan seterusnya. Padahal jika keadaan manusia dalam berbagai lapisan tersebut telah terpedaya dan diperbudak oleh hawa nafsunya maka akan hancurlah segala tatanan kehidupan baik ekonomi, politik, sosial, ilmu pengetahuan dan sebagainya.


Hubungan antara Akal, wahyu dan Nafsu
Nafs yaitu   muara yang menampung  hasil oleh fu’ad, shadr, dan hawaa yang kemudian menampakkan  dirinya dalam bentuk  perilaku nyata dihadapan manusia lainnya. Akal yaitu menahan atau mengikat hawa nafsunya sehingga nafsunya terkendali karena diikat atau ditaha,  sedangkan orang yang tidak mempunyai aql tidak mengikat nafsunya sehingga nafsunya liar tak terkendali.
Akal adalah potensi berharga yang diberikan Allah SWT hanya kepada manusia, anugerah tersebut diberikan Allah SWT untuk membekali manusia yang mengemban misi penting menjadi khalifah fil ardi, dengan kata lain manusia sebagai duta kecil Allah SWT.
Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk memenaklukan kekuatan mahkluk lain di sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupanya untuk mengalahkan mahluk lain. Bertambah rendah akal manusia, bertambah rendah pulalah kesanggupanya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Dengan adanya akal manusia mampu melaksanakan tugas tersebut dengan baik, dan dapat menemukan kebenaran yang hakiki sebagaimana pendapat Mu’tazilah yang mengatakan segala pengetahuan dapat diperoleh dengan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam sehingga manusia sebetulnya ada wahyu atau tidak tetap wajib bersyukur kepada Allah SWT, dan manusia wajib mengetahui baik dan buruk; indah dan jelek; bahkan manusia wajib mengetahui Tuhan dengan akalnya walaupun wahyu belum turun.[2]
Menurut Mu’tazilah, seluruh pengetahuan dapat diperoleh melalui akal, termasuk  mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban beribadah kepada Tuhan. Abu Huzail, menegaskan bahwa meskipun wahyu tidak turun, maka manusia tetap wajib beribadah kepada Tuhan, sesuai dengan pengetahuannya tentang Tuhan. Begitu juga dengan kebaikan dan keburukan juga dapat diketahui melalui akal.Jika dengan akal manusia dapat mengetahui baik dan buruk, maka dengan akal juga manusia harus tahu bahwa melakukan kebaikan itu adalah wajib, dan menjauhi keburukan juga wajib.
Menurut Asy’ariyah, pertama semua kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Jika wahyu tidak turun, maka tidak ada kewajiban (taklif) bagi manusia.Karena akal tidak mampu membuat kewajiban tersebut, terutama kewajiban beribadah pada Tuhan, dan kewajiban melakukan yang baik serta kewajiban menjauhi yang buruk.
Adapun berkaitan dengan mengetahui Tuhan, Asy’ariyah sepakat dengan Mu’tazilah yaitu dapat diketahui melalui akal.Sedangkan mengetahui baik dan buruk, akal tidak mampu, karena sifat baik dan buruk sangat terkait dengan syari’at. Sesuatu disebut  baik, jika dapat pujian syari’at, dan dianggap buruk jika dikecam oleh syari’at. Karena pujian dan kecaman bersumber dari wahyu, maka sesuatu dapat dikatakan baik atau buruk juga melalui wahyu[15].

4.     Kapan munculnya perselisihan dan perbedaan antara faham dalam sejarah perjalanan umat Islam.
Perpecahan umat Islam diawali ketika Nabi Muhammad SAW wafat pada tahun 632 M karena beliau di samping menjadi Rasul telah pula menjadi seorang ahli negara.Jadi ketika beliau wafat masyarakat Madinah sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai negara, sehingga penguburan Nabi merupakan soal kedua bagi mereka.Timbullah soal khilafah, soal penggantiNabi Muhammad sebagai kepala negara.[16]
Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar-lah yang disetujui oleh masyarakat Islam diwaktu itu menjadi pengganti atau khalifah Nabi dalam mengepalai negara mereka. Kemudian Abu Bakar digantikan oleh Umar Ibn Khattab dan Umar digantikan oleh Usman Ibn Affan.Karena pada masa pemerintahan Usman Ibn Affan menggunakan nepotisme menimbulkan perasaan tidak senang, dan menimbulkan pemberontakan yang membawa pada pembunuhan Usman oleh para pemuka-pemuka pemberontakan dari Mesir.[17]
Setelah Usman wafat Ali, sebagai calon terkuat, menjadi khalifah yang keempat.Tetapi segera mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah.Tantangan dari Aisyah-Talhah-Zubeir ini dipatahkan Ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak tahun 656.Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.[18]
Tantangan kedua datang dari Muawiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga yang dekat bagi Usman. Ia menuntut kepada Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Usman, bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu. Salah seorang pemuka pemberontak-pemberontak Mesir, yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh Usman adalah Muhammad Ibn Abi Bakr, anak angkat dari Ali Ibn Abi Talib. Dan Ali tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad Ibn Abi Bakr diangkat menjadi gubernur Mesir.[19]
Dalam pertempuran yang terjadi antara Ali Ibn Abi Talib dengan Muawiyah, yang kaki kanan dari Ali yaitu Abu Musa al-Asy,ari dan dari Muawiyah yaitu Amr Ibn As yang terkenal sebagai orang licik.  Karena kelicikan dari Amr Ibn As yang meminta berdamai dengan mengangkat Al-Qur’an ke atas.Ali mendapat desakan supaya menerima tawaran itu dan dengan demikian dicarilah perdamaian dengan mengadakan tahkim.[20]
Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr Ibn As, menjadi masalah teologi yangmana ada sebagian tentaranya yang tidak setuju dengan diadakannya tahkim.Yaitu kelompok khawarij yang memandang bahwa tahkim adalah penyelesaian masalah atas hasil rekayasa manusia, bukan didasarkan atas Al-Qur’an.Dan orang yang memutuskan masalah tidak berdasarkan Al-Qur’an adalah kafir. Maka orang yang melakukan dan menerima tahkim adalah kafir. Dengan demikian Ali, Muawiyah, Abu Musa dan Amr  pelaku tahkim menurut Khawarij adalah sudah keluar dari Islam dan harus dibunuh. Untuk itu khawarij berusaha untuk membunuh tokoh-tokoh tersebut, dan yang berhasil dibunuh adalah Ali Ibn Abi Talib (661 H).[21]
Dalam perkembangan selanjutnya, yang dipandang kafir bukan hanya orang yang memutuskan masalah tidak berdasarkan Al-Qur’an, tetapi yang dipandang kafir oleh Khawarij adalah termasuk pelaku dosa besar adalah kafir. Reaksi tehadapnya muncul dari aliran Murji’ah, yang memandang orang muslim yang melakukan dosa besar tidak tidak kafir, ia masih mukmin. Kemudian muncul aliran yang lain, yakni Mu’tazilah yang memandang muslim melakukan dosa besar, bukan mukmin dan bukan kafir, tetapi menempati posisi diantara keduanya (al-manzilah bain al-manzilatain).[22]
Pada masa itu pula muncul aliran Qadariyah yang menyatakan bahwa manusia berkuasa menciptakan perbuatannya sendiri, tanpa campur tangan Tuhan.Sebaliknya juga muncul aliran Jabariyah yang berpendapat bahwa manusia tidak kuasa menciptakan perbuatannya, tetapi semua perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan.[23]
Pada zaman Abbasiyah, filsafat Yunani dan saint banyak dipelajari umat Islam. Masalah kalam mendapat tantangan amat besar. Kaum muslimin tidak bisa mematahkan argumentasi filosofis pihak lain tanpa menggunakan senjata filsafat dan rasional pula. Untuk itu bangkitlah Mu’tazilah mempertahankan kalam dengan menggunakan argumentasi-argumentasi filsafat tersebut. Tetapi sikap Mu’tazilah terlalu mengagungkan akal, maka lahirlah aliran Ahl as-sunnah wa al-Jama’ahyang mencoba mengkompromikan antara dalil-dalil naqli (Al-Qur’an dan hadits) dan dalil-dalil aqli dengan tidak mengabaikan bahkan mendahulukan nas. Karena, tampaknya ini dapat diterima oleh mayoritas kaum muslimin.[24]

5.     Apa yang anda ketahui tentang Ahlussunnah wal-Jamaah
Tokoh Ahlusunnah Waljamaah yang kita kenal adalah yang pertama Abu Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari. Abu Hasan Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun  260 H / 873-4 M.[[25]]
Tokoh Ahlussunnah Wal Jamaah yang kedua adalah Imam al-Maturidi. Nama beliau adalah Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Almaturidi. Beliau lahir di Maturid, dan meninggal di Samarkand pada 333 H/944 M. Nama Maturidi sebenarnya dinisbahkan kepada daerah kelahirannya.[[26]]
Konsep Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang berkembang hingga saat ini banyak berpijak kepada konsep yang disusun oleh Imam Al-Asy’ari dan Imam Al-Maturidi.
Di Asia Tenggara khususnya Aceh yang merupakan awal mulanya datang Islam, pondasi awal Islam di Aceh yaitu akidah Ahlussunnah Waljamaah, akidah yang mengikuti konsep tauhidnya mengikuti konsep tauhidnya Al Asy'ary Wal Maturiddy, fiqhnya Imam Asy Syafii.
Ditinjau dari ilmu bahasa (lughot/etimologi), Ahlussunah Wal Jama’ah berasal dari kata-kata:
a.      Ahl (Ahlun), berarti “golongan” atau “pengikut”
b.     Assunnah berarti “tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan yang mencakupucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah SAW”.
c.      Wa, huruf ‘athf yang berarti “dan” atau “serta”
d.      Al jama’ah  berarti jama’ah, yakni jama’ah para sahabat Rasul Saw. Maksudnya ialah perilaku atau jalan hidup para sahabat.[27]
Secara etimologis, istilah “Ahlus Sunnah Wal Jamaah” berarti golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulallah Saw.dan jalan hidup para sahabatnya. Atau, golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul dan Sunnah para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.
Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ada beberapa riwayat hadits tentang firqah atau millah ( golongan atau aliran) yang kemudian dijadikan landasan bagi firqah ahlussunnah waljamaah. Sedikitnya ada 6 riwayat hadits tentang firqah/millah yang semuanya sanadnya dapat dijadikan hujjah karena tidak ada yang dhaif tetapi hadits shahih dan hasan. Dari hadits yang kesimpulannya menjelaskan bahwa umat Rasulullah akan menjadi 73 firqah, semua di nearka kecuali satu  yang di surga. itulah yang disebut firqah yang selamat (الفرقة الناجية). Dari beberpa riwayat itu ada yang secara tegas menyebutkan; ( أهل الســنة والجمــاعة) ahlussunnah waljamaah”. ataub “aljamaah”.   (الجماعة Tetapi yang paling banyak dengan kalimat;  “ maa ana alaihi wa ashhabi” ( ماأنا عليه وأصحا) .
Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah RA, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,
“ Akan terpecah umat Yahudi kepada 71 golongan, Dan terpecah umat Nasrani kepada 72 golongan, Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya akan dimasukkan keneraka kecuali satu. Berkata para sahabat : Wahai Rasulullah, Siapakah mereka wahai Rasulullah?. Rasulullah menjawab : Mereka yang mengikuti aku dan para sahabatku”.  (HR Abu Daud,At-Tirmizi, dan Ibn Majah)
Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham golongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
Dalam mensitir ayat dan hadist yang hendak di jadikan argumentasi, kaum Asy’ariah bertahap, yang ini merupakan pola sebelumnya sudah di terapkan oleh Asy’ariah. Biasanya mereka mengambil makna lahir dari anas (Teks al-quran dan al-Hadist), mereka berhati-hati tidak menolak penakwilan sebab memang ada nas-nas tertentu yang memiliki pengertian sama yang tidak bias di ambil dari makna lahirnya, tetapi harus di takwilkan untuk mengetahui pengertian yang di maksud.
Kaum asy’ariah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan menolak akal padahal Allah menganjurkan agar Ummat islam melakukan kjian rasional.
Pada prinsipnya kaum Asy’ariah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang di lakukan kaum mu’tazilah, sehingga mereka tidak memenangkan dan menempatka akal di dalam naql (teks agama).akal dan nql saling membutuhkan.naql bagaikan matahari sedangkan akal laksana mata yang sehat.dengan akal kita akan bias meneguhkan naql dan membela agama.[28]
Akidah Asy’ariyah ini menyebar luas pada zaman Wazir Nizhamul Muluk pada dinasti Bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan Madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah Universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin  Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha Mazhab Asy-Syafi'i dan Mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia

6.     Sebut aliran-aliran pemikiran yang (pernah) ada dalam sejarah Pemikiran Islam dan jelaskan latarbelakang/alasan munculnya aliran-aliran tersebut.
Sebab-sebab timbulnya aliran-aliran itu sebenarnya banyak, akan tetapi dapat digolongkan kepada dua bagian, yaitu sebab-sebab dari dalam dan sebab-sebab dari luar.
1.     Sebab-sebab dari dalam, maksudnya adalah sebab-sebab yang datang dari Islam sendiri, antara lain:
a.      Al-Qur’an, disamping berisi masalah kalam (ketauhidan), kenabian, dan lainnya, juga berisi bantahan dan tantangan terutama terhadap agama-agama yang ada saat itu, seperti:
1)     Bantahan terhadap orang-orang musyrik, (yang mentuhankan binatang). Seperti surat al-An’am ayat 76-78.
2)     Bantahan terhadap orang-orang yang mentuhankan Nabi Isa. Seperti surat al-Maidah ayat 116.
3)     Perintah untuk melaksanakan dakwah dengan bijaksana dan melakukan bantahan dengan cara yang baik. Seperti surat an-Nahl ayat 125.
b.     Pada awal Islam, masalah keimanan tidak dipersoalkan secara mendalam. Tetapi setelah Nabi wafat dan Umat Islam berhubungan dengan kebudayaan dan peradaban asing, mereka mulai mengenal filsafat. Mereka menggunakan filsafat untuk memahami memfilsafati ayat-ayat al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang secara lahiriah tampak bertentangan antara satu dengan lainnya. Hal itu perlu pemecahan, sedang pemecahannya diperlukan ilmu sendiri.
c.      Masalah politik, terutama yang berkaitan dengan khalifah, yang bermula dari terbunuhnya khalifah Usman yang melahirkan perdebatan teologis dikalangan umat Islam, yakni pembunuh Usman itu berdosa atau tidak. Kemudian masalah khilafah, apakah termasuk masalah agama atau hanya sekedar masalah keduniaan. Pihak Syi’ah memandang bahwa khilafah atau imamah merupakan bagian tak terpisahkan dari agama.
2.     Sebab-sebab dari luar, maksudnya adalah sebab-sebab yang datang dari luar Islam. Seperti ajaran agama lain yang dibawa oleh orang-orang tertentu termasuk umat Islam yang dulunya menganut agama lain. Disamping itu, umat Islam juga ada yang mempelajari filsafat Yunani dan ilmu pengetahuan lainnya untuk kepentingan dakwah Islam.[29]
Macam-macam aliran dintaranya, yaitu:[30]
1)     Khawarij
Khawarij menurut bahasa merupakan jamak dari kata kharijiy yang berarti orang-orang yang keluar, mengungsi atau mengasingkan diri. Asy-Syihristani mendefinisikan bahwa khawarij adalah setiap orang yang keluar dari Imam yang berhak yang telah disepakati oleh masyarakat. Kelompok khawarij yang pertama adalah Al-Muhakkimah (Syurah/Haruriyyah) yaitu pengikut Ali yang memisahkan diri karena tidak setuju dengan adanya perdamaian antara beliau dengan Muawiyah saat perang Siffin. Mereka menganggap Ali dan orang-orang yang menyetujui perdamaian tadi adalah orang-orang kafir dan halal darahnya. Kemudian Khawarij ini terpecah menjadi beberapa aliran, yang paling besar adalah Al-Azariqah, An-Najdah, Al-Ajaridah, Ash-Shufriyyah, dan Al-Ibadiyah.

2)     Syi’ah
Syi’ah menurut bahasa berarti pengikut dan penolong, dan diucapkan untuk sekelompok mamusia yang bersatu atau berkumpul dalam satu masalah, dan kepada setiap orang yang menolong seseorang dan berhimpun membentuk suatu kelompok  padanya.
Kemudian kata ini dipergunakan untuk kelompok yang menolong dan membantu khalifah Ali dan keluarganya, lalu menjadi nama khusus bagi kelompok ini. Menurut Asy-Syihristaniy, Syi’ah adalah kelompok yang mengikuti khalifah Ali dan menyatakan kepemimpinannya baik secara nash ataupun wasiat yang adakalanya secara jelas ataupun samar, dan mereka berkeyakinan bahwa kepemimpinan (Imanah) tidak keluar dari anak-anaknya, dan jika keluar darinya maka itu terjadi secara zalim atau sebab taqiyah darinya.

3)     Murji’ah
Murji’ah berasal dari kata Irja yang berarti menangguhkan.Kaum Murji’ah yang muncul pada abad 1 H merupakan reaksi akibat adanya pendapat Syi’ah yang mengkafirkan sahabat yang menurut mereka merampas kekhalifahan dari Ali, dan pendapat Khawarij yang mengkafirkan kelompok Ali dan Muawiyyah.Pada saat itulah muncul sekelompok umat Islam yang menjauhkan dari pertikaian, dan tidak mau ikut mengkafirkan atau menghukum salah satu dan menangguhkan persoalannya sampai dihadapan Allah SWT.
Pada asalnya kelompok tersebut tidak membentuk sutu madzhab, dan hanya membenci soal-soal politik, tetapi kemudian terbentuklah suatu madzhab dalam Ushuluddin yang membicarakan  tentang Iman, tauhid dan lain-lain. Pemimpin dari kaum Murji’ah adalah Hasan bin Bilal (152 H)

4)     Jabariyah
Jabariyah berasal dari kata jabr yang artinya paksaan. Aliran ini ditonjolkan pertama kali oleh Jahm bin Safwan (131 H), sekretaris Harits bin Suraih yang memberontak pada Bani Umayyah di Khurasan. Meskipun demikian sebelumnya sudah ada dalam umat Islam yang membicarakan tentang hal ini seperti surat sahabat Ibnu Abbas dan seorang tabi’in Al-Hasan Al-Bashriy kepada penganut paham ini.

5)     Qodariyah
Qadariyah berasal dari kata qadr yang artinya mampu atau berkuasa.Pemimpin aliran ini yang pertama adalah Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Ad-Dimasyqiy.Keduanya dihukum mati oleh penguasa karena dianggap menganut paham yang salah. Pendapat kaum Qadariyah adalah manusia sendirilah yang melakukan perbuatannya sendiri dan Tuhan tidak ada hubungan sama sekali dengan perbuatannya itu.

6)     Mu’tazilah
Mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang berarti menjauhkan diri.Asal mula kata ini adalah suatu saat ketika Al-Hasan Al-Bashriy (110 H) sedang mengajar di masjid Basrah datanglah seorang laki-laki bertanya tentang orang yang berdosa besar. Maka ketika ia sedang berpikir menjawablah salah satu muridnya Wasil bin Atha’ (131 H) menjawab: “ saya berpendapar bahwa ia bukan mukmin dan bukan kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya”. Kemuadian ia menjauhkan diri dari majlis Al-Hasan dan pergi ketempat lain dan mengulangi pendapatnya. Maka Al-Hasan menyatakan bahwa Washil telah menjauhkan diri dri mereka.

7)     Ahli Sunnah dan Jama’ah
Kelompok ini disebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah karena pendapat mereka berpijak pada pendapat-pendapat para sahabat yang mereka terima dari Rasulullah.Kelompok ini juga disebut kelompok ahli hadits dan ahli fiqh karena merekalah pendukung-pendukung dari aliran ini.
Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah mulai dikenal pada saat pemerintahan bani Abbasy dimana kelompok Mu’tazilah berkembang pesat, sehingga nama Ahlus Sunnah dirasa harus dipakai untuk siapa yang berpegang pada ilmu kalam (theologische dialektik), logika dan rasio. Ibnu Hajar Al-Haitamiy menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti rumusan yang digagas oleh Imam Asy’Ariy dan Imam Maturidi.


7.     Apa yang anda ketahui tentang terminology/aliran berikut dan sebutkan.
a.     Muhammadiyah dan pokok-pokok pemikirannya
Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada 18 november 1912 oleh kiai Haji Ahmad dahlan. Berbeda dari kebanyakan organisasi yang didirikan pada masa yang sama, muhammadiyah didirikan oleh seorang pendiri saja, yaitu Kiai Haji Ahmad Dahlan.[31]
Adapun faktor-faktor yang menjadi pendorong lahirnya Muhammadiyah ialah antara lain:
1)     Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat Islam tidak merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama Islam tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi;
2)     Ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah Islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat;
3)     Kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman;
4)     Umat Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme;
5)     kegiatan misi dan zending Kristen di Indonesia yang semakin menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat,[32]
6)     sebagai pergerakkan untuk melawan penjajahan dan penindasan yang dilakukan oleh belanda.[33]
Tujuan dari organisasi Muhammadiyah kemudian dirumuskan sebagai berikut :
1)     Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam dengan Mengembalikan dasar kepercayaan umat pada tuntunan Al-Quran dan Hadits
2)     Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran  modern;
3)     Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam
4)     Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar
5)     Mengamalkan ajaran-ajaran islam dalam amal perbuatan yang berguna bagi masyarakat
6)     Membebaskan manusia dari ikatan-ikatan tradisionalisme, konservatisme, taqlidisme, dan formalism yag membelenggu hidup dan kehidupan masyarakat islam sebenarnya

Pemikiran Muhammadiyah
Aqidah
Dari berbagai penelitian tentang K.H.A. Dahlan hampir semuanya sepakat bahwa pemikirannya tidak dapat dipisahkan dari ide-ide pembaharuan, seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang menolak ajaran-ajaran yang tidak ada sunnahnya dari rasulullah (bid’ah), hal-hal yang berbau tahayul dan kurafat.[34]
Selain itu, salah satu doktrin lain yang amat melekat di muhamadiyah adalah tentang Amar ma’ruf nahi munkar. Amar ma’ruf nahi munkar merupakan ungkapan terpenting dalam lingkungan muhammadiyah.Awalnya gagasan ini hanya seputar masalah agama, namun berkembang luas ke berbagai permasalahan umat seperti politik, pendidikan, sosial, budaya dan lainnya.[35] Dalam upaya mencegah dari kemungkaran, yang paling tampak adalah upaya mencegah kemungkaran dalam bentuk TBC (tahayul, bid’ah dan churafat).[36]

Fiqh Ibadah
Karena muhammadiyah menganut paham purifikasi (pemurnian), maka dalam kegiatan beribadah pun muhammadiyah meninggalkan segala bentuk amal ibadah yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah serta tidak sesuai dengan pamahaman salaf, seperti Niat shalat yang dilafazkan, adzan dua kali pada shalat Jumat, mewajibkan Qunut Subuh, Witir, dan Nazilah, Shalat Tarawih 23 rakaat, Dzikir dengan suara keras, Penentuan awal ramadhan dan 1 syawal, Tawasul, Tahlil, dan makruhnya hukum Rokok.[37]
Berikut sikap muhammadiyah terhadap hal tersebut :[38]
a.      Niat Shalat: Muhammadiyah berpendapat bahwa niat shalat itu di hati, tidak perlu diucapkan.
b.     Shalat Jum‘at:  shalat Jum‘at biasanya diadakan dengan satu kali adzan dan tanpa Ma‘ashiral
c.      Qunut Subuh, Witir, dan Nazilah: Muhammadiyah berpendapat qunut Subuh bukan merupakan sesuatu yang disunnahkan atau yang diwajibkan. Muhammadiyah berpendapat bahwa Qunut Subuh dan Witir bukan suatu amalan sunnah.
d.     Shalat Tarawih: mengenai Shalat Tarawih Muhammadiyah berpendapat dikerjakan 8 Raka‘at di tambah Witir 3 Raka‘at
e.      Dzikir dengan Suara Keras: dzikir ba‘da shalat menurut muhammadiyah dilakukan sendiri-sendiri dan dengan suara rendah
f.      Penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal: muhammadiyah menggunakan metode hisab (perhitungan tanggal melalui ilmu astronomi)
g.     Tawassul: Muhammadiyah menganggap bahwa berdoa melalui perantara atau dengan ber-tawassul adalah tidak boleh hukumnya
h.     Tahlilan: Muhammadiyah tidak membolehkannya, disebabkan ada unsur-unsur bid‘ah di dalamnya. Esensi pokok tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai perbuatan bid'ah bukan terletak pada membaca kalimat la ilaha illallah, melainkan pada hal pokok yang menyertai tahlil, yaitu; Mengirimkan bacaan ayat-ayat al-Qur'an kepada jenazah atau hadiah pahala kepada orang yang meninggal,Bacaan tahlil yang memakai pola tertentu dan dikaitkan dengan peristiwa tertentu.[39]

b.     Nahdhatul Ulama dan pokok-pokok pemikirannya
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan yang berhaluan Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah,[40] sebagai wadah pengemban dan mengamalkan ajaran Islam Ala Ahadi al-Mazhabi al-Arba’ah dalam rangka mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.[41] Dengan kata lain sebagai salah satu ormas tertua, NU merupakan satu-satunya organisasi masa yang secara keseluruhan bahwa Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah sebagai mazhabnya.[42]
Sehingga, ketika NU berpegang pada mazhab, berarti mengambil produk hukum Islam (fiqh) dari empat Imam Mazhab, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali.[43]
Dalam kenyataan NU lebih condong pada pendapat Imam asy-Syafi’i, oleh karenanya NU sering “dicap” sebagai penganut fanatik mazhab Syafi’i. Hal ini dapat dilihat dari cara NU mengambil sebuah rujukan dalam menyelesaikan kasus-kasus atau permasalahan-permasalahan yang muncul. Alasan yang sering dilontarkan adalah umat Islam Indonesia manyoritas bermazhab Syafi’i.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah yang bertujuan membagun atau mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada  Allah SWT senantiasa berpegang teguh pada kaidah-kaidah keagamaan (ajaran Islam) dan kaidah-kaidah fiqh lainnya dalam merumuskan pendapat, sikap dan langkah guna memajukan jam’iyah tersebut. Dalam bidang keagamaan dan kemasyarakatan  alam pikiran (pokok ajaran) Nahdlatul Ulama (NU)  secara ringkas dapat  dibagi menjadi tiga bidang ajaran yaitu; bidang aqidah, fiqh, dan tasawuf.[44]
Dalam bidang aqidah yang dianut oleh NU sejak didirikan pada 1926 adalah Islam atas dasar Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Faham ini menjadi landasan utama bagi NU dalam menentukan segala langkah dan kebijakannya, baik sebagai organisasi keagamaan murni, maupun sebagai organisasi kemasyarakatan. Hal ini ditegaskan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)., bahwa NU mengikuti Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan (mazhab). Adapun faham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah  yang dianut NU adalah faham yang dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.[45]
Keduanya dikenal memiliki keahlian dan keteguhan dalam mempertahankan i’tiqad (keimanan) Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah seperti yang telah disyaratkan oleh Nabi SAW dan para sahabatnya. Jadi dalam melaksanakan ajaran Islam, bila dikaitkan dengan masalah-masalah aqidah harus memilih salah satu di antara dua yaitu al-Asy’ari dan al-Maturidi.
Sementara dalam bidang fiqh ditegaskan bahwa: Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah Islam menurut faham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah dan mengikuti faham salah satu mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Namun dalam prakteknya para Kyai adalah penganut kuat dari pada mazhab Syafi’i.[46]
Jadi dengan demikian NU memegang produk hukum Islam (fiqh) dari salah satu empat mazhab tersebutartinya bahwa dalam rangka mengamalkan ajaran Islam, NU menganut dan mengikuti bahkan mengamalkan produk hukum Islam (fiqh) dari salah satu empat mazhab empat sebagai konsekuensi dari menganut faham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Walaupun demikian tidak berarti terus Nahdlatul Ulama tidak lagi menganut ajaran yang diterapkan Rasulullah SAW.sebab keempat mazhab tersebut dalam mempraktekkan ajaran Islam juga mengambil landasan dari Al-Qur’an dan as-Sunnah di samping Ijma’ dan Qiyas sebagai sumber pokok penetapan hukum Islam.[47]
Sikap kemasyarakatan NU bercirikan pada sifat: tawasut dan i’tidal, tasamuh, tawazun dan amar ma’ruf nahi munkar.[48] Sikap ini harus dimiliki baik oleh aktifis Nahdlatul Ulama maupun segenap warga dalam berorganisasi dan bermasyarakat:
1.          Sikap Tawasut dan I’tidal.
Tawasut artinya tengah, sedangkan I’tidal artinya tegak.Sikap tawasuth dan i’tidal maksudnya adalah sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah-tengah kehidupan bersama.[49] Dengan sikap dasar ini, maka NU akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersikap membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatarruf (ekstrim).
2.          Sikap Tasamuh.
Maksudnya adalah Nahdlatul Ulama bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan teruma hal-hal yang bersifat furu’ atau yang menjadi masalah khilafiyah maupun dalam masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan kebudayaan.
3.          Sikap Tawazun.
Yaitu sikap seimbang dalam berkhidmad.Menyesuaikan berkhidmad kepada Allah SWT, khidmat sesama manusia serta kepada lingkungan sekitarnya. Menserasikan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
4.           Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Segenap warga Nahdlatul Ulama diharapkan mempunyai kepekaan untuk mendorong berbuat baik dan bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat, serta mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahakan nilai-nilai kehidupan manusia.
Dengan adanya beberapa aspek tersebut di atas, diharapkan agar kehidupan umat Islam pada umumnya dan  warga Nahdlatul Ulama pada khususnya, akan dapat terpelihara secara baik dan terjalin secara harmonis baik dalam lingkungan organisasi maupun dalam segenap elemen masyarakat yang ada. Demikian pula perilaku warga Nahdlatul Ulama agar senantiasa terbentuk atas dasar faham keagamaan dan sikap kemasyarakatan, sebagai sarana untuk mencapai cita-cita dan tujuan yang baik bagi agama maupun masyarakat.

c.      Aliran Jabariyah, tokoh-tokoh dan pokok-pokok pemikirannya
Kata Jabariyah berasal dari katajabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa namajabariyah berasal dari katajabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu.[50]Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi jabariyah (dengan menambah ya nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme).Lebih lanjut Asy-Syahratsan menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah.[51])Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa Inggris Jabariyah  disebut dalam fatalism atau predestination, yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.[52]
Mengenai kemunculan faham al-jabar ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab.Diantara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin.Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka.[53]Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam. 
Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri.Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup.Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam.Hal ini membawa mereka kepada sikap fatalism.[54]
Faham Jabariyah secara nyata menjadi aliran yang disebarkan kepada orang lain pada masa pemerintahan bani Umayah. Dan yang dianggap sebagai pendiri utama adalah Al-Ja’d bin Dirham. Diperoleh berita bahwa pemahaman Ja’ad didapat dari Banan bin Sam’an dari Talut bin Ukhtu Lubaid bin A’sam tukang sihir dan memusuhi Nabi SAW.[55]Ja’d semula tinggal di Damsyik, tetapi karena pendapatnya bahwa Al-Qur’an itu makhluk, maka ia selalu dikejar-kejar oleh penguasa bani Umayah, karena itu ia lari ke Kufah dan ia bertemu dengan Jaham bin Sofwan.
Kemudian faham ini disebarkan dengan gigih  oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan yang merupakan murid Ja’d bin Dirham. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah.Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayah.Dalamperlawanan itu Jahm sendiri dapat ditangkap dan kemudian dihukum bunuh di tahun 131 H.[56] 
Namun, dalam perkembangannya, faham al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar.
Menurut Asy-Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat.[57] Di antara doktrin Jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya.Di antara pemuka Jabariyah ekstrimadalah berikut ini : 
a)          Jahm bin Shofwan
Sebagai seorang penganut dan penyebar faham Jabariyah, banyak usaha yang dilakukan Jahm yang tersebar ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk. Pendapatnya yang berkaitan dengan Teologi adalah :
1)  Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa.
2)  Surga dan neraka tidak kekal.
3)  Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati.
4)  Kalam Tuhan adalah makhluk.
5)  Akal sebagai ukuran baik dan buruk.

b)          Ja’d bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskannya sebagai berikut :[58]
1)       Al-Qur’an itu adalah makhluk.
2)       Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk.
3)       Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda dengan Jabariyah ekstrim.Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan yang jahat maupun perbuatan yang baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya.Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisitin).[59]Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan).Yang termasuk tokoh Jabariyah moderat adalah berikut ini  : 

a)          An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (meninggal 210 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Di antara pendapat-pendapatnya adalah : 
1)  Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.
2)  Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat.

b)          Adh-Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Di antara pendapat-pendapatnya adalah :
1)  Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husain bin Muhammad An-Najjar, yakni manusia mempunyai bagian dalam perwujudan dari perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. 
2)  Mengenai ma’rifat Tuhan di akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. 
3)  Hujjah yang dapat diterima setelah nabi adalah Ijtihad. Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.[60]

 

d.     Aliran Qadariyah, tokoh-tokoh dan pokok-pokok pemikirannya
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan.[61] Adapun menurut pengertian terminology Qadariyah  adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak di intervesi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; Ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.Berdasarkan pengertian tersebut, dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Latar belakang timbulnya Qadariyah ini sebagai isyarat menentang kebijaksanaan politik Bani Umayyah yang dianggapnya kejam.Tak dapat diketahui dengan pasti kapan faham ini timbul dalam sejarah perkembangan teologi Islam.Tetapi menurut keterangan ahli-ahli teologi Islam, faham Qadariyahpertama kali dikenalkan oleh Ma’bad Al-Juhani dan temannya Ghailan Al-Dimasyqi.Keduanya memperoleh pahamnya dari orang Kristen yang masuk Islam di Irak.Sedangkan menurut Ali Sami’ bahwa Ma’bad Al-Juhani sebagian besar hidupnya tinggal di Madinah, kemudian menjelang akhir hayatnya baru pindah ke Basrah.Dia adalah murid Abu Dzar Al-Ghiffari, musuh Utsman dan Bani Umayyah.Sementara Ghailan Al-Dimasyqi adalah seorang Murji’ah yang pernah berguru kepada Hasan ibn Muhammad ibn Hanafiyah.[62] 
Ma’bad Al-Juhani adalah seorang Tabi’i yang baik.Tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abd Al-Rahman Ibn Al-Asy’ari, Gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah.Dalam pertempuran dengan Al-Hajjaj, Ma’bad mati terbunuh dalam tahun 80 H. 
a)          Ajaran Ma’bad Al-Juhani
Perbuatan manusia diciptakan atas kehendaknya sendiri, oleh karena itu ia bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Tuhan samasekali tidak ikut berperan serta dalam perbuatan manusia, bahkan Tuhan tidak tahu sebelumnya apa yang akan dilakukan oleh manusia kecuali setelah perbuatan itu dilakukan, barulah Tuhan mengetahuinya.
b)          Ajaran Ghailan Al-Dimasyqi
1)            Manusia menentukan perbuatannya dengan kemauannya dan mampu berbuat baik dan buruk tanpa campur tangan Tuhan. Iman ialah mengetahui dan mengakui Allah dan Rasul-Nya, sedangkan amal perbuatan tidak mempengaruhi iman.
2)            Al-Qur’an itu makhluk.
3)            Allah tidak memiliki sifat.
4)            Iman adalah hak semua orang, bukan dominasi Quraisy, asal cakap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.[63]


c)          Ajaran An-Nazzam
Manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.

e.     Aliran Khawarij, tokoh-tokoh dan pokok-pokok pemikirannya
Khawarij adalah aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul.Secara etimologis, kata khawarij berasal dari bahasa Arab yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul atau memberontak. Menurut Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati jama’ah, baik ia keluar pada masa sahabat Khulafaur Rasyidin atau pada masa tabi’in secara baik-baik.[64] Berdasarkan pengertian etimologi ini pula, Khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat Islam.[65]
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu sekte atau kelompok atau aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim) dalam perang Siffin pada tahun 37H/648M, dengan kelompok bughat(pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah.[66]
Kelompok yang tidak menerima tahkim dan keluar dari kelompok Ali dikarenakan mereka menganggap bahwa orang yang mau berdamai ketika pertempuran adalah orang yang ragu akan pendiriannya, dalam kebenaran peperangan yang ditegakkan. Hukum Allah sudah nyata, kata mereka.Siapa yang melawan khalifah yang sah harus diperangi. Mereka juga tidak menyukai berhukum kepada Al Qur’an seperti yang diserukan Muawiyah, karena mereka berpaham :
1.      Berhukum kepada Qur’an itu hanya ucapan bibir saja, sedang hakikatnya akan berhukum pada “delegasi” yang berunding.
2.      Menerima penghentian tembak-menembak itu berarti ragu atas kebenaran pendirian.
3.      Orang yang ragu-ragu tidak berhak menjadi imam, kata mereka.
Kaum ini akhirnya membenci Sayyidina ‘Ali karena dianggapnya lemah dalam menegakkan kebenaran, sebagaimana mereka membenci Muawiyah yang melawan Khalifah yang sah.Inilah asal usul kaum Khawarij.[67]
Diantara Doktrin-doktrin dari segi teologi yang dikembangkan oleh khawarij:
a.      Seorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus di bunuh. Yang sangat anarkis ( kacau ) lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah di anggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapakan pula.
b.      Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam darul harb (negara musuh) , sedang golongan mereka sendiri di anggap darul islam (negara islam).
c.      Seseorang harus menghindari pimpinan yang menyeleweng.
d.      Adanya wa’ad dan wa’id ( orang yang baik harus masuk surga sedangkan orang yang jahat masuk ke dalam neraka).

8.     Apa yang anda ketahui tentang tokoh pemikir berikut ini dan sebutkan beberapa pokok pemikirannya
a.      K.H. Ahmad Dahlan
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868, Nama kecil KH.Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy.Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya.
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pemikiran KH. Ahmad Dahlan
  1. Dalam bidang Akidah, pandangan KH Ahmad Dahlan sejalan dengan pandangan dan pemikiran ulama salaf.
  2. Menurut perspektif KH Ahmad Dahlan, bahwa beraga adalah beramal. Artinya, bahwa beragama itu berkarya dan berbuat sesuatu: melakukan tindakan sesuai dengan isi pedoman al-Qur'an dan Sunnah. Dalam pengertian ini, orang yang beragama adalah orang yang menghadapkan jiwa dan hidupnya hanya dengan kepada Allah Swt., yang dibuktikan dengan tindakan dan perbuatan, seperti rela berkorban, baik dengan harta benda miliknya atau dengan ilmunya, dan bekerja dalam berbagai segi kehidupan hanya karena dan untuk Allah semata.
  3. Dasar pokok (sumber pokok) hukum Islam menurut KH Ahmad Dahlan adalah al-Qur'an dan Sunnah. Jika dari keduanya tidak diketemukan kaidah hukum yang eksplisit, maka ditentukan berdasarkan kepada penalaran dengan mempergunakan kemampuan berpikir logis (akal pikiran) serta ijma' dan qiyas.
  4. Dalam pandangan KH Ahmad Dahlan terdapat 5 jalan untuk memahami al- Qur'an, yaitu: mengerti artinya, memahami maksudnya (tafsir), selalu bertanya pada diri sendiri, apakah larangan agama yang telah diketahui telah ditinggalkan dan apakah perintah agama yang dipelajari sudah dikerjakan atau belum, tidak mencari ayat lain sebelum isi ayat sebelumnya dikerjakan.
  5. KH Ahmad Dahlan menyatakan bahwa tindakan nyata adalah wujud konkrit dari hasil penerjemahan al-Qur'an dan organisasi adalah wadah tindakan nyata tersebut. Untuk memperoleh pemahaman demikian, orang Islam harus selalu memperluas dan mempertajam kemampuan akal pikiran dengan ilmu logika atau ilmu mantik (mantiq)
  6. Sesuai dengan dasar pemikiran bahwa sesorang itu perlu suka dan bergembira, maka orang tersebut harus yakin bahwa mati adalah bahaya, akan tetapi lupa kematian merupakan bahaya yang jauh lebih besar dari kematian itu sendiri. Disamping itu, kyai menyatakan selanjutnya, bahwa harus ditanamkan dalam hati seseorang ghirah dan gerak hati untuk maju dengan landasan moral dan ikhlas dalam beramal.
  7. Kunci persoalan kehidupan adalah peningkatan kualitas hidup dan kemajuan yang sedang berkembang dalam tata kehidupan masyarakat ( dalam kaitannya dengan pandangan ini kyai menyampaikan pesan kepada umat untuk menjadi insinyur, guru, master dan untuk kembali berjuang dalam Muhammdiyah)
  8. Pembinaan generasi muda (kader) dilakukan kyai dengan jalan interaksi langsung. Untuk melaksanakan teorinya tersebut, kyai mendirikan kepanduan yang selanjutnya diberi nama Hisbul-Wathan(HW)
  9. Strategi menghadapi perubahan sosial akibat modernisasi adalah merujuk kepada al-Qur'an, menghilangkan sikap fatalisme, dan sikap taqlid. Strategi tersebut dilaksanakan dengan menghidupkan kiwa dan semangat ijtihad melalui peningkatan kemampuan berpikir logis-rasional dan mengkaji realitas sosial.

b.               Mohd. Natsir
Muhammad Natsir lahir di jembatan berukir, Alahan Panjang. Kabupaten Solok, Sumatera Barat, pada hari Jum’at 17 Juli 1908. Ibunya bernama Khadijah, sedangkan ayahnya bernama Muhammad Idris Sutan Saripado, seorang pegawai rendah yang pernah menjadi juru tulis pada kantor kontroler di Maninjau. Ia  memiliki tiga saudara kandung bernama Yukinah, Rubiah, dan Yohanusun. Ketika menamatkan pendidikan HIS di Padang, ia melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi yaitu MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dengan mendapatkan beasiswa dari Belanda.[68]
Ide Pemikiran Muhammad Natsir
a)     Pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk memimpin dan membimbing agar manusia yang dikenakan sasaran pendidikan tersebut dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna.
b)     Pendidikan harus diarahkan untuk menjadikan anak didik yang memiliki sifat kemanusian dan mencapai akhlakul karimah yang sempurna.
c)     Sarana harus berperan sebagai sarana untuk menghasilkan manusia yang jujur dan benar
d)     Pendidikan agar berperan bahwa manusia dapat mencapai tujuan hidupnya yaitu menjadi hamba Allah SWT.
e)     Pendidikan harus menjadikan manusia yang dalam segala perilaku harus berinteraksi vertical dan horizontalnya selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam
f)      Pendidikan harus benar- benar mendorog sifat kesempurnaan.[69] 
Menurut M. Natsir tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah merealisasikan idealitas Islam yang pada intinya adalah menghasilkan manusia yang berperilaku islami, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Ketaatan kepada Allah mengandung makna menyerahkan diri kepada Allah dan menjadikan manusia menghambakan diri hanya kepada- Nya.[70]

c.                Abu Daud Beureueh
Tidak ada catatan yang pasti dimana dengan Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh lahir. Mungkin zaman dulu belum ada untuk mencatat tanggal lahir dan belum ada akte kelahiran layaknya zaman kita ini. Namun dalam Wikipedia disebutkan bahwa Daud Beureu-eh lahir pada tanggal 17 September 1899.[71] 
M. Nur El Ibrahimy mengisahkan bahwa Daud Beureu-eh menempuh pendidikannya di pesantren. Pertama sekali beliau belajar di Pesantren Titeu yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Hamid selama enam bulan. Kemudian beliau belajar di Pesantren Iie Leumbeu dibawah pimpinan Tgk. Ahmad Harun. Setelah menyelesaikan pendidikannya selama 4,5 tahun di pesantren tersebut, beliau sudah mantap pengetahuannya dan menjadi ulama.[72]
Daud Beureu-eh tidak meninggalkan karya tulis yang memuat pokok-pokok pikirannya, baik tentang agama maupun politik.Tgk Daud Beureu-eh terkenal sebagai singa podium yang sering menyampaikan pikiran-pikirannya secara lisan. Dengan demikian pemikiran-pemikiran beliau hanya terekam dalam memori para pendengarnya dan sulit untuk dilacak.
Namun Tgk. Daud Beure-eh adalah sosok ulama yang terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dari Saudi Arabiya dan juga pemikiran Jamaluddin Al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh dari Mesir dan juga ulama-ulama lain yang semisal mereka.
Gerakan revolusioner yang dilakukan oleh Abu Beureu-eh dan kebenciannya kepada kolonialisme hampir menyerupai dengan gaya-gaya Jamaluddin Al-Afghani. Sedangkan dalam hal pendidikan modern, Daud Beureu-eh nampaknya terpengaruh dengan pemikiran Abduh dari Mesir. Dalam hal ketauhidan, saya punya asumsi bahwa keyakinan Abu Daud Beureu-eh hampir menyerupai dan bahkan seirama dengan Muhammad bin Abdul Wahab yang sangat anti kepada syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul.
Tungku Muhammad Daud Beureueh merupakan seorang ulama besar, seorang pemimpin rakyat, mantan Gubernur Militer Aceh mempunyai keinginan untuk membentuk Negara Islam Aceh. Perjuangan beliau mempertahankan Republik ini dengan maksud mengislamkan seluruh pelosok Negera Indonesia khususnya Aceh. Namun dalam perjalanannya hal itu gagal dicapai dikarenakan Indonesia menganut ideologi nasionalisme. Bahwa Konsep Negara Islam Aceh dalam perspektif pemikiran politik Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah Islam sebagai dasar Negara dan Syariat Islam sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dan dijalankan oleh Rasulullah SAW.
Faktor yang menyebabkan kegagalan dalam mengimplementasikan konsep Negara Islam Aceh adalah propaganda yang dilakukan oleh pihak pemerintah pusat, perpecahan dalam kubu DI/TII, tidak adanya dukungan dari pemerintah pusat. Yang bahwa Negara Islam Aceh adalah cita-cita dari pemikiran Teungku Muhammad Daud Beureueh karena Islam tidak dapat dipisahkan dengan Aceh karena Islam pula Aceh akan menjadi wilayah yang subur, makmur aman dan sejahtera.
Tujuan utama pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Abu Beureu-eh di Aceh pada 21 September 1953 adalah untuk membentuk Negara Islam. Dalam maklumat pemberontakan tersebut dinyatakan bahwa mereka akan melenyapkan kekuasaan Pancasila di Aceh dan menggantinya dengan Pemerintah Negara Islam.[73]
Abu Beureu-eh juga menyatakan bahwa pemberontakan yang dilakukannya terhadap Pemerintah Indonesia merupakan ekses dari tidak terealisasinya janji Soekarno.Menurut Abu Beureu-eh Soekarno adalah orang yang paling bertanggung jawab atas pemberontakan tersebut.Abu Beureu-eh juga berprinsip bahwa siapa saja yang tidak menjalankan hukum Allah, maka di adalah kafir.[74]
A. H. Geulanggang dalam bukunya menyimpulkan bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh Abu Beureue-eh adalah murni untuk menegakkan Syari’at Islam di Aceh dan bukan karena beliau digeser dari kursi pemerintahan sebagaimana dituding oleh sebagian pihak yang anti kepada perjuangan Abu Beureu-eh.[75] 

d.               K.H. Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur merupakan anak seorang tokoh besar umat Islam, khususnya NU. Ayahnya, KH Wahid Hasyim, anak pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia, bernama Hasyim Asy'ari.
Tidak jelas kapan tepatnya tanggal kelahiran beliau, karena walaupun dia selalu berulang tahun pada tanggal 4 Agustus, sebenarnya itu bukanlah hari kelahiran beliau yang sesungguhnya, Gus Dur memang dilahirkan pada hari keempat bulan kedelapan, akan tetapi perlu diketahui bahwa tanggal itu adalah menurut kalender Islam yakni tanggal 4 Sya’ban 1940 yang jika ditelusuri maka tanggal itu sebenarnya adalah 7 september[76]. Dilahirkan di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa Timur, dengan nama asli Abdurrahman ad-Dakhil, nama yang diberikan oleh ayahnya yang diambil dari nama salah seorang pahlawan dari dinasti Umayyah[77].
K.H. Abdurrahman Wahid memiliki sebuah pemikiran yang sangat bagus dalam hal tasamuh (toleransi) antar umat manusia. Toleransi antar umat manusia ini yang akan mampu menciptakan kedamaian dunia,  memangkas sekat-sekat pemisah untuk saling berinteraksi dengan damai. Tiga pilar pemikiran gusdur : (1) keyakinan bahwa Islam harus secara katif dan subtansif ditafsirkan ulang atau dirumuskan ulang agar tanggap terhadap tuntunan kehidupan modern, (2) keyakinan bahwa, dalam kontek Indonesia Islam tidak boleh menjadi agama Negara, dan (3) Islam harus menjadi kekuatan yang inklusif, demokratis dan pluralis, bukan ideologi Negara yang ekskusif.[78]
Gus Dur adalah intelektual bebas dari tradisi akademik pesantren sehingga tulisan-tulisannya cenderung bersifat reflektif, membumi, terkait dengan dunia penghayatan realitas.Dengan adanya tulisan-tulisannya menjadi bukti bahwa gerakan atau aksi Gus Dur tidak hampir teori atau tanpa visi, yang sewaktu-waktu bisa terjerumus pada fragmatisme politik.
Jika dilihat dari segi kultural Gus Dur melintasi tiga cultural :
1.     Kultural dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal.
2.     Budaya Timur Tengah yang terbuka dan keras.
3.     Lapisan budaya barat yang liberal, rasional dan sekuler.[79]
Abdurahman Wahid yakin bahwa Islam bermula sebagai suatu reformasi dinamis yang mengangungkan status manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi yang bertanggungjawab untuk menyaksikan, menyebarkan dan menerapkan cara hidup yang dibenarkan Tuhan.[80]
Abdurrahman Wahid pernah mengatakan megenai toleransi dan dialog antar agama atau antar iman dalam pemikirannya mengenai pluralisme. Apabila berfikir positif tentang pluralisme. Otomatis di dalamnya sudah ada unsur-unsur yang menunjukkan sikap toleran terhadap keberbedaan.[81]
Setidaknya ada lima gagasan besar pemikiran yang diperjuangkan Abdurrahman Wahid sepanjang hidupnya melalui berbagai aktivitas sosial, politik dan keagamaannya.
Pertama, dalam keyakinan Abdurrahman Wahid sesuai dengan khazanah keilmuan NU, syariat Islam diturunkan kepada manusia tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk melindungi kepentingan dasar manusia itu sendiri, mewujudkan kedamaian, kemaslahatan dan kemajuan di antara mereka. Untuk tujuan itu, para ulama di masa lampau merumuskan sebuah konsep yang dienal dengan maqashid as-syari’ah atau tujuan-tujuan syariat.
Kedua, Abdurrahman Wahid adalah tokoh agama yang sangat anti-kekerasan. Baginya, kekerasan bukan hanya bertentangan secara diametral dengan ajaran Islam, tetai juga merugikan Islam itu sendiri. Dalam konteks inilah, Abdurrahman Wahid selalu mengedepankan dialog, baik antar-umat seagama maupun antar-agama.
Ketiga, demokrasi adalah bagian dari manifestasi tujuan syariat dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, dalam dunia modern demokrasilah yang dapat mempersatukan beragam arah kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa.
Keempat, Abdurrahman Wahid adalah penjaga tradisi, dimana menurut pandangannya, agama dan budaya bersifat saling melengkapi.Agama bersumber dari wahyu dan memiliki norma-norma sendiri. Norma-norma agama bersifat normatif, karenanya ia cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya adalah kreativitas manusia, karenanya ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung untukk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk udaya.
Kelima, menurut Abdurrahman Wahid, Islam akan lebih efektif dan membumi jika berfungsi sebagai etika sosial. Hukum agama, kata beliau, tidak akan kehilangan kebesarannya dengan berfungsi sebagai etika masyarakat. Bahkan kebesarannya akan memancar, karena ia mampu mengembangkan diri tanpa dukungan massif dari institusi negara.[82]

e.               Nurchalis Madjid
Nurcholish Madjid dilahirkan pada tanggal 17 Maret 1939 M dan bertepatan 26 Muharram 1358, di Jombang, sebuah kota Kabupaten di Jawa Timur. Nurcholish Madjid dibesarkan dalam kultur pesantren. Ayahnya bernama H. Abdul Madjid, adalah seorang alim dari pesantren Tebu Ireng, dan masih memiliki pertalian kerabat dengan K.H. Hasyim Asy’ari pemimpin pesantren Tebu Ireng Jombang dan tokoh pendiri NU, dan juga Ra’is Akbar NU kakek Abdur Rahman Wahid. Ibu Nurcholish Madjid adalah murid K.H Hasyim Asy’ari dan anak seorang aktivis Sarekat Dagang Islam (SDI) di Kediri. Pada masa itu SDI banyak dipegang oleh kalangan kyai dari NU. Dengan demikian Nurcholish Madjid memang berasal dari kultur NU. Ketika NU bergabung dengan Masyumi tahun 1985, ayah Nurcholish Madjid masuk dalam kalangan Masyumi. Dan ketika pada saat NU keluar dari Masyumi 1952, ayah Nurcholish Madjid tidak kembali ke NU dan tetap bertahan pada Masyumi, karena berpegang pada semacam fatwa K.H. Hasyim Asy’ari bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai Islam di Indonesia yang sah.[83]
Pendidikan dasar Nurcholish Madjid ditempuh di dua sekolah tingkat dasar, yaitu, al-Wathaniyah yang dikelola oleh orang tuanya sendiri, dan di Sekolah Rakyat (SR) di Mojoanyar, Jombang. Pada kota yang sama Nurcholish Madjid melanjutkan Pendidikan Menengah Pertama (SMP). Dengan demikian, sejak dari pendidikan dasar, beliau sudah menganut dua corak pendidikan. Pertama, pendidikan dasar dengan modal pesantren, yang berorientasi pada corak “kearaban” dengan menjadikan kitrab-kitab kuning sebagai referensi pokok dan lebih menonjolkan metode tradisional. Kedua, pendidikan dengan pola umum, yang lebih berorientasi pada metode pendidikan modern. Sejak pada pendidikan dasar inilah Nurcholish Madjid sudah memperlihatkan kecerdasannya, hal ini ditandai dengan berbagai penghargaan yang diterimanya karena prestasinya.[84]

Pemikiran Nurcholis Madjid
Kemunculan neo-modernisme yang dikembangkan Nurcholish Madjid dilatar belakangi oleh sejarah perkembangan umat Islam itu sendiri. Di satu pihak, Nurcholis Madjid melihat modernisme Islam yang lahir di awal abad XX, gagal mempertahankan kesegaran pemikiran-pemikiran “pembaharuannya”, ketika gerakan ini menjadi besar. Apa yang kemudian terjadi adalah kerutinan kerja mengolah dan menyelenggarakan lembaga-lembaga “pembaharuan secara amat praktikal”.
Kerutinan ini telah menyebabkan kesempatan untuk pengolahan intelektual relatif semakin menghilang. Sikap mereka yang menentang secara tegas pemikiran tradisionalis semakin memperkering inspirasi-inspirasi intelektual. Modernisme Islam cenderung menampilkan dirinya sebagai gerakan pemikiran yang tegar, bahkan kaku. Sementara di pihak lainnya, tradisionalisme Islam cukup kaya dengan pemikiran Islam klasik. Akan tetapi justru karena kekayaan itu, para pendukung pola pemikiran ini menjadi sangat berorientasi pada masa lampau dan sempat selektif menerima gagasan-gagasan modernisasi. Akibatnya, perkembangan dan dinamika pemikiran di kalangan pendukung tradisionalme bergerak secara sangat lambat.
Nurchalis madjid  menolak konsep Negara islam, hal itu dipertegasnya dalam ceramah kebudayaan di Taman Ismail Marzuki yang kedua tahun 1972, yang mana sebagian isi ceramah itu sebenarnya merupakan pemikirannya terhadap epistimologi Islam, khususnya menyangkut dua pendekatan, yaitu pendekatan imani yang menyangkut masalah masalah keagamaan yang ukhrawi dan pendekatan ilmiah ynag meliputi masalah masalah keduniaan, baik tentang alam materi maupun social. pendekatan imani menghasilkan ibadah kepada Allah yang akan berdampak pada penyempurnaan budi luhur manusia. sementara pendekatan ilmiah harus bersifat rasional empiris yang mengahasilkan konsep amal amal sholeh.
Ia juga mengkritik konsep Negara Islam yang dianggapnya sebagai sebuah apologia saja. menurutnya ada sebab mengapa umat Islam bersiakap apologi terhadap pemikiran pemikiran mereka. Pertama, sikap defensive mereka terhadap serbuan ideology ideology barat (modern), seperti demokrasi, sosialisme dan sebagainya yang bersifat totaliter. Umat islam menjawab serbuan itu dengan kosep al-Dien yang mencakup kesatuan agama dan Negara, namun tidak didasarkan kepada kajian ilmiah, hanya merupakan apologia ilusif saja. kedua, paham legalisme yang yang hanya dihasilkan oleh tuntunan pendekatan fikihisme, sehingga Negara dinilai sebagai susunan hokum yang disebut syariat. padahal, menurutnya, kajian kajian fikih di zaman modern telah kehilangan relevansinya terhadap persoalan persoalan masyarakat yang senantiasa berubah.
Negara misalnya, adalah suatu gejala yang berdimensi nasional objektif, sedangkan agama berdimensi spiritual yang bersifat pribadi, keduanya memang saling berkaitan, namun tetap dibedakan. jika Negara ikut mengatur masalah agama dan kepercayaan, maka hal ini tidak sesuai dengan ajaran Islam sendiri yang tidak mengenal otoritas keagamaan (la rahbaniyyah fi al Islam) tak ada otoritas kependetaan atau otoritas ulama dalam Islam.[85]
Dalam masalah kepemimpinan menurut islam, nurcholis madjid juga mengatakan bahwa kerja sama yang harmonis antara masyarakat dan pemimpin merupakan suatu keharusan, sebab pada diri manusia juga terdapat kekuatan dan kelemahan sekaligus. kekuatan diperoleh karena hakikat kesucian asalnya berada dalam fitrah, yang membuatnya senantiasa berpotensi untuk benar dan baik. Adapun kelemahannya diakibatkan oleh kenyataan bahwa ia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang lemah, pendek pikiran dan sempit pandangan serta mudah mengeluh. manusia dapat meningkatkan kekuatannya dalam kerja sama, dan dapat memperkecil kelemahannya juga melalui kerja sama.
Ia juga menyebutkan dalam konteks kekinian , syarat pokok bagi pemimpin adalah harus mampu mengembangkan tradisi dialog dua arah, tidak menggurui dan juga tidak provokatif, maka suasana keterbuakaan akan menjadi sebuah keniscayaan. Ia membandingkan model kepemimpinan orde lama dengan zaman reformasi, ia menyebutkan bahwa konsep kepemimpinan orde lama yang cenderung dictator seperti halnya orde baru  sudah tidak layak lagi digunakan di zaman sekarang maupun di masa yang akan datang.[86]
Dalam pemikirannya tentang politik Islam, ia menyebutkan ada 3 pokok permasalahan yang harus dihadapi oleh umat islam, diantaranya adalah :
1.     Perlunya  cara pemahaman yang lebih maju terhadap ajaran islam dengan cara tidak terjebak dalam paham tradisonalisasi islam, yakni dengan konsep sekularisasi yang menurut beliau tidak menjurus ke konsep sekularime.
2.     Perlunya cara berpikir yang lebih bebas, sehingga umat islam tidak lagi terkungkung dalam kekangan doktrin yang membatasi umat islam mengembangkan wawasan mereka dalam bidang politik.
3.     Perlunya idea of progress dan sikap yang lebih terbuka erhadap umat lain.



DAFTRA PUSTAKA




A Muhaimin Iskandar. Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur. Yogyakarta: LKiS, 2010

A. H. Geulanggang, Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik MR. S.M. Amin Kutaradja: Pustaka Murnihati, 1956

A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, cet,1 Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru; 2003

Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia,  2001

Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001

­­­­____________, Tokoh- Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005

Ahmad Amin, Fajr Al-Islam, Maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah li Ashhabiba Hasan Muhammad wa Auladihi, kairo, 1924

Ahmad Januri, Ideology Kaum Reformis : Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal Surabaya : lpam, 2002

Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-firaq al-Islamiyah, Mesir:Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Auladih

Ali Sami’ Nasyr, Nasy’ah al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam jilid 1, Kairo:Dar al-Ma’arif, 1977

Asy-Syahratnasy, Al-Milal wa An-Nihal, Darul Fikr, Beirut, 1997

Burhanuddin Salam, Logika Formal,  Jakarta : PT  Bina Aksara, 1988

Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an Jilid I, Jakarta: Gema Insani, 2005

Depdikbud, Kiai Haji Ahmad Dahlan dekdikbud, 1985

Ghazali Munir, Ilmu Kalam Aliran-aliran dan Pemikiran Islam, Semarang, RASAIL Media Group, 2010

Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta, LkiS, 2006

Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Wlesbanden, 1971
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986
­­­­____________, Teologi Islam : Aliran Sejarah Analisa Perbandingan Jakarta: UI. Press. cet. I. 1985
____________, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986
____________, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI, Press, cet. V, Jakarta, 1986

Ibrahim, Aliran dan Teori filsafat Islam, Bumi Aksara, Jakarta,1995

K.H. Mustafa Bisri, Beyond The Simbol, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000

Luwis Ma’luf Al-Yusu’I, Al-Munjid, Al-Khatahulikiyah, Beirut, 1945,

___________________, Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-Alam, Beirut, Dar Al-Masyriq, 1998

M, Dawam Rahardjo, merayakan kemajemukan kebebasan dan berkebangsaan(Jakarta: Kencana Media :2010

M. Nur El Ibrahimy, Peranan Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh dalam Pergolakan Aceh, Edisi Revisi Jakarta: Media Dakwah, 2001

Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota: Aktivitas Muda NU Merambah Jalan Lain,cet. I Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000

MR. SM. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di Atjeh Jakarta: Soeroengan Djakarta, 1956. 
Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Politik, analisis kritis pemikiran politik Nurcholis madjid (Jakarta :Rajawali Press :2004

Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam: Dalam Perspektif Historis dan Ideologis, cet. I Yogyakarta: LPPI, 2000

Nurcholis Madjid. Khazanah Intelektual IslamJakarta : Bulan Bintang, 1984

Ramayulis, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam,( Jakarta:  Ciputat Press Grup, 2010) h. 273

Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010

Sekretariat Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Hasil-hasil Muktamar XXX Nahdhatul Ulama Jakarta:  Sek. Jen.PBNU, 1999

Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah Jakarta: Pustaka Tarbiyah, cet. 32. 2006

Suadi Asyari, Nalar politik NU dan Muhammadiyah Yogyakarta : LKiS, 2009

Taqiyuddin an-Nabhani, Hakekat Berpikir, Jakarta: Hizbut Tahrir, 2006

Toshihiko Izutsu, Litt. D., God and Man in the Quran, Tokio, Keio University, 1964

Yusuf Amin Nugroho, Fiqh Al-Ikhtilaf Nu-Muhammadiyah ebook, 2010

Zakaria Stapa& Mohammed bin Asin Dollah,  Islam, Akidah dan Kerohanian, Malaysia. Universiti Kebangsaan Malaysia. 2001




[1] Harun Nasution, akal dan wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986),  h.39-42.

[2] Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an Jilid I, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 62

[3]Ibid., h. 62-63.

[4] Taqiyuddin an-Nabhani, Hakekat Berpikir, (Jakarta: Hizbut Tahrir, 2006), h. 5

[5]Ibid, h. 25
[6] Burhanuddin Salam, Logika Formal, ( Jakarta : PT  Bina Aksara, 1988),h.1

[7] Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1966, h. 3

[8] Langeveld, Menudju Ke Pemikiran Filsafat, 1971, h.11

[9] Poedjawijatna, Pembimbing Ke Alam Filsafat, 1974, h.11

[10] Hasbullah Bakry, Sistematik Filsafat, 1971, h.11

[11] D.C. Mulder, Pembimbing ke Dalam Ilmu Filsafat, 1966, h. 10
[12] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986, h. 5-6

[13]Toshihiko Izutsu, Litt. D., God and Man in the Quran, Tokio, Keio University, 1964, h. 65.

[14]Ibid,  h. 15
[15]Abdul Rozak, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (bandung: pustaka setia, 2001), h. 125.

[16] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), h. 5

[17]Ibid ,h. 6

[18]Ibid

[19]Harun Nasution, Ibid, h. 6

[20]Ibid, h. 6-7

[21]Ghazali Munir, Ilmu Kalam Aliran-aliran dan Pemikiran Islam, (Semarang, RASAIL Media Group, 2010), h. 4

[22]Ghazali Munir, Ibid, h. 4

[23]Ibid

[24]Ibid, h. 14

[25]Zakaria  Stapa& Mohammed bin Asin Dollah,  Islam, Akidah dan Kerohanian, (Malaysia. Universiti Kebangsaan Malaysia. 2001). h. 23

[26]. A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (cet,1 Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru; 2003h. 167

[27]Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), h. 187
[28]Ibrahim, Aliran dan Teori filsafat Islam,(Bumi Aksara, Jakarta,1995,).h.66
[29] Ghazali Munir, Ibid, h. 18-19

[30] Ibid
[31] Suadi Asyari, Nalar politik NU dan Muhammadiyah (Yogyakarta : LKiS, 2009), h. 44

[32]Depdikbud, Kiai Haji Ahmad Dahlan (dekdikbud, 1985), h. 118 – 119

[33]Suadi Asyari, Ibid, h. 41-43

[34]Suadi Asyari, Ibid, h. 44-45

[35]Depdikbud, Ibid, h. 41-43

[36]Ahmad Januri, Ideology Kaum Reformis : Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal (Surabaya : lpam, 2002), h. 175

[37]Yusuf Amin Nugroho, Fiqh Al-Ikhtilaf Nu-Muhammadiyah (ebook, 2010), h. 5

[38]Ibid,h.55-56

[39]Yusuf Amin Nugroho, Ibid, h. 136

[40]Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah pada hakekatnya adalah ajaran Islam yang sebenarnya, seperti yang diajarkan dan daiamalkan oleh Rasulullah SAW bersama  para sahabatmnya. Oleh karena itu Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah sudah timbul bersamaan dengan munculnya agama Islam sejak disampaikan syari’ah dan ajarannya oleh Rasulullah SAW. Jadi, golongan Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah adalah golongan pengikut setia ajaran yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW beserta para sahabatnya. A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran, h. 39.

[41]Sekretariat Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Hasil-hasil Muktamar XXX Nahdhatul Ulama (Jakarta:  Sek. Jen.PBNU, 1999), h.23.

[42]Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota: Aktivitas Muda NU Merambah Jalan Lain,cet. I (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), h. 86.

[43]Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam: Dalam Perspektif Historis dan Ideologis, cet. I (Yogyakarta: LPPI, 2000), h. 58

[44]M. Masyhur Amin,  NU  dan Ijtihad Politik, h. 80. Lihat juga Mohamad Shodik,Gejolak Santri Kota, h. 97 

[45]Ibid., h. 81

[46]Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota, h. 97

[47]M. Masyhur Amin,  NU  dan Ijtihad, h. 83

[48]Ibid., hlm. 86-88

[49]Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota, h. 9
[50]Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-Alam, Beirut, Dar Al-Masyriq, 1998, h. 78

[51]Asy-Syahratnasy, Al-Milal wa An-Nihal, Darul Fikr, Beirut, h. 85

[52]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI, Press, cet. V, Jakarta, 1986, h. 31

[53]Ahmad Amin, Fajr Al-Islam, Maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah li Ashhabiba Hasan Muhammad wa Auladihi, kairo, 1924, h. 45

[54]Nasution, loc, cit

[55]Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah

[56]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI, Press, cet. V, Jakarta, 1986, h.  33

[57]Asy-Syahratsani, op. cit., hlm. 85

[58]Al-Ghuraby, op., cit,.h. 28-29

[59]Nasution, op. cit., h. 35

[60]Asy-Syahratsani, Al-Mila …, h. 74

[61]Luwis Ma’luf Al-Yusu’I, Al-Munjid, Al-Khatahulikiyah, Beirut, 1945, h.436; lihat juga Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Wlesbanden, 1971, h. 745.

[62]Ali Sami’ Nasyr, Nasy’ah al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam jilid 1, (Kairo:Dar al-Ma’arif, 1977), h. 317

[63]Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-firaq al-Islamiyah, (Mesir:Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Auladih, t.t), h.34-35

[64]Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), h.4

[65]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia,  2001),h, 49

[66]Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI. Press. cet. I. 1985), h. 11
[67]Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, cet. 32. 2006) h. 115
[68] Ramayulis, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam,( Jakarta:  Ciputat Press Grup, 2010) h. 273
[69] Abuddin Nata, Tokoh- Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005) h. 81

[70] Ibid

[71] Wikipedia, Daud Beureu’eh, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Daud_Beureurueh  pada tanggal 23 Januari 2016

[72] M. Nur El Ibrahimy, Peranan Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh dalam Pergolakan Aceh, Edisi Revisi (Jakarta: Media Dakwah, 2001), h. 262
[73] MR. SM. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di Atjeh (Jakarta: Soeroengan Djakarta, 1956), h. 48. 

[74] Ibid. h.250

[75] A. H. Geulanggang, Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik MR. S.M. Amin (Kutaradja: Pustaka Murnihati, 1956), h. 43

[76]Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta, LkiS, 2006, h. 25
[77]Ibid h.35

[78]Jhon L, Esposito-Jhon O, Vall, Opcit,,  h. 264

[79] K.H. Mustafa Bisri, Beyond The Simbol, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000), cet.1 h 36

[80]Jhon L, Esposito-Jhon O, Vall, Opcit, h. 234-235

[81]  Th. Sumarta, Penebar Pluralisme, dalam Beyond The Symbols, h. 107

[82]A Muhaimin Iskandar. Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur. (Yogyakarta: LKiS, 2010)
[83] Nurcholis Madjid. Khazanah Intelektual Islam(Jakarta : Bulan Bintang, 1984). h. 35..

[84] Ibid. h. 40
[85] M, Dawam Rahardjo, merayakan kemajemukan kebebasan dan berkebangsaan, ( Kencana Media : 2010: Jakarta),h. 65

[86] Muhammad Hari .zamharir, Agama dan Politik,analisis kritis pemikiran politik Nurcholis madjid (Rajawali Press :2004.Jakarta ), h. 98

No comments:

Post a Comment