BELAJAR ADALAH KEWAJIBAN

Monday, July 18, 2016

Wahabi, Salafi dan Syiah

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam Sejarah Islam mencatat hingga saat ini terdapat banyak aliran, diantaranya adalah Salafi, Wahabi, dan Syiah. Aliran besar teologi ini sering kali terlibat konflik dan perbedaan dalam pemikiran. Terlepas dari hubungan antara aliran tersebut yang kerap kali tidak harmonis, Syi’ah, Wahabi dan Salfi sebagai mazhab atau aliran teologi sangat menarik untuk dibahas dalam makalah ini, yang meliputi pengertian, sejarah, tokoh, dan ajaran-ajaran dari aliran tersebut.
Kemunculan persoalan ini dimulai sejak zaman kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Sebenarnya persoalan ini muncul dari permasalahan politik. Tetapi lambat laun permasalahan politik ini menjadi permasalahan  theologhy. Yang akhirnya memunculkan aliran-aliran  theologhy Islam yang berbeda dalam ajaran dan pemikiran-pemikirannya.
            Awal pertama munculnya aliran-aliran ini yaitu munculnya aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Syi’ah, Qodariyah, Jabariyah, asy-‘Ariyah, dan lain sebagainya.
Yaitu sesuai dengan maksud Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani, yaitu:
افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah”.

Al-Qur’an mengakui keniscyaan perbedaan antara lain dengan firman-Nya:
وَ لَوْ شاءَ اللهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً واحِدَةً وَ لكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ في‏ ما آتاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْراتِ إِلَى اللهِ مَرْجِعُكُمْ جَميعاً فَيُنَبِّئُكُمْ بِما كُنْتُمْ فيهِ تَخْتَلِفُونَ
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Tetapi Allah hendak mengujimu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu Dia beritahukan kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,”(QS. Al-Ma’idah [5]: 48).

Semoga karya sederhana ini dapat memberikan gambaran yang utuh, obyektif dan valid mengenai Wahabi, Salafi dan Syiah, yang pada gilirannya dapat memperkaya wawasan penulis dan pembaca semuanya.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Wahabi    
a)     Sejarah, Pengertian dan Tokoh Aliran Wahabi
Wahabi adalah gerakan politik dan ideology yang tujuan utamanya adalah pemurnian Islam. Gerakan ini dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman At-Tamimi (1115- 1206 H/1703-1792 M) dari Nadj, Semenanjung Arabia, Uyainah. Muhammad Bin Abdul Wahab adalah seorang Mubalig yang Fanatik terhadap ajaran Imam Ahamad Ibn Hambal.[[1]]
Sebenarnya yang menamakan gerakan ini Wahabiah  adalah salah, karena pendirinya bernama Muhammad, bukan Abdul Wahab. Tersebut dalam kamus munjib pagina 568 bagian adab, yang artinya Wahabiah adalah suatu bagian dari Firqah Islamiah, dididirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Lawannya yang menamai Wahabiah tetapi pengikutnya menamakan Al-Muwahiddun dan thariqat mereka dinamai dengan Al-Muhammadiyah. Dalam firqah mereka berpegang kepada Mazhab Hanbali.[[2]]
Muhammad bin Abdul Wahab pernah belajar di Madinah dan guru-gurunya merasa khawatir pada pemikiran dan pernyataan-pernyataan yang sering dilontarkan yaitu pernyataan-pernyataan ekstrem yang menghujat para ulama. Ia belajar di Mekkah di bawah bimbingan Muhammad Sulaiman Al-Kurdi, Abdul Wahab (Bapaknya) dan Sulaiman bin Abdul Wahab (kakaknya). Kemudian merantau ke Bashrah dan ke Baghdad. [[3]]
Pada saat kembali ke tempat dia dilahirkan yatu Uyainah ia melihat masyarakat banyak melakukan perbuatan di luar syariat Islam. Contohnya, tawassul dengan pohon kurma yang besar, memuja dan berdo’a kuburan para sahabat, keluarga Nabi, dan Rasulullah Saw. Ia mendengar kabar bahwa di Madinah terdapat orang-orang yang memohon pertolongan kepada orang yang telah Wafat (Muhammad Saw) dan meminta selain kepada Allah. Dan ia menilai tindakan tersebut bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw.[[4]]
             Muhammad bin Abdul Wahab pernah menulis beberapa risalah atau makalah pendek yang dikumpulkan menjadi  “Kitab At-Tauhid” yang kini menjadi rujukan para ulama. Di dalamnya terdapat larangan membuat bangunan di atas kuburan dan memasang lampu di dalamnya. Juga melarang orang melakukan tindakan yang menjerumuskan mereka pada syirik. Seperti melarang bertawassul dengan menggunakan nama orang sholeh.[[5]]
            Aliran Wahabiyah secara historis berasal dari pemikiran dan fatwa yang di kembangkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ahmad bin Hanbal. Dengan dukungan pemerintah Arab Saudi, ajaran Wahabiyah cepat menyebar dan menginspirasi lahirnya gerakan pembaruan Islam Indonesia yang ditandai berdirinya Muhammadiyah dan Persatuan Islam[[6]]

b)     I’tiqad Kaum Wahabi
1.    Mendo’a dengan Bertawasul Syirik
2.    Istigatsah Syirik
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ul Fatawa mengatakan “ulama telah sepakat untuk tidak memperbolehkan bernadzar kepada selain Allah , baik itu Nabi atau yang lain Nadzar yang demikian merupakan perbuatan Syirik dan tidak harus di tepati [[7]]
Dalam kitab karangan ulama Wahabi, berjudul “At Hidayatus Saniyah wat Tuhfatul Wahabiyah”. Pada pagina 66 yaitu: “Barang siapa menjadikan malaikat, Nabi-Nabi, Ibnu Abbas, Ibnu Abi Thalib atau Mahjub perantara antara mereka dengan Allah, karena mereka dekat dengan Allah, seperti yang banyak diperbuat orang dihadapan raja-raja, maka orang itu kafir, musyrik, halal darahnya dan hartanya, walaupun ia mengucapkan dua kalimah syahadat, walaupun ia sembahyang, puasa dan menda’wakan dirinya muslim.” 
Cara ini syirik menurut kaum Wahabi, karena terdapat beberapa unsur kemusyrikan, yaitu:
                              i.     Memanggil dan menghadapkan pembicaraan kepada orang yang telah mati, sedang orang itu sudah menjadi bangkai.
                            ii.     Meminta atau memohon pertolongan kepada orang mati, kepada makhluk, sedang yang boleh dijadikan tempat memohon pertolongan itu hanyalah Allah saja.
                          iii.     Menjadikan Nabi ini sebagai perantara antara ia dengan Allah, padahal setiap orang Islam boleh mendo’a langsung saja kepada Tuhan, sedangkan Tuhan itu dekat kepada sekalian hamba-Nya.
Inilah unsur-unsur kemusyrikan dalam istigatsah itu dan karenanya orang itu menjadi musyrik kalau mengerjakan ini.
3.    Berpergian Ziarah Kubur Haram dan Menjama’ serta Mengqasar Shalat tidak boleh
4.    Qubbah Diatas Kubur Haram
5.    Menghisap Rokok Haram Dan Syirik
6.    Qubbah Maulid Nabi Diruntuhi
7.    Tauhid Rububiyah dan Tauhid Ushuliyah
a.      Tauhid Rububiyah, yaitu tauhidnya orang kafir, tauhidnya orang musyrik yang menyembah berhala, atau dengan kata lain “Tauhidnya orang syirik.”.
b.     Tauhid Uluhiyah, yaitu tauhidnya orang mu’min, tauhidnya orang Islam serupa iman dan Islamnya kaum wahabi.
Kaum wahabi berpijak pada ayat Al Quran pada surat Al Mukminun ayat 84-85
Artinya: “katakanlah (hai muhammad): kepunyaan siapakah langit dan bumi dan isi nya kalau kamu mengetahui? Mereka akan menjawab: kepunyaan Allah. Kata kanlah lagi kepada mereka: mengapa kamu tidak mengambil pengertian”. (Al Mukminun: 84-85).
Dengan ayat ini kaum Wahabiah mengatakan bahwa orang kafir yang menyembah berhala percaya juga akan ada nya Tuhan, tetapi iman nya tidak sah, karena mereka menyembah berhala di samping pengakuan nya atas ada nya Tuhan.


Selain ayat tersebut juga ada ayat lainnya yaitu:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

Artinya :“Dan jikalau engkau bertanya kepada mereka, siapa yang menciptakan langit dan bumi dan menjadikan matahari dan bulan, mereka akan menjawab Allah. Maka bagaimana kamu berputar dari kebenaran?”. (Al Ankabut: 61)
Kaum Wahabiah juga mengatakan bahwa orag orang kafir mengakui adanya Allah, tetapi mereka menyembah selain Allah.
Jadi mereka menyimpulkan bahwa orang yang mengakui adanya Tuhan, tetapi menyembah selain Tuhan, ini nama nya Tauhid Rububiyah, yaitu Tauhidnya orang yang menyekutukan Allah. Menurut mereka ialah Tauhid sebenar-benarnya Tauhid, yaitu mengesakan Allah, sehingga tiada lagi yang di sembah selain Allah. Inilah Tauhid orang mukmin sejati seperti mereka dan tauhid tersebut adalah Tauhid Uluhiyah. [[8]]

c)       Ajaran-ajaran Wahabiyah dalam Ilmu Ketauhidan
Akidah-akidah yang kokoh dari aliran Wahabi yaitu bidang tauhid (pengesaan).[[9]]  Adapun ajaran aliran wahabiyah dalam ilmu ketauhidan adalah sebagai berikut:
1.     Penyembahan kepada selain Allah SWT adalah salah,
2.     Orang yang mencari ampunan Allah SWT dengan mengunjungi kuburan orang-orang shalih (wali), termasuk golongan musyrikin.
3.     Termasuk dalam golongan perbuatan musyrik memberikan pengantar kata dalam shalat terhadap nama Nabi-nabi atau wali atau malaikat.
4.     Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang tidak didasarkan atas Al Qur’an dan as Sunah, atau ilmu yang bersumber kepada akal pikiran semata.
5.     Termasuk kufur dan ilhad juga mengingkari qodar dalam semua perbuatan dan penafsiran Al-Qur’an dengan jalan takwil.
6.     Dilarang memakai buah tasbih dan dalam mengucapkan nama Allah SWT dan doa-doa cukup dengan menghitung kerata jari.
7.     Sumber syariat Islam dalam soal haram dan halal, hanyalah Al-Qur’an semata dan sumber lain yang sesudahnya ialah sunnah rasul. Pendapat ulama’ mutakallimin dan fuqoha’ tentang halal dan haram tidak menjadi pegangan, selama tidak didasarkan atas kedua sumber tersebut.
8.     Pintu Ijtihad tetap terbuka dan siapapun boleh melakukannya, asal sudah memenuhi syarat-syaratnya.[[10]]          
Orang-orang yang mengikuti aliran yang dibawakan oleh Muhammad bin Abdul Wahab tidak menggunakan sebutan wahabi, melainkan  Muwahhidun.[[11]] Menurut doktrin wahabi kembali pada kemurnian, keserdehanaan, dan ketulusan Islam yang sepenuhnya diperoleh dengan menerapkan perintah Nabi secara harfiyyah dan dengan ketaatan penuh terhadap peraktek ritual dan benar. Wahabi menolak semua upaya untuk menafsirkan hukum Allah secara historis dan kontekstual, karena dapat menimbulkan multitafsir ketika seiring dengan perkembangan zaman.

B.    SALAFI
a)     Pengertian dan Asal Usul  Salaf
Pengertian salaf mempunyai banyak makna seperti yang saya kutip dari beberapa sumber dibawah ini.
1.     Salafi atau Salafiyah. secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita. [[12]]
2.     Salaf artinya terdahulu dan Ahlu Salaf adalah orang-orang yang terdahulu.  Istilah aliran Salaf, sering dinisbatkan kepada para pengikut Ibnu Taimiyah
3.     Salafy adalah sebuah gerakan paham politik Islamisme yang mengambil leluhur (salaf) dari patristik masa awal Islam sebagai paham dasar. [[13]]
4.      Adapun makna al-Salaf secara terminologis yang dimaksud di sini adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah Saw dalam haditsnya:
Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka, kemudian yang mengikuti mereka...” (HR. Bukhari dan Muslim)
Salafi adalah kelompok yang sangat dekat dengan Nabi, mereka adalah kalangan yang sezaman dengan Nabi sehingga setiap kali ada penyimpangan baik itu dalam pemahaman maupun dalam praktek Islam meraka selalu memndapat petunjuk atau teguran dari Nabi. Kebersamaan mereka dengan Nabi adalah hal utama yang menyebabkan praktik dan pemahaman Islam dianggap sangat benar. [[14]]
Karena sikapnya yang sangat anti dengan bid’ah maka munculah sebutan terhadap kelompok Salafi sebagai orang yang suka membid’ahkan orang lain. Artinya kelompok salafi ini sering ditunding sebagai orang yang menganggap prektek ibadah dan pemahaman islam orang lain sebagi sesat karena didalam hadits disebutkan bahwa setiap Bid’ah itu Dholalah (sesat) dan setiap yang sesat itu akan mendapatkan tempatnya di Neraka. [[15]]
Penganut paham Salafiyah disebut juga dengan kaum tradisionalis. Julukan ini terkait dengan masalah sumber rujukan dalam berteologi. Bila ada masalah teologi, kaum Salafiyah mencari jawabannya pada Al-Qur’an. Bila tidak ada dijumpai dalam Al-Qur’an, mereka mencari jawabannya pada hadits mutawatir. Bila juga tidak dijumpai jawaban dari hadits mutawatir, kaum Salafiyah mencari jawabannya pada hadits masyhur. Bila tidak dijumpai juga, kaum Salafiyah akan mencari jawabannya pada hadits ahad. [[16]]
Secara lebih spesifik, kaum Salafiyah mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut:
1.          Mereka lebih mendahulukan riwayat (naqli) daripada dirayah (aqli)
2.          Dalam persoalan pokok-pokok agama dan persoalan cabang-cabang agama hanya bertolak dari penjelasan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
3.          Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (Dzat Allah) dan tidak mempunyai faham anthropomorphisme (menyerupakan Allah dengan makhluk).
4.          Mengartikan ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan makna lahirnya dan tidak berupaya untuk mentakwilnya.
Namun, secara kronologis Salafiyah sebagai sebuah aliran pemikiran, bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal. Pada abad ke 4 Hijriyah, muncullah golongan yang gigih menamakan diri mereka sebagai Salafiyah atau Salafiyin. Mereka adalah pengikut Imam Ahmad bin Hanbal yang memandang beliau sebagai tokoh yang sangat teguh bertahan pada pendirian Salaf, kendati mengalami penyiksaan dari kaum Mu’tazilah. Dengan demikian, Hanbalilah yang menanamkan batu pertama bagi pondasi gerakan Salafiyah. Lalu ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian disuburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia Islam. [[17]]
Di antara pemikiran-pemikiran yang mendasar terkait teologi yang dimiliki Salafiyah adalah sebagai berikut: [[18]]
1.     Para pelaku dosa besar berada dalam kehendak dan kekuasaan Allah SWT. Mukmin yang menjadi pelaku dosa besar tidak boleh disebut mukmin saja, tapi harus mukmin ‘ashi (bermaksiat) atau mukmin yang fasik. Nasibnya kelak di akhirat adalah bila Allah SWT memberikan pengampunan kepadanya, maka ia langsung masuk surga. Tetapi bila tidak diampuni, ia masuk neraka, tapi tidak kekal di dalamnya.
2.     Perbuatan manusia diciptakan oleh Allah SWT, dengan pengertian Allah SWT menciptakan kemampuannya tetapi Dia tidak mengendalikan manusia. Manusia tetap dipandang memiliki kebebasan kehendak untuk berbuat baik atau berbuat buruk.
3.     Allah SWT tidak mungkin membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tidak bisa dipikul manusia.
4.     Semua perbuatan Allah SWT pasti memiliki hikmah dan tujuan. Sebagian hikmah dan tujuan itu disingkapkan kepada manusia sehingga diketahui oleh manusia dan sebagian lagi tidak disingkapkan kepada manusia yang karenanya tidak dapat difahami oleh manusia.
5.     Allah SWT tidak mungkin melanggar janji dan ancaman-Nya.
6.     Manusia dengan mata kepala dapat menyaksikan Allah SWT di surga kelak.
7.     Ayat-ayat mutasyabihat tidak boleh ditakwilkan. Ayat-ayat mutasyabihat cukup difahami sebagaimana adanya, dengan tidak membandingkan atau menyamakan dengan makhluk. Sebagai misal, ungkapan yadullahi (tangan Allah) cukup difahami sebagai tangan Allah. Tetapi tangan itu sendiri tidak mungkin sama dengan tangan manusia.
8.     Al-Qur’an adalah kalamullah, dan kalamullah itu adalah kesatuan lafadz dan makna. Al-Qur’an bukanlah makhluk-Nya.
9.     Orang-orang yang tidak didatangi oleh ajaran wahyu Allah, tidak dipandang sebagai mukallaf, dan karenanya mereka tidak akan diazab di hari kiamat. Demikian halnya dengan anak-anak orang kafir yang meninggal sebelum dewasa.
10.  Nabi Muhammad SAW dapat memberikan syafaat bagi orang-orang mukmin yang berdosa di akhirat kelak, dengan izin Allah SWT.
11.  Sebagian dari peristiwa buruk alam (seperti: banjir, tsunami, gunung meletus, dsb.) bersifat relatif dalam arti peristiwa tersebut bisa jadi menjadi musibah bagi sekelompok manusia, namun mendatangkan manfaat bagi sebagian yang lain. Keburukan yang bernilai relatif ini diciptakan Allah SWT untuk hikmah tertentu yakni sebagai ujian atau cobaan untuk meninggikan derajat manusia.
12.  Sifat, nama, atau sebutan bagi Allah SWT haruslah ditetapkan atau disematkan bagi diri-Nya, sebagaimana Dia sendiri telah menetapkannya. Sifat, nama, atau sebutan bagi Allah SWT tidak boleh difahami sama seperti sifat, nama atau sebutan bagi makhluk-Nya, dan tidak boleh juga meniadakannya sama sekali dari diri Allah SWT.

b)     Tokoh Salafiyah dan Pemikirannya
1.     Imam Ahmad Ibn Hambal
Beliau dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H/780 M dan meninggal pada tahun 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah satu anaknya bernama Abdillah, namun ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbali karena merupakan pendiri Madzhab Hanbali. Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah bin Hindur Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban bin Dahal bin Akabah bin Sya’ab bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar. Di dalam keluarga Nizar, Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya Nabi Muhammad Saw.[[19]]
Ilmu yang pertama beliau kuasai adalah Al-Quran sehingga beliau hafal pada usia 15 tahun. Lalu beliau mulai berkonsentrasi belajar ilmu hadits pada awal usia 15 tahun pula. Pada usia 16 tahun ia memperluas wawasan ilmu Al-Quran dan ilmu agama lainnya kepada ulama-ulama Baghdad. Lalu mengunjungi ulama-ulama terkenal di Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah dan Madinah. [[20]]
Di antara guru-gurunya ialah Hammad bin Khalid, Ismail bin Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Abdur Razaq bin Humam dan Musa bin Tariq. Dari guru-gurunya Ibn Hanbal mempelajari ilmu fiqh, hadits, tafsir, kalam, ushul dan bahasa Arab. [[21]]
Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang yang zahid, teguh dalam pendirian, wara’ serta dermawan. Karena keteguhannya, ketika khalifah al-Makmun mengembangkan madzhab Mu’tazilah, Ibn Hanbal menjadi korban mihnah(inquisition), karena tidak mengakui bahwa Al-Quran adalah makhluk. Akibatnya, pada masa pemerintahan al-Makmun, al-Mu’tasim dan al-Watsiq, ia harus mendekam dipenjara. Namun setelah al-Mutawakkil naik tahta, Ibn Hanbal memperoleh kebebasan, penghormatan dan kemuliaan.
Tentang ayat-ayat mutasyabihat, Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan  lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil. Dengan demikian ayat Al-Quran yang mutasyabihat diartikan sebagaimana adanya, hanya saja penjelasan tentang tata cara (kaifiat) dari ayat tersebut diserahkan kepada Allah SWT. Ketika beliau ditanya tentang penafsiran surat Thâhâ 20 : 5, yang berbunyi:
الرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Yaitu yang Maha Pengasih yang Bersemayam di atas Arsy.
Dalam hal ini, Ibn Hanbal menjawab:
Istiwa’ di atas Arasy terserah kepada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya. [[22]] 
  Dan dalam menanggapi hadits nuzul (Allah SWT turun ke langit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Allah SWT di akhirat), dan hadits-hadits lainnya yang serupa, Ibn Hanbal berkata: “Kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya”. [[23]] 
Dari pernyataan-pernyataan di atas tampak bahwa Ibn Hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta tetap mensucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali tidak menakwilkan pengertian lahirnya.
Berikutnya, salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal yang kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali adalah tentang status Al-Qur’an, apakah diciptakan (mahluk) yang karenanya huduts (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenanya qadim. Persoalan teologis ini erat kaitannya dengan faham Mu’tazilah. Sejarah menjelaskan bahwa faham yang diakui oleh pemerintah saat itu -yakni Dinasti Abbasiyah dibawah kepemimpina khalifah al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-Watsiq- adalah faham Mu’tazilah. Kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Mereka menilai, faham adanya qadim disamping Allah, berarti menduakan Allah, sedangkan menduakan Allah adalah syirik dan dosa besar yang tidak diampuni-Nya.
Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut di atas. Oleh karena itu, ia kemudian diuji dalam sidang mihnah oleh aparat pemerintah. Pandangannya tentang status Al-Qur’an dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Irak:
Ishaq bertanya            :  Bagaimana pendapatmu tentang Al-Qur’an?
Ahmad bin Hambal   :  Ia adalah kalam Allah.
Ishaq                           :  Apakah ia makhluk?
Ibn Hambal                :  Ia adalah kalam Allah, aku tidak menambahnya lebih dari itu.
Ishaq                           : Apakah arti bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat?
Ibn Hambal                : Itu seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri-Nya.
Ishaq                           : Apakah maksudnya?
Ibn Hambal                : Aku tidak tahu, Dia seperti apa yang Dia sifatkan kepada  diriNya[[24]]
Ibn Hanbal, berdasarkan dialog di atas, tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan Rasul-Nya[[25]].
 Berikutnya, bagi Imam Ahmad bin Hanbal iman adalah perkataan dan perbuatan yang dapat berkurang dan bertambah, dengan kata lain iman itu meliputi perkataan dan perbuatan, iman bertambah dengan melakukan perbuatan yang baik dan akan berkurang bila mengerjakan kemaksiatan[[26]].

2.     Ibn Taimiyah
Nama lengkapnya Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Abi Qasim al Khadar bin Muhammad bin al-Khadar bin Ali bin Abdillah. Nama Taimiyah dinisbatkan kepadanya karena moyangnya yang bernama Muhammad bin al-Khadar melakukan perjalanan haji melalui jalan Taima’. Sekembalinya dari haji, ia mendapati isterinya melahirkan seorang anak wanita yang kemudian diberi nama Taimiyah. Sejak saat itu, keturunannya dinamai Ibn Taimiyyah sebagai peringatan perjalanan haji moyangnya itu. [[27]]
        Ibn Taimiyah dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qa’dah tahun 729 H. Ibn Taimiyah merupakan tokoh salaf yang kental karena kurang memberikan ruang gerak pada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud serta seorang panglima dan penetang bangsa Tartas yang pemberani. Ia dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir (ahli tafsir Al-Quran berdasarkan hadits), faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan yang luas tentang filsafat. [[28]]
 Ibn Taimiyah terkenal sangat cerdas, sehingga pada usia 17 tahun ia telah dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi. Banyak tokoh dan ulama yang merasa risau oleh serangan-serangannya serta tidak senang terhadap kedudukannya di istana gubernur Damaskus, menjadikan pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya, bahwa pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klenik, anthropomorphisme, sehingga pada awal 1306 M Ibn Taimiyah dipanggil ke Kairo kemudian dipenjara.
Di antara pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah adalah sebagai berikut:
a.       Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits)
b.       Tidak memberikan ruang gerak kepada akal
c.       Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama
d.       Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in)
e.       Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya. [[29]]
        Sementara itu, pandangan Ibn Taimiyah tentang sifat-sifat Allah : [[30]]
1.     Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh Allah sendiri atau oleh Rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud adalah:
a.      Sifat Salabiyah, yaitu: qidam, baqa’, mukhalafatu li hawaditsi, qiyamuhu binafsihi, dan wahdaniyat.
b.     Sifat Ma’ani, yaitu: qudrah, iradah, ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam.
c.      Sifat khabariyah (sifat yang diterangkan Al-Quran dan al-hadits walaupun akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah ada di langit; Allah di ‘Arasy; Allah turun ke langit dunia; Allah dilihat oleh orang yang beriman di surga kelak; wajah, tangan, dan mata Allah.
d.     Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah yang disandarkan (di-Idhafat-kan) kepada makhluk seperti rabbul ‘alaminkhaliqul kaun dan lain-lain.
2.     Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan seperti al-Awwalal-Akhir, dan lain-lain.
3.     Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
a.      Tidak mengubah maknanya kepada makna yang tidak dikehendaki oleh lafadz tersebut (min ghoiri tashrif/ tekstual)
b.     Tidak menghilangkan pengertian lafadz (min ghoiri ta’thil)
c.      Tidak mengingkarinya (min ghoiri ilhad)
d.     Tidak menggambar-gambarkan bentuk tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghairi takyif at-takyif)
e.      Tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya (min ghairi tamtsili rabb ‘alal ‘alamin). [[31]]
  Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat. Menurutnya, ayat atau hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya dengan Makhluk., dan tidak bertanya-tanya tentangnya.
      Dalam masalah perbuatan manusia, Ibn Taimiyah mengakui tiga hal:
a.            Allah pencipta segala sesuatu termasuk perbuatan manusia.
b.            Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
c.            Allah meridhai pebuatan baik dan tidak meridhai perbuatan buruk.
Dalam masalah sosiologi politik Ibn Taimiyah berupaya untuk membedakan antara manusia dengan tuhan yang mutlak, oleh sebab itu masalah tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan tuhan adalah suatu hal yang mustahil.



C.     SYIAH
1.          Pengertian Syi’ah
a.      Syi’ah adalah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw. Dari segi bahasa, kata Syi’ahberarti pengikut, atau kelompok atau golongan, seperti yang terdapat dalam surah al-Shâffât ayat 83 yang artinya: “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh).[[32]]
b.     Syi’ah secara harfiah berarti kelompok atau pengikut. Kata tersebut dimaksudkan untuk menunjuk para pengikut ‘Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pertama ahlulbait. Ketokohan ‘Ali bin Abi Thalib dalam pandangan Syi’ah sejalan dengan isyarat-isyarat yang telah diberikan Nabi Muhammad sendiri, ketika dia (Nabi Muhammad—pen.) masih hidup.[[33]]
Syiah adalah kelompok masyarakat yang menjadi pendukung Ali bin Abi Thalib. Mereka berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib adalah imam dan khalifah yang ditetapkan melalui Nash (Wahyu) dan wasiat dari Rasululah Saw. Baik secara terang-terangan maupun secara implisit. Mereka beranggapan bahwa imamah (kepemimpinan) tidak boleh keluar dari jalur Ali, hal itu merupakan kezaliman dari orang lain dan Taqiyah dari kepemimpinan Ali. Menurut para Syiah bahwa imamah bukan hanya dipandang secara kemaslahatan dengan dipilih ataupun ditunjuk, tetapi imamah termasuk akidah yang menjadi tiang agama. [[34]]

2.          Sejarah Syi’ah
Awal mula lahirnya Syi’ah menjadi pembahasan beberapa penulis. Sebagian menganggap Syi’ah lahir langsung setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshar di Balai Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu muncul suara dari Bani Hasyim dan sejumlah kecil Muhajirin yang menuntut kekhalifahan bagi ‘Ali bin Abi Thalib. Sebagian yang lain menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan atau pada masa awal kepemimpinan ‘Ali bin Abi Thalib.
Pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Khalifah ‘Ali dengan pihak pemberontak Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Shiffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa tahkîm atau arbitrasi.[[35]] Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan ‘Ali memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan ‘Ali. Mereka ini disebut golongan Khawarij. Sebagian besar orang yang tetap setia terhadap khalifah disebut Syî’atu ‘Alî (pengikut ‘Ali).
Pendirian kalangan Syi’ah bahwa ‘Ali bin Abi Thalib adalah imam atau khalifah yang seharusnya berkuasa setelah wafatnya Nabi Muhammad telah tumbuh sejak Nabi Muhammad masih hidup, dalam arti bahwa Nabi Muhammad sendirilah yang menetapkannya. Dengan demikian, menurut Syi’ah, inti dari ajaran Syi’ah itu sendiri telah ada sejak zaman Nabi Muhammad Saw.[[36]]

3.          Tokoh-tokoh Syi’ah
Dalam pertimbangan Syi’ah, selain terdapat tokoh-tokoh populer seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan bin ‘Ali, Husain bin ‘Ali, terdapat pula dua tokoh Ahlulbait yang mempunyai pengaruh dan andil yang besar dalam pengembangan paham Syi’ah, yaitu Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin dan Ja’far al-Shadiq. Kedua tokoh ini dikenal sebagai orang-orang besar pada zamannya. Pemikiran Ja’far al-Shadiq bahkan dianggap sebagai cikal bakal ilmu fiqh dan ushul fiqh, karena keempat tokoh utama fiqh Islam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, secara langsung atau tidak langsung pernah menimba ilmu darinya. Adapun Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin terkenal ahli di bidang tafsir dan fiqh. Pada usia yang relatif muda, Zaid bin ‘Ali telah dikenal sebagai salah seorang tokoh Ahlulbait yang menonjol. Salah satu karya yang ia hasilkan adalah kitab al-Majmû’ (Himpunan/Kumpulan) dalam bidang fiqh.Juga karya lainnya mengenai tafsir, fiqh, imamah, dan haji.[[37]]

Selain dua tokoh di atas, terdapat pula beberapa tokoh Syi’ah, di antaranya:
1)           Nashr bin Muhazim
2)           Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa al-Asy’ari
3)           Ahmad bin Abi ‘Abdillah al-Barqi
4)           Ibrahim bin Hilal al-Tsaqafi
5)           Muhammad bin Hasan bin Furukh al-Shaffar
6)           Muhammad bin Mas’ud al-‘Ayasyi al-Samarqandi
7)           Ali bin Babawaeh al-Qomi
8)           Syaikhul Masyayikh, Muhammad al-Kulaini
9)           Ibn ‘Aqil al-‘Ummani
10)        Muhammad bin Hamam al-Iskafi
11)        Muhammad bin ‘Umar al-Kasyi
12)        Ibn Qawlawaeh al-Qomi
13)        Ayatullah Ruhullah Khomeini
14)        Al-‘Allamah Sayyid Muhammad Husain al-Thabathaba’i
15)        Sayyid Husseyn Fadhlullah
16)        Murtadha Muthahhari
17)        ‘Ali Syari’ati
18)        Jalaluddin Rakhmat[[38]]
19)        Hasan Abu Ammar[[39]]

4.          Ajaran-ajaran Syi’ah
a.   Ahlulbait. Secara harfiah ahlulbait berarti keluarga atau kerabat dekat. Secara khusus dimaksudkan kepada keluarga atau kerabat Nabi Muhammad saw. Ada tiga bentuk pengertian Ahlulbait. Pertama, mencakup istri-istri Nabi Muhammad Saw dan seluruh Bani Hasyim. Kedua, hanya Bani Hasyim. Ketiga, terbatas hanya pada Nabi sendiri, ‘Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan imam-imam dari keturunan ‘Ali bin Abi Thalib.
b.  Al-Badâ’. Dari segi bahasa, badâ’ berarti tampak. Doktrin al-badâ’adalah keyakinan bahwa Allah Swt mampu mengubah suatu peraturan atau keputusan yang telah ditetapkan-Nya dengan peraturan atau keputusan baru. Menurut Syi’ah, perubahan keputusan Allah itu bukan karena Allah baru mengetahui suatu maslahat, yang sebelumnya tidak diketahui oleh-Nya (seperti yang sering dianggap oleh berbagai pihak). Dalam Syi’ah keyakinan semacam ini termasuk kufur. Imam Ja’far al-Shadiq menyatakan,“Barangsiapa yang mengatakan Allah swt baru mengetahui sesuatu yang tidak diketahui-Nya, dan karenanya Ia menyesal, maka orang itu bagi kami telah kafir kepada Allah swt.” Menurut Syi’ah, perubahan itu karena adanya maslahat tertentu yang menyebabkan Allah swt memutuskan suatu perkara sesuai dengan situasi dan kondisi pada zamannya. Misalnya, keputusan Allah mengganti Isma’il as dengan domba, padahal sebelumnya Ia memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk menyembelih Isma’il as.
c.   Asyura. Asyura berasal dari kata ‘asyarah, yang berarti sepuluh. Maksudnya adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram yang diperingati kaum Syi’ah sebagai hari berkabung umum untuk memperingati wafatnya Imam Husain bin ‘Ali dan keluarganya di tangan pasukan Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan pada tahun 61 H di Karbala, Irak. Pada upacara peringatan asyura tersebut, selain mengenang perjuangan Husain bin ‘Ali dalam menegakkan kebenaran, orang-orang Syi’ah juga membaca salawat bagi Nabi saw dan keluarganya, mengutuk pelaku pembunuhan terhadap Husain dan keluarganya, serta memperagakan berbagai aksi (seperti memukul-mukul dada dan mengusung-usung peti mayat) sebagai lambang kesedihan terhadap wafatnya Husain bin ‘Ali. Di Indonesia, upacara asyura juga dilakukan di berbagai daerah seperti di Bengkulu dan Padang Pariaman, Sumatera Barat, dalam bentuk arak-arakan tabut[[40]]
d.  Imamah (kepemimpinan). Imamah adalah keyakinan bahwa setelah Nabi saw wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang melanjutkan misi atau risalah Nabi. Atau, dalam pengertian Ali Syari’ati, adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil keputusan.[[41]] Pada umumnya, dalam Syi’ah, kecuali Syi’ah Zaidiyah, penentuan imam bukan berdasarkan kesepakatan atau pilihan umat, tetapi berdasarkan wasiat atau penunjukan oleh imam sebelumnya atau oleh Rasulullah langsung, yang lazim disebut nash.[[42]]
e.   ‘Ishmah. Dari segi bahasa, ‘ishmah adalah bentuk mashdar dari kata‘ashama yang berarti memelihara atau menjaga. ‘Ishmah ialah kepercayaan bahwa para imam itu, termasuk Nabi Muhammad, telah dijamin oleh Allah dari segala bentuk perbuatan salah atau lupa. Ali Syari’ati mendefinisikan‘ishmah sebagai prinsip yang menyatakan bahwa pemimpin suatu komunitas atau masyaraka yakni, orang yang memegang kendali nasib di tangannya, orang yang diberi amanat kepemimpinan oleh orang banyak mestilah bebas dari kejahatan dan kelemahan.
f.           Mahdawiyah. Berasal dari kata mahdi, yang berarti keyakinan akan datangnya seorang juru selamat pada akhir zaman yang akan menyelamatkan kehidupan manusia di muka bumi ini. Juru selamat itu disebut Imam Mahdi. Dalam Syi’ah, figur Imam Mahdi jelas sekali. Ia adalah salah seorang dari imam-imam yang mereka yakini. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, misalnya, memiliki keyakinan bahwa Muhammad bin Hasan al-Askari (Muhammad al-Muntazhar) adalah Imam Mahdi. Di samping itu, Imam Mahdi ini diyakini masih hidup sampai sekarang, hanya saja manusia biasa tidak dapat menjangkaunya, dan nanti di akhir zaman ia akan muncul kembali dengan membawa keadilan bagi seluruh masyarakat dunia.
g.  Marja’iyyah atau Wilâyah al-Faqîh. Kata marja’iyyah berasal dari katamarja’ yang artinya tempat kembalinya sesuatu. Sedangkan kata wilâyah al-faqîh terdiri dari dua kata: wilâyah berarti kekuasaan atau kepemimpinan; danfaqîh berarti ahli fiqh atau ahli hukum Islam. Wilâyah al-faqîh mempunyai arti kekuasaan atau kepemimpinan para fuqaha.               
h.  Raj’ah. Kata raj’ah berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau kembali.  Raj’ah adalah keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah swt yang paling saleh dan sejumlah hamba Allah yang paling durhaka untuk membuktikan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT di muka bumi, bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi. Tujuan prinsip Syi’ah seperti ini adalah untuk memenuhi selera dan keinginan memerintah. lalu kemudian untuk membalas dendam kepada orang-orang yang merebut kepemimpinan ‘Ali.[[43]]
i.    Taqiyah. Dari segi bahasa, taqiyah berasal dari kata taqiya atau ittaqâ yang artinya takut. Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa dirinya. Perilaku taqiyah ini boleh dilakukan, bahkan hukumnya wajib dan merupakan salah satu dasar mazhab Syi’ah.
j.    Tawassul. Adalah memohon sesuatu kepada Allah dengan menyebut pribadi atau kedudukan seorang Nabi, imam atau bahkan seorang wali supaya doanya tersebut cepat dikabulkan Allah swt. Dalam doa-doa mereka selalu dijumpai ungkapan-ungkapan seperti “Yâ Fâthimah isyfa’î ‘indallâh” (wahai Fathimah, mohonkanlah syafaat bagiku kepada Allah),
k.  Tawallî dan tabarrî. Kata tawallî berasal dari kata tawallâ fulânan yang artinya mengangkat seseorang sebagai pemimpinnya. Adapun tabarrî berasal dari kata tabarra’a ‘an fulân yang artinya melepaskan diri atau menjauhkan diri dari seseorang. Kedua sikap ini dianut pemeluk-pemeluk Syi’ah berdasarkan beberapa ayat dan hadis yang mereka pahami sebagai perintah untuk tawallî kepada Ahlulbait dan tabarrî dari musuh-musuhnya. Misalnya, hadis Nabi mengenai ‘Ali bin Abi Thalib yang berbunyi: “Barangsiapa yang menganggap aku ini adalah pemimpinnya maka hendaklah ia menjadikan ‘Ali sebagai pemimpinnya. Ya Allah belalah orang yang membela Ali, binasakanlah orang yang menghina ‘Ali dan lindungilah orang yang melindungi ‘Ali.” (H.R. Ahmad bin Hanbal)

Di dalam Kitab Usuhulu Kaafi dan Rijalul Kashi  terdapat 17 doktrin atau ajaran Syi’ah Doktrin-doktrin Syiah tersebut adalah :
1.     Dunia dengan seluruh isinya adalah milik para imam Syi’ah. Mereka akan memberikan dunia ini kepada siapa yang dikehendaki dan mencabutnya dari siapa yang dikehendaki. [[44]].
2.     Ali bin Abi Thalib yang diklaim sebagai imam Syi’ah yang pertama dinyatakan sebagai dzat yang pertama dan terakhir, yang dhahir dan yang bathin sebagaimana termaktub dalam surat Al-Hadid, 57: 3 (Rijalul Kashi hal. 138).
3.     Para imam Syi’ah merupakan wajah Allah, mata Allah dan tangan-tangan Allah yang membawa rahmat bagi para hamba Allah[[45]].
4.     Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib oleh Syi’ah dikatakan menjadi wakil Allah dalam menentukan surga dan neraka, memperoleh sesuatu yang tidak diperoleh oleh manusia sebelumnya, mengetahui yang baik dan yang buruk, mengetahui segala sesuatu secara rinci yang pernah terjadi dahulu maupun yang ghaib.
5.     Keinginan para imam Syi’ah adalah keinginan Allah juga.
6.     Para imam Syi’ah mengetahui kapan datang ajalnya dan mereka sendiri yang menentukan saat kematiannya karena bila imam tidak mengetahui hal-hal semacam itu maka ia tidak berhak menjadi imam.
7.     Para imam Syi’ah mengetahui apapun yang tersembunyi dan dapat mengetahui dan menjawab apa saja bila kita bertanya kepada mereka karena mereka mengetahui hal ghaib sebagaimana yang Allah ketahui.
8.     Allah itu bersifat bada’ yaitu baru mengetahui sesuatu bila sudah terjadi. Akan tetapi para imam Syi’ah telah mengetahui lebih dahulu hal yang belum.
9.     Para imam Syi’ah merupakan gudang ilmu Allah dan juga penerjemah ilmu Allah. Para imam Syi’ah bersifat Ma’sum (Bersih dari kesalahan dan tidak pernah lupa apalagi berbuat Dosa).
10.  Para imam Syi’ah sama dengan Rasulullah Saw.
11.  Yang dimaksud para imam Syi’ah adalah Ali bin Abi Thalib, Husein bin Ali, Ali bin Husein, Hassan bin Ali dan Muhammad bin Ali.
12.  Al-Qur’an yang ada sekarang telah berubah, dikurangi dan ditambah . Salah satu contoh ayat Al-Qur’an yang dikurangi dari aslinya yaitu ayat Al-Qur’an An-Nisa’: 47, menurut versi Syi’ah berbunyi: “Ya ayyuhalladziina uutul kitaaba aaminuu bimaa nazzalnaa fie ‘Aliyyin nuuran mubiinan.
13.  Menurut Syi’ah, Al-Qur’an yang dibawa Jibril kepada Nabi Muhammad ada 17 ribu ayat, namun yang tersisa sekarang hanya 6660 ayat.
14.  Menyatakan bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman bin Affan, Muawiyah, Aisyah, Hafshah, Hindun, dan Ummul Hakam adalah makhluk yang paling jelek di muka bumi, mereka ini adalah musuh-musuh Allah. Siapa yang tidak memusuhi mereka, maka tidaklah sempurna imannya kepada Allah, Rasul-Nya dan imam-imam Syi’ah[[46]].
15.  Menghalalkan nikah Mut’ah, bahkan menurut doktrin Syi’ah orang yang melakukan kawin mut’ah 4 kali derajatnya lebih tinggi dari Nabi Muhammad Saw. [[47]]
16.  Menghalalkan saling tukar-menukar budak perempuan untuk disetubuhi kepada sesama temannya. Kata mereka, imam Ja’far berkata kepada temannya: “Wahai Muhammad, kumpulilah budakku ini sesuka hatimu. Jika engkau sudah tidak suka kembalikan lagi kepadaku.” [[48]] Rasulullah dan para sahabat akan dibangkitkan sebelum hari kiamat. Imam Mahdi sebelum hari kiamat akan datang dan dia membongkar kuburan Abu Bakar dan Umar yang ada didekat kuburan Rasulullah. Setelah dihidupkan maka kedua orang ini akan disalib.

B.    PANDANGAN ULAMA ACEH TERHADAP WAHABI, SALAFI DAN SYIAH
Bagi umat Islam, perbedaan pendapat dan paham bukanlah masalah baru. Sejarah mencatat bahwa perbedaan pendapat telah ada sejak masa Rasulullah hingga sekarang. Namun, perbedaan itu tidak sampai mengakibatkan perpecahan dikalangan umat, perbedaan dan keragaman dalam masyakarat merupakan sunnatullah yang tidak boleh menimbulkan konflik horizontal yang mengikis nilai-nilai kebersamaan di masyarakat. [[49]]
Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh merupakan pusat kegiatan keagamaan dan pusat wisata Islami umat Islam, Pada hari Jum’at (19/6/2015) jamaah datang untuk melaksanakan ritual shalat Jumat. Namun ritual ini terkendala beberapa saat karena ada sebagian cerdik-pandai agama dari Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) dan Front Pembela Islam (FPI), mereka mengambil alih manajemen pelaksanaan shalat Jum’at. Mereka memaksa Khatib untuk memegang tongkat pada saat Khutbah Jum’at, dan mengulang membaca khutbah jum’at serta harus mengumdangkan azan dua kali. [[50]]
Setelah dilakukan beberapa pengkajian bersama Ulama Aceh dan juga dilakukan beberapa kali pertemuan dengan pimpinan Salafii, sehingga MPU Aceh menyebutkan bahwa ajaran Salafi di Aceh, sangat jauh berbeda dengan ajaran Salafi yang berkembang di masa Sahabat, yaitu Salafi di Mesir dan Salafi di Arab Saudi[[51]]..
Dengan pengkajian tersebut maka MPU Aceh menghasilkan 4 poin penting mengenai aqidah Wahabi Salafi yang sesat dan menyesatkan di Aceh adalah :
1.     Meyakini Allah di atas langit ‘arsy,
2.     Meyakini Allah terikat dengan waktu, tempat dan arah,
3.     Meyakini kalamullah itu berhuruf dan bersuara dan
4.     Meyakini Nabi Adam AS dan Nabi Idris AS bukan Rasulullah.
Dalam ibadah ajaran Wahabi Salafi adalah niat shalat di luar takbiratul ihram, tidak ada Qunut pada shalat Shubuh, haram memperingati maulid Nabi Muhammad SAW, haram berzikir dan berdoa berjama’ah, serta wajib mengikuti hanya Al-Quran dan Hadist dalam bidang aqidah, syariah dan akhlak. [[52]].
Ulama dayah dan santri yang tergabung dalam kelompok ASWAJA mendesak pemerintah untuk menghentikan semua aliran sesat tidak terkecuali Wahabi, Salafi dan Syiah yang berkembang di Aceh. Para Ulama dan santri Dayah melakukan demontrasi menuntut dan mendesak pemerintah untuk menyetujui bahwa pelaksanaan ibadah harus sesuai dengan mazhab Syafi’ie, Pemerintah Aceh untuk menyerahkan posisi imam besar dan imam rawatib serta segala hal yang menyangkut dengan ibadah dan pengajian di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh kepada ulama Aceh yang bermazhab Syafi’i, Pemerintah Aceh agar pengelolaan Masjid Raya Baiturrahman dilaksanakan di bawah kontrol Wali Nanggroe Aceh. [[53]].
Dalam rangka menjaga toleransi sesama umat Islam, MPU Aceh menggelar Muzakarah (26-27 Oktober 2015) yang dihadiri 150 peserta dari berbagai unsur yaitu Ormas Islam, Cendikiawan Muslim, tokoh masyarakat dan tokoh adat serta MPU, yang berlangsung di Gedung MPU Aceh Muzakarah ini juga di hadiri oleh Gubernur Aceh, Zaini Abdullah dan Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin. Dalam Muzakarah tersebut menghasilkan 5 (lima)  poin penting yaitu diharapkan kepada setiap khatib Jumat yang membaca mau'izhah (mauizah) terlalu panjang untuk mengulang dua khutbahnya. Adapun empat poin lainnya, azan dua kali adalah sunat, khatib memegang tongkat hukumnya sunat,muwalat khutbah merupakan salah satu syarat sah khutbah, dan mau'izhah (mauizah) dengan bahasa selain Arab adalah masalah khilafiah.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Perbedaan pandangan dalam masalah-masalah fiqih di kalangan para ulama terjadi karena beberapa alasan dan beberapa kondisi. Sikap terbaik dalam menghadapi perselisihan di antara ulama adalah sebagaimana ayat berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ  فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ  ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا  ﴿النساء:٥٩﴾

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari   kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”( Al-Qur’an Surah An Nissa: 59)
Ini adalah prinsip agung yang mesti diikuti oleh setiap muslim, yaitu mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:
قَالَ مُجَاهِدٌ وَغَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ السَّلَفِ: أَيْ: إِلَى كِتَابِ اللَّهِ وَسَنَةِ رَسُولِه
وَهَذَا أَمْرٌ مِنَ اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ، بِأَنَّ كُلَّ شَيْءٍ تَنَازَعَ النَّاسُ فِيهِ مِنْ أُصُولِ الدِّينِ وَفُرُوعِهِ أَنْ يَرُدَّ التَّنَازُعَ فِي ذَلِكَ إِلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ (الشُّورَى:
فَمَا حَكَمَ بِهِ كِتَابُ اللَّهِ وَسُنَّةُ رَسُولِهِ وَشَهِدَا لَهُ بِالصِّحَّةِ فَهُوَ الْحَقُّ، وَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ

Mujahid dan lebih dari satu orang salaf berkata: yaitu kembalikan kepada kitabullah dan sunah Rasul-Nya. Ini adalah perintah dari Allah ‘Azza wa Jalla bahwa semua hal yang diperselisihkan manusia, baik perkara pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, maka hendaknya perselisihan itu dikembalikan menurut keterangan Alquran dan As-Sunnah. Sebagaimana firman-ya: tentang sesuatu apapun kamu berselisih, Maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Syura:10) Maka, apa-apa yang dihukumi oleh kitabullah dan sunah Rasul-Nya, dan hal tersebut dinyatakan benar oleh keduanya, maka itulah Al-haq (kebenaran), dan selain itu adalah kesesatan. (Tafsir Alquran Al-‘Azhim, 2/345)


DAFTAR PUSTAKA


Abdul Aziz Dahlan, Teologi Filsafat Tasawuf dalam Islam, (Jakarta: Ushul Press, 2012

Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat, (Bandung: Sinar Baru, 1993

Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, Cet ke-2 Bandung: Puskata Setia, 2006 

Abubakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah: Rasionalisme dalam Islam (Solo: Ramadhani, t.t.), http://al-shia.com/html/id/shia/moarrefi2.htm

Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam, cet. III, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989

Ahmad Ibnu Taimiyah, Majmu’u Fatawa Ibnu Taimiyah, vol 1. Hal 81. http://www.al-islam.com

Ahmad Sarwat, Lc, dalam http://www.eramuslim.com/ustadz /dll/7315003349-sejauh-mana-sudah--perjalanan-wahabi.

Ahmad Fauzi, Ilmu Kalam (sebuah pengantar), Cirebon: STAIN Press.

Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. M.S. Nasrulloh dan Afif Muhammad, cet. ke-2, Bandung: Mizan Pustaka, 1995

Artikel dalam situs http://persis.or.id. pembaharuan Islam, Melacak Akar Pemikiran Keagamaan Persatuan Islam

Azyumardi Azra (Kata Pengantar) dalam A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar, ed., Syi’ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian, cet. ke-1, Bandung: Mizan, 2000

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5 cet. ke-4 Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997

Drs Tgk H Gazali Mohd Syam, Fatwa MPU Aceh, No.9 Tahun 2014, Banda Aceh Kamis 21 Agustus, 2014

Hafiz Dasuki, Ensiklopedi Islam, Jilid. V, Cet. 1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993

Joesoef Sou’yb, Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah, cet. ke-1 Jakarta: Pustaka Alhusna, 1982

Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History: Akar-akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim, terj. Munir A. Mu’in cet. ke-1, Bandung: Mizan Pustaka, 2004

Nashir Makarim Syirazi, Inilah Aqidah Syi’ah, terj. Umar Shahab cet. ke-2 Jakarta: Penerbit Al-Huda, 1423 H

Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teology Islam ), Jakarta: Rajawali Pers. 2010

Sirajudin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyyah,1987

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia Jakarta: Djambatan, 1992

www.freelists.org/archives/Salafi/12-2003/msg00017

www.Tribun Aceh. com, Serambi Indonesia. Aceh



[1] Ahmad Hanafi, Pengantar Teology Islam Cet. III, Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1989,.hal.52
[2] Imam Muhammad Abu zahrah. Aliran politik dan aqidah dalam islam. Logos publishing hous. Cet. I. Jakarta. 1996. hal . 250
[3] Sirajuddin Abbas, I’tiqat Ahlussunnah Wal Jamaah,Cet.9, Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2010, hal.352
[4] Dalil yang digunakan pengikut wahabiyah adalah “Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika berbuat (yang demikian itu), sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim”(QS.Yunus[10]: 106); dan hadist dari Abdullah bin Abbas bahwa Rasulallah saw bersabda, “jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah” (Hadits Riwayah At-Tirmidzi).
[5] Ahmad Sarwat, Lc, dalam http://www.eramuslim.com/ustadz /dll/7315003349-sejauh-mana-sudah--perjalanan-wahabi.
[6] Artikel dalam situs http://persis.or.id. pembaharuan Islam, Melacak Akar Pemikiran Keagamaan Persatuan Islam
[7] Ahmad Ibnu Taimiyah, Majmu’u Fatawa Ibnu Taimiyah, vol 1. Hal 81. http://www.al-islam.com
[8]  http://www.indonesiaindonesia.com/f/5259-pengertian-wahabi/  lihat Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Minhajul Firqah An-Najiyah Wat Thaifah Al-Manshurah, edisi Indonesia Jalan Golongan Yang Selamat, diterjemahkan oleh Ainul Haris Umar Arifin Thayib, Darul Haq.
[9] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam Teologi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 292.
[10]  Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam, cet. III, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989), hlm. 292
[11]  Aswadi Syukur, Al-Mina wa Al-Niha, (Surabaya: LC Penerbit, tt), hlm. 44-45.
[12]  www.freelists.org/archives/Salafi/12-2003/msg00017
[13]  Ghazali And The Poetics Of Imagination, karya Ebrahim Moosa
[14]  Afadlal dkk. Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, 2004, Hal.154
[15]  Ibid. Hal. 157
[16]  Abdul Aziz Dahlan, Teologi Filsafat Tasawuf dalam Islam, ..., h. 8-9. Lebih lanjut Abdul Aziz Dahlan menjelaskan bahwa apa yang dilakukan kaum Salafiyah ini berbeda dengan kaum Mu’tazilah. Ketika persoalan-persoalan teologi hanya ditemukan jawabannya pada hadits masyhur atau hadits ahad saja, kaum Mu’tazilah akan menjawab persoalan tersebut dengan rasio (akal). Karenanya, kaum mu’tazilah disebut juga dengan kaum rasionalis
[17]  Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), Cet ke-2. hlm. 109
[18]  Abdul Aziz Dahlan, Teologi Filsafat Tasawuf dalam Islam, (Jakarta: Ushul Press, 2012), hlm. 15-17

[19]  Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam,…, hlm. 111
[20]  Ibid
[21]  Hafiz Dasuki, Ensiklopedi Islam, Jilid. V, Cet. 1, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), hlm. 82
[22]  Dalam sejarah Islam, mihnah dijalankan sebagai upaya ‘pemaksaan’ mengikuti faham Mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara di bawah sokongan pemerintahan al-Ma’mun. Mihnah diadakan untuk menguji keyakinan para ulama khususnya ulama hadits mengenai hakikat Al-Qur’an, apakah diciptakan (makhluk), atau bukan. Para ulama yang tidak sependapat dan tidak mau mengikuti faham ini, disiksa dan dipejara. Hal inilah yang akhirnya memicu ketidaksukaan dan menimbulkan pertentangan para ulama terhadap kaum Mu’tazilah.
[23] Dalam Sejarah Islam, mihnah dijalankan sebagai upaya ‘pemaksaan’ mengikuti faham Mu’tazilah sebagai Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam,…, h. 113
[24]  Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teology Islam ), (Jakarta: Rajawali Pers. 2010),  hlm. 126-127.
[25]  Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Op.cit...,  hlm. 114.
[26]  Ahmad Fauzi, Ilmu Kalam (sebuah pengantar), (Cirebon: STAIN Press), hlm. 99.
[27]  Sirajudin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyyah,1987), hlm. 261.
[28]  Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam ...,  h. 115.
[29]  Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam ..., h. 116.
[30]  Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat, (Bandung: Sinar Baru, 1993), h. 58-60.
[31]  Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam ..., h. 115


[32] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet. ke-4, hlm. 5.
[33] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 904.
[34] Al Milal Wa Al-Nihal. Terj. Prof. Asywadie Syukri, Lc. Aliran-aliran Teologi Dalam Sejarah Umat Manusia. Pt. Bina Ilmu. Surabaya. 2003. Hlm. 124.
[35] Joesoef Sou’yb, Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1982), cet. ke-1, h. 11. Penjelasan lebih lengkap tentang perang Shiffin dan tahkîm, lihat Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History: Akar-akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim, terj. Munir A. Mu’in (Bandung: Mizan Pustaka, 2004), cet. ke-1, hlm. 155-185.
[36] Abubakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah: Rasionalisme dalam Islam (Solo: Ramadhani, t.t.), hlm. 17-21; http://al-shia.com/html/id/shia/moarrefi2.htm
[37] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Opcit …, hlm. 15
[38] Beliau adalah salah seorang tokoh Ahlulbait/Syi’ah Indonesia. Karya tulisnya dalam bidang keislaman antara lain Islam Alternatif (1988), Membuka Tirai Kegaiban: Renungan-renungan Sufistik (1995), Rintihan Suci Ahli Bait Nabi (1997), Catatan Kang Jalal (1998), Islam Aktual (1998), dan Islam dan Pluralisme (2006). Pakar komunikasi yang juga pengasuh SMA Plus Muthahhari, Bandung, ini adalah Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (Ijabi). Periode 2004-2008. Ijabi sendiri adalah organisasi kemasyarakatan yang berbasiskan pada kaum Ahlulbait/Syi’ah Indonesia. Selengkapnya lihat http://www.ijabi.org/ijabi.html;  http://www.ijabi.org/pimpinan.html
[39] Beliau adalah Doktor lulusan CIIS, Qum, Iran, yang lahir di Bondowoso, Jawa Timur. Pada 2 Oktober lalu beliau berkesempatan menyampaikan materi pada acara Seminar Lintas Mazhab “Rasionalisme Islam Perspektif Syi’ah dan Sunni” di Ruang Teater Lt. 4 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau hadir sebagai representasi Syi’ah. Hadir pula pembicara Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara (Guru Besar Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) sebagai perwakilan Sunni

[40] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, hlm. 11. Pembahasan mengenai asyura dan tabut selengkapnya lihat Azyumardi Azra (Kata Pengantar) dalam A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar, ed., Syi’ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian (Bandung: Mizan, 2000), cet. ke-1, hlm. 20-21
[41] Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. M.S. Nasrulloh dan Afif Muhammad  (Bandung: Mizan Pustaka, 1995), cet. ke-2, h. 65.
[42] Nashir Makarim Syirazi, Inilah Aqidah Syi’ah, terj. Umar Shahab (Jakarta: Penerbit Al-Huda, 1423 H), cet. ke-2, hlm. 76-92. 
[43] Al-Nemr, Sejarah Opcit…, hlm. 146
[44] Al-Kulaini, Ushulul Kaafi, cet. India, hlm.259,
[45] Al-Kulaini,,Op.Cit.  hlm. 83.
[46] Muhammad Baqir Al-Majlisi , Haqqul Yaqin, hlm. 519.
[47] Mullah Fathullah Kassani , Tafsir Minhajush Shadiqin, hlm. 356.
[48] Abu Ja’far Muhammad Hasan At-Thusi , Al-Istibshar III, hlm. 136.
[49]. dr. Zaini Abdullah ( Gubernur Aceh ). Ceramah Sebelum Shalat Tarawih, Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Kamis (18/7/2015). Lihat Juga, Tribun Aceh, Perbedaan Pendapat jangan Mengakibatkan Konflik Horizontal. Kamis 18 Juni 2015.
[50]. Al-Chaidar, Menyoal Perbenturan Mazhab di Aceh. Tribun Aceh. Jum’at 26 Juni 2015.
[51] Drs Tgk H Gazali Mohd Syam, Fatwa MPU Aceh, No.9 Tahun 2014, Kamis (21/8/ 2014) Banda Aceh.
[52] Drs Tgk H Gazali Mohd Syam, Fatwa MPU Aceh, Op.Cit
[53]http://aceh.tribunnews.com, Jum’at 11 September 2015,  di Akses, Tgl 01 November 2015.

No comments:

Post a Comment