Belajar

BELAJAR ADALAH KEWAJIBAN

Tuesday, January 10, 2017

MANAJEMEN PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA PADA LKS

MANAJEMEN PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA PADA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Zainal Abidin
27153192-2
Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh



ABSTARK
Lembaga keuangan syariah merupakan lembaga penghubung (intermediary) antara orang yang kelebihan dana dengan orang yang membutuhkan dana. Dalam mendapatkan dana lembaga keuangan melakukan kegiatan dengan cara menghimpun dana dari masyarakat, penghimpunan dana yang digunakan dalam lembaga keuangan syariah ada dua yaitu dengan prinsip wadiah dan prinsip mudharabah. kemudian dikelola dan disalurkan dengan prinsip equity Financing dan Debt Finacing. Dalam melakukan penghimpunan dan penyaluran, lembaga keuangan syariah (bank islam) sangat melihat aspek syari’i, sehingga tidak ada pihak yang terzalimi.







Kata Kunci: Lembaga Keuangan Syariah, Penghimpunan dan Penyaluran








A.    Latar Belakang
Bisnis di dunia modern sekarang yang paling banyak dibutuhkan kehadirannya adalah lembaga perbankan. Dikarenakan fungsi dari lembaga tersebut yaitu sebagai pengumpul, Pengelola dan penyalur dana dalam menunjang pertumbuhan ekonomi masyrakat dalam sebuah Negara. Sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana, lembaga ini mampu menggerakkan roda perekonomian rakyat, baik untuk pengusaha swasta atau kalangan pengusaha ditingkat masyarakat menengah.[1]
Sebagai lembaga yang berorientasi kepada bisnis, lembaga keuangan melakukan berbagai kegiatan dalam mengumpulkan dana dari masyarakat kemudian menyalurkannya dalam bentuk pembiayaan, kredit atau memberi pinjaman kepada masyarakat, sehingga dengan cara tersebut pihak dari lembaga keuangan dan pemilik dana (masyarakat) sama-sama mendapatkan keuntungan.[2] Tidak setiap orang mampu secara langsung menginvestasikan dananya/hartanya untuk mendapatkan keuntungan, oleh sebab itu dibutuhkan sebuah lembaga perantara yang menghubungkan antara orang yang surplus dengan yang membutuhkan (defisit) dana (pengusaha), sehingga dana tersebut bisa dimanfaatkan secara produktif baik individu maupun kelompok.[3]
Dasar utama kegiatan perbankan adalah kepercayaan, baik dalam hal penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Masyarakat akan menitipkan dananya di bank apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan. Masyarakat percaya bahwa uangnya tidak akan disalahgunakan oleh bank, uangnya akan dikelola dengan baik, bank tidak akan bangkrut, dan pada saat yang telah dijanjikan simpanan tersebut dapat ditarik kembali dari bank. Pihak bank sendiri akan menempatkan atau menyalurkan dananya pada debitor atau masyarakat apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan. Pihak bank percaya bahwa debitor tidak akan menyalahgunakan pinjamannya, debitor akan mengelola dana pinjaman dengan baik, debitor akan mempunyai kemampuan untuk membayar pada saat jatuh tempo dan debitor mempunyai niat baik untuk mengembalikan pinjaman beserta kewajiban lainnya pada saat jatuh tempo. Dalam hal ini saling percaya merupakan hal yang sangat diutamakan, antara nasabah dengan perusahaan atau sebaliknya.
Bank adalah lembaga perantara keuangan atau disebut dengan financial intermiadiary[4]. Lembaga Keuangan Syariah (Bank Islam) adalah lembaga  yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalulintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya sesuai dengan prinsip syariat Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam dengan menjauhi praktik-praktik yang dikhawatirkan mengandung unsur riba.[5]

B.    Metode Pembahasan
Dalam hal ini penulis mencoba menganalisis Bagaimana Manajemen penghimpunan, dan pembiayaan pada Bank Syariah sehingga dana yang terserap kepada masyarakat memberi manfaat baik di dunia maupun akhirat, sehingga tujuan  falah yang diharapkan dapat tercapai.

C.    Pembahasan
Falah berasal dari bahasa Arab dari kata kerja aflaha-yuflihu yang berarti kesuksesan, kemuliaan dan kemenangan. Dalam pengertian literal, falah adalah kemuliaan dan kemenangan, yaitu kemuliaan dan kemenangan dalam hidup. Istilah falah menurut Islam diambil dari kata Al-Qur’an, misalnya dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran disebut dengan kata muflihun[6] yang dimaknai sebagai keberuntungan jangka panjang, dunia dan akhirat, sehingga tidak hanya memandang aspek material, tetapi juga spiritual.
Kekayaan materi dalam Islam merupakan bagian yang sangat fundamental dalam kehidupan manusia. Islam tidak menghendaki umatnya hidup dalam ketertinggalan dan keterbelakangan ekonomi dan juga tidak mengharapkan umatnya menjadi mesin ekonomi yang melahirkan budaya materialism. Islam memberikan pedoman dalam kehidupan agar menganut prinsip keseimbangan antara rohani dan jasmani, antara spiritual dan materialism, individu dan sosial, duniawi dan ukhrawi.[7]

1.     Manajemen Dana Bank Syariah
Manajemen dalam hal ini yaitu proses penentuan melalui pelaksanaan empat fungsi seperti yang dikemukakan oleh George Terry[8] yaitu; Planning (Perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating (pergerakan), dan controlling (pengawasan dan pengendalian).
Secara etimologi manajemen berarti seni melaksanakan dan mengatur. Pembiayaan diartikan sebagai suatu kegiatan pemberian fasilitas keuangan/finansial yang diberikan satu pihak kepada pihak lain untuk mendukung kelancaran usaha maupun untuk investasi yang telah direncanakan. Bank syariah adalah lembaga perantara keuangan yang melakukan pembiayaan yang merupakan salah satu tugas  memberikan fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit[9].
Manajemen dana bank syari’ah adalah upaya yang dilakukan oleh lembaga bank  syari’ah dalam mengelola atau mengatur posisi dana yang diterima dari aktivitas funding untuk disalurkan kepada aktivitas financing, dengan harapan bank yang bersangkutan tetap mampu memenuhi kriteria-kriteria likuiditas,[10] rentabilitas dan solvabilitasnya[11]
Jadi, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah adalah sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya yang dilakukan oleh Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dalam hal pemberian fasilitas keuangan/finasial yang kepada pihak lain berdasarkan prinsip-prinsip syariah untuk mendukung kelancaran usaha maupun untuk investasi yang telah direncanakan[12].
Bank syari’ah dirancang untuk melakukan fungsi pelayanan sebagai lembaga keuangan bagi para nasabah dan masyarakat. Untuk itu, bank syari’ah harus mengelola dana yang dapat digolongkan sebagai berikut:
1.          Kekayaan bank syari’ah dalam bentuk:
a)     Kekayaan yang menghasilkan (Aktiva Produktif) yaitu pembiayaan untuk debitur serta penempatan dana dibank atau investasi lain yang menghasilkan pendapatan.
b)     Kekayaan yang tidak menghasilkan yaitu kas dan investasi (harta tetap).
2.          Modal bank syari’ah berasal dari:
a)     Modal sendiri yaitu simpanan pendiri (modal), cadangan dan hibah, infaq/shadaqah.
b)     Simpanan/hutang dari pihak lain.
3.          Pendapatan usaha keuangan bank syari’ah berupa bagi hasil atau mark up dari pembiayaan yang diberikan dan biaya administrasi serta jasa tabungan bank syari’ah di bank.
4.          Biaya yang harus dipikul oleh bank syari’ah yaitu biaya operasi, biaya gaji, manajemen, kantor dan bagi hasil simpanan nasabah penabung.
Dalam hal ini Bank Syariah mempunyai manajemen yang tujuan sebagai berikut:
1.    Memperoleh profit yang optimal
2.    Menyediakan aktiva cair dan kas yang memadai
3.    Menyimpan cadangan
4.    Mengelola kegiatan-kegiatan lembaga ekonomi dengan kebijakan yang pantas bagi seseorang yang bertindak sebagai pemelihara dana-dana orang lain dan;
5.    Memenuhi kebutuhan masyarakat akan pembiayaan.[13]

Sumber-Sumber Dana Bank
Kebutuhan akan dana merupakan kendala bagi setiap perusahaan dalam menjalankan kegiatannya. Semua perusahaan membutuhkan dana/modal untuk membiayai kegiatan usaha.[14]
Modal merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kegiatan ekonomi, tanpa modal segala kegiatan roda ekonomi akan berhenti. Syariat Islam memberikan beberapa petunjuk dalam menggunakan modal dengan berpegang teguh kepada prinsip keadilan, keseimbangan dan menginvestasikan modal kepada jalan kebaikan dengan tanpa merugikan orang lain.[15]
Dalam melakukan penghimpunan dana masyarakat, Bank Konvensional dan bank Syariah mempunyai perbedaan paradigma mendasar dari masyarakat, Yaitu :
-        Masyarakat menyerahkan dananya pada Bank Konvensional dimaksudkan untuk menabung dan mengamankan dananya dari kemungkinan dari hal-hal yang tidak diinginkan disamping mengharapkan bunga dari dana yang disimpan.
-        Pada Bank Syariah, tujuan masyarakat menyerahkan dananya selain untuk diinvestasikan dalam berbagai pembiayaan, juga akan mendapatkan pembagian hasil berdasarkan nisbah yang ditetapkan.[16]
Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional prinsip penghimpunan dana yang digunakan dalam bank syariah ada dua yaitu prinsip wadiah dan prinsip mudharabah.[17] Prinsip wadiah dalam perbankan syariah dapat diterapkan pada kegiatan penghimpunan dana berupa giro dan tabungan. Kedua produk ini digunakan dengan menggunakan akad al-wadiah yaitu giro wadiah dan tabungan wadiah.[18]
Giro syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa giro yang benar secara syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.[19]
Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek/bilyet giro dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.[20]
Sumber dana bank syari’ah dihimpun dari beberapa macam diantaranya adalah sebagai berikut:
1.          Modal inti (core capital)
Modal inti adalah dana modal sendiri yaitu dana yang berasal dari para pemegang saham bank, yaitu pemilik bank. Pada umumnya dana modal inti terdiri dari:
a.      Modal yang disetor oleh para pemegang saham, sumber utama dari modal perusahaan adalah saham.
b.     Cadangan, yaitu sebagian laba bank yang tidak dibagi, yang disisihkan untuk menutup timbulnya risiko kerugian di kemudian hari.
c.      Laba ditahan, yaitu sebagian laba yang seharusnya dibagikan kepada para pemegang saham, tetapi oleh para pemegang saham sendiri (melalui Rapat Umum Pemegang Saham) diputuskan untuk ditanam kembali dalam bank. Laba ditahan ini juga merupakan cara untuk menambah dana modal lebih lanjut.[21]
2.          Kuasi ekuitas (mudharabah account)
Bank menghimpun dana berbagai hasil atas dasar prinsip mudharabah, yaitu akad kerjasama antara pemilik dana (shahibul mal) dengan pengusaha (mudharib) untuk melakukan suatu usaha bersama, dan pemilik dana tidak boleh mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari. Keuntungan yang diperoleh dibagi antara keduanya dengan perbandingan (nisbah) yang telah disepakati sebelumnya.
3.          Titipan (wadi’ah) atau simpanan tanpa imbalan (non remunerated deposit)
Wadi’ah merupakan titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki.[22] Dana titipan (wadi’ah) ini dikembangkan dalam bentuk rekening giro Wadi’ah dan rekening tabungan wadi’ah.[23] 
Secara umum umum terdapat dua jenis wadi’ah, yaitu:[24]
1)     Wadiah Yad Al-Amanah (Trustee Depository), jenis ini mempunyai karakteristik:
-        Harta atau benda yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan;
-        Penerima titipan (bank) hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa mengambil manfaatnya
-        Sebagai kompensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya (fee) kepada yang menitipkan.
2)     Wadiah Yad adh- Dhamanah (Guarantee Depository), akad ini diterapkan dalam penghimpunan dana pihak ketiga antara lain giro dan tabungan[25]. Yang  memiliki ciri-ciri sebagai berikut;
-        Harta yang dititipkan diperbolehkan untuk dimanfaatkan oleh penyimpan
-        Apabila ada hasil dari harta penitipan tersebut, maka akan menjadi hak peminjam.
Tujuan dari kegiatan penghimpunan dana adalah untuk memperbesar modal, memperbesar asset dan memperbesar kegiatan pembiayaan sehingga nantinya dapat mendukung fungsi bank sebagai lembaga intermediasi.
Dalam hal penghimpunan dana, bank harus selalu aktif untuk melihat kondisi mayarakat dalam menabung, dikarenakan masih ada masyarakat yang belum memahami dan mengetahui tentang prinsip-prinsip yang ada diperbankan syariah. dikarenakan faktor yang mempengaruhi ketertarikan akan minat masyarakat dan mendorong masyarakat untuk menyimpan dananya di Bank Syariah adalah pengetahuan nasabah tentang bank syariah itu sendiri. Selama ini masyarakat masih menganggap bahwa bank syariah sama dengan bank konvensional.

2.     Manajemen Pengelolaan/Penyaluran
Dalam melakukan kegiatan penyaluran dana, bank syari’ah dapat melakukannya dengan cara memberikan pembiayaan, dimana pembiayaan ini merupakan salah satu tugas pokok bank untuk mendapatkan keuntungan.
Menurut sifat pengunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1.     Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.
2.     Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Menurut keperluannya, pembiayaan produksi dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a)     Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan: (a) peningkatan produksi baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi; dan (b) untuk keperluan perdagangan.
b)     Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan investasi sendiri.[26]
Bank syari’ah dalam membantu memenuhi kebutuhan modal kerja bukan dengan meminjamkan uang, melainkan dengan menjalin hubungan partnership dengan nasabah, dimana bank bertindak sebagai penyandang dana (shahibul mal), sedangkan nasabah sebagai pengusaha atau pengelola (mudharib). Pembiayaan semacam ini disebut dengan mudharabah. Adapun keuntungan transaksi jenis ini adalah bagi hasil/rugi dari pengelolaan dana tersebut.
Dengan cara ini, bank syari’ah dan pengusaha membagi resiko usaha yang saling menguntungkan dan adil. Agar bank syari’ah dapat berperan aktif dalam kegiatan usaha dan mengurangi kemungkinan risiko, seperti moral hazard (jebakan moral), maka bank dapat memilih untuk menggunakan akad musyarakah.[27]
Melihat luasnya aspek yang harus dikelola dan dipantau maka untuk pembiayaan investasi bank syari’ah menggunakan musyarakah mutanaqishah. Dalam hal ini bank memberikan pembiayaan dengan prinsip penyertaan, dan secara bertahap bank melepaskan penyertaannya dan pemilik perusahaan akan mengambil alih usaha tersebut.
Skema lain yang dapat digunakan oleh bank syari’ah adalah al-ijarah al-muntahiya bit-tamlik, yaitu menyewakan barang modal dengan opsi diakhiri dengan kepemilikan.



3.     Manajemen Pembiayaan(Financing)
Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan transaksi jual beli dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, traksaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam dan istishna, transaksi piutang qardh dan transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah.[28]
Penyaluran Dana pada perbankan syariah dapat dikategorikan kedalam 2 (dua) bentuk, yaitu :[29]
1.     Equity Financing
Bentuk ini terbagi kedalam bentuk skim mudharabah muthlaqah/muqayyadah.
a.      Al-Mudharabah
Dalam hal Mudharabah ini bank merupakan penyandang dana dan nasabah yang bertindak sebagai pengelola dana (mudharib). Fasilitas ini diberikan dalam jangka waktu tertentu, sedangkan bagi hasil dibagi secara per periodic dengan nisbah yang sudah disepakati. Setelah jatuh tempo, maka nasabah mengembalikan sejumlah dana beserta porsi bagi hasil yang merupakan bagian dari bank.
Didalam pelaksanaan kontrak pihak bank tidak dibenarkan meletakkan jaminan, karena ia bukan bersifat utang, tetapi ia bersifat kerja sama dengan modal kepercayaan antara bank dengan nasabah.
b.     Al-Musyarakah
Musyarakah merupakan gabungan pemegang saham untuk membiayai sebuah proyek, keuntungan dar proyek tersebut akan dibagikan menurut persentase yang disetujui/disepakati pada awal kontrak, dan apabila mengalami kerugian maka akan ditanggung bersama oleh para pemegang saham. Dalam kontrak ini bank tidak dibolehkan memberatkan nasabah dengan dengan persyaratan anggunan karena kontrak ini adalah akad kerja sama, bukan kontrak hutang piutang. Kesalahan pada pembebanan jaminan menyebabkan kontrak menjadi fadad.[30]


2.     Debt Financing
Debt financing dalam teori meliputi objek-objek berupa pertukaran  antara barang dengan barang (barter), barang dengan uang, uang dengan barang dan uang dengan uang. Pertukaran ini bisa menyebabkan riba. Namun dalam perbankan syariah dimaksudkan pertukaran tersebut adalah pertukaran uang dengan uang (sharf) yang dimaksudkan dalam bidang jasa pertukaran uang, yang mensyaratkan langsung tanpa penundaan pembayaran. Dalam perbankan syariah digunakan dua objek lain yaitu pertukaran antara barang dengan uang dan uang dengan barang.[31]
a.      Barang dengan uang
Pertukaran ini dapat dilakukan dengan skim jual beli (Bai’) ataupun sewa menyewa (ujrah). Yang termasuk skim jual beli ini  adalah :
·       Bai’ al-Murabahah, yaitu bentuk jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam hal ini penjual harus menentukan suatu tingkatan keuntungan sebagai tambahannya. Margin keuntungan adalah selisih harga jual dikurangi harga asal yang merupakan pendapatan bank.[32]
·       Bai’ Bithaman Ajil yaitu bentuk atau prinsip jual beli dengan cara penangguhan atau secara angsuran (al-Taqsid).
b.     Uang dengan barang
Pertukaran ini dilakukan dengan cara :
·       Bai’ As-Salam (In–Front Payment Sale) yaitu menjual barang yang penyerahan barang tersebut ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan secara jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari.[33]
·       Bai’ al-Istisna (Istisna Sale) yaitu akad jual beli antara pemesan/pembeli dengan penjual dimana barang yang akan diperjual belikan harus dibuat manufactured lebih dahulu dengan kriteria yang jelas.[34]
Dalam pelaksanaan pembiayaan, bank syariah memenuhi aspek syar’i dan aspek ekonomi. Yang dimaksud dengan aspek syar’i adalah setiap realisasi pembiayaan kepada nasabah, bank syariah harus tetap berpedoman kepada syariat Islam (antara lain tidak mengandung unsur maisir, gharar, dan riba serta bidang usahanya harus halal. Adapun yang dimaksud dengan aspek ekonomi adalah mempertimbangkan perolehan keuntungan baik bagi bank syariah maupun bagi nasabah.[35]
Pembiayaan merupakan sumber pendapatan bagi bank syariah.Tujuan pembiayaan yang dilaksanakan perbankan syariah terkait dengan stakeholder, yakni[36]:
1.     Pemilik. 
Dari sumber pendapatan diatas, para pemilik mengharapkan akan memperoleh penghasilan atas dana yang ditanamkan pada bank tersebut.
2.     Pegawai. 
Para pegawai mengharapkan dapat memperoleh kesejahteraan dari bank yang dikelolanya.
3.     Masyarakat.
a)           Pemilik dana; masyarakat sebagai pemilik dana mengharapkan dari dana yang diinvestasikan akan diperoleh bagi hasil.
b)           Debitur yang bersangkutan; dengan penyediaan dana baginya mereka merasa terbantu guna menjalankan usahanya (sektor produktif) atau terbantu untuk pengadaan barang yang diinginkannya (pembiayaan konsumtif).
c)           Masyarakat umumnya konsumen; dengan pembiayaan mereka dapat memperoleh barang-barang yang dibutuhkan.
4.     Pemerintah.
Pemerintah terbantu dalam pembiayaan pembangunan negara, disamping itu akan diperoleh pajak.
5.     Bank.
Bagi bank yang bersangkutan, hasil dari penyaluran pembiayaan diharapkan bank dapat meneruskan dan mengembangkan usahanya agar tetap survival dan meluaskan jaringan usahanya, sehingga semakin banyak masyarakat yang dapat dilayaninya.


Proses pemberian pembiayaan:[37]
1.       Surat permohonan pembiayaan
Dalam surat permohonan, berisikan jenis pembiayaan yang diminta nasabah, untuk berapa lama, berapa limit yang diminta, serta sumber pelunasan pembiayaan berasal dari mana. Disamping itu, surat di atas dilampiri dengan dokumen pendukung, antara lain: identitas pemohon, legalitas (akta pendirian atau perubahan, surat keputusan menteri, perizinan-perizinan), bukti kepemilikan agunan (jika diperlukan).
2.       Proses evaluasi
Dalam penilaian suatu permohonan, bank syariah tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian serta aspek lainnya, sehingga diharapkan dapat diperoleh hasil analisis yang cermat dan akurat.
Langkah pengamanan yang dilakukan bank syariah untuk mengendalikan terjadinya pembiayaan bermasalah dapat dilakukan sebagai berikut:[38]
·       Sebelum realisasi pembiayaan
Dalam tahapan ini, bank melakukan penutupan asuransi dan/atau pengikatan agunan (jika diperlukan). Setelah ini selesai, baru pembiayaan dapat dicairkan.
·       Setelah realisasi pembiayaan
Dalam tahap awal pencairan, dana diarahkan pada pembiayaan sebagaimana diajukan dalam permohonan atau persetujuan bank, dan jangan sampai “bocor” dalam arti lari ke hal-hal diluar kesepakatan. Selanjutnya, bank melakukan pembinaan dan kontrol atas aktivitas bisnis nasabah.

Prinsip-Prinsip Pemberian Pembiayaan
Dalam melakukan penilaian permohonan pembiayaan bank syariah bagian marketing harus memperhatikan beberapa prinsip utama yang berkaitan dengan kondisi secara keseluruhan calon nasabah. Di dunia perbankan syariah prinsip penilaian dikenal dengan 5 C + 1 S, yaitu:[39]
1.     Character
Yaitu penilaian terhadap karakter atau kepribadian calon penerima pembiayaan dengan tujuan untuk memperkirakan kemungkinan bahwa penerima pembiayaan dapat memenuhi kewajibannya.
2.     Capacity
Yaitu penilaian secara subyektif  tentang kemampuan penerima pembiayaan untuk melakukan pembayaran. Kemampuan diukur dengan catatan prestasi penerima pembiayaan di masa lalu yang didukung dengan pengamatan di lapangan atas sarana usahanya seperti toko, karyawan, alat-alat, pabrik serta metode kegiatan.
3.     Capital
Yaitu penilaian terhadap kemampuan modal yang dimiliki oleh calon penerima pembiayaan yang diukur dengan posisi perusahaan secara keseluruhan yang ditujukan oleh rasio finansial dan penekanan pada komposisi modalnya.
4.     Collateral
Yaitu jaminan yang dimiliki calon penerima pembiayaan. Penilaian ini bertujuan untuk lebih meyakinkan bahwa jika suatu resiko kegagalan pembayaran tercapai terjadi, maka jaminan dapat dipakai sebagai pengganti dari kewajiban.
5.     Condition
Bank syariah harus melihat kondisi ekonomi yang terjadi di masyarakat secara spesifik melihat adanya keterkaitan dengan jenis usaha yang dilakukan oleh calon penerima pembiayaan. Hal tersebut karena kondisi eksternal berperan besar dalam proses berjalannya usaha calon penerima pembiayaan.
6.     Syariah
Penilaian ini dilakukan untuk menegaskan bahwa usaha yang akan dibiayai benar-benar usaha yang tidak melanggar syariah sesuai dengan fatwa DSN “Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah.”
Secara teoritis bahwa yang terpenting pertama adalah karakter dari nasabah calon penerima pembiayaan (nasabah debitur), karena jika karakternya baik, sekalipun kondisinya buruk, nasabah debitur akan tetap berusaha serius dan dengan jujur mengembalikan dana pembiayaan yang telah disepakati dalam perjanjian. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya jaminan sangat menentukan tingkat keamanan pembiayaan yang disalurkan oleh bank. Disamping itu keberadaan agunan menjadi sangat penting, dan hal ini berhubungan dengan filosofi dasar dari dana bank, yaitu bahwa dana bank adalah dana nasabah, dana masyarakat, yang oleh karenanya harus dilindungi dan digunakan dengan sangat hati-hati (trust and prudential).

D.    KESIMPULAN
Perbankan adalah lembaga yang bergerak dalam hal penghubung antara orang yang surplus uang dengan orang yang defisit uang. Perbankan syariah hadir ditengah-tengah masyarakat diharapkan menjadi lembaga yang mampu menggerakkan perekonomian suatu masyrakat, sehingga pengangguran dan kemiskinan bisa terkurangi. Tugas utama perbankan adalah menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat, dikarenakan dana yang ada pada perbankan merupakan dana dari masyarakat, maka bank harus sangat hati-hati dalam menyalurkannya, sehingga dana yang disalurkan tepat sasaran sehingga nasabah dan perbankan sama-sama mendapatkan keuntungan dan tidak menimbulkan gharar, judi, maisir dan riba, sehingga ridha dari Allah Swt sama-sama diperolehi.















E.    DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan. Hukum Ekonomi Syariah, dalam perspektif Kewenangan Peradilan Agama. Kencana. Jakarta. 2012

Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Ali Hasan. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam-Fiqh Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2003

Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008

Dewi Gemala, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Edisi Revisi. Cet.4. Kencana, Jakarta. 2007

Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Edisi Revisi. PT. Raja Grafindo Persada Jakarta. 2013.

Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah. PT.Raja Grafindo Persada Jakarta. 2014.

_________, Manajemen Dana Bank Syariah, Edisi I. Yogyakarta: Ekonisia, 2004

__________, Manajemen Perbankan Syari’ah, Yogyakarta:  UPP AMP YKPN, 2005

Solly Lubis, Dimensi-dimensi Manajemen Pembangunan, CV Mandar Maju. Bandung. 1996

Syafi’i Antonio, Muhammad, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta, 2001

Wirdyaningsih dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005

Riyanto Bambang. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Yogyakarta: BPFE, 2001

Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syari’ah, Jakarta: Alvabeta bekerjasama dengan Tazkia Institut, 2002