BELAJAR ADALAH KEWAJIBAN

Monday, July 18, 2016

Soal dan Jawaban

ULUMUL HADIS
JAWABAN UJIAN FINAL

Nama : Zainal Abidin
Nim     : 27153192-2

1.     Untuk menentukan kriteria keshahihan sebuah hadis, para ulama menetapkan standar yang sangat ketat. Jelaskan bagaimana dapat diterima kebenaran  ilmu hadis apabila diukur dengan standar ilmu lain seperti ilmu sejarah dan Epistemologi!
Pertama, Hadits shahih mengharuskan adanya al-Talaqqiy antara periwayat hadits. jika tidak tersambungnya sanad maka hadits tidak dapat dikatakan shahih karena tidak adanya perantara. Yang kedua, yang seharusnya ada pada hadits yang shahih adalah al-‘Adalah al-Ruwah (keadilan periwayat) hal ini menjadi bagian penting suatu riwayat dapat diterima. Rawi dalam meriwayatkan hadits shahih tentu orang yang bertaqwa kepada Allah dan menghindarkan dirinya dari muru’ah. Yang ketiga, Dhabit adalah orang yang menjaga hadits melalui hafalan (Dhabt al-Shadr) dan menjaga hadits melalui tulisan (Dhabt al-Kitabah). Selain itu periwayat yang meriwayatkan hadits shahih tidak memudakan (Tasahhul) pada saat Tahammul wa al-Ada. Yang keempat, tidak mengandung syadz, yaitu penyimpangan yang dilakukan oleh perawi tsiqat terhadap orang yang lebih kuat darinya.Yang kelima, tidak ada ‘illat yang mencacatkannya seperti memursalkan yang maushul, memuttashilkan yang munqathi’ ataupun yang memarfu’kan yang mauquf.[1]
Secara linguistik kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu: kata“Episteme” dengan arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge.[2] Istilah epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminology, ada beberapa pendapat yaitu :
a.      Dagobert D.Runes dalam bukunya “Dictionary of Philisophy”,mengatakan Epistemologi sebagai cabang filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, mode, dan validitas pengetahuan.
b.     Harun Nasution dalam bukunya “Filsafat Agama”,mengatakan bahwa Epistemologi adalah ilmu yang membahas apa pengetahuan itu dan bagaimana memperolehnya.
c.      Fudyartanto, mengatakan bahwa Epistemologi adalah ilmu filsafat tentang pengetahuan atau dengan kata lain filsafat pengetahuan.
d.     Anton Suhono, Epistemologi adalah teori mengenai refleksi manusia atas kenyataan.
e.      The Liang Gie, Epistemologi adalah sebagai cabang filsafat yang bersangkutan dengan sifat dasar dan ruang lingkup pengetahuan,pra anggapan-pra anggapan dan dasar-dasarnya serta reabilitas umum dari tuntutan akan pengetatuan.
Epistemologi sangat diperlukan, sebuah kepastian dimungkinkan oleh suatu keraguan.Terhadap keraguan ini epistemologi merupakan suatu obatnya. Apabila epistemologi berhasil mengusir keraguan ini kita mungkin akan menemukan kepastian yang lebih pantas dianggap sebagai pengetahuan.[3]
Epistemologi Hadis bertolak dari “teks” yang identik dengan khabar sebagai otoritas (sulthah), yaitu warisan pemikiran yang ditransmisikan oleh para sahabat dari Nabi Muhammad SAW.Sebagai karakter distingtif yang membedakan dari epistemologi secara umum, problematika yang mendasar dari epistemologi Hadis bukanlah problematika benar-salah secara logik, melainkan problematika “kemungkinan sahih” (al-shih) dan “status palsu” (al-wadh’).Hal itu karena Hadis sebagai otoritas referensial terkait dengan problematika antara “ungkapan” (lafazh) dan “makna” (ma’na). Oleh karena itu, epistemologi Hadis menunjukkan keterkaitan antara khabar di satu sisi dan sumber-sumber pengetahuan di sisi yang lain. Secara epistemologis, khabar diklasifikasikan kepada dua: pertama, khabar yang meniscayakan pengetahuan langsung (dharûry). Ada dua karakteristik yang menjadi tolak ukurnya:
(1)     Orang-orang yang mentransmisikannya harus memberitakan apa yang diketahui secara pasti;
(2)     jumlah orang yang mentransmisikan harus lebih dari empat orang dan didasarkan pada wahyu (simâ’) dan persyaratan persaksian (syahâdah) dan proses ini terjadi secara tawâtur (berulang-ulang) dan pengulangan itu sendiri membentuk apa yang disebut sebagai “keteraturan peristiwa-peristiwa” (itththarâd al-hawâdîts).
Di samping itu isi berita itu berdasarkan dari sesuatu yang telah menjadi tradisi. Khabar ini kebenarannya diketahui dengan inferensi (istidlâl). Tipe ini diklasifikasikan kepada tiga hal:
(1)  khabar yang sumbernya diyakini tidak mungkin berdusta, yaitu khabar al-Qur’an dan Sunnah;
(2)  khabar yang dinyatakan benar (tashdîq) oleh seseorang yang diketahui memiliki kredibilitas yang cukup atau tidak mungkin berdusta;
(3)  khabar yang harus disertai kondisi-kondisi khususnya (ahwâl) untuk kualifikasi sebagai khabar yang benar.
Kedua, tipe khabar yang disampaikan oleh seseorang (khabar al-wâhid, khabar ahad) yang diketahui melalui persepsi dan disampaikan kepada beberapa orang sesudahnya. Berbeda dengan khabar mutawatir yang dianggap meniscayakan pengetahuan langsung (dharûri), khabar perorangan belum memenuhi kriteria korespondensi dan afektivitas. Karena itu, khabar perorangan secara epistemologis belum mancapai tingkat pengetahuan, meskipun dianggap valid dari segi fikih (‘ibadah) karena statusnya zhann atau ghalabat al-zhann.
Di dalam kajian epistemologi secara umum, terdapat beberapa teori kesahihan atau kebenaran pengetahuan, antara lain teori kesahihan koherensi (pernyataan suatu pengetahuan), teori kebenaran korespondensi (saling bersesuaian), teori kebenaran pragmatis, teori kebenaran semantik dan teori kebenaran logikal berlebihan. Tapi nampaknya dari kelima teori kebenaran ini hanya dua teori (koherensi dan korespodensi) yang relevan diterapkan dalam wacana kajian Hadis dikarenakan kedua teori ini kemungkinan dapat diimplementasikan dalam bidang kajian sejarah. Teoriteori kebenaran ini diharapkan dapat diterapkan dalam menilai status epistemik laporan Hadis (sejarah masa silam).
Dalam memahami dan mengkritik hadist juga sangat dibutuhkan dengan Ilmu Sejarah, karena dengan memahami sejarah hadits maka seseorang akan tau bagaimana hadits yang sebenarnya.
Seperti halnya tentang adanya larangan Nabi pada masa dahulu dalam menulis hadits, dan juga pada saat itu nabi juga menyuruh para sahabat untuk menulis hadits dalam hal ini ada dua hadits yang bertentangan, namun hal tersebut tidak lah benar jika dikaji dengan ilmu sejarah.
Kemunculan ‘Ulūm al-Hadīs sebagai suatu disiplin ilmu melalui suatu tahapan perjalanan sejarah yang panjang. Perjalanan sejarah yang dimulai dari masa Rasulullah Muhammad saw. sampai sekarang. Walaupun mengalami pasang surut, akan tetapi semangat para ulama tidak pernah surut atau berhenti menghasilkan karya-karya besar karena mereka termotivasi oleh semangat pengabdian yang tulus untuk memurnikan ajaran agama. Karya-karya tersebut berupa kitab-kitab yang merupakan kontribusi berharga dari para ulama terhadap perkembangan ‘Ulūm al-Hadis. Karya-karya ulama tersebut kemudian menjadi ilmu yang membahas secara spesifik hal-hal tertentu yang berkaitan dengan hadis Rasulullah Muhammad saw.
Belajar sejarah mengandung banyak manfaat. Orang yang mempelajari sejarah dan perkembangan suatu ilmu, termasuk ‘Ulum al-Hadis, akan menjadikan yang bersangkutan lebih bersikap cermat, teliti, bersungguh-sungguh, memiliki motivasi yang tinggi dan lebih bijaksana dalam menanggapi suatu masalah. Seseorang akan mampu mengendalikan diri dalam menetapkan status suatu hadis berdasarkan penerapan suatu kaedah atau metode yang tepat, sehingga tidak menimbulkan intrepretasi yang membingungkan.
Hasbi Ash-Shiddieqy mengemukakan bahwa untuk mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan ‘Ulūm al-Hadis perlu ditelusuri dua pokok, yaitu:
1. Mempelajari periode-periode ilmu hadis
2. Mempelajari pemuka-pemuka ilmu hadis.[4]
Para ahli berusaha menyusun secara sistematis periode-periode pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadis. Nūr al-Dīn mengemukakan tahapan perkembangan ‘Ulūm al-Hadīs atas tujuh tahap, yaitu:
Tahap pertama: Kelahiran Ilmu Hadis
Tahap kedua: Tahap Penyempurnaan
Tahap ketiga: Tahap pembukuan Ilmu Hadis secara terpisah
Tahap keempat: Penyusunan Kitab-kitab Induk ‘Ulūm al-Hadīs dan penyebarannya
Tahap kelima: Kematangan dan kesempurnaan pembukuan ‘Ulūm al-Hadis
Tahap keenam: Masa Kebekuan dan kejumudan
Tahap ketujuh: Kebangkitan kedua.[5]
Dari sejarah-sejarah yang terekam dalam Al-Qur’an dan Hadits itulah kemudian kita memahami bagaimana cara Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersuci, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan lain sebagainya. Sejarah juga merupakan alat yang kita gunakan untuk dapat mempertepat pemahaman kita terhadap suatu ayat dalam Al-Qur’an , maupun  sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu hadits. Sebab itulah kemudian kita mengenal istilah Sabab Nuzul, yaitu peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi di masa Rasulullah yang menyebabkan turunnya satu ayat dalam Al-Qur’an. Juga kita mengenai Asbabul Wurud, yaitu peristiwa-peristiwa yang menyebabkan keluarnya suatu hadits dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian lah, begitu pentingnya kedudukan sejarah, Utamanya sejarah yang dikisahkan dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi dalam upaya kita memahami diinul Islam ini dengan lebih baik. Sebab sejatinya, sejarah itu terus berulang, hanya aktor serta tokoh-tokoh pelakunya saja yang berubah. Dan juga bahwa kita pun adalah termasuk bagian dari pelaku sejarah. Maka kita dapati dalam Al-Quran, dua pilihan yang kita harus pilih dalam mewujudkan sejarah. Dua jalan ini adalah; jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah dari kalangan Para Nabi, shidiqin, orang yang jujur keimanannya, para syuhada, dan ash-shalihin, orang-orang yang shalih.
         

2.     Adakalanya pesansebuah hadis sukar untuk diterima, sedangkan validitas sanadnya memenuhi standar keshahihan hadis. Jelaskan bagaimana solusi yangmendekati kebenaran!
Ilmu Musthalah hadits merupakan salah satu cabang ilmu hadits yang membahas mengenai kaedah-kaedah yang digunakan untuk mengetahui derajat hadits dan kondisi para perawinya. Kefahaman tentang ilmu ini mutlak dimiliki oleh orang yang berkecimpung dalam bidang hadits, karena ia menjadi langkah awal untuk membedakan hadits yang bisa dijadikan hujjah dari hadits-hadits lemah dan palsu.
    Sebagai sebuah ilmu, Musthalah hadits telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan periwayatan hadits itu sendiri. Artinya, benih-benih ilmu ini secara alamiah telah muncul sejak zaman para shahabat sebagai generasi pertama perawi hadits. Akan tetapi dalam bentuk yang sistematis, ia baru dibukukan pertama kali sebagaimana pendapat jumhur ulama hadits- oleh Ar Romahurmuzi dalam kitabnya: al-Muhaddits al-Fashil.[6] 
Al-Musykil secara bahasa berasal dari kata "Syakala". Ibnu Faris berkata: "Kata syakala dalam kebanyakan bentuknya mengandung arti: "Mumatsalah" (persamaan), misalnya disebutkan: "Hadza Syaklu hadza", artinya: Ini sama dengan ini.[7] Sedangkan dalam Lisan al-Arab disebutkan: "Asykala al-amru" artinya: "Masalah ini ambigu" (mempunyai lebih dari satu makna sehingga menimbulkan ketidakjelasan dan kekaburan).[8] Hal yang sama disebutkan oleh para pakar bahasa seperti dalam al-Mu'jam al-Wasith,[9] al-Qamus al-Muhith[10] dll.
Jadi, al-Musykil dalam bahasa arab bermakna: sesuatu yang ambigu, mempunyai lebih dari satu makna, dan menimbulkan kekaburan atau ketidakjelasan. Kemudian kata musykil digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang tidak jelas, baik karena mempunyai makna ganda ataupun karena sebab lain.[11] Oleh karena itu, istilah Musykil al-haditsjuga digunakan untuk menunjukkan hadits yang maknanya tidak jelas, atau menimbulkan multi tafsir.
Dalam buku-buku Musthaolah karangan para ulama terdahulu, seperti: al-Muhaddits al-Fashil, Ma'rifat Ulum al-Hadits, Muqoddimah Ibnu Sholah, at-Taqrib, al-Ba'its  al-Hatsits dll, penggunaan istilah Musykil al-Hadits tidak dipakai dan disebut dalam jenis-jenis ilmu hadits. Yang mereka sebutkan adalah ilmu Mukhtalaf al-Hadits, yang berdasarkan definisinya yang mereka sebutkan bermakna: "Ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang secara zhahir saling bertentangan."[12] Kemudian ketika menyebutkan contoh karangan dalam bidang tersebut, mereka menyebut kitab Musykil al-Atsar karangan Imam ath-Thahawi. Padahal kalau kita mempelajari kitab ini, maka akan kita dapati didalamnya terdapat hadits-hadits yang tidak bertentangan dengan hadits lain, akan tetapi maknanya menimbulkan multi tafsir, atau bertentangan dengan ayat al-Qur'an, sejarah ataupun fakta ilmiah.
Adapun para ulama kontemporer yang menulis dalam bidang Musthalah hadits, secara umum mereka mempunyai dua pendekatan dalam masalah ini:
1.       Pendekatan pertama adalah menganggap istilah Mukhtalaf dan Musykil sebagai satu istilah yang sama maknanya. Kelompok ini kemudian terbagi menjadi tiga kategori:
a.      Sebagian menyamakan istilah Mukhtalaf al-Hadits danMusykil al-hadits, dan menyebutkan satu definisi yang menjelaskan kedua istilah tersebut. Diantaranya adalah Dr. Nuruddin al-'Itthr yang mengatakan:"Mukhtalaf al-hadits, dan sebagian ulama menyebutnya: Musykil al-Hadits, yaitu: "Hadits yang secara zhahir bertentangan kaedah hukum syara', atau bertentangan dengan nash yang lain (baik al-Qur'an maupun As-sunnah) sehingga menimbulkan makna yang bias".[13] Juga Dr. Muhammad Ajjaj al-Khatib yang mendefinisikannya dengan: "Ilmu yang mengkaji hadits-hadits yang secara zhahir saling bertentangan, maka kemudian disingkronkan supaya tidak lagi bertentangan, atau mengkaji hadits-hadits yang bertentangan dengan kaedah syari'ah atau nash lain (baik al-Qur'an maupun As-sunnah)sehingga menimbulkan makna yang bias ."[14]
b.     Sebagian ulama menganggap Musykil al-hadits adalah hadits yang bertentangan dengan hadits lain, tanpa menyebutkan pertentangannya dengan kaedah syariah atau nash al-Qur'an, seperti Syekh Abu Zahw.[15]
c.      Sebagian ulama sama sekali tidak menyebut istilah Musykil al-hadits dan cukup menyebutkan istilah Mukhtalaf hadits, seperti yang dilakukan oleh para ulama terdahulu. Diantara ulama dalam kategori ini adalah: Syekh Ahmad Syakir,[16] Prof. Dr. Mahmud ath-Thohhan,[17] dan Dr. Ahmad Umar Hashim.[18]
2.       Sedangkan pendekatan kedua adalah membedakan antara kedua istilah tersebut, dan menjadikan Mukhtalaf hadits sebagai istilah yang khusus menunjukkan pertentangan hadits dengan hadits yang lain.  Adapun Muyskil al-hadits merupakan istilah lain, yang kemudian mereka berbeda pendapat dalam mendefinisikannya.
Dr. Musthofa Said al-Khinn mendefinisikannya sebagai:"Hadits yang secara zhahir menunjukkan makna yang bathil, karena bertentangan dengan nash Al-Qur'an, atau fakta ilmiah, atau karena mengandung tasybih (penyamaan) Dzat atau sifat Allah dengan makhluknya."
            Sedangkan Dr. Usamah Abdullah al-Khoyyath mendefenisikan sebagai : Hadits yang diriwayatkan dengan sanad shahih yang secara zahirnya maknanya menunjukkan hal yang mustahil, atau bertentangan dengan kaedah syari’at yang disepakati.
            Yang bahwa suatu hadits dikatakan musykil apabila ia:
1.     Merupakan hadits yang sahih
2.     Secara zhahir mempunyai makna yang tidak jelas, atau;
3.     Menunjukkan hal yang mustahil seperti penyamaan dzat dan sifat Allah, atau;
a)     Bertentangan dengan kaedah syara', atau;
b)     Bertentangan dengan akal, atau;
c)     Bertentangan dengan nash lain baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah, atau;
d)     Bertentangan dengan fakta ilmiah, atau;
e)     Bertentangan dengan fakta sejarah.
Syarat bahwa hadits tersebut menunjukkan hal yang mustahil juga sebenarnya tidak perlu disebutkan karena sudah terwakili dengan syarat-syarat yang lain yaitu: bertentangan dengan kaedah syara' dan akal, nash yang lain, atau fakta sejarah dan ilimah. Karena pada dasarnya, kemustahilan itu tidak akan terjadi kecuali karena bertentangan dengan salah satu dari hal tersebut.
Dalam hal tersebut perlu dilakukan sebuah penelitian terhada hadis yang salaing bertentangan ataupun bertentangan dengan nash, ataupun hadits sahih namun redaksinya sukar diterima secara akal, penelitian yang harus dilakukan adalah meneliti tentang hadis tersebut dengan cara meneliti sanad dan matan hadits.
Sanad berasal dari kata sanada- yasnudu,yang berarti yang disandarkan karena hadits disandarkan kepada Nabi dan berpegang atasnya.[19] Sedangkan menurut istilah sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan matan hadits kepada Nabi Muhammad Saw.[20]
Beberapa ahli hadits berbeda pendapat tentang istilah sanad, diantaranya:
a.      As-Suyuti mendefinisikan sanad, dalam bukunya Tadrib ar-Rawi: 41, adalah berita tentang jalan matan.
b.     Ajjaj al-Khatib dalam buku ushul al Haditsmendefinisikan sanad dengan silsilah para perawi yang menukilkan hadits dari sumbernya yang pertama.
Sedangkan Matan menurut bahasa berarti tanah yang muncul dan naik ke permukaan. Sedangkan menurut istilah matan adalah suatu kalimat tempat berakhirnya sanad. Menurut Ajjaj Al khatib matan adalah lafal hadits yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu. Dan menurut ath Thibbi matan hadits adalah lafal hadits yang dengan itu terbentuk makna. [21]
Penelitian (kritik) dalam ilmu hadis sering dinisbatan pada kegiatan penelitian hadis yang disebut dengan al Naqd (النـقـد )yang secara etimologi adalah bentuk masdar dari ( نقـد ينقـد  ) yang berarti mayyaza, yaitu memisahkan sesuatu yang baik dari yang buruk. Kata al Naqd itu juga berarti “kritik” seperti dalam literatur Arab ditemukan kalimat Naqd al kalam wa naqd al syi’r yang berarti “ mengeluarkan kesalahan atau kekeliruan dari kalimat dan puisi atau Naqd al darahim yang berarti : تمييزالدراهم واخراج الزيف منها  memisahkan uang yang asli dari yang palsu .
Di dalam ilmu Hadis, al Naqd berarti:
تمييز الاحاديث الصحيحة من الضعيفة والحكم على الرواة توثيقا وتجريحا
“Memisahkan Hadis-Hadis yang shahih dari dha’if, dan menetapkan para perawinya yang tsiqat dan yang jarh (cacat)“.
 Jika kita telusuri dalam Alquran dan Hadis maka kita tidak menemukan kata al Naqd digunakan dalam arti kritik, namun Alquran dalam maksud tersebut menggunakan kata yamiz yang berarti memisahkan yang buruk dari yang baik. Maka pengertian kritik sanad adalah penelitian, penilaian, dan penelusuran sanad Hadits tentang individu perawi dan proses penerimaan Hadits dari guru mereka dengan berusaha menemukan kesalahan dalam rangkaian sanad guna menemukan kebenaran yaitu kualitas Hadits. Sedangkan kritik matan adalah kajian dan pengujian atas keabsahan materi atau isi hadits.
  Tujuan pokok penelitian hadis, baik dari segi sanad maupun dari segi matan, adalah untuk mengetahui kualitas hadis yang diteliti. Hadis memiliki kriteria syarat dalam menentukan kualitas pada hadis. Hadis yang kualitasnya memenuhi syarat dapat digunakan sebagai hujjah. Pemenuhan syarat tersebut dibuthkankan, karena hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Semua itu bertujuan menjaga keutuhan ajaran Islam sesuai jalannya.[22]
Penelitian pada hadis perlu dilakukan penelitian secara berulang-ulang. Penelitian ulang merupakan bentuk upaya untuk mengetahui seberapa jauh tingkat akurasi penelitan ulama terhadap hadis yang mereka teliti, untuk menghindarkan diri dari penggunaan dalil hadis yang tidak memenuhi syarat jika dilihat dari segi kehujjahannya.
Sebuah hadits dapat diterima periwayatannya apabila telah memenuhi standar/persyaratan-persyaratan tertentu sehingga hadits tersebut berpredikat. Para ulama hadits menetapkan pesyaratan dapat diterimanya sebuah hadits sebagai hadits-hadits absah dengan lima syarat. Lima syarat tersebut adalah :
1.     Rangkaian sanad (periwayat hadits) yang bersambung. Dengan persyaratan ini maka tidak diterima hadits yang munqati, muaddal, mu’allaq, mursal, mudallas, dan mursal khafi
2.     Hadits tersebut diriwayatkan oleh periwayat yang adil atau orang yang konsisten dalam menjalankan agamanya, berakhlak mulia, terpelihara dari sifat-sifat[23] fasiq dan dapat menjaga muru’ah. Dengan persyaratan ini, maka hdits matruk tidak dapat diterima
3.     Hadits tersebut diriwayatkan oleh para periwayat yang dhabit yaitu memahami apa yang didengar dan menghafalnya ketika dibacakan hadits. Dia juga harus dapat menjaga hafalannya semenjak ia mendengar hadits tersebut dari gurunya (tahammul) sampai dia membacakannya kembali kepada orang lan (al-ada’). Seorang periwayat disebut hafiz dan ‘alim, apabila ia meriwayatkan hadits dari hafalannya. Seorang periwayat dikatakn fahim apabila ia meriwayatkan hadits dari pengertian dan pemahaman (ma’nawi). Seorang periwayat juga harus memelihara catatan haditsnya dari perubahan, baik mengurangi, menambah, mangganti atau menukar dari bentuk aslinya. Dengan persyaratan ini maka tidak diterima hadits yang mudraj dan maqlub
4.     Tidak ada kejanggalan (syaz) dalam matan hadits. Pengertian syaz adalah periwayatan orang yang siqah bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih siqah (ausaq minhu)
5.     Tidak ada kecacatan (illat) dalam matan hadits. Hadits mu’allal (yang ada cacatnya) adalah hadits yang dari luarnya tidak tampak adanya cacat, akn tetapi dapat diketahui setelah dilakukan penelitian yang mendalam. Seperti menganggap mursal hadits yang mausul, menganggap mausul hadits yang munqati atau menganggap marfu hadits yang mauquf.



3.     Sejarah penulisan hadis melewati liku-liku yang panjang dan sangat berbeda dengan proses penulisan Al-Qur'an. Jelaskan bagaimana implikasi dari kondisi tersebut terhadap otentisitas hadis!
Keberadaan hadits dalam proses kondifikasinya sangat berbeda dengan Al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah Saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah. Sementara itu, perhatian terhadap hadits tidaklah demikian. Upaya kodifikasi hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw.
Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas hadits. Beberapa penulis dari kalangan orientalis menjadikan hal ini sebagai sasaran tembak untuk membangun teorinya yang mengarah pada peraguan terhadap otentisitas hadits. Goldziher misalnya, dalam karyanya Muhammedanische Studien telah memastikan diri untuk mengingkari adanya pemeliharaan hadits pada masa sahabat sampai awal abad kedua hijriyah. Sebuah pertanyaan yang diajukan, benarkah bahwa otentisitas hadits patut diragukan mengingat kodifikasi hadits baru dilakukan pada akhir abad pertama hijriyah. 
Tentang Penulisan hadits yang merupakan ucapan, perbuatan, dan persetujuan serta gambaran sifat-sifat Rasulullah saw baik sifat khalqiyah atau khuluqiyah adalah suatu yang melekat pada diri Nabi. Keberadaannya selalu menyertai di setiap event yang dialami oleh Rasulullah saw. Setiap event dari episode kehidupan Rasul saw adalah hadits. Dari sinilah kebanyakan para peneliti Muslim berkesimpulan bahwa menuliskan hadits secara lengkap tentu sulit, karena sama artinya dengan menuliskan setiap peristiwa dan keadaan yang menyertai Rasulullah. Para sahabat yang hidup menyertai Rasulullah bisa jadi merasa tidak perlu mencatat setiap peristiwa yang mereka alami bersama Rasulullah saw. Apa yang mereka alami akan terekam secara otomatis dalam ingatan mereka tanpa harus dicatat, karena mereka terlibat dalam berbagai peristiwa tersebut. Selain itu tradisi menghafal ketika itu merupakan tradisi yang sangat melekat kuat sehingga banyak kejadian-kejadian lebih banyak terekam dalam bentuk hafalan.
Demikian pula Rasulullah saw secara khusus juga memberikan anjuran untuk menghafalkan hadits serta menyampaikannya pada orang lain sebagaimana sabdanya “semoga Allah memperindah wajah orang yang mendengar perkataan dariku lalu menghafalkannya serta menyampaikannya (pada orang lain)”, Mungkin saja orang yang membawa informasi itu menyampaikan kepada orang yang lebih faqih darinya, bisa jadi pula orang yang membawa informasi itu bukan orang yang faqih.[24]
Di luar adanya rekaman hadits dalam bentuk hafalan yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw, tidak menutup kemungkinan ada beberapa peristiwa yang berhubungan dengan Rasulullah, yang dirasa perlu dicatat, terekam pula dalam bentuk catatan sahabat. Tentang adanya pencatatan ini Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut: “Dari Abu Hurairah ra beliau berkata; tidak ada seorang dari sahabat Nabi yang lebih banyak meriwayatkan hadits dariku selain Abdullah bin Amr bin Ash, karena sesungguhnya dia mencatat hadits sedangkan aku tidak”.[25] Tentang penulisan hadits oleh Abdullah bin Amr ini, diriwayatkan bahwa beliau menulis hadits dengan sepengetahuan Rasulullah saw, bahkan Rasulullah saw memerintahkannya sebagimana riwayat dari Ibnu Amr berikut: “Dari Abdullah bin Amr beliau berkata: ?Saya menulis setiap yang saya dengar dari Rasulullah saw untuk saya hafalkan, maka orang-orang Quraiys mencegahku dengan berkata; ?apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah saw ? Sedangkan Rasulullah saw adalah manusia yang kadang-kadang berbicara dalam keadaan marah dan kadang-kadang dalam keadaan ramah?, maka akupun menghentikan penulisan itu, dan mengadukannya pada Rasululah saw, maka sambil menunjuk mulutnya beliau bersabda, ?Tulislah! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar darinya (maksudnya lisan Rasulullah) kecuali yang hak”[26]
Catatan hadits dari Abdullah bin Amr  inilah yang beliau namai dengan al-Shahifah al-Shadiqah. Beliau sangat menghargai tulisan ini sebagaimana pernyataannya: “Tidak ada yang lebih menyenangkanku dalam kehidupan ini kecuali al-shadiqah dan al-wahth, adapun al-Shadiqah adalah shahifah yang aku tulis dari Rasulullah saw.”[27]
Selain al-Shahifah al-Shadiqah, ditemukan beberapa riwayat tentang adanya shahifah-shahifah yang ditulis oleh sahabat ketika Rasulullah masih hidup antara lain Shahifah Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari pada Kitabul Ilm bab Kitabat al-Ilm, demikian juga shahifah Sa’ad bin Ubaddah. Sekitar Larangan Penulisan hadits Sebagaimana telah disebutkan, adanya kegiatan penulisan hadits telah berlangsung semenjak Rasulullah saw masih hidup. Bahkan ada riwayat yang menunjukkan bahwa Abdullah bin Amr menulis hadits atas restu dari Rasulullah sendiri. 
Selain itu ada juga riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah memerintahkan menulis hadits untuk Abu Sah sebagimana sabdanya: Bersabda Rasulullah saw: “tulislah (khutbahku) untuk Abu Syah.”[28]
Di luar hal ini ada riwayat yang menunjukkan pula bahwa Rasulullah saw melarang penulisan hadits sebagaimana hadits dari Abu Sa’id al Khudri dari Abu Sa’id Al-Khudri, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda “Janganlah kalian semua menulis dariku, barang siapa menulis dariku selain al-Quran maka hendaklah menghapusnya”[29]
Adanya larangan penulisan hadits ini secara lahir kontradiksi dengan fakta penulisan hadits dan perintah penulisan hadits.Dalam menyikapi kontradiksi tersebut para ulama berbeda pendapat. Dalam hal ini setidaknya terdapat tiga pendapat antara lain;
(a)   Hadits pelarangan telah di-nasakh dengan hadits perintah, hal ini didasarkan atas fakta bahwa hadits perintah khususnya hadits Abu Syah disampaikan setelah Fath al-Makkah,
(b)  Larangan bersifat umum, sedangkan perintah bersifat khusus, yaitu berlaku bagi para sahabat yang kompeten menulis, hal ini karena kebanyakan sahabat adalah ummiy atau kurang mampu menulis sehingga dikhawatirkan terjadi kesalahan penulisan,
(c)   pendapat ketiga menyatakan bahwa larangan bersifat khusus yaitu menulis hadits bersama dengan al-Quran, karena hal ini dapat menimbulkan kerancuan. 
Ada pendapat yang menyatakan bahwa hadits tentang pelarangan telah di-mansukh dengan hadits perintah tidak dapat menyelesaikan persoalan. Karena seandainya larangan penulisan hadits telah di-nasakh dengan hadits perintah niscaya tidak ada lagi sahabat yang enggan menulis hadits sesudah wafat Rasulullah saw. 
Bagi para pencari hadits, hal ini akan menjadi argumen mereka menghadapi para sahabat yang enggan menulis hadits, sebab para pencari hadits ini sangat besar keinginannya untuk membukukan hadits. Karena itu, jalan penyelesaiannya adalah bahwa penulisan hadits pada dasarnya tidak dilarang. Adanya larangan penulisan hadits tidak lain karena adanya illat khusus. Ketika ‘illat itu tidak ada, maka otomatis pelarangan tidak berlaku. Illat yang dimaksud adalah adanya kekhawatiran berpalingnya umat dari al-Quran karena merasa cukup dengan apa yang mereka tulis. 
Proses kodifikasi hadits adalah proses pembukuan hadits secara resmi yang dikoordinasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah, bukan semata-mata kegiatan penulisan hadits, karena kegiatan penulisan hadits secara berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah saw masih. Berangkat dari realitas ini adanya tuduhan bahwa hadits sebagai sumber yurisprudensi diragukan otentisitasnya atau tidak otentik merupakan tuduhan yang tidak beralasan karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.Tentang adanya larangan penulisan Hadits hal ini patut dimaknai larangan secara khusus yaitu menuliskan hadits bersama al-Quran dalam satu tempat sehingga dikhawatirkan menimbulkan kerancuan, atau menyibukkan diri dalam penulisan hadits sehingga mengesampingkan al-Quran.[30]
Muhaddits menjadi bagian integral dari hadits, sehingga kajian hadits sangatlah tergantung kepada muhaddits dalam mentransformasikan pemikirannya kepada muridnya. Pertama sekali yang harus dimilik oleh Muhaddits adalah Ikhlas dan niat yang benar dalam megkaji hadits.[31] Menurut beliau, yang paling alim tentang hadits sudah seharusnya jauh dari sifat riya’ dan cinta dunia agar ia mendapat percikan kenabian dari Hadits Rasulullah saw.[32]
Memelihara kecakapan mengajarkan hadits menjadi hal penting bagi para pengkaji hadits. Arti menjaga kecakapan disini adalah bahwa seorang muhaddits seharusnya tidak mau menghadiri suatu majlis untuk mengajarkan hadits kecuali bila ia benar-benar siap untuk itu. Mengenai kecakapan ibn al-Shalah berkata: “apabila hadits yang ia kuasai itu dibutuhkan, maka ia dengan senang dan siap untuk meriwayatkan dan menyebarkannya, pada usia berapapun.[33]
Dengan merujuk pada ulama terdahulu, para muhadditsin untuk mengakhiri aktivitasnya ketika usia 80 tahun, karena pada umumnya orang yang telah mencapai usia ini daya ingatnya tidak lagi normal, aktivitas dan kreativitasnya menurun, serta pola pikirnya berubah. Bila khawatir terjatuh kedalam kesalahan meskipun belum mencapai usia tersebut maka hendaklah ia menghentikan kegiatannya.[34]
Merupakan bagian dari kesempurnaan akhlak para ulama. Mereka menghindari untuk tidak mendahului orang-orang yang lebih banyak memiliki keutamaan daripada mereka, baik karena usianya yang lebih tua maupun ilmunya yang lebih tinggi.
Hadits sebagai ucapan Rasulullah saw, maka sudah seharusnya bagi pengkaji hadits tertanam rasa hormat kepada hadits Rasulullah. Bentuknya adalah dengan mendatangi majelis-majelis pengkajian hadits dengan penuh kesiagaan, termasuk hal yang berhubungan dengan pakaian. Hal yang tak penting adalah bahwa bagi setiap muhadditsin untuk menelaah beberapa karya ilmiah yang lain, dengan mempersiapkan serta meragamkan metodepengajaran untuk menyampaikan setiap materi secara sistematis. Dengan merujuk kepada Hubayb bin Abi Tsabit beliau menegaskan bahwa setiap pengajar majelis ilmiah: “di antara hal yang perlu dilembagakan adalah bahwa jika seseorang berbicara kepada kaumnya, hendaklah ia menghadap kepada mereka.”
Seorang muhaddits harus menggunakan sarana dan metode yang mempermudah peahaman dan memberikan kesan yang dalam, sebagaimana yang ditempuh Rasulullah saw. Dalam menyampaikan hadits kepada sahabat.[35]

4.     Akhir-akhir ini, perdebatan yang tergolong pada wilayah Khilafiyah kembali mencuat kepermukaan. Bagaimana cara yang tepat menyikapi persoalan dimaksud dalam konteks studi UlumulHadis?
Ikhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf berasal dari bahasa Arab yang asal katanya adalah khalafa-yakhlifu-khilafan (خلف – يخلف – خلافا). Manusia yang sedang berdebat (berbeda pendapat) sering kali berkobar api amarah didadanya. Mereka saling berbantah dan debat kusir yang biasa disebut perang mulut. Terhadap perkara ini Allah menegaskan dalam firman-Nya:
فَا خْتَلَفَ الْأَ حْزَا بُ مِنْ بَيْنِهِمْ, فَوَيْلٌ لِلَّذِ يْنَ كَفَرُوْا مِنْ مَشْهَدِ يَوْمٍ عَظِيْمٍ (مريم :37)
Artinya:
“Maka berselisihlah golongan-golongan (yang ada) diantara mereka, maka kecelakaanlah bagi orang-orang kafir pada waktu menyaksikan hari yang besar”.
(Q.S. Maryam: 37)
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّا سَ أُ مَةً وَا حِدَةً وَلاَ يَزَ الُوْ نَ مُخْتَلَفِيْنَ (هود: 118)
Artinya:
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. (Q.S. Hud: 118)
إِنَّكُمْ لَفِيْ قَوْلٍ مُهْتَلِفٍ (الذاريات: 8 )
Artinya:
“Sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda-beda pendapat”.
(Q.S. Al-Zariyat: 8)
Pernyataan Allah dalam beberapa ayat di atas sering terjadi pada diri manusia, karena ikhtilaf memang bisa menimbulkan perbedaan total, baik dalam ucapan, pendapat, sikap maupun pendirian.
Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua orang atau beberapa orang terhadap suatu objek (masalah) tertentu, baik berlainan itu dalam bentuk “tidak sama” ataupun “bertenntangan secara diametral”.
Jadi yang dimaksud ikhtilaf adalah tidak samanya atu bertentangannya penilainan (ketentuan) hukum terhadap suatu objek hukum.
Sedangkan yang dimaksud ikhtilaf disini adalah perbedaan pendapat diantara ahli hukum islam (fuqaha’) dalam menetapkan sebagian hukum islam yang bersifat furu’iyyah, bukan pada masalah hukum Islam yang bersifat ushuliyah (pokok-pokok hukum islam), disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalh dan lain-lain. Misalnya, perbedaan pendapat fuqoha’ tentang hukum wudhu seorang lelaki yang menyentuh perempuan dan hukum membaca surah al-fatihah bagi ma’mum dalam shalat dan lain-lain.[36]
Timbulnya perbedaan pendapat dalam masalah hukum syariah dimulai seiring dengan umur ijtihad itu sendiri. Praktik ijtihad pada saat Rasulullah hidup masih sangat sedikit, kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu karena ketika itu kaum muslimin masih berada dalam fase turunya wahyu.
Jika kita cermati secara mendalam, semua perbedaan pendapat yang terjadi selama ini terkait dengan dua hal berikut:
1.      Keberadaan dalil.
2.      Pemahaman terhadap dalil
Hikmah Allah Swt dalam penciptaan dimana manusia diciptakan secara beragam. Allah Swt menjadikan akal dan kemampuan manusia berbeda-beda. Orang berakal pasti meyakini bahwa kedua contoh di atas menimbulkan aksioma, yakni adanya perbedaan dalam pendapat dan hukum.Yaitu  sebagai berikut:
1.     Nash dalil yang mengandung kemungkinan makna lebih dari satu ditambah dengan pemahaman yang beragam, maka akan menghasilkan pendapat yang berbeda.
2.     Nash dalil yang bersifat qath’i (menunjukan hanya satu makna) ditambah dengan pemahaman ynag sama, maka akan menghasilkan pendapat yang sama.
Orang-orang yang mengajak kepada penyatuan madzhab dan pemikiran tersebut tidak memahami hikmah Allah dalam penciptaan manusia, bahwa jika Dia mau, Dia akan menjadikan manusia menjadi satu dalam pemikiran dan pemahaman. Jika itu yang dikehendaki, maka Allah akan menurunkan sebuah kitab suci yang menerangkan seluruh persoalan manusia secara terperinci tanpa ada kemungkinan untuk dipahami dengan makna berbeda oleh manusia sampai hari kiamat. Seandainya Allah menghendaki penyatuan pemikiran dan pemahaman manusia terhadap hukum-hukum agamanya, niscaya Dia akan mengubah sifat nash-nash dalil itu dan menyatukan pemahaman manusia. Namun, Allah Swt berkehendak lain.[37]
Sebuah hadist masyur sudah banyak diketahui oleh umum umat Islam.
اِخْتِلاَفُ أُمَّتِىْ رَحْمَةٌ
Artinya:
“Perbedaan pendapat umatku, hendaknya menjadi rahmat.” (HR. Baihaqy, Hulaimy dan Nashir Naqdas)
Apa yang terjadi pada masa Nabi Muhammad saw, sungguh merupakan contoh yang baik, seperti tersebut didalam hadist:
عَنْ أَبِىْ سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِىِّ قَالَ: خَرَجَ رَجُلآَنِ فِىْ سَفَرٍ فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ وَلَيْسَ مَعَهْمَا مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيْدًا طَيِّبَا فَصَلَّيَا. ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِى الْوَقْتِ فَأَعَادَ أَحَدُ هُمَا الصَّلاَةَ ,َالْوُضُوْءَ وَلَمْ يُعِدِ الْاَخَرُ. ثُمَّ اَتَيَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَ كَرَا ذَلِكَ لَهُ. فَقَالَ لِلَّذِى لَمْ يُعِدْ أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَاَتْكَ صَلَا تُكَ. وَقَالَ لِلْاَ خَرِ لَكَ الأَجْرُ مَرَّ تَيْنِ. (راودأبوراوروالنسانى)
Artinya:
“Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata: keluar dua orang pada suatu perjalanan sedang waktu shalat telah tiba, kedua orang itu tidak menemukan air untuk berwudhu, maka bertayamum kedua orang itu dengan debu yang bersih, lalu mereka shalat. Setelah mereka shalat mereka dapati air ditempat itu juga, maka seorang dari mereka mengulangi shalatnya dengan wudhu, sedang yang lain tidak mengulangi. Kemudian mereka berdua menghubungi Rasulullah dan menanyakan persoalan tersebut bagaimana hukumnya. Maka Rasul menjawab kepada yang tidak mengulang: Engkau telah kerjakan menurut sunnah dan cukup buatmu sembahyang dan cukup buatmu shalatmu, dan sabdanya kepada yang lain: Engkau dapat ganjaran dua kali.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)

              Segolongan sahabat Nabi sedang didalam perjalanan diantara mereka terdapat Umar dan Muadz. Mereka memerlukan mandi wajib sedang mereka tidak menemukan air untuk mandi. Lalu masing-masing  melakukann ijtihadnya. Muadz berijtihad bahwa tanah itu seperti halnya air, dalam fungsinya seperti air sebagai alat bersuci (thaharah). Kemudian ia berguling/melumurkan badannya dengan tanah itu dan terus shalat. Tetapi ijtihad Umar bersabda, yakni menundakan sembahyang. Ketika persoalan ini diajukan kepada Nabi ternyata keduanya menyalahi dalil.
Nabi memberi contoh melalui al-Qur’an dan Hadist:
فَا مُسَحُوْا بِوُجُوْ هِكُمْ وَاَيْدِ يْكُمْ مِنْهُ. (الماءدة: 25)
Artinya:
“Maka sapulah mukamu dan tapak tanganmu  dengan tanah itu.”(QS. Al-Maidah: 25)

إِنَّمَا يَكْفِيْكَ أَنْ تَقُوْلَ بِيَدَيْكَ هَكَذَا ثُمَّ مَسَحَ الشِّمَالَ عَلَى الْيَمِيْنِ وَظَا هِرَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ. (روادالبخارىومسلم)
Artinya:
“Hanya saja cukup bagimu demikian, dan Nabi memukulkan kedua tangannya ke tanah dan ditiup dikedua tapak tangannya, kemudian menyapu dengan kedua tangannya akan muka dan kedua tapak tangannya.” (HR. Bukhari Muslim)
Ikhtilaf adalah perbedaan pendapat diantara ahli hukum islam (fuqaha’) dalam menetapkan sebagian hukum islam yang bersifat furu’iyyah, bukan pada masalah hukum islam yang bersifat ushuliyah (pokok-pokok hukum islam), disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah dan lain-lain.
Sikap terbaik dalam menghadapi perselisihan di antara ulama adalah sebagaimana ayat berikut:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya :Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa: 59)
Ini adalah prinsip agung yang mesti diikuti oleh setiap muslim, yaitu mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Imam Ibnu  Katsir rahimakumullah menjelaskan bahwa :
Mujahid dan lebih dari satu orang salaf berkata: yaitu kembalikan kepada kitabullah dan sunah Rasul-Nya. Ini adalah perintah dari Allah ‘Azza wa Jalla bahwa semua hal yang diperselisihkan manusia, baik perkara pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, maka hendaknya perselisihan itu dikembalikan menurut keterangan Alquran dan As-Sunnah. Sebagaimana firman-Nya: tentang sesuatu apapun kamu berselisih, Maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Syura:10) Maka, apa-apa yang dihukumi oleh kitabullah dan sunah Rasul-Nya, dan hal tersebut dinyatakan benar oleh keduanya, maka itulah Al-haq (kebenaran), dan selain itu adalah kesesatan. (Tafsir Alquran Al-‘Azhim, 2/345)

Kemudian, jika kedua pihak merasa pendapatnyalah yang lebih sesuai dengan Alquran dan As-Sunnah dengan penelitian masing-masing, tanpa hawa nafsu dan fanatik, maka hendaknya mereka memegang dan meyakini pendapatnya itu, tanpa mengingkari pendapat saudaranya, apalagi meremehkannya, dan menyerang pihak yang berbeda. Oleh karenanya, perlu nampaknya kita perhatikan nasihat dan contoh baik dari para imam terdahulu dalam menyikapi perselisihan ini.
Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan Ats-Tsauri, sebagai berikut:
سفيان الثوري يقول إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه
“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau melarangnya.” (Imam Abu Nu’aim Al-Asbahany, Hilyatul Auliya’, 3/133)


5.     Bagaimana langkah-Iangkah yang harus dilakukan untuk memastikan suatu ungkapan, yang sudah popular dalam masyarakat dan sudah dianggap hadits. Uraikan!
Langkah-langah yang dilakukan untuk memastikan suatu ungkapan yang sudah popular dalam masyarakat dan ungkapan tersebut sudah dianggap seperti hadis, maka yang harus dilakukan adalah kita harus belajar dan memahami tentang hadits, baik itu secara kualitas dan kuantitas.
Secara kualitas yaitu: Hadits maqbul yaitu: ma'khud (yang diambil) dan mushaddaq (yang dibenarkan atau diterima). Sedangkan menurut istilah adalah: "Hadits yang telah sempurna padanya, syarat-syarat penerimaan". yaitu sanad-nya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang 'adil lagi dhabit, dan juga berkaitan dengan matan-nya tidak syadz dan tidak berillat.
Menurut Ibnu shalah mengemukakan definisi hadis shahih, yaitu:
 “Hadis shahih ialah hadis yang sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula, sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak mu’allal (terkena illat)[38]
Shubhi Shalih juga memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam melihat keshahihan sebuah hadis, yaitu:
a.       Hadis tersebut shahih musnad, yakni sanadnya bersambung sampai yang teratas.
b.       Hadis shahih bukanlah hadis yang syaz yaitu rawi yang meriwayatkan memang terpercaya, akan tetapi ia menyalahi rawi-rawi yang lain yang lebih tinggi.
c.       Hadis shahih bukan hadis yang terkena ‘illat. Illat ialah: sifat tersembunyi yang mengakibatkan hadis tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara zahirnya terhindar dari illat.
d.       Seluruh tokoh sanad hadis shahih itu adil dan cermat[39]
syarat-syarat hadis sahih adalah :
a.       Sanadnya bersambung
b.       Perawinya 'adil
c.       Perawinya Dhabit
d.       Tidak Syadz (janggal)
e.       Tidak ber-illat (ghairu al-Mu'allal)
Ketika kita hendak mendapatkan atau mencari sebuah hadis tentunya dalam hal ini dibutuhkan beberapa kitab atau buku sebagai rujukan dimana kita bisa mendapatkan hadis yang shahiih, dalam hal ini seperti yang ditulis oleh Nuruddn Itr di dalam kitabnya Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis mengemukakan bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih antara lain[40]
a.      al-Muwattha’                                                                                     
b.     Shahih Bukhari                      
c.      Shahih Muslim
d.     Shahih Ibn Khuzaimah
e.      Shahih Ibn Hibban
f.      Al-Mukhtarah[41]
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadis yang banyak dan beragam.Tetapi kebingungan itu kemudian menjadi hilang setelah melihat pembagian hadis yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya dari satu segi pandangan saja.   Hadis memiliki beberapa cabang dan masing-masing memiliki pembahasan yang unik dan tersendiri.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadis dari segi kuantitas jumlah para perawi para penulis hadis pada umumnya menggunakan beberapa redaksi yang berbeda. Sedangkan mereka melihat pembagian hadis dari segi bagaimana proses penyampaian hadis dan sebagian lagi memilih dari segi kuantitas atau jumlah perawinya.  Kuantitas hadis disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadis atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadis secara garis besar menjadi dua macam, yaitu :
1.     Hadis mutawatir, hadis mutawatir sendiri terbagi menjadi dua bagian, menurut penulis yang lain hadis mutawatir terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :[42]
a.   Mutawatir lafdzi
b.   Mutawatir ma’nawi
c.   Mutawatir amali.[43]
2.     Hadis ahad, hadis ahad menurut mayoritas ulama hadis terbagai menjadi tiga bagian, yaitu : [44]
a.   Masyhur (mustafid)
b.   ‘Aziz
c.   Gharib.
Disamping pembagian di atas, ada beberapa ulama lain yang membagi hadis dari aspek kuantitas menjadi beberapa bagian, yaitu :
a.   Hadis mutawatir
b.   Hadis masyhur (hadis mustafidh)
c.   Hadis ahad.
Hadis Mutawatir
Mutawatir [45]  menurut bahasa adalah bentuk isim fa'il dari masdar "tawatur" artinya silih berganti. Jika anda ucapkan (tawataral mathar) artinya adalah hujan turun silih berganti tak henti-hentinya  atau bermakna yang saling mengikuti.
Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah segala hal yang bersumber dari Nabi saw., baik dari aspek ucapan (qauliyyah), perbuatan (fi'liyyah) maupun suatu rekomendasi (taqririyyah) dan sifat-sifat Nabi saw. yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak yang secara kemustahilan mereka bersama-sama sepakat untuk melakukan dusta terhadap ucapan, perbuatan maupun taqrir tersebut.
Menurut pendapat yang lain mutawatir adalah kabar (hadis) berlandaskan panca indra yang diriwayatkan oleh sejumlah orang (rawi yang banyak) yang mustahil menurut adat kebiasaan mereka bersepakat untuk mengabarkan berita itu secara dusta.
Dari uraian definisi di atas menjadi jelaslah bahwa kemutawatiran suatu hadis tidaklah mungkin terwujud dalam kabar maupun berita melainkan dengan syarat-syarat tertentu.  Adapun syarat-syarat itu adalah:
c.      Hadis itu harus diriwayatkan oleh orang banyak, sedangkan batasan paling sedikit orang yang meriwayatkan itu masih diperselisihkan dan banyak pendapat yang perbeda, adapun pendapat yang unggul mengatakan sepuluh orang
d.     Perawi yang berjumlah banyak itu harus terdapat di dalam semua tingkatan sanad (setiap thabaqah).
e.      Menurut adat kebiasaan mereka tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kebohongan.
f.      Sandaran hadis mereka adalah indera, seperti ucapan mereka : kami mendengar, kami melihat, kami menyentuh atau kami membuat.  Adapun jika sandaran hadis mereka hanyalah berdasarkan akal (logika) seperti pendapat mereka (perawi hadis) tidak bisa dikatakan sebagai mutawatir. [46]
            Para muhaddis dalam membagi cabang mutawatir ada sedikit perbedaan, ada yang mengatakan hadis mutawatit itu terbagi menjadi dua bagian yaitu mutawatir ladzi dan mutawatir ma’nawi,[47] dan ada yang mengatakan tiga bagian yaitu dengan menambahkan mutawatir ‘amali.  
Sesuatu yang sudah mutawatir bisa mendatangkan ilmu dharuri, artinya ilmu yakin yang bisa memaksa manusia untuk mengakuinya secara jujur dan tegas seperti seseorang yang menyaksikan suatu kejadian dengan mata kepala sendiri, sehingga dia tidak ragu-ragu lagi untuk mengakui keberadaannya.Oleh sebab itulah semua hadis mutawatir mutlak harus diterima sebagai dasar hukum (hujjah) di dalam beristinbat, dan mutlak pula untuk diamalkan.Orang yang menolak hadis mutawatir sebagai hujjah, dihukumi kafir, sebab hal ini diqiyaskan kepada riwayat kemutawatiran al-Qur’an.
Ulama' sudah susah payah mengumpulkan hadis-hadis mutawatir, lalu mereka menjadikannya dalam sebuah karangan tersendiri dengan tujuan utama agar para santri atau mahasiswa dengan mudah bisa membuat rujukan kepadanya. Di antara karangan-karang-an itu adalah :[48]
a.      Al Azhar al-Mutanatsirali fi al-Akhbar al Mutawatirah. Oleh As-Suyuti.  Dalam kitab ini memuat hadis-hadis Mutawatir yang susunan hadisnya diurutkan berdasarkan pada bab-babnya.
b.     Qathful Azhar, oleh As Suyuthi juga, dan kitab ini merupakan ringkasan dari kitab di atas tadi.
c.      Nazmu al-Mutanatsir min al-Hadis al-Mutawatir, oleh Muhammad bin Ja'afar Al Kattani.
d.     Al-La’ali al-Mutanasirah fi al-Ahadis al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun ad-Damasyqi.[49]
Hadis Ahad
Ahad menurut bahasa aahad bentuk jamak dari kata "ahad" yang punya arti "satu", jadi hadis ahad (wahid) adalah hadis yang di riwayatkan oleh satu orang.  Sedangkan menurut istilah adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir.[50]
Pengertian ahad  berarti suatu hadis atau riwayat yang memiliki satu sanad atau beberapa sanad, akan tetapi tidak sampai kepada derajat mutawatir.  Oleh karena itu, ada batasan yang diberikan oleh ulama batasan hadis ahad antara lain, hadist ahad adalah hadis yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadis mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadis dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadis mutawatir, atau dengan kata lain hadis ahad adalah hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir.[51]
Hadis ahad sebagaimana telah disinggung di atas secara sekilas terbagi menjadi beberapa bagian,  yaitu :[52]
1.      Masyhur (mustafid)
2.      'Aziz
3.      Gharib. 
Adapun penjelasan seputar hadis ahad apabila ditinjau dari aspek kualitas memiliki hukum yang beragam, bisa berkualitas (sahih, hasan maupun dhaif).  Berbeda dengan hadis mutawatir yang apabila ditinjau dari aspek kualitas yang sudah pasti sahih. 

Hadis Mashur
Hadis masyhur merupakan bentuk hadis yang memiliki jumlah sanad yang minimal tiga jalur dan atau lebih, akan tetapi tidak sampai kepada bentuk mutawatir.[53]  Hadis masyhur memiliki sanad yang setidaknya ada yang saling menguatkan, baik dari shahid maupun muttabi’nya.Sehingga komposisi hadis mashur yang saling menguatkan ini diidentifikasi jarang sekali sampai kepada tingkatan dha’if (lemah), sebab antara sanad satu dan lainnya saling mendukung dan menguatkan.  Kedha’ifan hadis masyhur ini bisa meningkat menjadi hasan lighairih.
  Ada suatu pendapat yang mengatakan (beranggapan) bahwa hadis masyhur itu senantiasa sahih, pendapat ini muncul sebab berpatokan pada komposisi jumlah hadis masyhur yang banyak, sehingga antara sanad satu dan yang lain saling menguatkan.  Seorang peneliti sering terkecoh dengan adanya jumlah perawi yang banyak, mereka kalau hanya memandang sekilas terhadap hadis masyhur ini bisa terkecoh.  Para muhadis kurang perduli dengan bilangan jumlah sanad pada hadis masyhur, jika jumlah sanad tersebut tanpa disertai dengan sifat-sifat yang menjadikan sanad-sanad itu sahih atau saling memperkuat, sehingga dapat dipergunakan untuk berhujjah. [54]
   Dengan demikian, menurut Nuruddin ‘Itr walaupun hadis mashur memiliki jumlah sanad lebih dari dua jalur sanad dan saling mendudung kualitasnya, dilihat dari aspek diterima (maqbul) dan ditolaknya (mardud)[55] terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :[56]
1.     Sahih, contohnya :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِل
Artinya : Bahwasanya Rasul Allah saw. bersabda,”Apabila salah satu dari kalian mendatangi (melaksanakan) shalat Jum’at, maka hendaklah ia mandi”.
(Hadis ini diriwayatkan dari nabi melalui banyak sanad)
2.     Hasan, contohnya :
لاَضَرر ولا ضِرار
Artinya:”Tidak boleh membiarkan bahaya dating dan tidak boleh mendatangkan bahaya”. (Hadis ini diriwayatkan dari Nabi saw. melalui banyak sanad, hadis ini dinilai hasan oleh an-Nawawi dalam kitab Arba’in.

3.     Dha’if, contohnya :
اطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّينِ
Artinya: “carilah Ilmu walu di negeri Cina”. ( Hadis ini diriwayatkan melalui banyak sanad dari Anas dan Abu Hurairah, namun semua sanadnya tidak bebas dari rawi yang terkena kritik jarh (buruk atau cela).  Oleh sebab itu hadis di atas merupakan hadis masyhur yang dha’if.

Hadis Mashur
Masyhur menurut bahasa adalah isim maf'ul dari fi'il syahara yang artinya menyebarluaskan dan menampakkan, dan dikatakan seperti itu karena dia tampak dengan jelas.  Sedangkan menurut istilah ahad adalah hadis yang diriwayatkan minimal oleh tiga jalur sanad atau lebih, dan tidak sampai pada batas-batas mutawatir.[57]
            Hadis Masyhur menurut Fuqaha semakna (muradif) dengan mustafidz,[58] para ulama di dalam mendefinikan hadis masyhur dan mustafid ada perbedaan, di antaranya :[59]
1.     Hadis masyhur identik dengan mustafidz
2.     Hadis masyhur berbeda dengan mustafidz, namun mereka tidak sependapat tentang perbedaannya
3.     Hadis masyhur lebih umum dari pada mustafidz karena hadis mustafidz jumlah perawinya sama banyak atau seimbang yang bertempat pada permulaan, pertengahan  dan akhir sanadnya, sedangkan hadis masyhur tidak demikian.[60]
4.     Hadis mustafid lebih umum dari pada hadis masyhur.[61]
Jadi masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Mustafid menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi menurut bahasa hadist masyhur dan hadist mustafidah sama-sama berarti hadist yang sudah tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa para ulama juga memandang hadist masyhur dan hadist mustafidz sama dalam pengartian istilah ilmu hadist yaitu, hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan beliau mencapai derajat hadist mutawatir. Sedangkan batasan tersebut, jumlah rawi hadist masyhur (hadist mustafidah) pada setiap tingkatan tidak kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu belum mencapai jumlah rawi hadist mutawatir .
            Hadits masyhur ditinjau dari aspek penyebarannya di berbagai lingkungan terbagi menjadi beberapa bagian.  Hal ini terjadi disebabkan keberadaan hadits Nabi ada yang lebih dominan dikenal diberbagai kalangan atau golongan tertentu, misalnya ada yang lebih masyhur di kalangan ahli hadits, ada hadits yang masyhur digolongan fuqaha, ahli ushul, masyhur dikalangan pendidik atau bahkan masyhur di masyarakat umum.  Berbagai hadis yang masyhur ini kadang-kadang lengkap sanad berikut matannya baik memiliki satu atau dua sanad yang kualitasnya ada yang shahih, hasan dan dha’if.[62] Bahkan ada juga hadits yang masyhur di masyarakat umum, akan tetapi tanpa ada sanad sama sekali. Akan tetapi ada juga istilah hadits masyhur banyak  dikenal diberbagai riwayat yang yang bersumber dari Nabi saw., dan beragam kualitasnya ada shahih, hasan, dha’if, palsu, mutawatir, akan tetapi kesumuanya di kenal atau masyhur oleh berbagai kalangan dengan tidak tahu kualitas sebenarnya.[63]
Selanjutnya ada juga kemasyhuran hadits dikarenakan sudah di tulis atau dibukukan oleh para ulama yang berada dikitab-kitab hadits tertentu, seperti hadits shahih di kitab jami’ ash-shahih, hadis hasan di kitab jami’ as-sunan, hadis dha’if di kitab silsilah al-hadits dha’ifah, hadis palsu di kitab silsilah al-hadits maudhu’ah, hadis mutawatir di kitab al-mutawatirah, hadis qudsi di kitab silsilah al-hadis qudsiyyah dan masih banyak lagi hadits masyhur dengan sebab sudah tercatat di dalam kitab-kitab tertentu.  
           Menurut Nuruddin ‘Itr,[64] penjelasan tentang hadits masyhur tersebut oleh para orientalis dianggap bahwa, para ulama mengupayakan penyebaran hadits masyhur di tengah-tengah masyarakat supaya mereka terima.
Borch menyimpulkan pernyataan Goldziher sebagai berikut: "Orang-orang Mukmin yang taat dan bertakwa telah menerima dan membenarkan dengan mudah tanpa koreksi terhadap segala sesuatu yang datang kepada mereka dalam bentuk hadits. Semuanya mereka yakini sebagai ucapan Nabi saw. secara hakiki. Adapun hal-hal yang mengancam kesahihan banyak bagian dari ucapan-ucapan yang diriwayatkan terus menerus itu dapat dengan mudah mereka jinakkan.Telah jelas bahwa para ahli agama sendiri senantiasa menggunakan kajian ijma' sebagai suatu pegangan dalam menetapkan kesahihan dan kredibilitas hadits.Jelas-jelas mereka mengakui bahwa ijma' umat merupakan tolok ukur tertinggi untuk mengetahui kesahihan suatu hadits."
Selanjutnya ia menambahkan, "Akan tetapi para muhadditsin tidak puas membiarkan diri mereka terbawa oleh sistem penilaian sebagai langkah antisipasi terhadap sislem yang mengancam keluhuran umat Islam dan untuk menyelamatkan banyak hadits yang ternodai sistem tersebut, mereka menetapkan syarat-syarat lain di samping kesepakatan umat untuk menerima kredibilitas dan kesahihan hadits.
Pernyataan ini dikemukakan dengan kata pembuka yang salah dan berdampak salah pula pada kesimpulan yang dituju. Oleh karena itu pernyataan di atas telah menyimpang dari garis kebenaran dan mengarah kepada jurang-jurang kesesatan. Di antara kesalahan tersebut adalah sebagai berikut:[65]
1.          la menafsirkan ijma' sebagai kesepakatan seluruh umat Islam. Hal ini tersirat dalam kata-kata "orang-orang Mukmin" dan "kesepakat­an umat untuk menerima kredibilitas hadits".  Penafsiran ijma' yang demikian menyalahi kaidah ajaran Islam  yang sangat mendasar dan tidak samar lagi bagi setiap pencari ilmu serta orang yang memperhatikan ajaran dan kebudayaan Islam, sebab sesungguhnya tidak samar lagi bahwa ijma' yang dapat dijadikan hujjah menurut umat Islam adalah ijma' para imam mujtahid sebagai hasil penggalian hukum dari dalil syara'. Dan telah dimaklumi pula bahwa ahli ijma' itu tidak boleh mengesampingkan dalil-dalil syara'.
2.          Para ulama sama sekali tidak pernah mengupayakan agar masya-rakat umum menerima suatu hadits, bahkan mereka seluruhnya senantiasa mengkaji dengan penuh kehati-hatian terhadap riwayat-riwayat yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Imam Muslim menjelaskan dalam Muqaddimah Shahih-nya bahwa yang menjadi motivasi penyusunan kitab Shahih-nya adalah karena ia melihat ha-dits-hadits dha'if dan rusak beredar dengan leluasa di tengah-tengah umat Islam.
3.          Para muhadditsin mengadakan pengkajian khusus terhadap hadits yang beredar di masyarakat dalam bentuknya yang khusus, yakni hadits masyhur. Mereka meneliti hadits-hadits yang masyhur di kalangan masyarakat umum untuk kemudian mereka jelaskan bahwa hadits-hadits yang beredar itu tidak memiliki kualitas vang sama. Kemudian hadits-hadits itu mereka himpun dalam sejumlah kitab yang dilengkapi penjelasan tentang derajat masing-masing hadits/ baik shahih, hasan, dha'if, maupun yang mukhtalifnya.
4.          Seandainya kata-kata "kajian ijma" itu kita artikan sebagai ijma' ulama terbatas dari kalangan para tokoh muhadditsin, maka apakah pengungkapan yang demikian dalam forum ilmiah dapat dianggap sebagai metode penyajian yang mudah dipahami dan kritis, sebagaimana yang ia duga, ataukah metode ini merupakan suatu puncak pembahasan yang akurat? Bila memang demikian, kini kita juga mendapatkan seorang ilmuwan yang penelitiannya dapat dijadikan hujjah.la merupakan seorang ulama spesialis dalam bidangnya, serta menjadi buah harapan umat. Namun bagaimana dengan hal yang telah disepakati oleh.para imam dan tokoh ulama dalam bidang yang sama.




DAFTAR REFERENSI

Abdullah bin Muslim al-Dinauri, Ta'wil Musykil al-Qur'an
Ahmad bin Harits bin Zakariya, Mu'jam Maqayis al-Lughah, Beirut: Ittihad al-Kuttab al-'Arab, 2002

Ahmad Syakir, Syarh Alfiyah al-Suyuthi. Beirut: Dar al-Ma'rifah.
Ahmad Umar Hashim, Qowaid Ushul al-Hadits (Beirut: Alam al-Kutub, cet.2, 1998) hal: 203.

Al-Faizurabadi, al-Qamus al-Muhith, jilid: 2
Al-Qasimi, Qawa’id at-Tahdits min Fununi Mushthalah al-Hadits, Bairut : Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1989

An-Naisaburi, Kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis, (Madinah : al-Maktabah al-‘Alamiyyah, 1977), cet., ke-2, h. 92

Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2,
As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, Bairut : Dar al-Fikr :1993
Endang Soetari, Ilmu Hadis Kajian Riwayah dan Diroyah, Bandung, Amal Bakti Pres, 2000

Hasbi Ash-Shiddieqy, Sedjarah dan Pengantar Ilmu Tafsir Djakarta: Bulan Bintang, 1967
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab Cet I, Jakarta: Logos, 1997
Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar,
 Ibrahim Anis dkk, Mu'jam al-Wasith Dar al-Dakwah, Cet.1 jilid: 1
Kitab “al-Muktarah disusun oleh al-Hafidz Dhiya’uddin Muhammad ibn Abdul Wahid al-Maqdisi

Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 19
______________, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4,
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, terj. Nur Ahmad Musafiq,(Jakarta, Yofa Mulia offset, 2007
Muhammad Abu Al-Fatah Al-Bayanuni, Islam Warna-Warni Cetakan Pertama, Jakarta: Hikmah, 2003

Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa al-Muhadditsun,
Muhammad Ahmad al-Thohhan, Taisir Mustholah al-Hadits Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, cet. 7, 1985

Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu Birut: Dar al-Fikr, 1975
Muhammad bin Ibrahim bin Jama'ah, al-Manhal al-Rawi Damaskus: Dar al-Fikr, cet. 2, 1406
Muhammad bin Ja'far al-Kattani, Al-Risalah al-Mustathrofah li bayan masyhur kutub al-Sunnah al-Mushonnafah (Beirut: Dar al-Basya'ir al-Islamiyah, cet: 4, 1986

Muhammad bin Mukrim bin Manzhur al-Ifriqi, Lisan al-Arab (Beirut: Dar al-Shadir, Cet.1) jilid: 11

Nasr Farid Muhammad Washil, al-Wasid fi ‘Ilm Mushthalah  al-Hadis, Mesir : Madba’ah al-Amanah, 1982

Nuruddin al-Itthr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits Damaskus: Dar al-Fikr, cet.3, 1997
P. Hardono Hadi,  Epistemolog Filsafat Pengetahuan  Yogyakarta: Kanisius, 1994
Shahih Bukhari Juz 1,
Shahih Bukhari Juz I (Kitabul Ilm):
Shahih Muslim Juz II, hal 710, Musnad Ahmad Juz III,
Subhi Shalih, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, (Beirut; Dar al‘Ilm, 1988
Sunan Abi Dawud Juz III:
Sunan al-Darimi Juz I,
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi Aksara, 2008
Tarmisi, Manhaj Dzawi an-Nazhar, Bairut : Dar al-Fikr, 1981



[1]Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulul al-Hadits, (Beirut, Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1997), hlm. 243.  Dan Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, terj. Nur Ahmad Musafiq,(Jakarta, Yofa Mulia offset, 2007), hlm. 277.
[2]Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm.53
[3] P. Hardono Hadi,  Epistemolog Filsafat Pengetahuan  (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 13-18
[4]Hasbi Ash-Shiddieqy, Sedjarah dan Pengantar Ilmu Tafsir (Djakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm.45
[5]Nūr al-Dīn ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulūm al-Hadis, terj. Mujiyo, ‘Ulum Al-Hadits I (Cet. 1; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 21
[6] Muhammad bin Ja'far al-Kattani, Al-Risalah al-Mustathrofah li bayan masyhur kutub al-Sunnah al-Mushonnafah (Beirut: Dar al-Basya'ir al-Islamiyah, cet: 4, 1986), hal:143.
[7] Ahmad bin Harits bin Zakariya, Mu'jam Maqayis al-Lughah (Beirut: Ittihad al-Kuttab al-'Arab, 2002), jilid: 3, hal: 203-204
[8] Muhammad bin Mukrim bin Manzhur al-Ifriqi, Lisan al-Arab (Beirut: Dar al-Shadir, Cet.1) jilid: 11, hal: 135.
[9]  Ibrahim Anis dkk, Mu'jam al-Wasith (Dar al-Dakwah, Cet.1) jilid: 1, hal: 491
[10] Al-Faizurabadi, al-Qamus al-Muhith, jilid: 2, hal: 134.
[11] Abdullah bin Muslim al-Dinauri, Ta'wil Musykil al-Qur'an, hal 74-78
[12] Muhammad bin Ibrahim bin Jama'ah, al-Manhal al-Rawi (Damaskus: Dar al-Fikr, cet. 2, 1406), hal: 60
[13] Nuruddin al-Itthr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits (Damaskus: Dar al-Fikr, cet.3, 1997) hal: 377
[14] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ulum al-Hadits, Ushuluh wa Musthalahuh (Beirut: Dar al-Fikr, Cet.1, 1989), hal: 283.
[15] Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa al-Muhadditsun, hal: 471
[16] Ahmad Syakir, Syarh Alfiyah al-Suyuthi (Beirut: Dar al-Ma'rifah) hal: 209.
[17] Muhammad Ahmad al-Thohhan, Taisir Mustholah al-Hadits (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, cet. 7, 1985), hal: 29-30
[18] Ahmad Umar Hashim, Qowaid Ushul al-Hadits (Beirut: Alam al-Kutub, cet.2, 1998) hal: 203.
[19] Dr. Mahmud Ath-Thohaan, Taysiru mushtholahu al hadistu Jeddah: Al-haromain. 1405. hlm.16
[20] Drs. Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadits, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2007. hlm. 220
[21] Ibid. hal. 16
[22] Ismail, Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadits Nabi. Jakarta : Bulan Bintang.. 1992.hal. 25
[23] Fudhali, Ahmad. Kritik atas hadits-hadits sahih. Yogyakarta : Pilar religia, 2005. 
[24]Sunan Abi Dawud Juz III: hal 321 
[25]Shahih Bukhari Juz I (Kitabul Ilm): hal. 32. hadits tersebut diriwayatkan juga oleh al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi Juz V,: hal. 39)
[26]Sunan Abi Dawud Juz III, hal. 318, Musnad Ahmad Juz II, hal. 162.
[27]Sunan al-Darimi Juz I, hal. 127 
[28]Shahih Bukhari Juz 1, hal 31
[29]Shahih Muslim Juz II, hal 710, Musnad Ahmad Juz III, hal 12 dan 21 
[30]www.kampusislam.com. diakses pada tanggal 20 Januari 2016 
[31]Keharusan bagi setiap pengkaji hadits untuk Ikhlas dengan mendasarkan pada al-Qur’an surah al-Bayyinah [98]: 5 وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” 
[32] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd .... hlm. 177. 
[33] Artinya adalah bahwa jika seseorang berhak memenuhi kriteria ini maka ia dianggap berhak mengajarkan dan menyebarkan ilmu hadits sesuai kemampuannya. 
[34]Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd .... hlm. 178. 
[35] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd .... hlm. 180. 
[36] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Cet I, Jakarta: Logos, 1997), Hal.,47-49
[37] Muhammad Abu Al-Fatah Al-Bayanuni, Islam Warna-Warni Cetakan Pertama, Jakarta: Hikmah, 2003, Hal., 7-9
[38] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1975), h. 304
[39] Subhi Shalih, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, (Beirut; Dar al‘Ilm, 1988), h. 145-146
[40] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis(Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet.II, 1997)h. 12
[41] Kitab “al-Muktarah disusun oleh al-Hafidz Dhiya’uddin Muhammad ibn Abdul Wahid al-Maqdisi
[42] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 19
[43] Endang Soetari,  Ilmu Hadis  (Bandung:  Amal Bakti Pres),  2000,  cet., ke-3, 122
[44] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 21
[45]Mahmud at-Thahan di dalam menamakan hadis mutawatir ini dengan istilah khabar.  Lebih lanjut lihat; Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.19
[46] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 2
[47] Nasr Farid Muhammad Washil, al-Wasid fi ‘Ilm Mushthalah  al-Hadis, (Mesir : Madba’ah al-Amanah, 1982), cet., ke-1, h. 99; Lihat juga, Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.404
[48] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 21
[49] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h. 97
[50] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., 21
[51] Endang Soetari, Ilmu Hadis Kajian Riwayah dan Diroyah, (Bandung, Amal Bakti Pres, 2000), cet., ke-3, h. 93
[52] Manna’ al-Khathan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4, h.45
[53] As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut : Dar al-Fikr :1993), t.cet., h. 350
[54] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid 2, h. 202
[55] Tarmisi, Manhaj Dzawi an-Nazhar, (Bairut : Dar al-Fikr, 1981), cet., ke-4, h. 68
[56] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid 2, h. 202-203
[57] Mahmud at-Thahan, Taisir  Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 22
[58] Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar, (Bairut :Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru, h. 17 ;  Mustafidz menurut bahasa isi fa’il dari istafadza pecahan (mustaq)  kata dari fadhla al-maa, yang berarti air yang berlimpah ruah, dinamakan demikian karena keadaannya terlebar luas.  Menurut istilah sudah tersebut di atas.  Lihat, Mahmud at-Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 22
[59] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid 2, h. 211
[60] Fatchur Rahman,  Ikhtisar Musthalahul Hadis (Bandung:  PT  Alma’arif,  tth.),  cet., ke-9, h. 86
[61] Al-Qasimi, Qawa’id at-Tahdits min Fununi Mushthalah al-Hadits, (Bairut : Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1989), cet., ke-1, h. 124-125
[62] Tarmisi, Manhaj Dzawi an-Nazhar, (Bairut : Dar al-Fikr, 1981), cet., ke-4, h. 68
[63] An-Naisaburi, Kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis, (Madinah : al-Maktabah al-‘Alamiyyah, 1977), cet., ke-2, h. 92
[64] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995,  Cet. ke-2, Jilid-2, h.209
[65] Ibid, h.209-210

No comments:

Post a Comment