ULUMUL HADIS
JAWABAN
UJIAN FINAL
Nama
: Zainal Abidin
Nim : 27153192-2
1.
Untuk menentukan kriteria keshahihan sebuah hadis, para ulama menetapkan
standar yang sangat ketat. Jelaskan bagaimana
dapat diterima kebenaran ilmu hadis apabila
diukur dengan standar ilmu lain seperti ilmu sejarah dan Epistemologi!
Pertama, Hadits shahih
mengharuskan adanya al-Talaqqiy antara periwayat hadits. jika tidak
tersambungnya sanad maka hadits tidak dapat dikatakan shahih karena tidak
adanya perantara. Yang kedua, yang seharusnya ada pada hadits yang
shahih adalah al-‘Adalah al-Ruwah (keadilan periwayat) hal ini menjadi
bagian penting suatu riwayat dapat diterima. Rawi dalam meriwayatkan hadits
shahih tentu orang yang bertaqwa kepada Allah dan menghindarkan dirinya dari
muru’ah. Yang ketiga, Dhabit adalah orang yang menjaga hadits
melalui hafalan (Dhabt al-Shadr) dan menjaga hadits melalui tulisan (Dhabt
al-Kitabah). Selain itu periwayat yang meriwayatkan hadits shahih tidak
memudakan (Tasahhul) pada saat Tahammul wa al-Ada. Yang keempat,
tidak mengandung syadz, yaitu penyimpangan yang dilakukan oleh perawi tsiqat
terhadap orang yang lebih kuat darinya.Yang kelima, tidak ada ‘illat
yang mencacatkannya seperti memursalkan yang maushul, memuttashilkan yang
munqathi’ ataupun yang memarfu’kan yang mauquf.[1]
Secara linguistik kata
“Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu: kata“Episteme” dengan arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti
teori, uraian, atau alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan
yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge.[2] Istilah
epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar
dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminology,
ada beberapa pendapat yaitu :
a.
Dagobert D.Runes dalam bukunya “Dictionary of
Philisophy”,mengatakan Epistemologi sebagai cabang filsafat yang menyelidiki
tentang keaslian pengertian, struktur, mode, dan validitas pengetahuan.
b.
Harun Nasution dalam bukunya “Filsafat Agama”,mengatakan
bahwa Epistemologi adalah ilmu yang membahas apa pengetahuan itu dan bagaimana
memperolehnya.
c.
Fudyartanto, mengatakan bahwa Epistemologi adalah ilmu
filsafat tentang pengetahuan atau dengan kata lain filsafat pengetahuan.
d.
Anton Suhono, Epistemologi adalah teori mengenai
refleksi manusia atas kenyataan.
e.
The Liang Gie, Epistemologi adalah sebagai cabang
filsafat yang bersangkutan dengan sifat dasar dan ruang lingkup pengetahuan,pra
anggapan-pra anggapan dan dasar-dasarnya serta reabilitas umum dari tuntutan
akan pengetatuan.
Epistemologi sangat
diperlukan, sebuah kepastian dimungkinkan oleh suatu keraguan.Terhadap keraguan
ini epistemologi merupakan suatu obatnya. Apabila epistemologi berhasil
mengusir keraguan ini kita mungkin akan menemukan kepastian yang lebih pantas
dianggap sebagai pengetahuan.[3]
Epistemologi Hadis
bertolak dari “teks” yang identik dengan khabar sebagai otoritas (sulthah),
yaitu warisan pemikiran yang ditransmisikan oleh para sahabat dari Nabi
Muhammad SAW.Sebagai karakter distingtif yang membedakan dari epistemologi
secara umum, problematika yang mendasar dari epistemologi Hadis bukanlah
problematika benar-salah secara logik, melainkan problematika “kemungkinan
sahih” (al-shih) dan “status palsu” (al-wadh’).Hal itu karena Hadis sebagai
otoritas referensial terkait dengan problematika antara “ungkapan” (lafazh) dan
“makna” (ma’na). Oleh karena itu, epistemologi Hadis menunjukkan keterkaitan
antara khabar di satu sisi dan sumber-sumber pengetahuan di sisi yang lain.
Secara epistemologis, khabar diklasifikasikan kepada dua: pertama, khabar yang
meniscayakan pengetahuan langsung (dharûry). Ada dua karakteristik yang menjadi
tolak ukurnya:
(1)
Orang-orang yang mentransmisikannya harus memberitakan
apa yang diketahui secara pasti;
(2)
jumlah orang yang mentransmisikan harus lebih dari
empat orang dan didasarkan pada wahyu (simâ’) dan persyaratan persaksian
(syahâdah) dan proses ini terjadi secara tawâtur (berulang-ulang) dan
pengulangan itu sendiri membentuk apa yang disebut sebagai “keteraturan
peristiwa-peristiwa” (itththarâd al-hawâdîts).
Di samping itu isi berita
itu berdasarkan dari sesuatu yang telah menjadi tradisi. Khabar ini
kebenarannya diketahui dengan inferensi (istidlâl). Tipe ini diklasifikasikan
kepada tiga hal:
(1) khabar yang sumbernya
diyakini tidak mungkin berdusta, yaitu khabar al-Qur’an dan Sunnah;
(2) khabar yang
dinyatakan benar (tashdîq) oleh seseorang yang diketahui memiliki kredibilitas
yang cukup atau tidak mungkin berdusta;
(3) khabar yang
harus disertai kondisi-kondisi khususnya (ahwâl) untuk kualifikasi sebagai
khabar yang benar.
Kedua, tipe khabar yang
disampaikan oleh seseorang (khabar al-wâhid, khabar ahad) yang diketahui
melalui persepsi dan disampaikan kepada beberapa orang sesudahnya. Berbeda
dengan khabar mutawatir yang dianggap meniscayakan pengetahuan langsung
(dharûri), khabar perorangan belum memenuhi kriteria korespondensi dan
afektivitas. Karena itu, khabar perorangan secara epistemologis belum mancapai
tingkat pengetahuan, meskipun dianggap valid dari segi fikih (‘ibadah) karena
statusnya zhann atau ghalabat al-zhann.
Di dalam kajian
epistemologi secara umum, terdapat beberapa teori kesahihan atau kebenaran
pengetahuan, antara lain teori kesahihan koherensi (pernyataan suatu
pengetahuan), teori kebenaran korespondensi (saling bersesuaian), teori
kebenaran pragmatis, teori kebenaran semantik dan teori kebenaran logikal
berlebihan. Tapi nampaknya dari kelima teori kebenaran ini hanya dua teori
(koherensi dan korespodensi) yang relevan diterapkan dalam wacana kajian Hadis
dikarenakan kedua teori ini kemungkinan dapat diimplementasikan dalam bidang
kajian sejarah. Teoriteori kebenaran ini diharapkan dapat diterapkan dalam
menilai status epistemik laporan Hadis (sejarah masa silam).
Dalam memahami dan
mengkritik hadist juga sangat dibutuhkan dengan Ilmu Sejarah, karena dengan
memahami sejarah hadits maka seseorang akan tau bagaimana hadits yang
sebenarnya.
Seperti halnya tentang
adanya larangan Nabi pada masa dahulu dalam menulis hadits, dan juga pada saat
itu nabi juga menyuruh para sahabat untuk menulis hadits dalam hal ini ada dua
hadits yang bertentangan, namun hal tersebut tidak lah benar jika dikaji dengan
ilmu sejarah.
Kemunculan ‘Ulūm al-Hadīs
sebagai suatu disiplin ilmu melalui suatu tahapan perjalanan sejarah yang
panjang. Perjalanan sejarah yang dimulai dari masa Rasulullah Muhammad saw.
sampai sekarang. Walaupun mengalami pasang surut, akan tetapi semangat para
ulama tidak pernah surut atau berhenti menghasilkan karya-karya besar karena
mereka termotivasi oleh semangat pengabdian yang tulus untuk memurnikan ajaran
agama. Karya-karya tersebut berupa kitab-kitab yang merupakan kontribusi
berharga dari para ulama terhadap perkembangan ‘Ulūm al-Hadis. Karya-karya
ulama tersebut kemudian menjadi ilmu yang membahas secara spesifik hal-hal
tertentu yang berkaitan dengan hadis Rasulullah Muhammad saw.
Belajar sejarah
mengandung banyak manfaat. Orang yang mempelajari sejarah dan perkembangan
suatu ilmu, termasuk ‘Ulum al-Hadis, akan menjadikan yang bersangkutan lebih
bersikap cermat, teliti, bersungguh-sungguh, memiliki motivasi yang tinggi dan
lebih bijaksana dalam menanggapi suatu masalah. Seseorang akan mampu
mengendalikan diri dalam menetapkan status suatu hadis berdasarkan penerapan
suatu kaedah atau metode yang tepat, sehingga tidak menimbulkan intrepretasi
yang membingungkan.
Hasbi Ash-Shiddieqy
mengemukakan bahwa untuk mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan ‘Ulūm
al-Hadis perlu ditelusuri dua pokok, yaitu:
1. Mempelajari periode-periode ilmu hadis
2. Mempelajari pemuka-pemuka ilmu hadis.[4]
Para ahli berusaha
menyusun secara sistematis periode-periode pertumbuhan dan perkembangan ilmu
hadis. Nūr al-Dīn mengemukakan tahapan perkembangan ‘Ulūm al-Hadīs atas tujuh
tahap, yaitu:
Tahap pertama: Kelahiran Ilmu Hadis
Tahap kedua: Tahap Penyempurnaan
Tahap ketiga: Tahap pembukuan Ilmu Hadis secara terpisah
Tahap keempat: Penyusunan Kitab-kitab Induk ‘Ulūm al-Hadīs
dan penyebarannya
Tahap kelima: Kematangan dan kesempurnaan pembukuan ‘Ulūm
al-Hadis
Tahap keenam: Masa Kebekuan dan kejumudan
Tahap ketujuh: Kebangkitan kedua.[5]
Dari sejarah-sejarah yang
terekam dalam Al-Qur’an dan Hadits itulah kemudian kita memahami bagaimana cara
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersuci, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, haji, dan lain sebagainya. Sejarah juga merupakan alat yang kita gunakan
untuk dapat mempertepat pemahaman kita terhadap suatu ayat dalam Al-Qur’an ,
maupun sunnah Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam dalam suatu hadits. Sebab itulah kemudian kita mengenal
istilah Sabab Nuzul, yaitu peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi di masa
Rasulullah yang menyebabkan turunnya satu ayat dalam Al-Qur’an. Juga kita
mengenai Asbabul Wurud, yaitu peristiwa-peristiwa yang menyebabkan keluarnya
suatu hadits dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian lah, begitu
pentingnya kedudukan sejarah, Utamanya sejarah yang dikisahkan dalam Al-Qur’an
dan hadits Nabi dalam upaya kita memahami diinul Islam ini dengan lebih baik. Sebab
sejatinya, sejarah itu terus berulang, hanya aktor serta tokoh-tokoh pelakunya
saja yang berubah. Dan juga bahwa kita pun adalah termasuk bagian dari pelaku
sejarah. Maka kita dapati dalam Al-Quran, dua pilihan yang kita harus pilih
dalam mewujudkan sejarah. Dua jalan ini adalah; jalan orang-orang yang diberi
nikmat oleh Allah dari kalangan Para Nabi, shidiqin, orang yang jujur
keimanannya, para syuhada, dan ash-shalihin, orang-orang yang shalih.
2.
Adakalanya pesansebuah
hadis sukar untuk diterima, sedangkan
validitas sanadnya memenuhi standar
keshahihan hadis. Jelaskan bagaimana
solusi yangmendekati kebenaran!
Ilmu Musthalah hadits merupakan salah satu cabang ilmu hadits
yang membahas mengenai kaedah-kaedah yang digunakan untuk mengetahui derajat
hadits dan kondisi para perawinya. Kefahaman tentang ilmu ini mutlak dimiliki
oleh orang yang berkecimpung dalam bidang hadits, karena ia menjadi langkah
awal untuk membedakan hadits yang bisa dijadikan hujjah dari hadits-hadits
lemah dan palsu.
Sebagai sebuah ilmu, Musthalah hadits telah tumbuh dan berkembang sejalan
dengan periwayatan hadits itu sendiri. Artinya, benih-benih ilmu ini secara
alamiah telah muncul sejak zaman para shahabat sebagai generasi pertama perawi
hadits. Akan tetapi dalam bentuk yang sistematis, ia baru dibukukan pertama
kali sebagaimana pendapat jumhur ulama hadits- oleh Ar Romahurmuzi dalam
kitabnya: al-Muhaddits
al-Fashil.[6]
Al-Musykil secara bahasa
berasal dari kata "Syakala". Ibnu Faris berkata: "Kata syakala dalam kebanyakan
bentuknya mengandung arti: "Mumatsalah" (persamaan),
misalnya disebutkan: "Hadza Syaklu hadza", artinya: Ini sama dengan ini.[7] Sedangkan dalam
Lisan al-Arab disebutkan: "Asykala al-amru" artinya:
"Masalah ini ambigu" (mempunyai lebih dari satu makna sehingga
menimbulkan ketidakjelasan dan kekaburan).[8] Hal yang sama
disebutkan oleh para pakar bahasa seperti dalam al-Mu'jam al-Wasith,[9] al-Qamus al-Muhith[10] dll.
Jadi, al-Musykil dalam bahasa arab bermakna: sesuatu yang
ambigu, mempunyai lebih dari satu makna, dan menimbulkan kekaburan atau
ketidakjelasan. Kemudian kata musykil digunakan
untuk menunjukkan sesuatu yang tidak jelas, baik karena mempunyai makna ganda
ataupun karena sebab lain.[11] Oleh
karena itu, istilah Musykil
al-haditsjuga digunakan untuk menunjukkan hadits yang maknanya tidak
jelas, atau menimbulkan multi tafsir.
Dalam buku-buku Musthaolah karangan para ulama terdahulu,
seperti: al-Muhaddits al-Fashil, Ma'rifat Ulum
al-Hadits, Muqoddimah Ibnu Sholah, at-Taqrib, al-Ba'its al-Hatsits dll,
penggunaan istilah Musykil
al-Hadits tidak
dipakai dan disebut dalam jenis-jenis ilmu hadits. Yang mereka sebutkan adalah
ilmu Mukhtalaf al-Hadits,
yang berdasarkan definisinya yang mereka sebutkan bermakna: "Ilmu
yang membahas tentang hadits-hadits yang secara zhahir saling
bertentangan."[12] Kemudian
ketika menyebutkan contoh karangan dalam bidang tersebut, mereka menyebut kitab
Musykil al-Atsar karangan
Imam ath-Thahawi. Padahal kalau kita mempelajari kitab ini, maka akan kita
dapati didalamnya terdapat hadits-hadits yang tidak bertentangan dengan hadits
lain, akan tetapi maknanya menimbulkan multi tafsir, atau bertentangan dengan
ayat al-Qur'an, sejarah ataupun fakta ilmiah.
Adapun para ulama
kontemporer yang menulis dalam bidang Musthalah hadits, secara umum mereka
mempunyai dua pendekatan dalam masalah ini:
1. Pendekatan pertama adalah menganggap
istilah Mukhtalaf dan Musykil sebagai satu istilah
yang sama maknanya. Kelompok
ini kemudian terbagi menjadi tiga kategori:
a.
Sebagian
menyamakan istilah Mukhtalaf
al-Hadits danMusykil
al-hadits, dan menyebutkan satu definisi yang menjelaskan kedua istilah
tersebut. Diantaranya adalah Dr. Nuruddin al-'Itthr yang mengatakan:"Mukhtalaf
al-hadits, dan sebagian ulama menyebutnya: Musykil al-Hadits, yaitu:
"Hadits yang secara zhahir bertentangan kaedah hukum syara', atau
bertentangan dengan nash yang lain (baik al-Qur'an maupun As-sunnah) sehingga
menimbulkan makna yang bias".[13]
Juga Dr. Muhammad Ajjaj al-Khatib yang mendefinisikannya dengan: "Ilmu
yang mengkaji hadits-hadits yang secara zhahir saling bertentangan, maka
kemudian disingkronkan supaya tidak lagi bertentangan, atau mengkaji
hadits-hadits yang bertentangan dengan kaedah syari'ah atau nash lain (baik
al-Qur'an maupun As-sunnah)sehingga menimbulkan makna yang bias ."[14]
b.
Sebagian
ulama menganggap Musykil
al-hadits adalah
hadits yang bertentangan dengan hadits lain, tanpa menyebutkan pertentangannya
dengan kaedah syariah atau nash al-Qur'an, seperti Syekh Abu Zahw.[15]
c.
Sebagian
ulama sama sekali tidak menyebut istilah Musykil al-hadits dan
cukup menyebutkan istilah Mukhtalaf hadits, seperti yang dilakukan oleh
para ulama terdahulu. Diantara ulama dalam kategori ini adalah: Syekh Ahmad
Syakir,[16] Prof.
Dr. Mahmud ath-Thohhan,[17] dan
Dr. Ahmad Umar Hashim.[18]
2. Sedangkan
pendekatan kedua adalah membedakan antara kedua istilah tersebut, dan
menjadikan Mukhtalaf
hadits sebagai istilah yang khusus menunjukkan pertentangan hadits
dengan hadits yang lain. Adapun Muyskil
al-hadits merupakan
istilah lain, yang kemudian mereka berbeda pendapat dalam mendefinisikannya.
Dr. Musthofa
Said al-Khinn mendefinisikannya sebagai:"Hadits yang secara zhahir
menunjukkan makna yang bathil, karena bertentangan dengan nash Al-Qur'an, atau
fakta ilmiah, atau karena mengandung tasybih (penyamaan) Dzat atau sifat Allah
dengan makhluknya."
Sedangkan Dr. Usamah
Abdullah al-Khoyyath mendefenisikan sebagai : Hadits yang diriwayatkan dengan
sanad shahih yang secara zahirnya maknanya menunjukkan hal yang mustahil, atau
bertentangan dengan kaedah syari’at yang disepakati.
Yang
bahwa suatu hadits dikatakan musykil apabila ia:
1. Merupakan hadits yang sahih
2. Secara zhahir mempunyai makna yang tidak
jelas, atau;
3. Menunjukkan hal yang mustahil seperti
penyamaan dzat dan sifat Allah, atau;
a)
Bertentangan
dengan kaedah syara', atau;
b)
Bertentangan
dengan akal, atau;
c)
Bertentangan
dengan nash lain baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah, atau;
d)
Bertentangan dengan fakta ilmiah, atau;
e)
Bertentangan
dengan fakta sejarah.
Syarat bahwa hadits tersebut menunjukkan hal yang mustahil juga
sebenarnya tidak perlu disebutkan karena sudah terwakili dengan syarat-syarat
yang lain yaitu: bertentangan dengan kaedah syara' dan akal, nash yang lain,
atau fakta sejarah dan ilimah. Karena pada dasarnya, kemustahilan itu tidak
akan terjadi kecuali karena bertentangan dengan salah satu dari hal tersebut.
Dalam hal tersebut perlu dilakukan sebuah penelitian terhada
hadis yang salaing bertentangan ataupun bertentangan dengan nash, ataupun
hadits sahih namun redaksinya sukar diterima secara akal, penelitian yang harus
dilakukan adalah meneliti tentang hadis tersebut dengan cara meneliti sanad dan
matan hadits.
Sanad berasal dari kata sanada- yasnudu,yang berarti yang
disandarkan karena hadits disandarkan kepada Nabi dan berpegang atasnya.[19]
Sedangkan menurut istilah sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan matan
hadits kepada Nabi Muhammad Saw.[20]
Beberapa ahli hadits berbeda pendapat tentang istilah
sanad, diantaranya:
a. As-Suyuti mendefinisikan sanad, dalam bukunya Tadrib ar-Rawi: 41, adalah berita tentang
jalan matan.
b. Ajjaj al-Khatib dalam buku ushul al Haditsmendefinisikan sanad
dengan silsilah para perawi yang menukilkan hadits dari sumbernya yang pertama.
Sedangkan
Matan menurut bahasa
berarti tanah yang muncul dan naik ke permukaan. Sedangkan menurut istilah
matan adalah suatu kalimat tempat berakhirnya sanad. Menurut Ajjaj Al khatib matan adalah lafal hadits yang
didalamnya mengandung makna-makna tertentu. Dan menurut ath Thibbi matan hadits
adalah lafal hadits yang dengan itu terbentuk makna. [21]
Penelitian (kritik) dalam ilmu hadis sering dinisbatan
pada kegiatan penelitian hadis yang disebut dengan al Naqd (النـقـد )yang secara etimologi adalah bentuk masdar dari ( نقـد ينقـد ) yang berarti
mayyaza, yaitu memisahkan sesuatu yang baik dari yang buruk. Kata al Naqd itu
juga berarti “kritik” seperti dalam literatur Arab ditemukan kalimat Naqd al
kalam wa naqd al syi’r yang berarti “ mengeluarkan kesalahan atau kekeliruan
dari kalimat dan puisi atau Naqd al darahim yang berarti : تمييزالدراهم واخراج الزيف منها memisahkan uang yang asli dari yang palsu .
Di dalam ilmu Hadis, al Naqd berarti:
تمييز الاحاديث الصحيحة من الضعيفة والحكم على الرواة توثيقا وتجريحا
“Memisahkan Hadis-Hadis yang shahih dari dha’if, dan
menetapkan para perawinya yang tsiqat dan yang jarh (cacat)“.
Jika kita telusuri dalam Alquran dan Hadis maka kita
tidak menemukan kata al Naqd digunakan dalam arti kritik, namun Alquran dalam
maksud tersebut menggunakan kata yamiz yang berarti memisahkan yang buruk dari
yang baik. Maka pengertian kritik sanad adalah penelitian, penilaian, dan
penelusuran sanad Hadits tentang individu perawi dan proses penerimaan Hadits dari guru mereka dengan berusaha menemukan kesalahan
dalam rangkaian sanad guna menemukan kebenaran yaitu kualitas Hadits. Sedangkan
kritik matan adalah kajian dan pengujian atas keabsahan materi atau isi hadits.
Tujuan
pokok penelitian hadis, baik dari segi sanad maupun dari segi matan,
adalah untuk mengetahui
kualitas hadis yang diteliti. Hadis memiliki kriteria syarat dalam menentukan
kualitas pada hadis. Hadis yang kualitasnya memenuhi syarat dapat digunakan
sebagai hujjah. Pemenuhan syarat tersebut dibuthkankan, karena hadis
merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Semua itu bertujuan menjaga keutuhan
ajaran Islam sesuai jalannya.[22]
Penelitian
pada hadis perlu dilakukan penelitian secara berulang-ulang. Penelitian ulang
merupakan bentuk upaya untuk mengetahui seberapa jauh tingkat akurasi penelitan
ulama terhadap hadis yang mereka teliti, untuk menghindarkan diri dari
penggunaan dalil hadis yang tidak memenuhi syarat jika dilihat dari segi
kehujjahannya.
Sebuah hadits
dapat diterima periwayatannya apabila telah memenuhi
standar/persyaratan-persyaratan tertentu sehingga hadits tersebut berpredikat.
Para ulama hadits menetapkan pesyaratan dapat diterimanya sebuah hadits sebagai
hadits-hadits absah dengan lima syarat. Lima syarat tersebut adalah :
1.
Rangkaian
sanad (periwayat hadits) yang bersambung. Dengan persyaratan ini maka tidak
diterima hadits yang munqati, muaddal, mu’allaq, mursal, mudallas, dan mursal
khafi
2.
Hadits
tersebut diriwayatkan oleh periwayat yang adil atau orang yang konsisten dalam menjalankan
agamanya, berakhlak mulia, terpelihara dari sifat-sifat[23]
fasiq dan dapat menjaga muru’ah. Dengan persyaratan ini, maka hdits matruk
tidak dapat diterima
3.
Hadits
tersebut diriwayatkan oleh para periwayat yang dhabit yaitu memahami apa yang
didengar dan menghafalnya ketika dibacakan hadits. Dia juga harus dapat menjaga
hafalannya semenjak ia mendengar hadits tersebut dari gurunya (tahammul) sampai
dia membacakannya kembali kepada orang lan (al-ada’). Seorang periwayat disebut
hafiz dan ‘alim, apabila ia meriwayatkan hadits dari hafalannya. Seorang
periwayat dikatakn fahim apabila ia meriwayatkan hadits dari pengertian dan
pemahaman (ma’nawi). Seorang periwayat juga harus memelihara catatan haditsnya
dari perubahan, baik mengurangi, menambah, mangganti atau menukar dari bentuk
aslinya. Dengan persyaratan ini maka tidak diterima hadits yang mudraj dan
maqlub
4.
Tidak
ada kejanggalan (syaz) dalam matan hadits. Pengertian syaz adalah periwayatan
orang yang siqah bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih siqah (ausaq
minhu)
5.
Tidak
ada kecacatan (illat) dalam matan hadits. Hadits mu’allal (yang ada cacatnya)
adalah hadits yang dari luarnya tidak tampak adanya cacat, akn tetapi dapat
diketahui setelah dilakukan penelitian yang mendalam. Seperti menganggap mursal
hadits yang mausul, menganggap mausul hadits yang munqati atau menganggap marfu
hadits yang mauquf.
3. Sejarah penulisan
hadis melewati liku-liku yang panjang dan sangat berbeda dengan proses penulisan
Al-Qur'an. Jelaskan bagaimana implikasi
dari kondisi
tersebut terhadap otentisitas hadis!
Keberadaan
hadits dalam proses kondifikasinya sangat berbeda dengan Al-Quran yang sejak
awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah Saw maupun para
sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah secara resmi dikodifikasikan
sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin
Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah. Sementara
itu, perhatian terhadap hadits tidaklah demikian. Upaya kodifikasi hadits
secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz
khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif
jauh dari masa Rasulullah saw.
Kenyataan
ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas hadits. Beberapa
penulis dari kalangan orientalis menjadikan hal ini sebagai sasaran tembak
untuk membangun teorinya yang mengarah pada peraguan terhadap otentisitas
hadits. Goldziher misalnya, dalam karyanya Muhammedanische Studien telah
memastikan diri untuk mengingkari adanya pemeliharaan hadits pada masa sahabat
sampai awal abad kedua hijriyah. Sebuah pertanyaan yang diajukan, benarkah
bahwa otentisitas hadits patut diragukan mengingat kodifikasi hadits baru
dilakukan pada akhir abad pertama hijriyah.
Tentang Penulisan hadits yang merupakan ucapan, perbuatan,
dan persetujuan serta gambaran sifat-sifat Rasulullah saw baik sifat khalqiyah
atau khuluqiyah adalah suatu yang melekat pada diri Nabi. Keberadaannya selalu
menyertai di setiap event yang dialami oleh Rasulullah saw. Setiap event dari
episode kehidupan Rasul saw adalah hadits. Dari sinilah kebanyakan para
peneliti Muslim berkesimpulan bahwa menuliskan hadits secara lengkap tentu
sulit, karena sama artinya dengan menuliskan setiap peristiwa dan keadaan yang
menyertai Rasulullah. Para sahabat yang hidup menyertai Rasulullah bisa jadi
merasa tidak perlu mencatat setiap peristiwa yang mereka alami bersama
Rasulullah saw. Apa yang mereka alami akan terekam secara otomatis dalam
ingatan mereka tanpa harus dicatat, karena mereka terlibat dalam berbagai
peristiwa tersebut. Selain itu tradisi menghafal ketika itu merupakan tradisi
yang sangat melekat kuat sehingga banyak kejadian-kejadian lebih banyak terekam
dalam bentuk hafalan.
Demikian pula Rasulullah saw secara khusus juga memberikan
anjuran untuk menghafalkan hadits serta menyampaikannya pada orang lain
sebagaimana sabdanya “semoga Allah memperindah wajah orang yang mendengar
perkataan dariku lalu menghafalkannya serta menyampaikannya (pada orang lain)”,
Mungkin saja orang yang membawa informasi itu menyampaikan kepada orang yang
lebih faqih darinya, bisa jadi pula orang yang membawa informasi itu bukan
orang yang faqih.[24]
Di luar adanya rekaman hadits dalam bentuk hafalan yang
dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw, tidak menutup kemungkinan ada
beberapa peristiwa yang berhubungan dengan Rasulullah, yang dirasa perlu
dicatat, terekam pula dalam bentuk catatan sahabat. Tentang adanya pencatatan
ini Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut: “Dari
Abu Hurairah ra beliau berkata; tidak ada seorang dari sahabat Nabi yang lebih
banyak meriwayatkan hadits dariku selain Abdullah bin Amr bin Ash, karena
sesungguhnya dia mencatat hadits sedangkan aku tidak”.[25]
Tentang penulisan hadits oleh Abdullah bin Amr ini, diriwayatkan bahwa beliau
menulis hadits dengan sepengetahuan Rasulullah saw, bahkan Rasulullah saw
memerintahkannya sebagimana riwayat dari Ibnu Amr berikut: “Dari Abdullah bin
Amr beliau berkata: ?Saya menulis setiap yang saya dengar dari Rasulullah saw
untuk saya hafalkan, maka orang-orang Quraiys mencegahku dengan berkata;
?apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah saw ?
Sedangkan Rasulullah saw adalah manusia yang kadang-kadang berbicara dalam
keadaan marah dan kadang-kadang dalam keadaan ramah?, maka akupun menghentikan
penulisan itu, dan mengadukannya pada Rasululah saw, maka sambil menunjuk
mulutnya beliau bersabda, ?Tulislah! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya,
tidak keluar darinya (maksudnya lisan Rasulullah) kecuali yang hak”[26]
Catatan hadits dari Abdullah bin Amr inilah yang beliau namai dengan al-Shahifah
al-Shadiqah. Beliau sangat menghargai tulisan ini sebagaimana pernyataannya:
“Tidak ada yang lebih menyenangkanku dalam kehidupan ini kecuali al-shadiqah
dan al-wahth, adapun al-Shadiqah adalah shahifah yang aku tulis dari Rasulullah
saw.”[27]
Selain al-Shahifah al-Shadiqah, ditemukan beberapa riwayat
tentang adanya shahifah-shahifah yang ditulis oleh sahabat ketika Rasulullah
masih hidup antara lain Shahifah Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diriwayatkan
oleh Al-Bukhari pada Kitabul Ilm bab Kitabat al-Ilm, demikian juga shahifah
Sa’ad bin Ubaddah. Sekitar Larangan Penulisan hadits Sebagaimana telah
disebutkan, adanya kegiatan penulisan hadits telah berlangsung semenjak
Rasulullah saw masih hidup. Bahkan ada riwayat yang menunjukkan bahwa Abdullah
bin Amr menulis hadits atas restu dari Rasulullah sendiri.
Selain itu ada juga riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah
memerintahkan menulis hadits untuk Abu Sah sebagimana sabdanya: Bersabda
Rasulullah saw: “tulislah (khutbahku) untuk Abu Syah.”[28]
Di luar hal ini ada riwayat yang menunjukkan pula bahwa
Rasulullah saw melarang penulisan hadits sebagaimana hadits dari Abu Sa’id al
Khudri dari Abu Sa’id Al-Khudri, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda
“Janganlah kalian semua menulis dariku, barang siapa menulis dariku selain
al-Quran maka hendaklah menghapusnya”[29]
Adanya larangan penulisan hadits ini secara lahir kontradiksi
dengan fakta penulisan hadits dan perintah penulisan hadits.Dalam menyikapi
kontradiksi tersebut para ulama berbeda pendapat. Dalam hal ini setidaknya
terdapat tiga pendapat antara lain;
(a)
Hadits pelarangan telah di-nasakh dengan hadits
perintah, hal ini didasarkan atas fakta bahwa hadits perintah khususnya hadits
Abu Syah disampaikan setelah Fath al-Makkah,
(b)
Larangan bersifat umum, sedangkan perintah bersifat
khusus, yaitu berlaku bagi para sahabat yang kompeten menulis, hal ini karena
kebanyakan sahabat adalah ummiy atau kurang mampu menulis sehingga
dikhawatirkan terjadi kesalahan penulisan,
(c)
pendapat ketiga menyatakan bahwa larangan bersifat
khusus yaitu menulis hadits bersama dengan al-Quran, karena hal ini dapat
menimbulkan kerancuan.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa hadits tentang pelarangan
telah di-mansukh dengan hadits perintah tidak dapat menyelesaikan persoalan.
Karena seandainya larangan penulisan hadits telah di-nasakh dengan hadits
perintah niscaya tidak ada lagi sahabat yang enggan menulis hadits sesudah
wafat Rasulullah saw.
Bagi para pencari hadits, hal ini akan menjadi argumen mereka
menghadapi para sahabat yang enggan menulis hadits, sebab para pencari hadits
ini sangat besar keinginannya untuk membukukan hadits. Karena itu, jalan
penyelesaiannya adalah bahwa penulisan hadits pada dasarnya tidak dilarang.
Adanya larangan penulisan hadits tidak lain karena adanya illat khusus. Ketika
‘illat itu tidak ada, maka otomatis pelarangan tidak berlaku. Illat yang
dimaksud adalah adanya kekhawatiran berpalingnya umat dari al-Quran karena
merasa cukup dengan apa yang mereka tulis.
Proses kodifikasi hadits adalah proses pembukuan hadits
secara resmi yang dikoordinasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah,
bukan semata-mata kegiatan penulisan hadits, karena kegiatan penulisan hadits
secara berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah saw masih. Berangkat
dari realitas ini adanya tuduhan bahwa hadits sebagai sumber yurisprudensi
diragukan otentisitasnya atau tidak otentik merupakan tuduhan yang tidak
beralasan karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.Tentang adanya
larangan penulisan Hadits hal ini patut dimaknai larangan secara khusus yaitu
menuliskan hadits bersama al-Quran dalam satu tempat sehingga dikhawatirkan
menimbulkan kerancuan, atau menyibukkan diri dalam penulisan hadits sehingga
mengesampingkan al-Quran.[30]
Muhaddits menjadi bagian integral dari hadits, sehingga
kajian hadits sangatlah tergantung kepada muhaddits dalam mentransformasikan
pemikirannya kepada muridnya. Pertama sekali yang harus dimilik oleh Muhaddits
adalah Ikhlas dan niat yang benar dalam megkaji hadits.[31]
Menurut beliau, yang paling alim tentang hadits sudah seharusnya jauh dari
sifat riya’ dan cinta dunia agar ia mendapat percikan kenabian dari Hadits Rasulullah
saw.[32]
Memelihara kecakapan mengajarkan hadits menjadi hal penting
bagi para pengkaji hadits. Arti menjaga kecakapan disini adalah bahwa seorang
muhaddits seharusnya tidak mau menghadiri suatu majlis untuk mengajarkan hadits
kecuali bila ia benar-benar siap untuk itu. Mengenai kecakapan ibn al-Shalah
berkata: “apabila hadits yang ia kuasai itu dibutuhkan, maka ia dengan senang
dan siap untuk meriwayatkan dan menyebarkannya, pada usia berapapun.[33]
Dengan merujuk pada ulama terdahulu, para muhadditsin untuk
mengakhiri aktivitasnya ketika usia 80 tahun, karena pada umumnya orang yang
telah mencapai usia ini daya ingatnya tidak lagi normal, aktivitas dan
kreativitasnya menurun, serta pola pikirnya berubah. Bila khawatir terjatuh
kedalam kesalahan meskipun belum mencapai usia tersebut maka hendaklah ia
menghentikan kegiatannya.[34]
Merupakan bagian dari kesempurnaan akhlak para ulama. Mereka
menghindari untuk tidak mendahului orang-orang yang lebih banyak memiliki
keutamaan daripada mereka, baik karena usianya yang lebih tua maupun ilmunya
yang lebih tinggi.
Hadits sebagai ucapan Rasulullah saw, maka sudah seharusnya
bagi pengkaji hadits tertanam rasa hormat kepada hadits Rasulullah. Bentuknya
adalah dengan mendatangi majelis-majelis pengkajian hadits dengan penuh
kesiagaan, termasuk hal yang berhubungan dengan pakaian. Hal yang tak penting
adalah bahwa bagi setiap muhadditsin untuk menelaah beberapa karya ilmiah yang
lain, dengan mempersiapkan serta meragamkan metodepengajaran untuk menyampaikan
setiap materi secara sistematis. Dengan merujuk kepada Hubayb bin Abi Tsabit
beliau menegaskan bahwa setiap pengajar majelis ilmiah: “di antara hal yang
perlu dilembagakan adalah bahwa jika seseorang berbicara kepada kaumnya,
hendaklah ia menghadap kepada mereka.”
Seorang muhaddits harus menggunakan sarana dan metode yang
mempermudah peahaman dan memberikan kesan yang dalam, sebagaimana yang ditempuh
Rasulullah saw. Dalam menyampaikan hadits kepada sahabat.[35]
4.
Akhir-akhir ini, perdebatan
yang tergolong pada wilayah Khilafiyah
kembali mencuat kepermukaan. Bagaimana
cara yang tepat menyikapi persoalan dimaksud dalam konteks studi UlumulHadis?
Ikhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf
berasal dari bahasa Arab yang asal katanya adalah khalafa-yakhlifu-khilafan (خلف – يخلف
– خلافا).
Manusia yang sedang berdebat (berbeda pendapat) sering kali berkobar api amarah
didadanya. Mereka saling berbantah dan debat kusir yang biasa disebut perang
mulut. Terhadap perkara ini Allah menegaskan dalam firman-Nya:
فَا خْتَلَفَ الْأَ حْزَا بُ مِنْ بَيْنِهِمْ, فَوَيْلٌ
لِلَّذِ يْنَ كَفَرُوْا مِنْ مَشْهَدِ يَوْمٍ عَظِيْمٍ (مريم :37)
Artinya:
“Maka berselisihlah golongan-golongan (yang ada) diantara
mereka, maka kecelakaanlah bagi orang-orang kafir pada waktu menyaksikan hari
yang besar”.
(Q.S.
Maryam: 37)
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّا سَ أُ مَةً وَا حِدَةً وَلاَ يَزَ
الُوْ نَ مُخْتَلَفِيْنَ (هود: 118)
Artinya:
“Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat”. (Q.S. Hud: 118)
إِنَّكُمْ لَفِيْ قَوْلٍ مُهْتَلِفٍ (الذاريات: 8 )
Artinya:
“Sesungguhnya
kamu benar-benar dalam keadaan berbeda-beda pendapat”.
(Q.S.
Al-Zariyat: 8)
Pernyataan
Allah dalam beberapa ayat di atas sering terjadi pada diri manusia, karena
ikhtilaf memang bisa menimbulkan perbedaan total, baik dalam ucapan, pendapat,
sikap maupun pendirian.
Ikhtilaf
menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua orang atau beberapa orang
terhadap suatu objek (masalah) tertentu, baik berlainan itu dalam bentuk “tidak
sama” ataupun “bertenntangan secara diametral”.
Jadi
yang dimaksud ikhtilaf adalah tidak samanya atu bertentangannya penilainan
(ketentuan) hukum terhadap suatu objek hukum.
Sedangkan
yang dimaksud ikhtilaf disini adalah perbedaan pendapat diantara ahli hukum islam
(fuqaha’) dalam menetapkan sebagian hukum islam yang bersifat furu’iyyah, bukan
pada masalah hukum Islam yang bersifat ushuliyah (pokok-pokok hukum islam),
disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum
suatu masalh dan lain-lain. Misalnya, perbedaan pendapat fuqoha’ tentang hukum
wudhu seorang lelaki yang menyentuh perempuan dan hukum membaca surah
al-fatihah bagi ma’mum dalam shalat dan lain-lain.[36]
Timbulnya
perbedaan pendapat dalam masalah hukum syariah dimulai seiring dengan umur
ijtihad itu sendiri. Praktik ijtihad pada saat Rasulullah hidup masih sangat
sedikit, kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu karena ketika itu kaum muslimin
masih berada dalam fase turunya wahyu.
Jika
kita cermati secara mendalam, semua perbedaan pendapat yang terjadi selama ini
terkait dengan dua hal berikut:
1. Keberadaan dalil.
2. Pemahaman terhadap dalil
Hikmah
Allah Swt dalam penciptaan dimana manusia diciptakan secara beragam. Allah Swt
menjadikan akal dan kemampuan manusia berbeda-beda. Orang berakal pasti
meyakini bahwa kedua contoh di atas menimbulkan aksioma, yakni adanya perbedaan
dalam pendapat dan hukum.Yaitu sebagai
berikut:
1.
Nash dalil yang mengandung kemungkinan makna lebih
dari satu ditambah dengan pemahaman yang beragam, maka akan menghasilkan
pendapat yang berbeda.
2.
Nash dalil yang bersifat qath’i (menunjukan hanya satu
makna) ditambah dengan pemahaman ynag sama, maka akan menghasilkan pendapat
yang sama.
Orang-orang
yang mengajak kepada penyatuan madzhab dan pemikiran tersebut tidak memahami
hikmah Allah dalam penciptaan manusia, bahwa jika Dia mau, Dia akan menjadikan
manusia menjadi satu dalam pemikiran dan pemahaman. Jika itu yang dikehendaki,
maka Allah akan menurunkan sebuah kitab suci yang menerangkan seluruh persoalan
manusia secara terperinci tanpa ada kemungkinan untuk dipahami dengan makna
berbeda oleh manusia sampai hari kiamat. Seandainya Allah menghendaki penyatuan
pemikiran dan pemahaman manusia terhadap hukum-hukum agamanya, niscaya Dia akan
mengubah sifat nash-nash dalil itu dan menyatukan pemahaman manusia. Namun,
Allah Swt berkehendak lain.[37]
Sebuah
hadist masyur sudah banyak diketahui oleh umum umat Islam.
اِخْتِلاَفُ أُمَّتِىْ رَحْمَةٌ
Artinya:
“Perbedaan
pendapat umatku, hendaknya menjadi rahmat.” (HR. Baihaqy, Hulaimy dan Nashir
Naqdas)
Apa yang
terjadi pada masa Nabi Muhammad saw, sungguh merupakan contoh yang baik,
seperti tersebut didalam hadist:
عَنْ
أَبِىْ سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِىِّ قَالَ: خَرَجَ رَجُلآَنِ فِىْ سَفَرٍ فَحَضَرَتِ
الصَّلاَةُ وَلَيْسَ مَعَهْمَا مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيْدًا طَيِّبَا فَصَلَّيَا.
ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِى الْوَقْتِ فَأَعَادَ أَحَدُ هُمَا الصَّلاَةَ
,َالْوُضُوْءَ وَلَمْ يُعِدِ الْاَخَرُ. ثُمَّ اَتَيَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَ كَرَا ذَلِكَ لَهُ. فَقَالَ لِلَّذِى لَمْ يُعِدْ
أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَاَتْكَ صَلَا تُكَ. وَقَالَ لِلْاَ خَرِ لَكَ
الأَجْرُ مَرَّ تَيْنِ. (راودأبوراوروالنسانى)
Artinya:
“Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata:
keluar dua orang pada suatu perjalanan sedang waktu shalat telah tiba, kedua
orang itu tidak menemukan air untuk berwudhu, maka bertayamum kedua orang itu
dengan debu yang bersih, lalu mereka shalat. Setelah mereka shalat mereka
dapati air ditempat itu juga, maka seorang dari mereka mengulangi shalatnya
dengan wudhu, sedang yang lain tidak mengulangi. Kemudian mereka berdua
menghubungi Rasulullah dan menanyakan persoalan tersebut bagaimana hukumnya.
Maka Rasul menjawab kepada yang tidak mengulang: Engkau telah kerjakan menurut
sunnah dan cukup buatmu sembahyang dan cukup buatmu shalatmu, dan sabdanya
kepada yang lain: Engkau dapat ganjaran dua kali.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
Segolongan sahabat Nabi sedang didalam
perjalanan diantara mereka terdapat Umar dan Muadz. Mereka memerlukan mandi
wajib sedang mereka tidak menemukan air untuk mandi. Lalu masing-masing melakukann ijtihadnya. Muadz berijtihad bahwa
tanah itu seperti halnya air, dalam fungsinya seperti air sebagai alat bersuci
(thaharah). Kemudian ia berguling/melumurkan badannya dengan tanah itu dan
terus shalat. Tetapi ijtihad Umar bersabda, yakni menundakan sembahyang. Ketika
persoalan ini diajukan kepada Nabi ternyata keduanya menyalahi dalil.
Nabi
memberi contoh melalui al-Qur’an dan Hadist:
فَا مُسَحُوْا بِوُجُوْ هِكُمْ وَاَيْدِ
يْكُمْ مِنْهُ. (الماءدة: 25)
Artinya:
“Maka
sapulah mukamu dan tapak tanganmu dengan
tanah itu.”(QS. Al-Maidah: 25)
إِنَّمَا يَكْفِيْكَ أَنْ تَقُوْلَ
بِيَدَيْكَ هَكَذَا ثُمَّ مَسَحَ الشِّمَالَ عَلَى الْيَمِيْنِ وَظَا هِرَ
كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ. (روادالبخارىومسلم)
Artinya:
“Hanya
saja cukup bagimu demikian, dan Nabi memukulkan kedua tangannya ke tanah dan
ditiup dikedua tapak tangannya, kemudian menyapu dengan kedua tangannya akan
muka dan kedua tapak tangannya.” (HR. Bukhari Muslim)
Ikhtilaf
adalah perbedaan pendapat diantara ahli hukum islam (fuqaha’) dalam menetapkan
sebagian hukum islam yang bersifat furu’iyyah, bukan pada masalah hukum islam
yang bersifat ushuliyah (pokok-pokok hukum islam), disebabkan perbedaan
pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah dan lain-lain.
Sikap terbaik dalam menghadapi
perselisihan di antara ulama adalah sebagaimana ayat berikut:
فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya
:Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya. (An-Nisa: 59)
Ini
adalah prinsip agung yang mesti diikuti oleh setiap muslim, yaitu mengembalikan
kepada Allah dan Rasul-Nya. Imam Ibnu
Katsir rahimakumullah menjelaskan bahwa :
Mujahid dan lebih dari satu
orang salaf berkata: yaitu kembalikan kepada kitabullah dan sunah Rasul-Nya.
Ini adalah perintah dari Allah ‘Azza wa Jalla bahwa
semua hal yang diperselisihkan manusia, baik perkara pokok-pokok agama dan
cabang-cabangnya, maka hendaknya perselisihan itu dikembalikan menurut
keterangan Alquran dan As-Sunnah. Sebagaimana firman-Nya: tentang sesuatu apapun kamu
berselisih, Maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Syura:10) Maka, apa-apa yang dihukumi
oleh kitabullah dan sunah Rasul-Nya, dan hal tersebut dinyatakan benar oleh
keduanya, maka itulah Al-haq (kebenaran), dan selain itu adalah kesesatan. (Tafsir Alquran Al-‘Azhim, 2/345)
Kemudian,
jika kedua pihak merasa pendapatnyalah yang lebih sesuai dengan Alquran dan
As-Sunnah dengan penelitian masing-masing, tanpa hawa nafsu dan fanatik, maka
hendaknya mereka memegang dan meyakini pendapatnya itu, tanpa mengingkari
pendapat saudaranya, apalagi meremehkannya, dan menyerang pihak yang berbeda.
Oleh karenanya, perlu nampaknya kita perhatikan nasihat dan contoh baik dari
para imam terdahulu dalam menyikapi perselisihan ini.
Imam Abu Nu’aim mengutip
ucapan Imam Sufyan Ats-Tsauri, sebagai berikut:
سفيان الثوري يقول إذا رأيت الرجل
يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه
“Jika engkau melihat
seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya
pendapat lain, maka janganlah kau melarangnya.” (Imam Abu Nu’aim Al-Asbahany, Hilyatul Auliya’,
3/133)
5.
Bagaimana langkah-Iangkah
yang harus dilakukan untuk memastikan
suatu ungkapan, yang sudah popular dalam masyarakat dan sudah dianggap hadits.
Uraikan!
Langkah-langah
yang dilakukan untuk memastikan suatu ungkapan yang sudah popular dalam
masyarakat dan ungkapan tersebut sudah dianggap seperti hadis, maka yang harus
dilakukan adalah kita harus belajar dan memahami tentang hadits, baik itu
secara kualitas dan kuantitas.
Secara
kualitas yaitu: Hadits maqbul yaitu: ma'khud (yang diambil) dan
mushaddaq (yang dibenarkan atau diterima). Sedangkan menurut istilah adalah: "Hadits yang
telah sempurna padanya, syarat-syarat penerimaan". yaitu sanad-nya
bersambung, diriwayatkan
oleh rawi yang 'adil lagi dhabit, dan juga berkaitan dengan matan-nya tidak
syadz dan tidak berillat.
Menurut Ibnu shalah mengemukakan definisi
hadis shahih, yaitu:
“Hadis shahih ialah
hadis yang sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang yang adil lagi
dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula, sampai ujungnya, tidak syaz dan
tidak mu’allal (terkena illat)[38]
Shubhi Shalih juga
memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam melihat keshahihan sebuah
hadis, yaitu:
a. Hadis tersebut shahih
musnad, yakni sanadnya bersambung sampai yang teratas.
b. Hadis shahih
bukanlah hadis yang syaz yaitu rawi yang meriwayatkan memang terpercaya, akan
tetapi ia menyalahi rawi-rawi yang lain yang lebih tinggi.
c. Hadis shahih
bukan hadis yang terkena ‘illat. Illat ialah: sifat tersembunyi yang
mengakibatkan hadis tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara zahirnya
terhindar dari illat.
d. Seluruh tokoh
sanad hadis shahih itu adil dan cermat[39]
syarat-syarat
hadis sahih adalah :
a. Sanadnya bersambung
b. Perawinya 'adil
c. Perawinya Dhabit
d. Tidak Syadz (janggal)
e. Tidak ber-illat (ghairu al-Mu'allal)
Ketika
kita hendak mendapatkan atau mencari sebuah hadis tentunya dalam hal ini
dibutuhkan beberapa kitab atau buku sebagai rujukan dimana kita bisa
mendapatkan hadis yang shahiih, dalam hal ini seperti yang ditulis oleh Nuruddn
Itr di dalam kitabnya Manhaj
an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis mengemukakan bahwa kitab-kitab yang memuat
hadis-hadis shahih antara lain[40]
a. al-Muwattha’
b. Shahih
Bukhari
c. Shahih Muslim
d. Shahih Ibn
Khuzaimah
e. Shahih Ibn
Hibban
f. Al-Mukhtarah[41]
Sebagian orang bingung melihat jumlah
pembagian hadis yang banyak dan beragam.Tetapi kebingungan itu kemudian menjadi
hilang setelah melihat pembagian hadis yang ternyata dilihat dari berbagai
tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya dari satu segi pandangan
saja. Hadis
memiliki beberapa cabang dan masing-masing memiliki pembahasan yang unik dan
tersendiri.
Untuk mengungkapkan tinjauan
pembagian hadis dari segi kuantitas jumlah para perawi para penulis hadis pada
umumnya menggunakan beberapa redaksi yang berbeda. Sedangkan mereka melihat
pembagian hadis dari segi bagaimana proses penyampaian hadis dan sebagian lagi
memilih dari segi kuantitas atau jumlah perawinya. Kuantitas hadis
disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadis atau dari
segi jumlah sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadis secara garis besar
menjadi dua macam, yaitu :
1. Hadis mutawatir,
hadis mutawatir sendiri terbagi menjadi dua bagian, menurut penulis yang lain
hadis mutawatir terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :[42]
a.
Mutawatir lafdzi
b.
Mutawatir ma’nawi
c.
Mutawatir amali.[43]
a. Masyhur
(mustafid)
b. ‘Aziz
c. Gharib.
Disamping
pembagian di atas, ada beberapa ulama lain yang membagi hadis dari aspek
kuantitas menjadi beberapa bagian, yaitu :
a.
Hadis mutawatir
b.
Hadis masyhur (hadis mustafidh)
c.
Hadis ahad.
Hadis Mutawatir
Mutawatir
[45] menurut bahasa adalah bentuk isim
fa'il dari masdar "tawatur" artinya silih berganti. Jika
anda ucapkan (tawataral mathar) artinya adalah hujan turun silih
berganti tak henti-hentinya atau bermakna yang saling mengikuti.
Sedangkan
mutawatir menurut istilah adalah segala hal yang bersumber dari Nabi saw., baik
dari aspek ucapan (qauliyyah), perbuatan (fi'liyyah) maupun suatu rekomendasi
(taqririyyah) dan sifat-sifat Nabi saw. yang diriwayatkan oleh sejumlah orang
banyak yang secara kemustahilan mereka bersama-sama sepakat untuk melakukan
dusta terhadap ucapan, perbuatan maupun taqrir tersebut.
Menurut
pendapat yang lain mutawatir adalah kabar (hadis) berlandaskan panca indra yang
diriwayatkan oleh sejumlah orang (rawi yang banyak) yang mustahil menurut adat
kebiasaan mereka bersepakat untuk mengabarkan berita itu secara dusta.
Dari
uraian definisi di atas menjadi jelaslah bahwa kemutawatiran suatu hadis
tidaklah mungkin terwujud dalam kabar maupun berita melainkan dengan
syarat-syarat tertentu. Adapun syarat-syarat itu adalah:
c.
Hadis itu harus diriwayatkan oleh orang banyak,
sedangkan batasan paling sedikit orang yang meriwayatkan itu masih
diperselisihkan dan banyak pendapat yang perbeda, adapun pendapat yang unggul
mengatakan sepuluh orang
d.
Perawi yang berjumlah banyak itu harus terdapat di
dalam semua tingkatan sanad (setiap thabaqah).
e.
Menurut adat kebiasaan mereka tidak mungkin bersepakat
untuk melakukan kebohongan.
f.
Sandaran hadis mereka adalah indera, seperti ucapan mereka
: kami mendengar, kami melihat, kami menyentuh atau kami membuat. Adapun jika sandaran hadis mereka
hanyalah berdasarkan akal (logika) seperti pendapat mereka (perawi hadis) tidak
bisa dikatakan sebagai mutawatir. [46]
Para muhaddis dalam membagi cabang
mutawatir ada sedikit perbedaan, ada yang mengatakan hadis mutawatit itu
terbagi menjadi dua bagian yaitu mutawatir ladzi dan mutawatir ma’nawi,[47] dan ada yang mengatakan tiga bagian
yaitu dengan menambahkan mutawatir ‘amali.
Sesuatu
yang sudah mutawatir bisa mendatangkan ilmu dharuri, artinya ilmu yakin yang
bisa memaksa manusia untuk mengakuinya secara jujur dan tegas seperti seseorang
yang menyaksikan suatu kejadian dengan mata kepala sendiri, sehingga dia tidak
ragu-ragu lagi untuk mengakui keberadaannya.Oleh sebab itulah semua hadis
mutawatir mutlak harus diterima sebagai dasar hukum (hujjah) di dalam
beristinbat, dan mutlak pula untuk diamalkan.Orang yang menolak hadis mutawatir
sebagai hujjah, dihukumi kafir, sebab hal ini diqiyaskan kepada riwayat
kemutawatiran al-Qur’an.
Ulama'
sudah susah payah mengumpulkan hadis-hadis mutawatir, lalu mereka menjadikannya
dalam sebuah karangan tersendiri dengan tujuan utama agar para santri atau
mahasiswa dengan mudah bisa membuat rujukan kepadanya. Di antara
karangan-karang-an itu adalah :[48]
a.
Al Azhar al-Mutanatsirali fi al-Akhbar al Mutawatirah. Oleh As-Suyuti. Dalam kitab ini memuat hadis-hadis
Mutawatir yang susunan hadisnya diurutkan berdasarkan pada bab-babnya.
b.
Qathful Azhar, oleh As Suyuthi juga, dan kitab ini
merupakan ringkasan dari kitab di atas tadi.
c.
Nazmu al-Mutanatsir min al-Hadis al-Mutawatir, oleh
Muhammad bin Ja'afar Al Kattani.
d.
Al-La’ali al-Mutanasirah fi al-Ahadis al-Mutawatirah,
karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun ad-Damasyqi.[49]
Hadis Ahad
Ahad
menurut bahasa aahad bentuk jamak dari kata "ahad" yang punya arti
"satu", jadi hadis ahad (wahid) adalah hadis yang di riwayatkan
oleh satu orang. Sedangkan menurut istilah adalah
hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir.[50]
Pengertian
ahad berarti suatu hadis atau riwayat yang memiliki satu sanad atau beberapa
sanad, akan tetapi tidak sampai kepada derajat mutawatir. Oleh karena itu, ada batasan yang
diberikan oleh ulama batasan hadis ahad antara lain, hadist ahad adalah hadis yang
para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadis mutawatir, baik rawinya itu satu,
dua, tiga, empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi
pengertian bahwa hadis dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadis
mutawatir, atau dengan kata lain hadis ahad adalah hadis yang tidak mencapai
derajat mutawatir.[51]
Hadis
ahad sebagaimana telah disinggung di atas secara sekilas terbagi menjadi
beberapa bagian, yaitu :[52]
1. Masyhur (mustafid)
2. 'Aziz
3. Gharib.
Adapun
penjelasan seputar hadis ahad apabila ditinjau dari aspek kualitas memiliki
hukum yang beragam, bisa berkualitas (sahih, hasan maupun dhaif). Berbeda dengan hadis mutawatir yang
apabila ditinjau dari aspek kualitas yang sudah pasti sahih.
Hadis Mashur
Hadis
masyhur merupakan bentuk hadis yang memiliki jumlah sanad yang minimal tiga
jalur dan atau lebih, akan tetapi tidak sampai kepada bentuk mutawatir.[53] Hadis masyhur memiliki sanad yang
setidaknya ada yang saling menguatkan, baik dari shahid maupun muttabi’nya.Sehingga
komposisi hadis mashur yang saling menguatkan ini diidentifikasi jarang sekali
sampai kepada tingkatan dha’if (lemah), sebab antara sanad satu dan lainnya
saling mendukung dan menguatkan. Kedha’ifan hadis masyhur ini bisa
meningkat menjadi hasan lighairih.
Ada suatu pendapat yang mengatakan
(beranggapan) bahwa hadis masyhur itu senantiasa sahih, pendapat ini muncul
sebab berpatokan pada komposisi jumlah hadis masyhur yang banyak, sehingga
antara sanad satu dan yang lain saling menguatkan. Seorang peneliti sering terkecoh
dengan adanya jumlah perawi yang banyak, mereka kalau hanya memandang sekilas
terhadap hadis masyhur ini bisa terkecoh. Para muhadis kurang perduli dengan
bilangan jumlah sanad pada hadis masyhur, jika jumlah sanad tersebut tanpa
disertai dengan sifat-sifat yang menjadikan sanad-sanad itu sahih atau saling
memperkuat, sehingga dapat dipergunakan untuk berhujjah. [54]
Dengan demikian, menurut Nuruddin
‘Itr walaupun hadis mashur memiliki jumlah sanad lebih dari dua jalur sanad dan
saling mendudung kualitasnya, dilihat dari aspek diterima (maqbul) dan
ditolaknya (mardud)[55] terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :[56]
1.
Sahih, contohnya :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا جَاءَ
أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِل
Artinya
: Bahwasanya Rasul Allah saw. bersabda,”Apabila salah satu dari kalian
mendatangi (melaksanakan) shalat Jum’at, maka hendaklah ia mandi”.
(Hadis ini diriwayatkan dari
nabi melalui banyak sanad)
2.
Hasan, contohnya :
لاَضَرر ولا ضِرار
Artinya:”Tidak
boleh membiarkan bahaya dating dan tidak boleh mendatangkan bahaya”. (Hadis ini
diriwayatkan dari Nabi saw. melalui banyak sanad, hadis ini dinilai hasan oleh
an-Nawawi dalam kitab Arba’in.
3.
Dha’if, contohnya :
اطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّينِ
Artinya:
“carilah Ilmu walu di negeri Cina”. ( Hadis ini diriwayatkan melalui banyak
sanad dari Anas dan Abu Hurairah, namun semua sanadnya tidak bebas dari rawi
yang terkena kritik jarh (buruk atau cela). Oleh sebab itu hadis di atas merupakan
hadis masyhur yang dha’if.
Hadis Mashur
Masyhur
menurut bahasa adalah isim maf'ul dari fi'il syahara yang artinya menyebarluaskan dan
menampakkan, dan dikatakan seperti itu karena dia tampak dengan jelas. Sedangkan menurut istilah ahad adalah
hadis yang diriwayatkan minimal oleh tiga jalur sanad atau lebih, dan tidak
sampai pada batas-batas mutawatir.[57]
Hadis Masyhur menurut Fuqaha semakna
(muradif) dengan mustafidz,[58] para ulama di dalam mendefinikan
hadis masyhur dan mustafid ada perbedaan, di antaranya :[59]
1.
Hadis masyhur identik dengan mustafidz
2.
Hadis masyhur berbeda dengan mustafidz, namun mereka
tidak sependapat tentang perbedaannya
3.
Hadis masyhur lebih umum dari pada mustafidz karena
hadis mustafidz jumlah perawinya sama banyak atau seimbang yang bertempat pada
permulaan, pertengahan dan akhir sanadnya, sedangkan hadis
masyhur tidak demikian.[60]
4.
Hadis mustafid lebih umum dari pada hadis masyhur.[61]
Jadi masyhur
menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Mustafid
menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi menurut
bahasa hadist masyhur dan hadist mustafidah sama-sama berarti hadist yang sudah
tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa para ulama
juga memandang hadist masyhur dan hadist mustafidz sama dalam pengartian
istilah ilmu hadist yaitu, hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau
lebih, dan beliau mencapai derajat hadist mutawatir. Sedangkan batasan
tersebut, jumlah rawi hadist masyhur (hadist mustafidah) pada setiap tingkatan
tidak kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu
belum mencapai jumlah rawi hadist mutawatir .
Hadits masyhur ditinjau dari aspek
penyebarannya di berbagai lingkungan terbagi menjadi beberapa bagian. Hal ini terjadi disebabkan keberadaan
hadits Nabi ada yang lebih dominan dikenal diberbagai kalangan atau golongan
tertentu, misalnya ada yang lebih masyhur di kalangan ahli hadits, ada hadits
yang masyhur digolongan fuqaha, ahli ushul, masyhur dikalangan pendidik atau
bahkan masyhur di masyarakat umum. Berbagai hadis yang masyhur ini
kadang-kadang lengkap sanad berikut matannya baik memiliki satu atau dua sanad
yang kualitasnya ada yang shahih, hasan dan dha’if.[62] Bahkan ada juga hadits yang masyhur di masyarakat umum, akan tetapi
tanpa ada sanad sama sekali. Akan tetapi ada juga istilah hadits masyhur
banyak dikenal diberbagai riwayat yang yang bersumber dari Nabi saw., dan
beragam kualitasnya ada shahih, hasan, dha’if, palsu, mutawatir, akan tetapi
kesumuanya di kenal atau masyhur oleh berbagai kalangan dengan tidak tahu
kualitas sebenarnya.[63]
Selanjutnya
ada juga kemasyhuran hadits dikarenakan sudah di tulis atau dibukukan oleh para
ulama yang berada dikitab-kitab hadits tertentu, seperti hadits shahih di kitab
jami’ ash-shahih, hadis hasan di kitab jami’ as-sunan, hadis dha’if di kitab
silsilah al-hadits dha’ifah, hadis palsu di kitab silsilah al-hadits maudhu’ah,
hadis mutawatir di kitab al-mutawatirah, hadis qudsi di kitab silsilah al-hadis
qudsiyyah dan masih banyak lagi hadits masyhur dengan sebab sudah tercatat di
dalam kitab-kitab tertentu.
Menurut
Nuruddin ‘Itr,[64] penjelasan tentang hadits masyhur
tersebut oleh para orientalis dianggap bahwa, para ulama mengupayakan
penyebaran hadits masyhur di tengah-tengah masyarakat supaya mereka terima.
Borch
menyimpulkan pernyataan Goldziher sebagai berikut: "Orang-orang Mukmin
yang taat dan bertakwa telah menerima dan membenarkan dengan mudah tanpa
koreksi terhadap segala sesuatu yang datang kepada mereka dalam bentuk hadits.
Semuanya mereka yakini sebagai ucapan Nabi saw. secara hakiki. Adapun hal-hal
yang mengancam kesahihan banyak bagian dari ucapan-ucapan yang diriwayatkan
terus menerus itu dapat dengan mudah mereka jinakkan.Telah jelas bahwa para
ahli agama sendiri senantiasa menggunakan kajian ijma' sebagai suatu pegangan
dalam menetapkan kesahihan dan kredibilitas hadits.Jelas-jelas mereka mengakui
bahwa ijma' umat merupakan tolok ukur tertinggi untuk mengetahui kesahihan
suatu hadits."
Selanjutnya
ia menambahkan, "Akan tetapi para muhadditsin tidak puas membiarkan diri
mereka terbawa oleh sistem penilaian sebagai langkah antisipasi terhadap sislem
yang mengancam keluhuran umat Islam dan untuk menyelamatkan banyak hadits yang
ternodai sistem tersebut, mereka menetapkan syarat-syarat lain di samping
kesepakatan umat untuk menerima kredibilitas dan kesahihan hadits.
Pernyataan
ini dikemukakan dengan kata pembuka yang salah dan berdampak salah pula pada
kesimpulan yang dituju. Oleh karena itu pernyataan di atas telah menyimpang
dari garis kebenaran dan mengarah kepada jurang-jurang kesesatan. Di antara
kesalahan tersebut adalah sebagai berikut:[65]
1.
la menafsirkan ijma' sebagai kesepakatan seluruh umat
Islam. Hal ini tersirat dalam kata-kata "orang-orang Mukmin" dan
"kesepakatan umat untuk menerima kredibilitas hadits". Penafsiran ijma' yang demikian
menyalahi kaidah ajaran Islam yang sangat mendasar dan tidak
samar lagi bagi setiap pencari ilmu serta orang yang memperhatikan ajaran dan
kebudayaan Islam, sebab sesungguhnya tidak samar lagi bahwa ijma' yang dapat
dijadikan hujjah menurut umat Islam adalah ijma' para imam mujtahid sebagai
hasil penggalian hukum dari dalil syara'. Dan telah dimaklumi pula bahwa ahli
ijma' itu tidak boleh mengesampingkan dalil-dalil syara'.
2.
Para ulama sama sekali tidak pernah
mengupayakan agar masya-rakat umum menerima suatu hadits, bahkan mereka
seluruhnya senantiasa mengkaji dengan penuh kehati-hatian terhadap
riwayat-riwayat yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Imam Muslim
menjelaskan dalam Muqaddimah Shahih-nya bahwa yang menjadi motivasi penyusunan
kitab Shahih-nya adalah karena ia melihat ha-dits-hadits dha'if dan rusak
beredar dengan leluasa di tengah-tengah umat Islam.
3.
Para muhadditsin mengadakan pengkajian
khusus terhadap hadits yang beredar di masyarakat dalam bentuknya yang khusus,
yakni hadits masyhur. Mereka meneliti hadits-hadits yang masyhur di kalangan
masyarakat umum untuk kemudian mereka jelaskan bahwa hadits-hadits yang beredar
itu tidak memiliki kualitas vang sama. Kemudian hadits-hadits itu mereka himpun
dalam sejumlah kitab yang dilengkapi penjelasan tentang derajat masing-masing
hadits/ baik shahih, hasan, dha'if, maupun yang mukhtalifnya.
4.
Seandainya kata-kata "kajian ijma" itu kita
artikan sebagai ijma' ulama terbatas dari kalangan para tokoh muhadditsin, maka
apakah pengungkapan yang demikian dalam forum ilmiah dapat dianggap sebagai
metode penyajian yang mudah dipahami dan kritis, sebagaimana yang ia duga,
ataukah metode ini merupakan suatu puncak pembahasan yang akurat? Bila memang
demikian, kini kita juga mendapatkan seorang ilmuwan yang penelitiannya dapat
dijadikan hujjah.la merupakan seorang ulama spesialis dalam bidangnya, serta
menjadi buah harapan umat. Namun bagaimana dengan hal yang telah disepakati
oleh.para imam dan tokoh ulama dalam bidang yang sama.
DAFTAR
REFERENSI
Abdullah bin Muslim al-Dinauri, Ta'wil
Musykil al-Qur'an
Ahmad
bin Harits bin Zakariya, Mu'jam Maqayis al-Lughah, Beirut: Ittihad al-Kuttab
al-'Arab, 2002
Ahmad Syakir, Syarh Alfiyah al-Suyuthi.
Beirut: Dar al-Ma'rifah.
Ahmad
Umar Hashim, Qowaid Ushul al-Hadits (Beirut: Alam al-Kutub, cet.2, 1998) hal:
203.
Al-Faizurabadi, al-Qamus al-Muhith,
jilid: 2
Al-Qasimi, Qawa’id at-Tahdits min
Fununi Mushthalah al-Hadits, Bairut :
Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1989
An-Naisaburi, Kitab Ma’rifah ‘Ulum
al-Hadis, (Madinah : al-Maktabah
al-‘Alamiyyah, 1977), cet., ke-2, h. 92
Ash-Shan’ani, Taudhih
al-Afkar Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2,
As-Suyuthi, Tadrib
ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, Bairut : Dar al-Fikr :1993
Endang Soetari, Ilmu Hadis Kajian Riwayah
dan Diroyah, Bandung, Amal Bakti
Pres, 2000
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sedjarah dan
Pengantar Ilmu Tafsir Djakarta: Bulan Bintang, 1967
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab Cet I, Jakarta: Logos, 1997
Ibnu hajar al-‘Asqalani, Syarah
Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar,
Ibrahim Anis dkk, Mu'jam al-Wasith Dar al-Dakwah, Cet.1
jilid: 1
Kitab “al-Muktarah disusun
oleh al-Hafidz Dhiya’uddin Muhammad ibn Abdul Wahid al-Maqdisi
Mahmud at-Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, tth.),
t.cet., h. 19
______________, Mabahis fi
Ulum al-Hadis,
(Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4,
Muhammad
‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, terj. Nur Ahmad Musafiq,(Jakarta, Yofa
Mulia offset, 2007
Muhammad Abu Al-Fatah
Al-Bayanuni, Islam Warna-Warni Cetakan Pertama, Jakarta: Hikmah, 2003
Muhammad Abu Zahw,
al-Hadits wa al-Muhadditsun,
Muhammad
Ahmad al-Thohhan, Taisir Mustholah al-Hadits Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, cet.
7, 1985
Muhammad Ajjaj
al-Khatib, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu Birut: Dar
al-Fikr, 1975
Muhammad bin Ibrahim bin Jama'ah,
al-Manhal al-Rawi Damaskus: Dar al-Fikr, cet. 2, 1406
Muhammad
bin Ja'far al-Kattani, Al-Risalah al-Mustathrofah li bayan masyhur kutub
al-Sunnah al-Mushonnafah (Beirut: Dar al-Basya'ir al-Islamiyah, cet: 4, 1986
Muhammad bin Mukrim bin Manzhur al-Ifriqi,
Lisan al-Arab (Beirut: Dar al-Shadir, Cet.1) jilid: 11
Nasr Farid Muhammad
Washil, al-Wasid fi ‘Ilm
Mushthalah al-Hadis, Mesir : Madba’ah al-Amanah, 1982
Nuruddin al-Itthr,
Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits Damaskus: Dar al-Fikr, cet.3, 1997
P. Hardono Hadi, Epistemolog Filsafat Pengetahuan Yogyakarta:
Kanisius, 1994
Shahih Bukhari Juz 1,
Shahih Bukhari Juz I (Kitabul Ilm):
Shahih Muslim Juz II, hal 710, Musnad Ahmad Juz III,
Subhi Shalih, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, (Beirut; Dar
al‘Ilm, 1988
Sunan Abi Dawud Juz III:
Sunan al-Darimi Juz I,
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi
Aksara, 2008
Tarmisi, Manhaj Dzawi an-Nazhar, Bairut : Dar al-Fikr, 1981
[1]Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulul al-Hadits,
(Beirut, Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1997), hlm. 243. Dan Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul
al-Hadits, terj. Nur Ahmad Musafiq,(Jakarta, Yofa Mulia offset, 2007), hlm.
277.
[2]Surajiyo, Ilmu
Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm.53
[3] P.
Hardono Hadi, Epistemolog Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), 13-18
[5]Nūr al-Dīn ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulūm al-Hadis, terj.
Mujiyo, ‘Ulum Al-Hadits I (Cet. 1; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 21
[6] Muhammad bin Ja'far al-Kattani, Al-Risalah
al-Mustathrofah li bayan masyhur kutub al-Sunnah al-Mushonnafah (Beirut: Dar
al-Basya'ir al-Islamiyah, cet: 4, 1986), hal:143.
[7] Ahmad bin Harits bin Zakariya, Mu'jam Maqayis
al-Lughah (Beirut: Ittihad al-Kuttab al-'Arab, 2002), jilid: 3, hal: 203-204
[8] Muhammad bin Mukrim bin
Manzhur al-Ifriqi, Lisan al-Arab (Beirut: Dar al-Shadir, Cet.1) jilid: 11, hal:
135.
[12] Muhammad bin Ibrahim bin Jama'ah, al-Manhal
al-Rawi (Damaskus: Dar al-Fikr, cet. 2, 1406), hal: 60
[13] Nuruddin al-Itthr, Manhaj
al-Naqd fi Ulum al-Hadits (Damaskus: Dar al-Fikr, cet.3, 1997) hal: 377
[14] Muhammad Ajjaj al-Khatib,
Ulum al-Hadits, Ushuluh wa Musthalahuh (Beirut: Dar al-Fikr, Cet.1, 1989), hal:
283.
[17] Muhammad Ahmad al-Thohhan, Taisir Mustholah
al-Hadits (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, cet. 7, 1985), hal: 29-30
[21] Ibid.
hal. 16
[23]
Fudhali, Ahmad. Kritik atas hadits-hadits sahih. Yogyakarta : Pilar
religia, 2005.
[25]Shahih Bukhari Juz I (Kitabul Ilm): hal. 32. hadits tersebut
diriwayatkan juga oleh al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi Juz V,: hal. 39)
[29]Shahih Muslim Juz II, hal 710, Musnad Ahmad Juz III, hal 12
dan 21
[31]Keharusan bagi setiap pengkaji hadits untuk Ikhlas dengan
mendasarkan pada al-Qur’an surah al-Bayyinah [98]: 5 وَمَا
أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ “Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus.”
[32]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd .... hlm. 177.
[33] Artinya
adalah bahwa jika seseorang berhak memenuhi kriteria ini maka ia dianggap
berhak mengajarkan dan menyebarkan ilmu hadits sesuai kemampuannya.
[35]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd .... hlm. 180.
[36]
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar
Perbandingan Madzhab (Cet I, Jakarta: Logos, 1997), Hal.,47-49
[37]
Muhammad Abu Al-Fatah Al-Bayanuni, Islam
Warna-Warni Cetakan Pertama, Jakarta: Hikmah, 2003, Hal.,
7-9
[38] Muhammad
Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu (Beirut:
Dar al-Fikr, 1975), h. 304
[39] Subhi
Shalih, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, (Beirut; Dar al‘Ilm, 1988),
h. 145-146
[40] Nuruddin
‘Itr, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang
diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis(Bandung: Remaja Rosda
Karya, Cet.II, 1997)h. 12
[41] Kitab “al-Muktarah disusun
oleh al-Hafidz Dhiya’uddin Muhammad ibn Abdul Wahid al-Maqdisi
[45]Mahmud
at-Thahan di dalam menamakan hadis mutawatir ini dengan istilah khabar. Lebih lanjut lihat; Mahmud at-Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadis,
(Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h.19
[47] Nasr Farid Muhammad Washil, al-Wasid fi ‘Ilm
Mushthalah al-Hadis, (Mesir
: Madba’ah al-Amanah, 1982), cet., ke-1, h. 99; Lihat juga, Ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar
Lima’ani Taftih al-Andhar, (t.tp., tp., t.th.,) t.cet., Jilid-2, h.404
[49] Manna’
al-Khathan, Mabahis fi Ulum
al-Hadis, (Kairo : Maktabah wahbah, 2004), cet., ke-4,
h. 97
[51] Endang Soetari, Ilmu Hadis Kajian
Riwayah dan Diroyah, (Bandung, Amal Bakti Pres, 2000), cet., ke-3,
h. 93
[53]
As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi
Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut : Dar al-Fikr :1993), t.cet., h. 350
[54]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan
ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995, Cet. ke-2, Jilid 2, h. 202
[56]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan
ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995, Cet. ke-2, Jilid 2, h. 202-203
[58] Ibnu
hajar al-‘Asqalani, Syarah Nuhbah al-Fikr fi Musthalah Ahli al-asar, (Bairut
:Dar al-Masyari’, 2001), cet., ke-1 Edisi Baru, h. 17 ; Mustafidz menurut bahasa isi fa’il dari
istafadza pecahan (mustaq) kata
dari fadhla al-maa, yang berarti air yang berlimpah ruah, dinamakan demikian
karena keadaannya terlebar luas. Menurut istilah
sudah tersebut di atas. Lihat,
Mahmud at-Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadis,
(Bairut : Dar al-Fikr, tth.), t.cet., h. 22
[59]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan
ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995, Cet. ke-2, Jilid 2, h. 211
[61]
Al-Qasimi, Qawa’id at-Tahdits
min Fununi Mushthalah al-Hadits, (Bairut : Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1989),
cet., ke-1, h. 124-125
[63]
An-Naisaburi, Kitab Ma’rifah ‘Ulum
al-Hadis, (Madinah : al-Maktabah al-‘Alamiyyah, 1977),
cet., ke-2, h. 92
[64]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis; diterjemahkan
ke dalam buku Ulum al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995, Cet. ke-2, Jilid-2, h.209
[65] Ibid, h.209-210
No comments:
Post a Comment