KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
berkat Rahmat Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah Fiqh
Muamalah dengan Judul Gharar (ketidakjelasan) dalam transaksi. Dan terima kasih
kepada dosen pembimbing mata kuliah Fiqh Muamalah, Prof. Dr. Tgk. H. Muslim
Ibrahim, Lc, MA yang merupakan dosen pembimbing dalam mata kuliah tersebut,
sehingga pemahaman tentang Fiqh Muamalah yang belum begitu sempurna akhirnya
dapat memahami dan belajar lagi tentang permasalah–permasalahan dalam kehidupan
sehari-hari.
Penulis menyadari
bahwa sebagai manusia yang memiliki keterbatasan, tentu hasil karya tulis ini
masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun penulis harapkan dari saudara-saudari yang membaca. Agar karya
tulis ini lebih sempurna dan semoga ini berguna bagi kita semua, amin.
Banda Aceh, 08
April 2016
Penulis
Zainal Abidin
DAFTAR I
KATA PENGANTAR........................................................................
1
DAFTAR ISI..................................................................................... 2
BAB
I. PENDAHULUAN................................................................
3
A.
Latar
Belakang.....................................................................
3
B.
Rumusan
Masalah................................................................. 3
C.
Tujuan.................................................................................. 4
D.
Metode
Penulisan.................................................................. 4
E.
Sistematika
Penulisan............................................................ 4
BAB
II. PEMBAHASAN.................................................................................... 5
A.
Pengertian
Gharar.................................................................................. 5
B.
Macam-Macam
Gharar......................................................................... 6
C.
Kiteria Gharar........................................................................................ 7
E.
Gharar Pada Transaksi......................................................................... 11
F.
Macam-Macam Gharar Pada Transaksi.............................................. 12
G.
Dalil tentang pelarangan
gharar.......................................................... 16
BAB
III. PENUTUP......................................................................... 18
A.
Kesimpulan......................................................................... 18
B.
Penutup............................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 20
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam
melarang semua bentuk transaksi yang mengandung unsur kejahatan dan penipuan.
Di mana hak-hak semua pihak yang terlibat dalam sebuah perilaku ekonomi yang
tidak dijelaskan secara seksama (terbuka/jelas), akan mengakibatkan sebagian
dari pihak yang yang terlibat menarik keuntungan, akan tetapi dengan merugikan
pihak yang lain.
Apapun
bentuknya, segala aktivitas dalam bidang ekonomi yang tidak dihalalkan dalam
Islam adalah suatu perilaku ekonomi yang mengandung unsur yang tidak halal,
atau melanggar dan merampas hak kekayaan orang lain.
Al-Qur’an
difokuskan untuk mengeleminasi semua bentuk kejahatan dan penipuan dalam
kehidupan sehari-hari pada umumnya. Dalam ekonomi Islam itu sendiri mempunyai
norma-norma perilaku ekonomi yang di larang dan yang diperbolehkan. Adapun norma
prilaku ekonomi yang dilarang dalam Islam salah satunya adalah Gharar.
Perkembangan
bisnis kontemporer demikian pesat, yang menjadi tujuan adalah mendapatkan
keuntungan materi semata. Parameter agama dikesampingkan, yang menjadi ukuran
adalah mendulang materi sebanyak-banyaknya. Ini merupakan ciri khas peradaban
kapitalis ribawi yang memuja materi. Tidak mengherankan bila dalam praktek
bisnis dalam bingkai ideologi kapitalis serba bebas nilai. Spekulasi, riba,
manipulasi Suppley and demand[1]
serta berbagai kegiatan yang dilarang dalam Islam menjadi hal yang wajar.
Salah
satu praktek yang dilarang dalam Islam, tetapi lazim dilakukan di bisnis
kotemporer ribawi adalah praktek gharar (uncertianty).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Gharar?
2.
Apa Saja yang termasuk Gharar ?
C.
Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Muamalah dan menjawab pertanyaan yang ada
pada rumusan masalah. Yaitu :
1.
Mengetahui tentang gharar.
2.
Mengetahui Macam-macam Gharar dan
contoh-contohnya.
Manfaat dari penulisan makalah ini
adalah untuk meningkatkan pengetahuan penulis dan pembaca tentang Gharar dalam
fiqh muamalah.
D.
Metode Penulisan
Penulis memakai metode studi
literatur dan kepustakaan dalam penulisan makalah ini. Referensi makalah ini
bersumber dari buku, e-book, web, blog, dan perangkat media massa yang diambil
dari internet.
E.
Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun menjadi tiga
bab, yaitu Bab I Pendahuluan, Bab II Pembahasan, dan Bab III Penutup. Adapun
Bab pendahuluan terbagi atas : Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penulisan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan. Sedangkan Bab
Pembahasan dibagi berdasarkan sub-bab yang berkaitan dengan sumber daya data.
Terakhir, Bab Penutup terdiri atas Kesimpulan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
GHARAR
Maksud
al-Gharar ialah "Ketidakpastian atau ketidakjelasan". Maksud
ketidakpastian atau ketidakjelasan dalam transaksi muamalah ialah:
"Terdapat sesuatu yang ingin disembunyikan oleh sebelah pihak dan ada niat
untuk menganiaya atau menipu pihak yang lain ".
Ibn Taimiyah
menyatakan al-Gharar ialah: "Apabila satu pihak mengambil haknya dan satu
pihak lagi tidak menerima apa yang sepatutnya dia dapat".
Gharar artinya keraguan, tipuan atau tindakan
yang bertujuan untuk merugikan pihak
lain.[2] Suatu
akad mengandung unsur penipuan, karena tidak ada kepastian, baik mengenai ada
atau tidak ada objek akad, besar kecil jumlah maupun menyerahkan objek akad
tersebut. Dalam artian bahwa ada sesuatu yang tidak jelas (baik itu pada objek,
sifat, atau kualitasnya).
Makna secara istilah fiqih gharar
mempunyai tiga definisi. Pertama, gharar khusus berlaku pada sesuatu
yang hasilnya tidak jelas, dapat atau tidak dapat, sebagaimana ungkapan Ibnu
‘Abidin; Gharar adalah syak atau keraguan pada apakah komoditi
tersebut ada atau tidak ada. Kedua, gharar khusus pada komoditi yang
tidak diketahui spesifikasinya. Berkata Ibnu Hazm, gharar pada bisnis yaitu
sesuatu dimana pembeli tidak tahu barang apa yang dibeli, atau pedagang
tidak tahu barang apa yang dijual. Ketiga, gharar mengandung dua makna
tersebut di atas. Berkata As-Sarhsy,” Gharar adalah sesuatu yang akibatnya
tidak jelas. Pendapat ini yang diyakini oleh mayoritas ulama.[3]
Dari sisi lain gharar juga ada yang kadarnya
sedikit, sedang dan berat. Oleh karena itu sebagian ulama mendefinisikan gharar
yaitu sesuatu yang diyakini adanya, tetapi diragukan kesempurnaannya
(Mukhtar Shihah).
Contoh-contoh berikut termasuk gharar dari sisi
ini: Menjual buah sebelum layak di petik, menjual janin ternak pada induknya,
menjual ikan pada tempat pemancingan atau kolam ikan dengan cara dipancing atau
dijaring dan lain-lain.
B. MACAM-MACAM GHARAR
Gharar dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama; Gharar
pada shighat transaksi (akad), kedua; Gharar pada mahalul
aqad (obyek aqad), yaitu komoditi dan harganya.
1.
Gharar pada shighat transaksi (akad)
Gharar pada shighat yaitu bahwa aqad terjadi
dengan kriteria yang mengandung unsur gharar. Gharar bentuk ini berhubungan
langsung dengan aqad bukan dengan komoditi. Misalnya, jika seseorang mengatakan
pada temannya,” Saya jual rumahku padamu seharga Rp. 250.000.000, Jika
ada orang yang akan menjual tanahnya kepadaku”. Dan berkata temannya, “ Saya
terima”. Maka disini ada unsur gharar terkait aqad, karena akhirnya tidak
diketahui apakah kedua pedagang dan pembeli itu akan terjadi transaksi jual
beli atau tidak. Maka jumhur ulama mengharamkan bentuk bisnis seperti ini.
Unsur gharar pada jenis bisnis ini karena kedua belah pihak baik
penjual maupun pembeli tidak mengetahui apakah hal yang disyaratkan terpenuhi
atau tidak, sehingga tidak mengetahui apakah jual-beli ini jadi atau tidak.
Juga tidak jelas dari segi waktunya, kapan transaksi tersebut terjadi. Begitu
juga dari segi suka atau tidak suka, terkadang pembeli pada saat itu ingin
membeli, tetapi pada waktu yang lain sudah tidak suka dan membutuhkan lagi.
2.
Gharar pada Mahalul Aqad (obyek aqad)
Gharar dari sisi obyek aqad, bentuk ini lebih
buruk lagi karena tidak jelas komoditi dan harga, jenis, sifat dan ukurannyanya.
Jika salah satu dari keempat hal tadi tidak diketahui maka sudah termasuk
gharar. Contoh-contohnya :
a)
Tidak jelas komoditi;
Contoh
akadnya yaitu : “Saya jual barang padamu sepuluh juta”. Gharar yang terdapat
yaitu tidak menyebutkan barang apa yang mau dijual.
b)
Tidak mengetahui jenis
Contoh
akadnya yaitu “Saya jual beras (tanpa menyebutkan jenisnya) seharga 50 ribu’.
Unsur gharar yang terdapat yaitu tidak menyebutkan jenis berasa apa yang
dijual, karena beras terdapat beberapa jenis yang dikonsumsi.
c)
Tidak mengetahui sifatnya
Contoh
akad nya adalah “saya jual padamu beras (tanpa menyebutkan sifat atau kualitas)
seharga seratus ribu’. Unsur gharar yang terdapat disini yaitu tidak
menyebutkan kualitasnya baik atau kurang baik, karena beras yang baru kualitasnya
bagus dan bisa jadi kualtiasnya kurang bagus, atau beras yang sudah lama
disimpan sehingga kualitasnya menjadi kurang bagus.
d)
Tidak mengetahui beratnya;
Contoh
akad nya yaitu : “saya jual padamu beras (tanpa menyebutkan berat). Unsur
gharar yang terdapat disini yaitu tidak menyebutkan beratnya berapa, apakah 1
kilo atau 2 kilo atau berapa beratnya yang akan dijual.
e)
Menjual binatang yang masih dalam perut
induknya.
f)
Menjual hasil bumi yang masih diperut bumi dan
tidak kelihatan, seperti kentang, bawang, ubi dan lain-lain. Madzhab Hanafi
membolehkan jual-beli seperti ini dengan syarat adanya hak melihat dan hak
memilih (jadi atau tidaknya) jika sudah dipanen.
g) Menjual buah-buah
yang belum sampai masa panen :
Contoh pada masa Imperium Romawi Timur masih
berdiri angkuh di Byzantium Timur, ada seorang petani yang baru masuk Islam
bertanya pada Imam Abu Hanifah, "Ya Imam, bagaimana hukum menjual terong
panjang berwarna nila?" Abu Hanifah menjawab, "Saya tidak tahu, nanti
saya cari dulu jawabannya." Mulai hari itu, Abu Hanifah membaca Alquran
sampai lima kali khatam tapi tidak menemukan jawabannya. Pada hari berikutnya,
penanya tadi menjumpai Abu Hanifah menanyakan jawabannya. Abu Hanifah menjawab,
"Saya belum menemukan jawabannya, saya akan cari lagi." Selanjutnya
Abu Hanifah membaca kitab-kitab hadis, beliau menemukan sebuah hadis yang
menurut beliau menjadi jawaban untuk permasalahan sipenanya tadi. Bunyi hadis
itu adalah, "Jangan menjual sesuatu yang masih samar-samar (gharar). Abu
Hanifah menjumpai petani itu, beliau bertanya, "Kira-kira berapa lama
terong ini bisa dipastikan sudah masak dan bisa dipetik?" Para petani
serentak menjawab, "Sekitar 25 hari sudah bisa dipetik." Abu Hanifah
berkata, "Kalau begitu, dalam jangka waktu 23 hari terong-terong itu sudah
bisa diperjual belikan, walaupun belum dipetik dari batangnya. Karena 23 hari
sudah bisa dipastikan dia sudah masak. Tidak ada unsur gharar lagi."
C. Kriteria
Gharar
Bai' al-Gharar adalah setiap
jual beli yang mengandung ketidak jelasan dan perjudian.[4]
Gharar dihukumi haram bilamana
terdapat salah satu kriteria berikut:
1.
Jumlahnya besar.
Jika
gharar yang sedikit tidak mempengaruhi keabsahan akad, seperti: pembeli mobil
yang tidak mengetahui bagian dalam mesin atau pembeli saham yang tidak
mengetahui rincian aset perusahaan.
Ibnu
Qayyim berkata, "gharar dalam jumlah sedikit atau tidak mungkin dihindari
niscaya tidak mempengaruhi keabsahan akad, berbeda dengan gharar besar atau
gharar yang mungkin dihindari".[5]
Al
Qarafi berkata, gharar dalam bai' ada 3 macam:
- Gharar besar
membatalkan akad, seperti menjual burung di angkasa.
- Gharar yang
sedikit tidak membatalkan akad dan hukumnya mubah, seperti ketidakjelasan
pondasi rumah atau ketidakjelasan jenis benang qamis yang dibeli.
- Gharar sedang,
hukumnya diperselisihkan oleh para ulama, apakah boleh atau tidak. Al Baji
berkata, "gharar besar yaitu rasionya dalam akad terlalu besar sehingga
orang mengatakan bai' ini gharar".[6]
2.
Keberadaannya dalam akad mendasar.
Jika
gharar dalam akad hanya sebagai pengikut tidak merusak keabsahan akad. Dengan
demikian menjual binatang ternak yang bunting, menjual binatang ternak yang
menyusui dan menjual sebagian buah yang belum matang dalam satu pohon
dibolehkan. Walaupun janin, susu dan sebagian buah tersebut tidakjelas, karena
keberadaanya hanya sebagai pengikut.
3.
Akad yang mengandung gharar bukan termasuk akad
yang dibutuhkan orang banyak.
Jika
suatu akad mengandung gharar dan akad tersebut dibutuhkan oleh orang banyak
hukumnya sah dan dibolehkan. Ibnu Taimiyah berkata," mudharat gharar di
bawah riba, oleh karena itu diberi rukhsah (keringanan) jika dibutuhkan oleh
orang banyak, karena jika diharamkan mudharatnya lebih besar daripada
dibolehkan. dibolehkan".[7]
Dengan
demikian dibolehkan menjual barang yang tertimbun dalam tanah, seperti: wortel,
bawang, umbi-umbian dan menjual barang yang dimakan bagian dalamnya, seperti:
semangka, mangga dan lain-lain sekalipun terdapat gharar. Karena kebutuhan
orang banyak untuk menjual dengan cara demikian tanpa dibuka terlebih dahulu
bagian dalamnya atau dicabut dari tanah.
4.
Gharar terjadi pada akad jual-beli.
Jika
gharar terdapat pada akad hibah hukumnya dibolehkan.
Misalnya:
Seseorang
bersedakah dengan uang yang ada dalam dompetnya padahal dia tidak tahu berapa
jumlahnya. Atau seseorang yang menghadiahkan bingkisan kepada orang lain, orang
yang menerima tidak tahu isi dalam bingkisan tersebut, maka akadnya sah
walaupun mengandung gharar.
Gharar Terjadi
Selain Pada Akad Komersil (akad mu’awadhat)
(أن يكون في غير عقود المعاوضات).
بأن
الغرر منع في عقود المعاوضات، وما فيه شائبة معاوضة؛ لأن المال في هذه العقود
مقصود تحصيله أو مشروط، فمنع الشارع الحكيم الغرر فيهما، صوناً للمال عن الضياع في
أحد العوضين أو كليهما. أما عقود الإحسان والتبرعات فمقصودها بذل المال وإهلاكه في
البر، فلذلك لم يأت ما يدل على منع الغرر فيها، وليست كعقود المعاوضات، فتلحق بها.
Artinya: ”Gharar tidak diperbolehkan dalam
akad–akad komersial (al-muawadhat),[8] dan
akad yang mengandung unsur komersial, karena harta dalam akad-akad ini
ditujukan untuk menghasilkan sesuatu atau akad –akad yang bersyarat.[9] Asy-Syari’
(Allah SWT) melarang gharar dalam keduanya, dalam rangkan menjaga harta dari
kehilangan pada salah satu dari kompensasi atau keduanya (pent- harga/uang dan
obyek barang). Adapun akad non komersial dan akad sosial, bertujuan untuk
memberikan harta dan menghabiskannya untuk tujuan kebaikan. Maka tidak ada
dalil yang melarang gharar dalam akad non komersial dan akad sosial. Berbeda
dengan akad – akad komersial , maka gharar tidak diperkenankan.
Namun
demikian, terdapat sejumlah ulama seperti Imam Nawawi yang berpendapat bahwa
gharar yang terjadi dalam akad komersial dapat ditoleransi,[10] seperti
halnya jual beli yang terdapat unsur gharar didalamnya, tatkala transaksi
tersebut memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
- Terdapat kebutuhan yang mengharuskan
melakukan gharar
(إن دعت
الحاجة إلى ارتكاب الغرر),
- Tertutup kemungkinan untuk menghindarinya,
kecuali dengan amat sulit sekali
(لا يمكن
الاحتراز عنه إلا بمشقة),
- Gharar yang terjadi ringan/sepele
(وكان الغرر حقيرا),
أجمعوا على صحة بيع الجبة المحشوة وإن
لم ير حشوها ولو بيع حشوها بانفراده لم يجز
Artinya: “kaum
muslim telah bersepakat tentang kebolehan melakukan jual beli jubah/jas yang di
dalamnya terdapat kapas yang sulit dipisahkan, dan kalau kapasnya dijual secara
terpisah, maka justru tidak diperbolehkan. Sebagian ulama memberi
toleransi atas gharar yang terjadi dalam beberapa akad komersial, karena
memenuhi kriteria seperti diatas:
وأجمعوا على جواز إجارة الدار والدابة ونحو ذلك شهرا مع أن
الشهر قد يكون ثلاثين يوما وقد يكون تسعة وعشرين،
Artinya: ”kaum
muslim telah bersepakat tentang kebolehan melakukan menyewa rumah atau
hewan dan yang semisal selama 1 bulan, walau 1 bulan dapat berarti 30
hari atau 29 hari”.
وأجمعوا على جواز دخول الحمام بالأجرة مع اختلاف الناس
في استعمالهم الماء وفي قدر مكثهم،
Artinya: “kaum
muslim telah bersepakat tentang kebolehan masuk ke dalam kamar mandi (umum)
dengan upah (ujrah), walau ada perbedaan dalam penggunaan air dan berapa lama
waktu didalam kamar mandi tersebut”.
وأجمعوا على جواز الشرب من السقاء بالعوض مع جهالة قدر
المشروب واختلاف عادة الشاربين وعكس هذا ،
Artinya: “kaum
muslim telah bersepakat tentang kebolehan minum dari tempat air minum dengan
upah, walau tidak diketahui banyaknya air yang diminum dan perbedaan kebiasaan
para peminum dan sebaliknya.”
D. Gharar Pada Transaksi
Dalam
hukum perjanjian Islam obyek akad dimaksudkan sebagai suatu hal yang karenanya
akad dibuat dan berlaku akibatakibat hukum akad. Obyek akad dapat berupa benda,
manfaat benda, jasa atau pekerjaan, atau suatu yang lain yang tidak
bertentangan dengan Syariah. Kedudukan obyek akad adalah
sangat penting karena ia termasuk bagian yang harus ada (rukun) dalam hukum
perjanjian Islam. Oleh karena keberadaannya sangat menentukan sah tidaknya
perjanjian yang akan dilakukan, maka obyek akad harus memenuhi syarat-syarat
sahnya seperti terbebas dari unsur-unsur gharar (ketidakjelasan).
E. Macam-Macam Gharar Pada
Transaksi:
-
Gharar dalam transaksi, contoh : saya jual
rumah ini kepada si A tapi si A harus jual rumahnya kepada saya (terkadang
mengandung sesuatu tidak jelas).
-
Gharar dalam objek transaksi, dalam barangnya,
contoh : jual tumbuh-tumbuhan yang buahnya ada di dalam tanah.
1.1 Gharar dalam
objek transaksi :
a). Ketidakjelasan
jenis objek transaksi (الجهالة في جنس المعقودعليه)
Mengetahui
jenis obyek akad secara jelas adalah syarat sahnya jual beli. Maka jual beli
yang obyeknya tidak diketahui tidak sah hukumnya karena terdapat gharar yang
banyak di dalamnya. Seperti menjual sesuatu dalam karung yang mana pembeli
tidak mengetahui dengan jelas jenis barang apa yang akan ia beli. Namun
demikian terdapat pendapat dari Mazhab Maliki yang membolehkan transaksi jual
beli yang jenis obyek transaksinya tidak diketahui, jika disyaratkan kepada
pembeli khiyar ru’ya (hak melihat komoditinya).[11] Begitu
juga dalam mazhab Hanafi menetapkan khiyar ru’yah tanpa dengan
adanya syarat,[12]
berdasarkan hadis berikut:
“Siapa yang
membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila
telah melihat barang itu”.
Akan
tetapi ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa jual beli barang yang gaib tidak sah,
baik barang itu disebutkan sifatnya waktu akad maupun tidak. Oleh sebab itu,
menurut mereka, khiyar ru’yah tidak berlaku, karena akad itu
mengandung unsur penipuan (gharar)
b). Ketidakjelasan
dalam macam objek transaksi (الجهالة في نوع المعقودعليه)
Gharar
dalam macam obyek akad dapat menghalangi sahnya jual beli sebagaimana terjadi
dalam jenis obyek akad. Tidak sahnya akad seperti ini karena mengandung
unsure ketidakjelasan dalam obyeknya. Seperti seorang penjual berkata, “saya
jual kepada anda binatang dengan harga 5 juta ” tanpa menjelaskan binatang apa
dan yang mana.[13] Oleh
karena itu obyek akad disyaratkan harus ditentukansecara jelas. Dasar ketentuan
ini adalah larangan Nabi saw. mengenahi jual beli kerikil (bai’ al-Hashah)
yang mirip judi dan biasa dilakukan oleh orang jahiliyyah. Yaitu jual beli
dengan cara melemparkan batu kerikil kepada obyek jual beli, dan
obyek mana yang terkena lemparan batu tersebut maka itulah jual beli yang
harus dilakukan. Dalam hal ini pembeli sama sekali tidak dapat memilih apa
yang seharusnya dinginkan untuk dibeli.[14]
Dari Abu
Hurairah diceritakan, ia berkata: Rasulullah Saw melarang jual beli
lempar krikil dan jual beli gharar. (HR. Muslim)
c). Ketidakjelasan dalam sifat dan karakter objek
transaksi
( (الجهالة
في الصفة المعقودعليه
Terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh tentang persyaratan dalam menyebutkan
sifat-sifat obyek transaksi dalam jual beli, akan tetapi mayoritas ulama fiqh
berpendapat untuk mensyaratkannya. Diantara perbedaan itu adalah; Mazhab
Hanafiyah melihat, bahwa jika obyek transaksinya terlihat dalam transaksi, baik
itu komoditi ataupun uang, maka tidak perlu untuk mengetahui sifat dan
karakternya. Tetapi jika obyek transaksinya tidak terlihat oleh penjual dan
pembeli, maka para ulama fiqh mazhab Hanafiyah berselisih pendapat.
Sebagian
mensyaratkan penjelasan sifat dan karakter obyek akad, dan sebagian tidak.
Mereka yang tidak mensyaratkan berpendapat bahwa ketidaktahuan sifat tidak
menyebabkan perselisihan, disamping itu pembeli juga mempunyai hak khiyar
ru’yah. Silang pendapat di atas adalah yang berkaitan dengan komoditi
bukan harga, adapun tentang harga (tsaman) semua ulama sepakat untuk
disebutkan sifat dan karakternya.[15]
Sedang
Ulama Mazhab Maliki mensyaratkan penyebutan sifat dan karakter baik terhadap
komoditi maupun harga (tsaman). Karena tidak adanya kejelasan dalam
sifat dan karakter komoditi dan harga adalah merupakan gharar yang
dilarang dalam akad. Begitu juga ulama mazhab Syafi’i mensyaratkan
penyebutan sifat dan karakter komoditi dan mengatakan bahwa jual beli yang
tidak jelas sifat dan karakter komoditinya hukumnya tidak sah kecuali jika
pembeli diberi hak untuk melakukan khiyar ru’yah. Mazhab
Hambali juga tidak membolehkan jual beli yang obyek transaksinya tidak jelas
sifat dan karakternya.
d). Ketidakjelasan
dalam takaran objek transaksi (الجهالة في القدر المعقودعليه)
Tidak
sah jual beli sesuatu yang kadarnya tidak diketahui, baik kadar komoditinya
maupun kadar harga atau uangnya. Illat (alasan) hukum
dilarangnya adalah karena adanya unsur gharar sebagaimana para ulama ahli fiqh
dari mazhab Maliki dan Syafi’i dengan jelas memaparkan pendapatnya.
Contoh
dari transaksi jual beli yang dilarang karena unsur gharar yang timbul akibat
ketidaktahuan dalam kadar dan takaran obyek transaksi adalah bai’
muzabanah. Yaitu jual beli barter antara buah yang masih berada di
pohon dengan kurma yang telah dipanen, anggur yang masih basah dengan zabib
(anggur kering), dan tanaman dengan makanan dalam takaran tertentu.
Adapun illat dari pengharamannya adalah adanya unsur riba
yaitu aspek penambahan dan gharar karena tidak konkritnya ukuran dan obyek atau
komoditi.
e). Ketidakjelasan
dalam zat objek transaksi (الجهالة في الذات المعقودعليه)
Ketidaktahuan
dalam zat obyek transaksi adalah bentuk dari gharar yang terlarang. Hal ini
karena dzat dari komoditi tidak diketahui, walaupun jenis, macam, sifat, dan
kadarnya diketahui, sehingga berpotensi untuk menimbulkan perselisihan dalam
penentuan. Seperti jual pakaian atau kambing yang bermacam-macam.
Mazhab
Syafi’i, Hambali, dan Dhahiri melarang transaksi jual beli semacam ini, baik
dalam kuantitas banyak maupun sedikit karena adanya unsur gharar. Sedang mazhab
Maliki membolehkan baik dalam kuantitas banyak maupun sedikit dengan syarat ada
khiyar bagi pembeli yang menjadikan unsure gharar tidak berpengaruh terhadap akad.
Adapun mazhab Hanafiyah membolehkan dalam jumlah dua atau tiga, dan melarang
yang melebihi dari tiga.[16]
f). Ketidakjelasan
dalam waktu objek transaksi (الجهالة في الزمن المعقودعليه)
Jual
beli tangguh (kredit), jika tidak dijelaskan waktu pembayarannya, maka ia
termasuk jual beli gharar yang terlarang.
Seperti
jual beli habl al-hablah, yaitu jual beli dengan sistem
tangguh bayar hingga seekor unta melahirkan anaknya, atau hingga seekor unta
melahirkan anak dan anak tersebut melahirkan juga anaknya. Jual beli semacam
ini dikategorikan dalam jual beli gharar yang terlarang karena tidak ada
kejelasan secara kongkrit dalam penentuan penangguhan pembayaran.
g). Ketidakjelasan
dalam penyerahan objek transaksi (عدم الفدرة على تسليم)
Kemampuan
menyerahkan obyek transaksi adalah syarat sahnya dalam jual beli. Maka
jika obyek transaksi tidak dapat diserahkan, secara otomatis jual belinya
tidak sah karena terdapat unsur gharar (tidak jelas).
Seperti menjual onta yang lari atau hilang dan tidak diketahui
tempatnya.Nabi Saw melarang jual beli seperti ini karena mempertimbangkan
bahwa barang itu tidak dapat dipastikan apakah akan dapat diserahkan oleh
penjual atau tidak.
Dari
Hakim Ibn Hizam, ia berkata: Aku bertanya kepada Nabi Saw. kataku: wahai
Rasulullah, seseorang datang kepadaku minta aku menjual suatu yang tidak ada
padaku. Lalu aku menjualnya kepadanya, kemudian aku membelinya di pasar untuk
aku serahkan kepadanya. Beliau menjawab : jangan engkau menjual barang yang
tidak ada padamu. (HR. An-Nasa’i).[17]
h). Objek
transaksi yang spekulatif
Gharar
yang dapat mempengaruhi sahnya jual beli adalah tidak adanya (ma’dum) obyek
transaksi. Yaitu keberadaan obyek transaksi bersifat spekulatif, mungkin ada
atau mungkin tidak ada, maka jual beli seperti ini tidak sah. Seperti transaksi
jual beli anak unta yang belum lahir dan buah sebelum dipanen. Seekor unta yang
mengandung bisa jadi melahirkan dan ada kemungkinan tidak (keguguran), begitu
juga buah terkadang berbuah dan terkadang juga tidak ada.[18]
F. Dalil tentang pelarangan gharar
Jika dalam
dasar hukum gharar adalah batil, dan yang dimaksudkan adalah gharar yang
dilarang dan diharamkan berdasarkan beberapa
rujukan Al-Quran dan hadist antara lain:
Surah Al Baqarah : 188
وَلا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
Artinya: ”Dan janganlah
(saling) memakan harta di antara kalian dengan (cara yang) batil dan (jangan pula) membawa (urusan harta) itu kepada hakim (untuk kalian
menangkan) dengan (cara) dosa agar kalian dapat memakan sebahagian harta orang
lain, padahal kalian mengetahui.”
عن أبي هريرة قال : نهى
رسول الله عن بيع الحصاة وعن بيع الغرار .رواه مسلم
Dari Abi
Hurairah, bahwa Rasulullah saw melarang jual beli hashah dan jual beli gharar Menjual
suatu barang dengan mengecualikan sebagiannya, kecuali yang dikecualikan itu
telah diketahui keberadaannya. Misalnya jika seorang menjual kebun, maka tidak
diperbolehkan baginya mengecualikan sutau pohon yang tidak diketahui karena
didalamnya mengandung unsur penipuan dan ketidakjelasan yang diharamkan.[19]
عن جابر أن النبى صلى الله
عليه وسلم نهى عن المحاقلة والمزابنة والثنيا إلا أن تعلم. رواه الترميذى
Rasulullah SAW
telah melarang jual beli muhaqalah, muzabanah dan tsunayya, kecuali jika telah
diketahui” (HR At Tirmizi). “Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak ada
padamu” (H.R.Khamsah dari Hakim bin Hizam). Dalam satu hadist Rasulullah SAW :
عن أبي هريرة قال : نهى
رسول الله عن بيع الحصاة وعن بيع الغرار .رواه
مسلم
“Dari Abi
Hurairah, bahwa Rasulullah saw melarang jual beli hashah dan jual beli gharar” (Hadits
Riwayah Muslim).
عن البن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلعم
نهى عن بيع حبل الحبلة. رواه البخاري و مسلم
“Dari Ibnu Umar
ra, Rasulullah saw telah melarang penjualan sesuatu (anak onta) yang masih
dalam kandungan induknya”. (H.R.Bukhari Muslim)
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Gharar adalah sesuatu yang tidak jelas atau terdapat ketidak
jelasan dalam transaksi jula beli. Yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua
jual beli yang mengandung ketidakjelasan ; pertaruhan, atau perjudian.
Dalam syari’at Islam, jual beli yang mengandung
unsur gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam hadits Riwayah Abu Hurairah yang berbunyi:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar”
Gharar dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama; Gharar
pada shighat transaksi (akad), kedua; Gharar pada mahalul
aqad (obyek aqad), yaitu komoditi dan harganya.
B.
PENUTUP
Dengan
mengucapkan Alhamdulillah penulis telah mengakhiri penulisan
makalah ini. Sebagai manusia biasa tentunya dalam penulisan ini masih banyak
hal-hal yang belum terpenuhi, baik dari segi bahasa, penyusunan kalimat, dan hal yang lainnya.
Namun demikian penulis telah berupaya semaksimal mungkin demi terselesaikannya
makalah ini dan agar mendapat hasil sebaik mungkin, tetapi kemampuan yang
penulis miliki sangatlah terbatas. Oleh karena itu untuk kesempurnaan karya
yang sederhana ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun dari semua pihak demi keberhasilan karya penulis di masa mendatang.
Akhirnya
penulis ucapkan terimakasih dan semoga Allah SWT. selalu memberkahi
pembelajaran kita, khususnya untuk Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim, Lc, M.A
sebagai perbendaharaan ilmu dan penambah wawasan kita dalam pembelajaran Fiqh
Muamalah, dan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi
penulis dan pada umumnya semua pihak yang berkenan membaca makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Furuq Lil
Qarafii, jilid 1/hal. 150; Adz-Dzkirah Lil Qarafii, jilid 6/hal. 243-244 dan
jilid 7/hal. 30; Majmu’ Al-Fatawaa, jilid 31
Habib Nazir,
MA, Ensiklopedi Ekonomi Perbankan Syariah, Kafa Publishing,
Bandung, cetakan II, 2008
Husain Syahatah
dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Transaksi dan Etika Bisnis Islam,
terj. Saptono Budi Satryo dan Fauziah, (Jakarta: Visi Insani Publishing,
2005
Ibrahim bin
Fathi bin Abd Muqtadir, Uang Haram, terj. Ahmad Khotib dkk.,
Jakarta: Amzah, 2006
Ibrahim ibn
Yusuf al-Syirazi, al-Mihadzab, Mesir: Isa al Halbi, 476H
Imam Nawawi,
Syarah Shahih Muslim, jilid X
Lisanul Arab, Al-Qamus al-Muhith dan al-Misbah
al-Munir
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam
Islam, Jakarta: Rajawali Pers
2003
Sunan
Nasa’I, ed. Abu al-Fath
Abu Guddah (Aleppo: Maktab al-Mathbu’at al Islamiyyah, 1406H), VII: 289, hadis
no.4613
Syaikh Abu
Bakar Jabir al-Jaza’iri, Minhajul Muslim, Konsep Hidup Ideal dalam Islam,
Darul Haq
Syamsul
Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fiqh
Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2007
No comments:
Post a Comment