BELAJAR ADALAH KEWAJIBAN

Tuesday, July 19, 2016

Gharar (Tidak jelas)

KATA PENGANTAR


Alhamdulillah, berkat Rahmat Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah Fiqh Muamalah dengan Judul Gharar (ketidakjelasan) dalam transaksi. Dan terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Fiqh Muamalah, Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim, Lc, MA yang merupakan dosen pembimbing dalam mata kuliah tersebut, sehingga pemahaman tentang Fiqh Muamalah yang belum begitu sempurna akhirnya dapat memahami dan belajar lagi tentang permasalah–permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis menyadari bahwa sebagai manusia yang memiliki keterbatasan, tentu hasil karya tulis ini masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun penulis harapkan dari saudara-saudari yang membaca. Agar karya tulis ini lebih sempurna dan semoga ini berguna bagi kita semua, amin.





Banda Aceh, 08 April 2016
Penulis


Zainal Abidin






DAFTAR I
KATA PENGANTAR........................................................................ 1
DAFTAR ISI..................................................................................... 2

BAB I.   PENDAHULUAN................................................................ 3
A.   Latar Belakang..................................................................... 3
B.   Rumusan Masalah................................................................. 3
C.   Tujuan.................................................................................. 4
D.   Metode Penulisan.................................................................. 4
E.    Sistematika Penulisan............................................................ 4
BAB II.  PEMBAHASAN.................................................................................... 5
A.    Pengertian Gharar.................................................................................. 5
B.    Macam-Macam Gharar......................................................................... 6
C.    Kiteria Gharar........................................................................................ 7
E.     Gharar Pada Transaksi......................................................................... 11
F.     Macam-Macam Gharar Pada Transaksi.............................................. 12
G.    Dalil tentang pelarangan gharar.......................................................... 16

BAB III. PENUTUP......................................................................... 18
A.   Kesimpulan......................................................................... 18
B.   Penutup............................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 20






BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
 Islam melarang semua bentuk transaksi yang mengandung unsur kejahatan dan penipuan. Di mana hak-hak semua pihak yang terlibat dalam sebuah perilaku ekonomi yang tidak dijelaskan secara seksama (terbuka/jelas), akan mengakibatkan sebagian dari pihak yang yang terlibat menarik keuntungan, akan tetapi dengan merugikan pihak yang lain.
Apapun bentuknya, segala aktivitas dalam bidang ekonomi yang tidak dihalalkan dalam Islam adalah suatu perilaku ekonomi yang mengandung unsur yang tidak halal, atau melanggar dan merampas hak kekayaan orang lain.
Al-Qur’an difokuskan untuk mengeleminasi semua bentuk kejahatan dan penipuan dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya. Dalam ekonomi Islam itu sendiri mempunyai norma-norma perilaku ekonomi yang di larang dan yang diperbolehkan. Adapun norma prilaku ekonomi yang dilarang dalam Islam salah satunya adalah Gharar.     
           Perkembangan bisnis kontemporer demikian pesat, yang menjadi tujuan adalah mendapatkan keuntungan materi semata. Parameter agama dikesampingkan, yang menjadi ukuran adalah mendulang materi sebanyak-banyaknya. Ini merupakan ciri khas peradaban kapitalis ribawi yang memuja materi. Tidak mengherankan bila dalam praktek bisnis dalam bingkai ideologi kapitalis serba bebas nilai. Spekulasi, riba, manipulasi Suppley and demand[1] serta berbagai kegiatan yang dilarang dalam Islam menjadi hal yang wajar.
            Salah satu praktek yang dilarang dalam Islam, tetapi lazim dilakukan di bisnis kotemporer ribawi adalah praktek gharar (uncertianty).

B.   Rumusan Masalah
1.         Apa yang dimaksud dengan Gharar?
2.         Apa Saja yang termasuk Gharar ?
C.   Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Muamalah dan menjawab pertanyaan yang ada pada rumusan masalah.  Yaitu :
1.     Mengetahui tentang gharar.
2.     Mengetahui Macam-macam Gharar dan contoh-contohnya.
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan penulis dan pembaca tentang Gharar dalam fiqh muamalah.

D.    Metode Penulisan
Penulis memakai metode studi literatur dan kepustakaan dalam penulisan makalah ini. Referensi makalah ini bersumber dari buku, e-book, web, blog, dan perangkat media massa yang diambil dari internet. 

E.    Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun menjadi tiga bab, yaitu Bab I Pendahuluan, Bab II Pembahasan, dan Bab III Penutup. Adapun Bab pendahuluan terbagi atas : Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan. Sedangkan Bab Pembahasan dibagi berdasarkan sub-bab yang berkaitan dengan sumber daya data. Terakhir, Bab Penutup terdiri atas Kesimpulan.
 

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN GHARAR
Maksud al-Gharar ialah "Ketidakpastian atau ketidakjelasan". Maksud ketidakpastian atau ketidakjelasan dalam transaksi muamalah ialah: "Terdapat sesuatu yang ingin disembunyikan oleh sebelah pihak dan ada niat untuk menganiaya atau menipu pihak yang lain ".
Ibn Taimiyah menyatakan al-Gharar ialah: "Apabila satu pihak mengambil haknya dan satu pihak lagi tidak menerima apa yang sepatutnya dia dapat".
Gharar artinya keraguan, tipuan atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain.[2] Suatu akad mengandung unsur penipuan, karena tidak ada kepastian, baik mengenai ada atau tidak ada objek akad, besar kecil jumlah maupun menyerahkan objek akad tersebut. Dalam artian bahwa ada sesuatu yang tidak jelas (baik itu pada objek, sifat, atau kualitasnya).
Makna  secara istilah fiqih gharar mempunyai tiga definisi. Pertama, gharar khusus berlaku pada sesuatu yang hasilnya tidak jelas, dapat atau tidak dapat, sebagaimana ungkapan Ibnu ‘Abidin; Gharar adalah syak atau keraguan pada apakah komoditi tersebut ada atau tidak ada. Kedua, gharar khusus pada komoditi yang tidak diketahui spesifikasinya. Berkata Ibnu Hazm, gharar pada bisnis yaitu sesuatu dimana pembeli  tidak tahu barang apa yang dibeli, atau pedagang tidak tahu barang apa yang dijual. Ketiga, gharar mengandung dua makna tersebut di atas. Berkata As-Sarhsy,” Gharar adalah sesuatu yang akibatnya tidak jelas. Pendapat  ini yang diyakini oleh mayoritas ulama.[3]
Dari sisi lain gharar juga ada yang kadarnya sedikit, sedang dan berat. Oleh karena itu sebagian ulama mendefinisikan gharar yaitu sesuatu yang diyakini adanya, tetapi diragukan kesempurnaannya (Mukhtar Shihah).
Contoh-contoh berikut termasuk gharar dari sisi ini: Menjual buah sebelum layak di petik, menjual janin ternak pada induknya, menjual ikan pada tempat pemancingan atau kolam ikan dengan cara dipancing atau dijaring dan lain-lain.

B.    MACAM-MACAM GHARAR
Gharar dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama; Gharar pada shighat transaksi (akad), kedua; Gharar pada  mahalul aqad (obyek aqad), yaitu komoditi dan harganya.
1.     Gharar pada shighat transaksi (akad)
Gharar pada shighat yaitu bahwa aqad terjadi dengan kriteria yang mengandung unsur gharar. Gharar bentuk ini berhubungan langsung dengan aqad bukan dengan komoditi. Misalnya, jika seseorang mengatakan pada temannya,” Saya jual rumahku padamu seharga Rp. 250.000.000,  Jika ada orang yang akan menjual tanahnya kepadaku”. Dan berkata temannya, “ Saya terima”. Maka disini ada unsur gharar terkait aqad, karena akhirnya tidak diketahui apakah kedua pedagang dan pembeli itu akan terjadi transaksi jual beli atau tidak. Maka jumhur ulama mengharamkan bentuk bisnis seperti ini.  Unsur gharar pada jenis bisnis ini karena kedua belah pihak baik penjual maupun pembeli tidak mengetahui apakah hal yang disyaratkan terpenuhi atau tidak, sehingga tidak mengetahui apakah jual-beli ini jadi atau tidak. Juga tidak jelas dari segi waktunya, kapan transaksi tersebut terjadi. Begitu juga dari segi suka atau tidak suka, terkadang pembeli pada saat itu ingin membeli, tetapi pada waktu yang lain sudah tidak suka dan membutuhkan lagi.

2.     Gharar pada  Mahalul Aqad (obyek aqad)
Gharar dari sisi obyek aqad, bentuk ini lebih buruk lagi karena tidak jelas komoditi dan harga, jenis, sifat dan ukurannyanya. Jika salah satu dari keempat hal tadi tidak diketahui maka sudah termasuk gharar. Contoh-contohnya :
a)     Tidak jelas komoditi;
Contoh akadnya yaitu : “Saya jual barang padamu sepuluh juta”. Gharar yang terdapat yaitu tidak menyebutkan barang apa yang mau dijual.
b)     Tidak mengetahui jenis
Contoh akadnya yaitu “Saya jual beras (tanpa menyebutkan jenisnya) seharga 50 ribu’. Unsur gharar yang terdapat yaitu tidak menyebutkan jenis berasa apa yang dijual, karena beras terdapat beberapa jenis yang dikonsumsi.
c)     Tidak mengetahui sifatnya
Contoh akad nya adalah “saya jual padamu beras (tanpa menyebutkan sifat atau kualitas) seharga seratus ribu’. Unsur gharar yang terdapat disini yaitu tidak menyebutkan kualitasnya baik atau kurang baik, karena beras yang baru kualitasnya bagus dan bisa jadi kualtiasnya kurang bagus, atau beras yang sudah lama disimpan sehingga kualitasnya menjadi kurang bagus.
d)     Tidak mengetahui beratnya;
Contoh akad nya yaitu : “saya jual padamu beras (tanpa menyebutkan berat). Unsur gharar yang terdapat disini yaitu tidak menyebutkan beratnya berapa, apakah 1 kilo atau 2 kilo atau berapa beratnya yang akan dijual.
e)     Menjual binatang yang masih dalam perut induknya.
f)      Menjual hasil bumi yang masih diperut bumi dan tidak kelihatan, seperti kentang, bawang, ubi dan lain-lain. Madzhab Hanafi membolehkan jual-beli seperti ini dengan syarat adanya hak melihat dan hak memilih (jadi atau tidaknya) jika sudah dipanen.
g)     Menjual buah-buah yang belum sampai masa panen :
Contoh pada masa Imperium Romawi Timur masih berdiri angkuh di Byzantium Timur, ada seorang petani yang baru masuk Islam bertanya pada Imam Abu Hanifah, "Ya Imam, bagaimana hukum menjual terong panjang berwarna nila?" Abu Hanifah menjawab, "Saya tidak tahu, nanti saya cari dulu jawabannya." Mulai hari itu, Abu Hanifah membaca Alquran sampai lima kali khatam tapi tidak menemukan jawabannya. Pada hari berikutnya, penanya tadi menjumpai Abu Hanifah menanyakan jawabannya. Abu Hanifah menjawab, "Saya belum menemukan jawabannya, saya akan cari lagi." Selanjutnya Abu Hanifah membaca kitab-kitab hadis, beliau menemukan sebuah hadis yang menurut beliau menjadi jawaban untuk permasalahan sipenanya tadi. Bunyi hadis itu adalah, "Jangan menjual sesuatu yang masih samar-samar (gharar). Abu Hanifah menjumpai petani itu, beliau bertanya, "Kira-kira berapa lama terong ini bisa dipastikan sudah masak dan bisa dipetik?" Para petani serentak menjawab, "Sekitar 25 hari sudah bisa dipetik." Abu Hanifah berkata, "Kalau begitu, dalam jangka waktu 23 hari terong-terong itu sudah bisa diperjual belikan, walaupun belum dipetik dari batangnya. Karena 23 hari sudah bisa dipastikan dia sudah masak. Tidak ada unsur gharar lagi."

C.    Kriteria Gharar
Bai' al-Gharar adalah setiap jual beli yang mengandung ketidak jelasan dan perjudian.[4]  Gharar dihukumi haram bilamana terdapat salah satu kriteria berikut:
1.          Jumlahnya besar.
            Jika gharar yang sedikit tidak mempengaruhi keabsahan akad, seperti: pembeli mobil yang tidak mengetahui bagian dalam mesin atau pembeli saham yang tidak mengetahui rincian aset perusahaan.
            Ibnu Qayyim berkata, "gharar dalam jumlah sedikit atau tidak mungkin dihindari niscaya tidak mempengaruhi keabsahan akad, berbeda dengan gharar besar atau gharar yang mungkin dihindari".[5]
            Al Qarafi berkata, gharar dalam bai' ada 3 macam:
-     Gharar besar membatalkan akad, seperti menjual burung di angkasa.
-     Gharar yang sedikit tidak membatalkan akad dan hukumnya mubah, seperti ketidakjelasan pondasi rumah atau ketidakjelasan jenis benang qamis yang dibeli.
-     Gharar sedang, hukumnya diperselisihkan oleh para ulama, apakah boleh atau tidak. Al Baji berkata, "gharar besar yaitu rasionya dalam akad terlalu besar sehingga orang mengatakan bai' ini gharar".[6]
2.          Keberadaannya dalam akad mendasar.
Jika gharar dalam akad hanya sebagai pengikut tidak merusak keabsahan akad. Dengan demikian menjual binatang ternak yang bunting, menjual binatang ternak yang menyusui dan menjual sebagian buah yang belum matang dalam satu pohon dibolehkan. Walaupun janin, susu dan sebagian buah tersebut tidakjelas, karena keberadaanya hanya sebagai pengikut.
3.          Akad yang mengandung gharar bukan termasuk akad yang dibutuhkan orang banyak.
Jika suatu akad mengandung gharar dan akad tersebut dibutuhkan oleh orang banyak hukumnya sah dan dibolehkan. Ibnu Taimiyah berkata," mudharat gharar di bawah riba, oleh karena itu diberi rukhsah (keringanan) jika dibutuhkan oleh orang banyak, karena jika diharamkan mudharatnya lebih besar daripada dibolehkan. dibolehkan".[7]
Dengan demikian dibolehkan menjual barang yang tertimbun dalam tanah, seperti: wortel, bawang, umbi-umbian dan menjual barang yang dimakan bagian dalamnya, seperti: semangka, mangga dan lain-lain sekalipun terdapat gharar. Karena kebutuhan orang banyak untuk menjual dengan cara demikian tanpa dibuka terlebih dahulu bagian dalamnya atau dicabut dari tanah.
4.          Gharar terjadi pada akad jual-beli.
            Jika gharar terdapat pada akad hibah hukumnya dibolehkan.
Misalnya:
Seseorang bersedakah dengan uang yang ada dalam dompetnya padahal dia tidak tahu berapa jumlahnya. Atau seseorang yang menghadiahkan bingkisan kepada orang lain, orang yang menerima tidak tahu isi dalam bingkisan tersebut, maka akadnya sah walaupun mengandung gharar.
Gharar Terjadi Selain Pada Akad Komersil (akad mu’awadhat)
(أن يكون في غير عقود المعاوضات).
بأن الغرر منع في عقود المعاوضات، وما فيه شائبة معاوضة؛ لأن المال في هذه العقود مقصود تحصيله أو مشروط، فمنع الشارع الحكيم الغرر فيهما، صوناً للمال عن الضياع في أحد العوضين أو كليهما. أما عقود الإحسان والتبرعات فمقصودها بذل المال وإهلاكه في البر، فلذلك لم يأت ما يدل على منع الغرر فيها، وليست كعقود المعاوضات، فتلحق بها.
Artinya: ”Gharar tidak diperbolehkan dalam akad–akad komersial (al-muawadhat),[8] dan akad yang mengandung unsur komersial, karena harta dalam akad-akad ini ditujukan untuk menghasilkan sesuatu atau akad –akad yang bersyarat.[9] Asy-Syari’ (Allah SWT) melarang gharar dalam keduanya, dalam rangkan menjaga harta dari kehilangan pada salah satu dari kompensasi atau keduanya (pent- harga/uang dan obyek barang). Adapun akad non komersial dan akad sosial, bertujuan untuk memberikan harta dan menghabiskannya untuk tujuan kebaikan. Maka tidak ada dalil yang melarang gharar dalam akad non komersial dan akad sosial. Berbeda dengan akad – akad komersial , maka gharar tidak diperkenankan.
            Namun demikian, terdapat sejumlah ulama seperti Imam Nawawi yang berpendapat bahwa gharar yang terjadi dalam akad komersial dapat ditoleransi,[10] seperti halnya jual beli yang terdapat unsur gharar didalamnya, tatkala transaksi tersebut memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
  • Terdapat kebutuhan yang mengharuskan melakukan gharar
(إن دعت الحاجة إلى ارتكاب الغرر),
  • Tertutup kemungkinan untuk menghindarinya, kecuali dengan amat sulit sekali
(لا يمكن الاحتراز عنه إلا بمشقة),
  • Gharar yang terjadi ringan/sepele
(وكان الغرر حقيرا),
 أجمعوا على صحة بيع الجبة المحشوة وإن لم ير حشوها ولو بيع حشوها بانفراده لم يجز

Artinya: “kaum muslim telah bersepakat tentang kebolehan melakukan jual beli jubah/jas yang di dalamnya terdapat kapas yang sulit dipisahkan, dan kalau kapasnya dijual secara terpisah, maka  justru tidak diperbolehkan. Sebagian ulama memberi toleransi atas gharar yang terjadi dalam beberapa akad komersial, karena memenuhi kriteria seperti diatas:
 وأجمعوا على جواز إجارة الدار والدابة ونحو ذلك شهرا مع أن الشهر قد يكون ثلاثين يوما وقد يكون تسعة وعشرين،
Artinya: ”kaum muslim telah bersepakat tentang kebolehan melakukan menyewa rumah atau hewan  dan yang semisal selama 1 bulan, walau 1 bulan dapat berarti 30 hari atau 29 hari”.
 وأجمعوا على جواز دخول الحمام بالأجرة مع اختلاف الناس في استعمالهم الماء وفي قدر مكثهم،
Artinya: “kaum muslim telah bersepakat tentang kebolehan masuk ke dalam kamar mandi (umum) dengan upah (ujrah), walau ada perbedaan dalam penggunaan air dan berapa lama waktu didalam kamar mandi tersebut”.

 وأجمعوا على جواز الشرب من السقاء بالعوض مع جهالة قدر المشروب واختلاف عادة الشاربين وعكس هذا ،
Artinya: “kaum muslim telah bersepakat tentang kebolehan minum dari tempat air minum dengan upah, walau tidak diketahui banyaknya air yang diminum dan perbedaan kebiasaan para peminum dan sebaliknya.”
            


D.    Gharar Pada Transaksi
            Dalam hukum perjanjian Islam obyek akad dimaksudkan sebagai suatu hal yang karenanya akad dibuat dan berlaku akibatakibat hukum akad. Obyek akad dapat berupa benda, manfaat benda, jasa atau pekerjaan, atau suatu yang lain yang tidak bertentangan dengan Syariah.   Kedudukan obyek akad adalah sangat penting karena ia termasuk bagian yang harus ada (rukun) dalam hukum perjanjian Islam. Oleh karena keberadaannya sangat menentukan sah tidaknya perjanjian yang akan dilakukan, maka obyek akad harus memenuhi syarat-syarat sahnya seperti terbebas dari unsur-unsur gharar (ketidakjelasan).

E.    Macam-Macam Gharar Pada Transaksi:
-        Gharar dalam transaksi, contoh : saya jual rumah ini kepada si A tapi si A harus jual rumahnya kepada saya (terkadang mengandung sesuatu tidak jelas).
-        Gharar dalam objek transaksi, dalam barangnya, contoh : jual tumbuh-tumbuhan yang buahnya ada di dalam tanah.
1.1  Gharar dalam objek transaksi :
a). Ketidakjelasan jenis objek transaksi (الجهالة في جنس المعقودعليه)
Mengetahui jenis obyek akad secara jelas adalah syarat sahnya jual beli. Maka jual beli yang obyeknya tidak diketahui tidak sah hukumnya karena terdapat gharar yang banyak di dalamnya. Seperti menjual sesuatu dalam karung yang mana pembeli tidak mengetahui dengan jelas jenis barang apa yang akan ia beli. Namun demikian terdapat pendapat dari Mazhab Maliki yang membolehkan transaksi jual beli yang jenis obyek transaksinya tidak diketahui, jika disyaratkan kepada pembeli khiyar ru’ya (hak melihat komoditinya).[11] Begitu juga dalam mazhab Hanafi menetapkan khiyar ru’yah tanpa dengan adanya syarat,[12] berdasarkan  hadis berikut:
Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah melihat barang itu”.
Akan tetapi ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa jual beli barang yang gaib tidak sah, baik barang itu disebutkan sifatnya waktu akad maupun tidak. Oleh sebab itu, menurut mereka, khiyar ru’yah tidak berlaku, karena akad itu mengandung unsur penipuan (gharar)


b). Ketidakjelasan dalam macam objek transaksi (الجهالة في نوع المعقودعليه)
Gharar dalam macam obyek akad dapat menghalangi sahnya jual beli sebagaimana terjadi dalam jenis obyek akad. Tidak sahnya akad seperti ini karena mengandung unsure ketidakjelasan dalam obyeknya. Seperti seorang penjual berkata, “saya jual kepada anda binatang dengan harga 5 juta ” tanpa menjelaskan binatang apa dan yang mana.[13] Oleh karena itu obyek akad disyaratkan harus ditentukansecara jelas. Dasar ketentuan ini adalah larangan Nabi saw. mengenahi jual beli kerikil (bai’ al-Hashah) yang mirip judi dan biasa dilakukan oleh orang jahiliyyah. Yaitu jual beli dengan cara melemparkan batu kerikil kepada obyek jual beli, dan obyek mana yang terkena lemparan batu tersebut maka itulah jual beli yang harus dilakukan. Dalam hal ini pembeli sama sekali tidak dapat memilih apa yang seharusnya dinginkan untuk dibeli.[14]
Dari Abu Hurairah diceritakan, ia berkata: Rasulullah Saw melarang jual beli lempar krikil dan jual beli gharar. (HR. Muslim)

c).  Ketidakjelasan dalam sifat dan karakter objek transaksi
(الجهالة في الصفة المعقودعليه
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh tentang persyaratan dalam menyebutkan sifat-sifat obyek transaksi dalam jual beli, akan tetapi mayoritas ulama fiqh berpendapat untuk mensyaratkannya. Diantara perbedaan itu adalah; Mazhab Hanafiyah melihat, bahwa jika obyek transaksinya terlihat dalam transaksi, baik itu komoditi ataupun uang, maka tidak perlu untuk mengetahui sifat dan karakternya. Tetapi jika obyek transaksinya tidak terlihat oleh penjual dan pembeli, maka para ulama fiqh mazhab Hanafiyah berselisih pendapat.
Sebagian mensyaratkan penjelasan sifat dan karakter obyek akad, dan sebagian tidak. Mereka yang tidak mensyaratkan berpendapat bahwa ketidaktahuan sifat tidak menyebabkan perselisihan, disamping itu pembeli juga mempunyai hak khiyar ru’yah. Silang pendapat di atas adalah yang berkaitan dengan komoditi bukan harga, adapun tentang harga (tsaman) semua ulama sepakat untuk disebutkan sifat dan karakternya.[15]
Sedang Ulama Mazhab Maliki mensyaratkan penyebutan sifat dan karakter baik terhadap komoditi maupun harga (tsaman). Karena tidak adanya kejelasan dalam sifat dan karakter komoditi dan harga adalah merupakan gharar yang dilarang dalam akad. Begitu juga ulama mazhab Syafi’i mensyaratkan penyebutan sifat dan karakter komoditi dan mengatakan bahwa jual beli yang tidak jelas sifat dan karakter komoditinya hukumnya tidak sah kecuali jika pembeli diberi hak untuk melakukan khiyar ru’yah. Mazhab Hambali juga tidak membolehkan jual beli yang obyek transaksinya tidak jelas sifat dan karakternya.

d). Ketidakjelasan dalam takaran objek transaksi (الجهالة في القدر المعقودعليه)
Tidak sah jual beli sesuatu yang kadarnya tidak diketahui, baik kadar komoditinya maupun kadar harga atau uangnya. Illat (alasan) hukum dilarangnya adalah karena adanya unsur gharar sebagaimana para ulama ahli fiqh dari mazhab Maliki dan Syafi’i dengan jelas memaparkan pendapatnya.
Contoh dari transaksi jual beli yang dilarang karena unsur gharar yang timbul akibat ketidaktahuan dalam kadar dan takaran obyek transaksi adalah bai’ muzabanah. Yaitu jual beli barter antara buah yang masih berada di pohon dengan kurma yang telah dipanen, anggur yang masih basah dengan zabib (anggur kering), dan tanaman dengan makanan dalam takaran tertentu. Adapun illat dari pengharamannya adalah adanya unsur riba yaitu aspek penambahan dan gharar karena tidak konkritnya ukuran dan obyek atau komoditi.

e). Ketidakjelasan dalam zat objek transaksi (الجهالة في الذات المعقودعليه)
Ketidaktahuan dalam zat obyek transaksi adalah bentuk dari gharar yang terlarang. Hal ini karena dzat dari komoditi tidak diketahui, walaupun jenis, macam, sifat, dan kadarnya diketahui, sehingga berpotensi untuk menimbulkan perselisihan dalam penentuan. Seperti jual pakaian atau kambing yang bermacam-macam.
Mazhab Syafi’i, Hambali, dan Dhahiri melarang transaksi jual beli semacam ini, baik dalam kuantitas banyak maupun sedikit karena adanya unsur gharar. Sedang mazhab Maliki membolehkan baik dalam kuantitas banyak maupun sedikit dengan syarat ada khiyar bagi pembeli yang menjadikan unsure gharar tidak berpengaruh terhadap akad. Adapun mazhab Hanafiyah membolehkan dalam jumlah dua atau tiga, dan melarang yang melebihi dari tiga.[16]

f). Ketidakjelasan dalam waktu objek transaksi (الجهالة في الزمن المعقودعليه)
Jual beli tangguh (kredit), jika tidak dijelaskan waktu pembayarannya, maka ia termasuk jual beli gharar yang terlarang.
Seperti jual beli habl al-hablah, yaitu jual beli dengan sistem tangguh bayar hingga seekor unta melahirkan anaknya, atau hingga seekor unta melahirkan anak dan anak tersebut melahirkan juga anaknya. Jual beli semacam ini dikategorikan dalam jual beli gharar yang terlarang karena tidak ada kejelasan secara kongkrit dalam penentuan penangguhan pembayaran.

g). Ketidakjelasan dalam penyerahan objek transaksi (عدم الفدرة على تسليم)
Kemampuan menyerahkan obyek transaksi adalah syarat sahnya dalam jual beli. Maka jika obyek transaksi tidak dapat diserahkan, secara otomatis jual belinya tidak sah karena terdapat unsur gharar (tidak jelas). Seperti menjual onta yang lari atau hilang dan tidak diketahui tempatnya.Nabi Saw melarang jual beli seperti ini karena mempertimbangkan bahwa barang itu tidak dapat dipastikan apakah akan dapat diserahkan oleh penjual atau tidak.
Dari Hakim Ibn Hizam, ia berkata: Aku bertanya kepada Nabi Saw. kataku: wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku minta aku menjual suatu yang tidak ada padaku. Lalu aku menjualnya kepadanya, kemudian aku membelinya di pasar untuk aku serahkan kepadanya. Beliau menjawab : jangan engkau menjual barang yang tidak ada padamu. (HR. An-Nasa’i).[17]

h). Objek transaksi yang spekulatif
Gharar yang dapat mempengaruhi sahnya jual beli adalah tidak adanya (ma’dum) obyek transaksi. Yaitu keberadaan obyek transaksi bersifat spekulatif, mungkin ada atau mungkin tidak ada, maka jual beli seperti ini tidak sah. Seperti transaksi jual beli anak unta yang belum lahir dan buah sebelum dipanen. Seekor unta yang mengandung bisa jadi melahirkan dan ada kemungkinan tidak (keguguran), begitu juga buah terkadang berbuah dan terkadang juga tidak ada.[18]



F.     Dalil tentang pelarangan gharar
Jika dalam dasar hukum gharar adalah batil, dan yang dimaksudkan adalah gharar yang dilarang dan diharamkan berdasarkan beberapa rujukan Al-Quran dan hadist antara lain:
Surah Al Baqarah : 188
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: ”Dan janganlah (saling) memakan harta di antara kalian dengan (cara yang) batil dan (jangan pula) membawa (urusan harta) itu kepada hakim (untuk kalian menangkan) dengan (cara) dosa agar kalian dapat memakan sebahagian harta orang lain, padahal kalian mengetahui.”

عن أبي هريرة قال : نهى رسول الله عن بيع الحصاة وعن بيع الغرار .رواه مسلم
Dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw melarang jual beli hashah dan jual beli gharar Menjual suatu barang dengan mengecualikan sebagiannya, kecuali yang dikecualikan itu telah diketahui keberadaannya. Misalnya jika seorang menjual kebun, maka tidak diperbolehkan baginya mengecualikan sutau pohon yang tidak diketahui karena didalamnya mengandung unsur penipuan dan ketidakjelasan yang diharamkan.[19]
عن جابر أن النبى صلى الله عليه وسلم نهى عن المحاقلة والمزابنة والثنيا إلا أن تعلم. رواه الترميذى

Rasulullah SAW telah melarang jual beli muhaqalah, muzabanah dan tsunayya, kecuali jika telah diketahui” (HR At Tirmizi). “Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu” (H.R.Khamsah dari Hakim bin Hizam). Dalam satu hadist Rasulullah SAW :
عن أبي هريرة قال : نهى رسول الله عن بيع الحصاة وعن بيع الغرار  .رواه مسلم
“Dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw melarang jual beli hashah dan jual beli gharar” (Hadits Riwayah Muslim).
عن البن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلعم نهى عن بيع حبل الحبلة. رواه البخاري و مسلم
“Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah saw telah melarang penjualan sesuatu (anak onta) yang masih dalam kandungan induknya”. (H.R.Bukhari Muslim)
BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN

Gharar adalah sesuatu yang tidak jelas atau terdapat ketidak jelasan dalam transaksi jula beli. Yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan ; pertaruhan, atau perjudian.
Dalam syari’at Islam, jual beli yang mengandung unsur gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Riwayah Abu Hurairah yang berbunyi:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar”
Gharar dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama; Gharar pada shighat transaksi (akad), kedua; Gharar pada  mahalul aqad (obyek aqad), yaitu komoditi dan harganya.


B.    PENUTUP

Dengan mengucapkan Alhamdulillah penulis telah mengakhiri penulisan makalah ini. Sebagai manusia biasa tentunya dalam penulisan ini masih banyak hal-hal yang belum terpenuhi, baik dari segi bahasa, penyusunan kalimat, dan hal yang lainnya. Namun demikian penulis telah berupaya semaksimal mungkin demi terselesaikannya makalah ini dan agar mendapat hasil sebaik mungkin, tetapi kemampuan yang penulis miliki sangatlah terbatas. Oleh karena itu untuk kesempurnaan karya yang sederhana ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak demi keberhasilan karya penulis di masa mendatang.
Akhirnya penulis ucapkan terimakasih dan semoga Allah SWT. selalu memberkahi pembelajaran kita, khususnya untuk Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim, Lc, M.A sebagai perbendaharaan ilmu dan penambah wawasan kita dalam pembelajaran Fiqh Muamalah, dan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan pada umumnya semua pihak yang berkenan membaca makalah ini.




DAFTAR PUSTAKA


Al-Furuq Lil Qarafii, jilid 1/hal. 150; Adz-Dzkirah Lil Qarafii, jilid 6/hal. 243-244 dan jilid 7/hal. 30; Majmu’ Al-Fatawaa, jilid 31

Habib Nazir, MA, Ensiklopedi Ekonomi Perbankan Syariah, Kafa Publishing, Bandung, cetakan II, 2008

Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Transaksi dan Etika Bisnis Islam, terj. Saptono Budi Satryo dan Fauziah, (Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005

Ibrahim bin Fathi bin Abd Muqtadir, Uang Haram, terj. Ahmad Khotib dkk., Jakarta: Amzah, 2006

Ibrahim ibn Yusuf al-Syirazi, al-Mihadzab, Mesir: Isa al Halbi, 476H

Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jilid X

Lisanul Arab, Al-Qamus al-Muhith dan al-Misbah al-Munir

M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta: Rajawali Pers 2003

Sunan Nasa’I, ed. Abu al-Fath Abu Guddah (Aleppo: Maktab al-Mathbu’at al Islamiyyah, 1406H), VII: 289, hadis no.4613

Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Minhajul Muslim, Konsep Hidup Ideal dalam Islam, Darul Haq

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalah,  Jakarta: Rajawali Pers, 2007




No comments:

Post a Comment