BELAJAR ADALAH KEWAJIBAN

Tuesday, July 19, 2016

Filsafat Ilmu

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Filasafat merupakan induk dari semua ilmu pengetahuan dan juga merupakan  sebuah ilmu yang  membahas tentang persoalan kebenaran hakiki. Dan juga filasafat merupakan hasil pemikiran manusia tentang hakikat semua yang ada secara radikal, integral, dan sistematis.
Filsafat disebut juga sebagai suatu ilmu pengetahuan yang bersifat eksistensial, artinya sangat erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Bahkan justru filsafatlah yang jadi motor penggerak kehidupan kita sehari-hari baik sebagai manusia pribadi maupun sebagai manusia kolektif dalam bentuk sesuatu masyarakat atau bangsa.
Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran yang dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling berkaitan baik secara subtansial maupun historis. Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan dari peranan filsafat, sebaiknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat.
Filsafat ilmu diberikan sebagai pengetahuan bagi orang yang ingin mendalami hakikat ilmu dan kaitannya dengan pengetahuan lainnya. Dalam masyarakat religius ilmu dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari nilai ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki adalah Tuhan. Manusa diberi daya fikir oleh Tuhan, dan dengan daya fikir inilah manusia menemukan teori-teori ilmiah dan teknologi. Pengaruh agama yang kaku dan dogmatis kadang kala menghambat perkembangan ilmu.
Oleh karenanya, diperlukan kecerdasan dan kejelian dalam memahami kebenaran ilmiah dengan sistem nilai dalam agama, agar keduanya tidak saing bertentangan.

B.    Rumusan Masalah
1.          Apa ciri-ciri atau karakteristik dari Filsafat ilmu?
2.          Apa Yang dimaksud dengan Hakikat Filsafat Ilmu ?
3.          Apa Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan ?
4.          Apa yang di Maksud dengan Paradigma dan Metodologi  Ilmu Pengetahuan ?

C.    Tujuan
1.          Mengetahui Karakteristik Filsafat ilmu
2.          Mengetahui tentang Hakikat Filsafat Ilmu
3.          Mengetahui tentang Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan
4.          Paradigma dan Metodologi Ilmu Pengetahuan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan penulis dan pembaca tentang Filsafat Ilmu khusunya tentang Karakteristik Ilmu, Hakikat dari Filsafat Ilmu, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan, Paradigma dan Metodologi Ilmu Pengetahuan.

D.    Sistematika Penulisan makalah
Makalah ini disusun menjadi tiga bab, yaitu Bab I Pendahuluan, Bab II Pembahasan, dan Bab III Kesimpulan dan Penutup. Adapun Bab pendahuluan terbagi atas: Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, dan Sistematika Penulisan. Sedangkan Bab II Pembahasan dibagi berdasarkan sub-bab yang berkaitan dengan sumber daya data. Terakhir, Bab III terdiri atas Penutup dan Kesimpulan.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Karakteristik Filsafat
Berfilsafat adalah berfikir, namun tidak semua berfikir adalah berfilsafat. Berfikir filsafat mempunyai karakteristik atau ciri-ciri khusus. Bermacam-macam buku menjelaskan cirri-ciri berfikir filsafat dengan bermacam-macam, yaitu :
1.     Konsepsional
Perenungan filsafat berusaha untuk menyusun suatu bagian konsepsional. Konsepsi (rencana) merupakan hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses satu demi satu.[1]
Filsafat merupakan pemikiran tentang hal-hal serta proses dalam hubungan umum. Diantara proses-proses yang dibicarakan ini dalam pemikiran itu sendiri.
2.     Koheren
Perenungan kefilsafatan berusaha untuk menyusun suatu bagan yang koheren yang konsepsional[2]. Secara singkat istilah kohern ialah runtut. Bagan konsepsional yang merupakan hasil perenungan kefilsafatan haruslah bersifat runtut.
Dalam arti lain koheren bisa juga dikatakan berfikir sistematis, artinya berfikir logis, yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran. Dengan urutan yang bertanggung jawab dan saling hubungan yang teratur[3]. Secara singkat, kohern berarti berfilsafat yang berusaha menyusun suatu bagan secara runtut
3.     Memburu kebenaran
Filsuf adalah pemburu kebenaran, kebenaran yang diburunya adalah kebenaran hakiki tentang seluruh realitas dan setiap hal yang dapat dipersoalkan. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa berfilsafat berarti memburu kebenaran tentang segala sesuatu.[4]
Kebenaran filsafat tidak pernah bersifat mutlak dan final, melainkan terus bergerak dari suatu kebenaran menuju kebenaran baru yang lebih pasti. Kebenaran yang baru ditemukan itu juga terbuka untuk dipersoalkan kembali demi menemukan kebenaran yang lebih meyakinkan.
4.     Radikal
Berfilsafat berarti berfikir radikal. Filsuf adalah pemikir yang radikal, ia tidak akan pernah berhenti hanya pada suatu wujud realitas tertentu. Keradikalan berfikirnya itu akan senantiasa mengobarkan hasratnya untuk menemukan realitas seluruh kenyataan, berarti dirinya sendiri sebagai suatu realitas telah termasuk ke dalamnya sehingga ia pun berupaya untuk mencapai akar pengetahuan tentang dirinya sendiri. [5]
Berfikir radikal tidak berarti hendak mengubah, membuang atau menjungkirbalikkkan segala sesuatu, melainkan dalam arti sebenarnya, yaitu berfikir secara mendalam. Untuk mencapai akar persoalan yang dipermasalahkan. Berfikir radikal justru hendak memperjelas realitas.
5.     Rasional
Perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu bahan konsepsional yang bersifat rasional[6]. Yang dimaksudkan dengan bagan konsepsional yang bersifat rasional ialah bagan yang bagian-bagiannya secara logis berhubungan satu dengan yang lain.
Berpikir secara rasional berarti berpikir logis, sistematis, dan kritis berpikir logis adalah bukan hanya sekedar menggapai pengertian-pengertian yang dapat diterima oleh akal sehat, melainkan agar sanggup menarik kesimpulan dan mengambil keputusan yang tepat dan benar dari premis-premis yang digunakan.
Berpikir logis yang menuntut pemikiran yang sistematis. Pemikiran yang sistematis ialah rangkaian pemikiran yang berhubungan satu sama lain atau saling berkaitan secara logis.
6.     Menyeluruh
Perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu bagan konsepsional yang memadai untuk dunia tempat manusia hidup[7]. Suatu sistem filsafat harus bersifat komprehensif, dalam arti tidak ada sesuatu pun yang berada di luar jangkauannya jika tidak demikian, filsafat akan ditolak serta dikatakan berat sebelah dan tidak memadai. Pemikiran yang tidak hanya berdasarkan pada fakta yaitu tidak sampai kesimpulan khusus tetapi sampai pada kesimpulan yang paling umum[8].

B.    Ciri-ciri filsafat
Menurut Clarence I. Lewis seorang ahli logika mengatakan bahwa filsafat itu sesungguhnya suatu proses refleksi dari bekerjanya akal. Sedangkan sisi yang terkandung dalam proses refleksi adalah berbagai kegiatan atau problema kehidupan manusia. Kegiatan atau problem tersebut terdapat beberapa ciri yang dapat mencapai derajat pemikiran filsafat yaitu[9]:
1)          Sangat umum dan universal
Pemikiran filsafat mempunyai kecenderungan sangat umum dan tingkat keumumannya sangat tinggi. Karena pemikiran filsafat tidak bersangkutan dengan obyek-obyek khusus, akan tetapi bersangkutan dengan konsep-konsep yang sifatnya umum. Misalnya tentang manusi, tentang keadilan , tentang kebebasan dan lainnya.
2)          Tidak faktual
Pengertian tidak factual kata lainnya adalah spekulatif, yang artinya filsafat membuat dugaan-dugaan yang masuk akal mengenai sesuatu dengan tidak berdasarkan ada bukti. Hal ini sebagai sesuatu hal yang melampaui batas.
3)          Bersangkutan dengan nilai
C. J. Ducasse mengatakan bahwa filsafat merupakan usaha untuk mencari pengetahuan berupa fakta-fakta yang disebut penilaian. Yang dibicarakan dalam penilaian adalah tentang baik buruk, dan akhirnya filsafat filsafat sebagai suatu usaha untuk mempertahankan nilai. Selanjutnya, Ducasse menyatakan bahwa tugas filsafat dewasa ini memberikan patokan-patokan dan membicarakan persoalan-persoalan moral yang disajikan pada manusia oleh lingkungan sosialnya.[10]
The Liang Gie menyatakan, “kata nilai dalam etika tradisional diartikan sebagai baik dan buruk. Secara luas, nilai adalah cita-cita dan cita-cita yang mutlak terkenal dalam filsafat  adalah hal yang benar, hal yang baik, dan hal yang indah.[11]
4)          Berkaitan dengan arti
di atas telah dikemukakan bahwa nilai selalu dipertahankan dan dicari. Sesuatu yang bernilai tentu di dalamnya penuh dengan arti. Agar upaya para filosof dalam mengungkapkan ide-idenya agar syarat dengan arti, maka para filosof harus dapat menciptakan kalimat-kalimat yang logis dan bahasa yang tepat (ilmiah), kesemuanya itu berguna untuk menghindari adanya kesalahan.

C.    Hakikat Ilmu Pengetahuan
1)     Hakikat Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Berdasarkan Landasan  Ontologi
Pengetahuan ( Knowledge ) adalah ilmu yang merupakan hasil produk yang sudah sistematis. Jadi ilmu bagian dari pengetahuan.  Kata Ontologi berasal dari perkataan yunani: On=being, dan Logos = logis jadi ontologi adalalah The Theori of being qua being (Teori tentang keberadaan sebagai keberadaan)[12]. Sehingga dapat dipahami bahwa ontologi adalah hakikat atau eksitensi.
Menurut Jujun S. Suria Sumantri dalam pengantar ilmu dalam perspektif mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, sebarapa jauh kita ingin tahu atau dengan perkataan lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”.[13]  Pendapat ini sangat sejalan dengan pendapat para filosof.
Untuk mengetahui hakikat ilmu pengetahuan dalam pespektif filsafat ilmu menurut tinjauan ontologi maka pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah ilmu pengetahuan itu? Pertanyaan ini membutuhkan jawaban berupa hakikat (isi arti hakiki, yaitu berupa pengetahuan subtansional mengenai ilmu pengetahuan).
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka ilmu pengetahuan itu harus ditinjau dari beberapa aspek yaitu aspek abstraknya, aspek potensinya, dan aspek konkretnya.
Menurut aspek abstraknya, pluralitas ilmu pengetahuan berada dalam suatu kesatuan sifat universal, yaitu filsafat. Menurut segi potensinya pluralitas ilmu pengetahuan barada dalam perbedaan tetapi tetap dalam suatu kepribadian yaitu sifat ilmiah. Sedangkan dalam aspek konkret pluralitas ilmu pengetahuan berada dalam perubahan dan perkembangan, karena itu cenderumg berbeda dan terpisah-pisah, tetapi juga tetap terkait dalam satu kesatuan fungsi, yaitu implementasinya yang bertujuan untuk menjaga kelangsungan kehidupan.[14] Jadi hakikat ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat ilmu berdasarkan landasan ontologi sangat memiliki sifat yang terbuka yakni ilmu pengetahuan itu sangat bersifat umum tergantung ilmu pengetahuan yang di dalaminya, akan tetapi ilmu pengetahuan itu dapat dinilai dari kepribadian seseorang. Ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang  sangat menentukan kehidupannya.
Jenis-jenis ilmu pengetahuan menurut objeknya yaitu ilmu pengetahuan humaniora dengan objek kajiannya adalah manusia, ilmu pengetahuan sosial dengan objek kajiannya adalah masyarakat, ilmu pengetahuan alam dengan objek kajiannya benda-benda alam, ilmu pengetahuan agama dengan objek kajiannya adalah Tuhan. Dari konsentrasi pemikiran mengenai objek materi pluralitas ilmu pengetahuan sedemikian itu, pada akhirya dapat ditemukan arah yang pasti mengenai hakikat ilmu pengetahuan yaitu bahwa pluralitas ilmu pengetahuan itu berada dalam suatu sistem hubungn yang integral.
Dalam kehidupan ini untuk mengenal sesuatu kadang-kadang kita mengenal dengan memperhatikan ciri-ciri dan sifat-sifatnya, oleh karena itu untuk mengetahui hakikat ilmu pengetahuan akan diuraikan ciri-ciri ilmu pengetahuan itu sendiri. Adapun ciri-ciri ilmu pengetahuan mengandung pengertian bahwa pengetahuan yang diperoleh itu berdasarkan pengamatan (observation) atau percobaan (eksprimen)[15]. Demikian penelaan terhadap gejala-gejala dan kehidupan maupun gejala-gejala mental kemasyarakatan kini semuanya sudah pasti menjadi ilmu-ilmu fisis, biologi, pikologi, dan ilmu-ilmu sosial yang berdiri sendiri.
Ciri sistematis suatu ilmu berarti bahwa keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan dan teratur.[16] Dalam artian bahwa ilmu pengatahuan itu harus saling terkait sehingga menjadi satu kesatuan.
Ciri objektif suatu ilmu berarti bahwa ilmu itu bebas dari prasangka perseorangan dan kepentingan pribadi. Darri ciri-ciri ilmu pengetahuan tersebut maka hakikat ilmu pengetahuan dapat lebih jelas.

2)     Hakikat Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Berdasarkan Landasan   Epistemologi
Epistimologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan pengandaian dan dasar-dasar serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat ilmu berdasarkan landasan epistimologi adalah bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan itu, dengan melalui proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan itu maka dapat dipertanggungjawabkan atas  ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Pada dasarnya ilmu pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal dan indra sehingga mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan yaitu metode induktif, metode deduktif, metode positifisme, metode kontenplatif dan metide dialektis.
1.       Metode induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan peryataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu peryataan yang lebih umum.[17]
2.       Metode Deduktif
Deduktif adalah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem peryataan yang runtut.[18] Metode ini biasanya dalam bentuk perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri.
3.       Metode Positivisme
Metode ini dikelurkan oleh Agust Comte (1798-1957). Metode ini berpangkal apa yang telah diketahui yang faktual  dan positif.[19] Jadi metode ini lebih cendrung kepada fakta.
4.       Metode Kontenplatif
Metode ini mengatakan bahwa adanya keteerbatasan indra dan akal manusia untuk  memperoleh pengetahuan sehinnga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda sehingga dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi.[20] Intuisi dalam tasawuf disebut dengan ma’rifat yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran.
5.       Metode Dialektis
Dalam filsafat, diialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat.[21] Dengan kata lain metode dialektis juga disebutmetode diskusi.
Melalui kelima metode tersebut maka epistimolgi ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat ilmu tidak terlepas dari bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan itu.

3)     Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Berdasarkan Tinjauan Aksiologi
Aksiologi menurut bahasa berasal dari bahasa yunani "axios" yang berarti bermanfaat dan 'logos' berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Secara istilah, aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan[22]. Sejalan dengan itu, Sarwan menyatakan bahwa aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan kebenaran)[23]. Dengan demikian aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi dari nilai-nilai etika dan estetika. Dengan kata lain, apakah yang baik atau bagus itu.
Definisi lain mengatakan bahwa aksiologi adalah suatu pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan menjaganya, membinanya di dalam kepribadian peserta didik.[24] Dengan demikian aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai atau norma-norma terhadap sesuatu ilmu.
Berbicara mengenai nilai itu sendiri dapat kia jumpai dalam kehidupan seperti kata-kata adil dan tidak adil, jujur dan curang. Hal itu semua mengandung penilaian karena manusia yang dengan perbuatannya berhasrat mencapai atau merealisasikan nilai.[25] Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Secara singkat dapat dikatakan, perkataan "nilai" kiranya mempunyai macam-macam makna seperti (1) mengandung nilai, artinya berguna; (2) merupakan nilai, artinya baik atau benar, atau indah; (3) mempunyai nilai artinya merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebab-kan orang mengambil sikap menyetujui, atau mempunyai sifat nilai tertentu; (4) memberi nilai artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu.[26] Nilai ini terkait juga dengan etika dan nilai estetika. Nilai etika adalah teori perbuatan manusia yang ditimbang menurut baik atau buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Sedangkan nilai estika adalah telaah filsafat tentang keindahan serta keindahan, dan tanggapan manusia terhadapnya.[27] Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan karena menyangkut tanggung jawab, baik tanggung jawab pada diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan.
Ilmu pengetahuan pun mendapatkan pedoman untuk bersikap penuh tanggung jawab, baik tanggungjawab ilmiah maupun tanggungjawab moral.[28] Tanggungjawab ilmiah adalah sejauhmana ilmu pengetahuan melalui pendekatan metode dan sistem yang dipergunakan untuk memperoleh pendekatan metode dan sistem yang dipergunakan untuk memperoleh kebenaran obyektif, baik secara korehen-idealistik, koresponden realistis maupun secara pragmatis-empirik. Jadi berdasarkan tanggungjawab ini, ilmu pengetahuan tidak dibenarkan untuk mengejarkan kebohongan, dan hal-hal negatif lainnya

D.    Dasar-dasar Paradigma Ilmu Pengetahuan
Terdapat tiga tahapan dalam paradigma ilmu pengetahuan yaitu :
1.    Tahap pertama
Paradigma disini membimbing dan mengarahkan aktifitas ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Disini para ilmuan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma sebagai model ilmiah yang di gelutinya secara rinci dan mendalam. Dalam tahapan ini para ilmuan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktifitas ilmiahnya selama menjalankan aktifitas para ilmuan menjumpai berbagai fenomena yang tidak dapat di terangkan dengan paradigma yang digunakan sebagai bimbingan atau arahan aktifitas/anomalinya.
Anomaly merupakan suatu keadaan yang menunjukkan ketidak cocokan antara kenyataan dan paradigma yang di pakai.

2.    Tahap ke dua
Adanya anomaly tersebut menimbulkan kecurigaan/pradugaan sehingga mulai diperiksa dan dipertanyakan mengenai paradigma tersebut.

3.    Tahap ke tiga
Para ilmuan bisa kembali lagi ke jalan ilmiah yang sama dengan memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing aktifitas ilmiah berikutnya. Proses perubahan atau peralihan paradigm lama ke paradigma baru inilah dinamakan revolusi ilmiah.
                   
v Macam macam paradigma ilmu pengetahuan
1.       Paradigma Kualitatif
Paradigma Kualitatif adalah
Proses penelitian berdasarkan metodologi yang menyelidiki fenomena social untuk menemukan teori dari lapangan secara deskriptif dengan menggunakan metode berfikir induktif.
Induksi adalah cara mempelajari sesuatu yang bertolak dari hal-hal atau peristiwa khusus untuk menentukan hukum yang umum. Induksi merupakan cara berpikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum.[29]
Jalan induksi mengambil jalan tengah, yakni di antara jalan yang memeriksa cuma satu bukti saja dan jalan yang menghitung lebih dari satu, tetapi boleh dihitung semuanya satu persatu. Induksi mengandaikan, bahwa karena beberapa (tiada semuanya) di antara bukti yang diperiksanya itu benar, maka sekalian bukti lain yang sekawan, sekelas dengan dia benar jula.
2.       Paradigma deduksi-induksi
Penelitian deduksi (penelitian dengan pendekatan kuantitatif). Analisis data-kesimpulan. Penelitian induksi (pendekatan kualitatif). Pengumpulan data-observasi-hipotesis-kesimpulan.
3.       Paradigma piramida
Kerangka berfikir/model penyelidikan ilmiah yang tahapannya menyerupai piramida. Terbagi menjadi:
·        Piramida berlapis, yang menunjukkan semakin ke atas berarti tujuan semakin tercapai yaitu ditemukannya teori baru
·        Paramida ganda, yang di buat berdasarkan piramida yang sudah ada
·        Piramida terbalik, piramida yang di buat berdasarkan teori yang sudah ada
4.       Paradigma siklus empiris
Kerangka berfikir atau model penyelidikan ilmiah berupa siklus, Istilah siklus empiris ini dikenalkan oleh Walter L. Wallace adalah proses penelitian yang termuat pada lima komponen informasi dan enam komponen metodologis. Lima komponen informasi yaitu: (1) Hipotesa, (2) Pengujian hipotesa,                (3) Keputusan untuk menerima atau menolak hipotesa, (4) Generalisasi empiris (5), Logika penarikan kesimpulan.
Adapun enam metodologis yaitu: (1) Pengamatan, (2) Pengukuran, ringkasan sampel dan perkiraan parameter, (3) Pembentukan konsep, pembentukan proposisi, dan penyusunan proposisi, (4) Teori, (5) Deduksi logis, (6) Penjabaran insturmentasi, pembentukan skala, penentuan sampel.[30]
Sifat model penelitian ini mencerminkan kerumitan, seni, vitalitas, kemampuan intuitif dan kreatif dalam suatu kegiatan ilmiah dalam ilmu sosial dan humaniora. Objektivitas, sistematika dan rasionalitas hasil penelitian ditentukan oleh proses penelitian yang tercermin dalam lima kompomen informasi dan enam komponen metodologis tersebut di atas.
5.       Paradigma rekonstruksi teori.
Model penyelidikan ilmiah yang berusaha merancang kembali teori atau metode yang telah ada dan digunakan dalam penelitian. Agar model rekonstruksi teori dapat di terapkan dengan baik, pemilihan dan penguasaan teori tertentu yang dianggap relevan dengan penelitian sangat menunjang keberhasilan teorinya.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 tahap dalam paradigma ilmu pengetahuan yaitu tahap pertama, tahap ke dua, dan tahap ke tiga. Macam macam paradigma ilmu pengetahuan ada 5 yaitu paradigma kualitatif, deduktif dan induktif, piramida, siklus empiris dan paradigma rekonstruksi teori.





BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP

A.       KESIMPULAN
Manusia dapat memperoleh pengetahuan dalam perkembangannya melalui sumber-sumber dari sebuah Ilmu, . Dalam menentukan sebuah ilmu ada beberapa teori sebagai ukuran kebenaran dari suatu ilmu tersebut.
1.     Hakikat Ilmu diartikan sebagai sesuatu yang mendasari atau yang menjadi dasar dari ilmu terssebut. Hakekat Ilmu dapat juga diartikan inti-sari dari ilmu tersebut.
2.     Pengertian ilmu dalam konteks Ilmu pengetahuan ilmiah dapat diartikan sebagai sebuah pengetahuan dari hasil proses yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan atau ketentuan-ketentuan keilmiahan.
3.     Falsafah dari ilmu pengetahuan adalah jawaban atas pertanyaan untuk apa ilmu itu (ontologi)? bagaimana cara memperolehnya (epistemologi) dan apa manfaatnya ilmu tersebut (aksiologi).
4.     Dasar ontology Ilmu adalah ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian yang bersifat empiris yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia selama itu bisa dijangkau oleh panca indera manusia.
5.     Dasar epistemology ilmu merupakan kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun, selama itu terbatas pada objek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode keilmuan.
6.     Metode keilmuan adalah berpikir secara rasional dan empiris. Gabungan kedua hal tersebut, disebut dengan metode keilmuan.
7.     Kelebihan berpikir keilmuan terletak pada pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan logis serta telah teruji kebenarannya. Karena tingkat kepercayaan masyarakar yang tinggi, memungkinkan ilmu untuk memecahkan suatu masalah dalam bentuk suatu konsesus yang disetujui bersama, setidak-tidaknya untuk sementara, sampai ditemukannya pemecahan lain yang lebih diandalkan.
8.     Konsep dalam keilmuan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama induksi adalah suatu cara pengambilan ssuatu keputusan dari kasus-kasus yang bersifat individu menjadi kesimpulan yang umum. Contoh, semua logam bila dipanaskan akan memuai. Untuk mengambil sebuah kesimpulan yang bersifat umum tersebut dan bisa dipercaya dan diandalkan maka harus menggunakan dengan istilah statistik. Konsep keilmuan yang kedua ada yang dinamakan dengan deduktif adalah proses penarikan kesimpulan dari yang bersifat umum ke kesimpulan yang bersifat pribadi atau khusus. Contoh, logam jika dipanaskan akan memuai.
9.     Kegiatan keilmuan merupakan proses untuk menemukan pengetahuan-pengetahuan baik pengetahuan yang sudah ada sebelumnya (penelitian terapan) maupun pengetahuan-pengetahuan baru yang belum pernah ada sebelumnya (penelitian murni). 
10.  Secara aksiology ilmu pengetahuan menyerahkan sepenuhnya kepada si pemilik ilmu tersebut. Namun secaca ontology dan epistemology ilmuwan harus mampu menilai antara yang baik dan yang buruk, sehingga pada hakekatnya mengharuskan dia menentukan sikap.
11.   Paradigma diartikan sebagai pandangan mendasar para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang senantiasa dipelajari oleh satu cabang ilmu pengetahuan.
12.   Paradigma ilmu pengetahuan dan teori adalah asumsi dasar dan teoritis yang bersifat umum yang merupakan sumber nilai sehingga menyadi sumber hukum, metode serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri dan terspesialisasi berdasar bidangnya masing masing.
13.   Tahap dalam paradigma ilmu pengetahuan yaitu tahap pertama, tahap ke dua, dan tahap ke tiga. Macam macam paradigm ilmu pengetahuan ada 5 yaitu paradigm kualitatif, deduktif dan induktif, piramida, siklus empiris dan paradigma rekonstruksi teori.

B.       PENUTUP
Dengan mengucapkan Alhamdulillah penulis telah mengakhiri penulisan makalah ini. Sebagai manusia biasa tentunya dalam penulisan ini masih banyak hal-hal yang belum terpenuhi, baik dari segi bahasa, penyusunan kalimat, dan hal yang lainnya. Namun demikian penulis telah berupaya semaksimal mungkin demi terselesaikannya makalah ini dan agar mendapat hasil sebaik mungkin, tetapi kemampuan yang penulis miliki sangatlah terbatas. Oleh karena itu untuk kesempurnaan karya yang sederhana ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak demi keberhasilan karya penulis di masa mendatang.
Akhirnya penulis ucapkan terimakasih dan semoga Allah SWT. selalu memberkahi pembelajaran kita, khususnya untuk bapak Dr. H. Hasan Basri, M.A sebagai perbendaharaan ilmu dan penambah wawasan kita dalam pembelajaran Filsafat Ilmu dan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan pada umumnya semua pihak yang berkenan membaca makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA

Akhyar Yusuf Lubis, 2009 Epistemologi Fundasional, Akademika: Bogor

Ali Mudhafir 1997 "Pengenalan Filsafat" dalam Tim Penyusun Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Cet. I; Yogyakarta: Intan Pariwara

Amsal Bahtiar, 2009 Filsafat Ilmu, Edisi VII; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Burhanuddin Salam, 1995 Pengantar Filsafat,  Jakarta: Bumi Aksara

Curt John Ducasse, Cet. 1941 Philosophi as a Science,

Jalaluddin dan Abdullah Idi, 1997, Filsafat Pendidikan Jakarta: Baya Madya Pratama.

Jon hendrik Rapar, 1996 Pengantar Filsafat. yogyakarta: Kanisius

Jujun S. Surya Sumantri, Tentang Hakikat Ilmu Dalam Perspektif, Cet. V; Jakarta: Gramedia
____________________, 2009.  Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Lih. James K. Fibleman, 1976, Ontologi dalam Dagoberto Runesled Dictionary Philosiphy, Totowa New Jersef : Liffle Adam & Co,

Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy diterjemahkan oleh Soejono Soemargono 1992 Pengantar Filsafat Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana.

N. Drijakarta SJ, 1981 Percikan Filsafat Cet. IV; Jakarta: PT. Pembangunan,
Sarwan HB, 1994 Filsafat Agama Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sidi Gazalba, 1991, Sistemetika Filsafat  Jakarta: Bulan Bintang

Suparlan Suhartono, 2004. Dasar-dasar Filsafat Cet. I; Yogyakarta: al-Russ.

_______________, 2008, Filsafat Ilmu Pengetahuan Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan  Cet.I; Yogyakarta: Arruz Media


The Liang Gie, 1997. Suatu Konsepsi Kearah Penertiban Bidang Filsafat, (Yogyakarta: Karya Kencana.

_____________, 1991. Pengantar Filsafat Ilmu Edisi II;Cet I, Yogyakarta: Liberty



[1] Louis O Kattsof, Pengantar Filsafat  (yogyakarta: Tiara Wacana 2004) hlm. 7
[2] Ibid. hlm. 8
[3] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat  (Jakarta: Bumi Aksara 1995) hlm 60
[4] Jon hendrik Rapar, Pengantar Filsafat. (yogyakarta: Kanisius 1996) hlm . 22
[5]  Jon Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat. …hlm 22
[6]  Ibid. hlm . 21
[7] Louis O Kattsof, Pengantar Filsafat …hlm. 12
[8] Burhanuddin salam, Pengantar Filsafat …hlm 60
[9] Suriasumantri. Jujun S., 2009.  Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm.22

[10] Curt John Ducasse, Philosophi as a Science, Cet. 1941
[11] The Liang Gie, Suatu Konsepsi Kearah Penertiban Bidang Filsafat, (Yogyakarta: Karya Kencana, 1997) hlm. 67.
[12] Lih. James K. Fibleman, Ontologi dalam Dagoberto Runesled Dictionary Philosiphy, (Totowa New Jersef : Liffle Adam & Co, 1976), hlm. 219.
[13] Jujun S. Suria Sumantri, Tentang Hakikat Ilmu Dalam Perspektif, (Cet. V; Jakarta: Gramedia,), hlm. 5
[14] Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan ( Cet.I; Yogyakarta: Arruz Media, 2008), hlm.24
[15] TheLiang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Edisi II;Cet I, Yogyakarta: Liberty,1991), hlm.37
[16] Ibid
[17] Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 1996), hlm. 109
[18] Ibid
[19] Amsal Bahtiar, Filsafat Ilmu (Edisi VII; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 14.
[20] Ibid
[21] Sidi Gazalba, Sistemetika Filsafat ( Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 125
[22] Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy diterjemahkan oleh Soejono Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat (Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), hlm. 327.

[23] Sarwan HB, Filsafat Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 22

[24] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta: Baya Madya Pratama. 1997), hlm. 69

[25] N. Drijakarta SJ, Percikan Filsafat (Cet. IV; Jakarta: PT. Pembangunan, 1981), hlm.36.
[26] Louis O. Kattsoff,  op. cit., hlm. 332.
[27] ibid., h. 327. Bandingkan dengan Ali Mudhafir "Pengenalan Filsafat" dalam Tim Penyusun Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Cet. I; Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997), hlm. 19

[28] Suparlan Suhartono, Dasar-dasar Filsafat (Cet. I; Yogyakarta: al-Russ, 2004), hlm. 164
[29] Jujun.S.Surya Sumantri , Filsafat Ilmu. (Pustaka Sinar Harapan. 2005). hlm. 48
[30] Akhyar Yusuf Lubis, Epistemologi Fundasional, (Akademika, Bogor, 2009), hlm.210

No comments:

Post a Comment