BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filasafat merupakan induk dari semua ilmu pengetahuan dan juga merupakan sebuah
ilmu yang membahas tentang persoalan kebenaran hakiki. Dan juga filasafat merupakan
hasil pemikiran manusia tentang hakikat semua yang ada secara radikal,
integral, dan sistematis.
Filsafat disebut juga sebagai suatu ilmu pengetahuan yang bersifat eksistensial, artinya sangat erat
hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Bahkan justru filsafatlah yang
jadi motor penggerak kehidupan kita sehari-hari baik sebagai manusia pribadi
maupun sebagai manusia kolektif dalam bentuk sesuatu masyarakat atau bangsa.
Filsafat
ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti apa dan bagaimana
suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep
tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta
memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah
informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran yang
dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model
ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
Filsafat dan ilmu adalah dua
kata yang saling berkaitan baik secara subtansial maupun historis. Kelahiran
suatu ilmu tidak dapat dipisahkan dari peranan filsafat, sebaiknya perkembangan
ilmu memperkuat keberadaan filsafat.
Filsafat
ilmu diberikan sebagai pengetahuan bagi orang yang ingin mendalami hakikat ilmu
dan kaitannya dengan pengetahuan lainnya. Dalam masyarakat religius ilmu
dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari nilai ketuhanan karena
sumber ilmu yang hakiki adalah Tuhan. Manusa diberi daya fikir oleh Tuhan, dan
dengan daya fikir inilah manusia menemukan
teori-teori ilmiah dan teknologi. Pengaruh agama yang kaku dan dogmatis kadang
kala menghambat perkembangan ilmu.
Oleh
karenanya, diperlukan kecerdasan dan kejelian dalam memahami kebenaran ilmiah dengan
sistem nilai dalam agama, agar keduanya tidak saing bertentangan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa ciri-ciri atau karakteristik dari Filsafat
ilmu?
2.
Apa Yang dimaksud dengan Hakikat Filsafat Ilmu
?
3.
Apa Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan ?
4.
Apa yang di Maksud dengan Paradigma dan
Metodologi Ilmu Pengetahuan ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui Karakteristik Filsafat ilmu
2.
Mengetahui tentang Hakikat Filsafat Ilmu
3.
Mengetahui tentang Dasar-dasar Ilmu
Pengetahuan
4.
Paradigma dan Metodologi Ilmu Pengetahuan
Manfaat
dari penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan penulis dan
pembaca tentang Filsafat Ilmu khusunya tentang Karakteristik Ilmu, Hakikat dari
Filsafat Ilmu, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan, Paradigma dan Metodologi Ilmu
Pengetahuan.
D.
Sistematika Penulisan makalah
Makalah
ini disusun menjadi tiga bab, yaitu Bab I Pendahuluan, Bab II Pembahasan, dan
Bab III Kesimpulan dan Penutup. Adapun Bab pendahuluan terbagi atas: Latar
Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, dan Sistematika
Penulisan. Sedangkan Bab II Pembahasan dibagi berdasarkan sub-bab yang
berkaitan dengan sumber daya data. Terakhir, Bab III terdiri atas Penutup dan Kesimpulan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Karakteristik
Filsafat
Berfilsafat adalah berfikir, namun tidak semua
berfikir adalah berfilsafat. Berfikir filsafat mempunyai karakteristik atau
ciri-ciri khusus. Bermacam-macam buku menjelaskan cirri-ciri berfikir filsafat
dengan bermacam-macam, yaitu :
1. Konsepsional
Perenungan filsafat berusaha untuk menyusun
suatu bagian konsepsional. Konsepsi (rencana) merupakan hasil generalisasi dan
abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses satu demi satu.[1]
Filsafat merupakan pemikiran tentang hal-hal
serta proses dalam hubungan umum. Diantara proses-proses yang dibicarakan ini
dalam pemikiran itu sendiri.
2. Koheren
Perenungan kefilsafatan berusaha untuk menyusun
suatu bagan yang koheren yang konsepsional[2].
Secara singkat istilah kohern ialah runtut. Bagan konsepsional yang merupakan
hasil perenungan kefilsafatan haruslah bersifat runtut.
Dalam arti lain koheren bisa juga dikatakan
berfikir sistematis, artinya berfikir logis, yang bergerak selangkah demi
selangkah dengan penuh kesadaran. Dengan urutan yang bertanggung jawab dan
saling hubungan yang teratur[3].
Secara singkat, kohern berarti berfilsafat yang berusaha menyusun suatu bagan
secara runtut
3. Memburu
kebenaran
Filsuf adalah pemburu kebenaran, kebenaran yang
diburunya adalah kebenaran hakiki tentang seluruh realitas dan setiap hal yang
dapat dipersoalkan. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa berfilsafat berarti
memburu kebenaran tentang segala sesuatu.[4]
Kebenaran filsafat tidak pernah bersifat mutlak
dan final, melainkan terus bergerak dari suatu kebenaran menuju kebenaran baru
yang lebih pasti. Kebenaran yang baru ditemukan itu juga terbuka untuk
dipersoalkan kembali demi menemukan kebenaran yang lebih meyakinkan.
4. Radikal
Berfilsafat berarti berfikir radikal. Filsuf
adalah pemikir yang radikal, ia tidak akan pernah berhenti hanya pada suatu
wujud realitas tertentu. Keradikalan berfikirnya itu akan senantiasa
mengobarkan hasratnya untuk menemukan realitas seluruh kenyataan, berarti
dirinya sendiri sebagai suatu realitas telah termasuk ke dalamnya sehingga ia
pun berupaya untuk mencapai akar pengetahuan tentang dirinya sendiri. [5]
Berfikir radikal tidak berarti hendak mengubah,
membuang atau menjungkirbalikkkan segala sesuatu, melainkan dalam arti
sebenarnya, yaitu berfikir secara mendalam. Untuk mencapai akar persoalan yang
dipermasalahkan. Berfikir radikal justru hendak memperjelas realitas.
5. Rasional
Perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu
bahan konsepsional yang bersifat rasional[6].
Yang dimaksudkan dengan bagan konsepsional yang bersifat rasional ialah bagan
yang bagian-bagiannya secara logis berhubungan satu dengan yang lain.
Berpikir secara rasional berarti berpikir
logis, sistematis, dan kritis berpikir logis adalah bukan hanya sekedar
menggapai pengertian-pengertian yang dapat diterima oleh akal sehat, melainkan
agar sanggup menarik kesimpulan dan mengambil keputusan yang tepat dan benar
dari premis-premis yang digunakan.
Berpikir logis yang menuntut pemikiran yang
sistematis. Pemikiran yang sistematis ialah rangkaian pemikiran yang
berhubungan satu sama lain atau saling berkaitan secara logis.
6. Menyeluruh
Perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu
bagan konsepsional yang memadai untuk dunia tempat manusia hidup[7].
Suatu sistem filsafat harus bersifat komprehensif, dalam arti tidak ada sesuatu
pun yang berada di luar jangkauannya jika tidak demikian, filsafat akan ditolak
serta dikatakan berat sebelah dan tidak memadai. Pemikiran yang tidak hanya
berdasarkan pada fakta yaitu tidak sampai kesimpulan khusus tetapi sampai pada
kesimpulan yang paling umum[8].
B.
Ciri-ciri filsafat
Menurut Clarence I. Lewis seorang ahli logika
mengatakan bahwa filsafat itu sesungguhnya suatu proses refleksi dari
bekerjanya akal. Sedangkan sisi yang terkandung dalam proses refleksi
adalah berbagai kegiatan atau problema kehidupan manusia. Kegiatan atau problem
tersebut terdapat beberapa ciri yang dapat mencapai derajat pemikiran filsafat
yaitu[9]:
1)
Sangat umum dan universal
Pemikiran filsafat mempunyai kecenderungan
sangat umum dan tingkat keumumannya sangat tinggi. Karena pemikiran filsafat
tidak bersangkutan dengan obyek-obyek khusus, akan tetapi bersangkutan dengan
konsep-konsep yang sifatnya umum. Misalnya tentang manusi, tentang keadilan ,
tentang kebebasan dan lainnya.
2)
Tidak faktual
Pengertian tidak factual kata lainnya adalah
spekulatif, yang artinya filsafat membuat dugaan-dugaan yang masuk akal
mengenai sesuatu dengan tidak berdasarkan ada bukti. Hal ini sebagai sesuatu
hal yang melampaui batas.
3)
Bersangkutan dengan nilai
C. J. Ducasse mengatakan bahwa filsafat
merupakan usaha untuk mencari pengetahuan berupa fakta-fakta yang disebut
penilaian. Yang dibicarakan dalam penilaian adalah tentang baik buruk, dan
akhirnya filsafat filsafat sebagai suatu usaha untuk mempertahankan nilai.
Selanjutnya, Ducasse menyatakan bahwa tugas filsafat dewasa ini memberikan
patokan-patokan dan membicarakan persoalan-persoalan moral yang disajikan pada
manusia oleh lingkungan sosialnya.[10]
The Liang Gie menyatakan, “kata nilai dalam
etika tradisional diartikan sebagai baik dan buruk. Secara luas, nilai adalah
cita-cita dan cita-cita yang mutlak terkenal dalam filsafat adalah
hal yang benar, hal yang baik, dan hal yang indah.[11]
4)
Berkaitan dengan arti
di atas telah dikemukakan bahwa nilai selalu
dipertahankan dan dicari. Sesuatu yang bernilai tentu di dalamnya penuh dengan
arti. Agar upaya para filosof dalam mengungkapkan ide-idenya agar syarat dengan
arti, maka para filosof harus dapat menciptakan kalimat-kalimat yang logis dan
bahasa yang tepat (ilmiah), kesemuanya itu berguna untuk menghindari adanya
kesalahan.
C.
Hakikat Ilmu
Pengetahuan
1)
Hakikat Ilmu
Pengetahuan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Berdasarkan
Landasan Ontologi
Pengetahuan (
Knowledge ) adalah ilmu yang merupakan hasil produk yang sudah sistematis. Jadi
ilmu bagian dari pengetahuan. Kata Ontologi berasal dari perkataan
yunani: On=being, dan Logos = logis jadi ontologi adalalah The Theori of being qua being (Teori tentang
keberadaan sebagai keberadaan)[12].
Sehingga dapat dipahami bahwa ontologi adalah hakikat atau eksitensi.
Menurut Jujun
S. Suria Sumantri dalam pengantar ilmu dalam perspektif mengatakan, ontologi
membahas apa yang ingin kita ketahui, sebarapa jauh kita ingin tahu atau dengan
perkataan lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”.[13] Pendapat
ini sangat sejalan dengan pendapat para filosof.
Untuk
mengetahui hakikat ilmu pengetahuan dalam pespektif filsafat ilmu menurut
tinjauan ontologi maka pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah ilmu
pengetahuan itu? Pertanyaan ini membutuhkan jawaban berupa hakikat (isi arti
hakiki, yaitu berupa pengetahuan subtansional mengenai ilmu pengetahuan).
Untuk menjawab
pertanyaan tersebut maka ilmu pengetahuan itu harus ditinjau dari beberapa
aspek yaitu aspek abstraknya, aspek potensinya, dan aspek konkretnya.
Menurut aspek
abstraknya, pluralitas ilmu pengetahuan berada dalam suatu kesatuan sifat
universal, yaitu filsafat. Menurut segi potensinya pluralitas ilmu pengetahuan
barada dalam perbedaan tetapi tetap dalam suatu kepribadian yaitu sifat ilmiah.
Sedangkan dalam aspek konkret pluralitas ilmu pengetahuan berada dalam
perubahan dan perkembangan, karena itu cenderumg berbeda dan terpisah-pisah,
tetapi juga tetap terkait dalam satu kesatuan fungsi, yaitu implementasinya
yang bertujuan untuk menjaga kelangsungan kehidupan.[14] Jadi
hakikat ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat ilmu berdasarkan landasan
ontologi sangat memiliki sifat yang terbuka yakni ilmu pengetahuan itu sangat
bersifat umum tergantung ilmu pengetahuan yang di dalaminya, akan tetapi ilmu
pengetahuan itu dapat dinilai dari kepribadian seseorang. Ilmu pengetahuan yang
dimiliki seseorang sangat menentukan kehidupannya.
Jenis-jenis
ilmu pengetahuan menurut objeknya yaitu ilmu pengetahuan humaniora dengan objek
kajiannya adalah manusia, ilmu pengetahuan sosial dengan objek kajiannya adalah
masyarakat, ilmu pengetahuan alam dengan objek kajiannya benda-benda alam, ilmu
pengetahuan agama dengan objek kajiannya adalah Tuhan. Dari konsentrasi
pemikiran mengenai objek materi pluralitas ilmu pengetahuan sedemikian itu,
pada akhirya dapat ditemukan arah yang pasti mengenai hakikat ilmu pengetahuan
yaitu bahwa pluralitas ilmu pengetahuan itu berada dalam suatu sistem hubungn
yang integral.
Dalam kehidupan
ini untuk mengenal sesuatu kadang-kadang kita mengenal dengan memperhatikan
ciri-ciri dan sifat-sifatnya, oleh karena itu untuk mengetahui hakikat ilmu
pengetahuan akan diuraikan ciri-ciri ilmu pengetahuan itu sendiri. Adapun
ciri-ciri ilmu pengetahuan mengandung pengertian bahwa pengetahuan yang
diperoleh itu berdasarkan pengamatan (observation) atau percobaan (eksprimen)[15].
Demikian penelaan terhadap gejala-gejala dan kehidupan maupun gejala-gejala
mental kemasyarakatan kini semuanya sudah pasti menjadi ilmu-ilmu fisis,
biologi, pikologi, dan ilmu-ilmu sosial yang berdiri sendiri.
Ciri sistematis
suatu ilmu berarti bahwa keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan
pengetahuan itu mempunyai hubungan dan teratur.[16] Dalam
artian bahwa ilmu pengatahuan itu harus saling terkait sehingga menjadi satu
kesatuan.
Ciri objektif suatu ilmu berarti bahwa ilmu itu bebas dari prasangka
perseorangan dan kepentingan pribadi. Darri ciri-ciri ilmu pengetahuan tersebut maka
hakikat ilmu pengetahuan dapat lebih jelas.
2)
Hakikat Ilmu
Pengetahuan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Berdasarkan Landasan Epistemologi
Epistimologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang
berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan pengandaian dan dasar-dasar
serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat
ilmu berdasarkan landasan epistimologi adalah bagaimana cara memperoleh ilmu
pengetahuan itu, dengan melalui proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan itu
maka dapat dipertanggungjawabkan atas ilmu pengetahuan yang
dimilikinya.
Pada dasarnya ilmu pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal
dan indra sehingga mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan yaitu
metode induktif, metode deduktif, metode positifisme, metode kontenplatif dan
metide dialektis.
1.
Metode induktif
Induksi yaitu suatu
metode yang menyimpulkan peryataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu
peryataan yang lebih umum.[17]
2.
Metode Deduktif
Deduktif adalah suatu
metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam
suatu sistem peryataan yang runtut.[18] Metode
ini biasanya dalam bentuk perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu
sendiri.
3.
Metode Positivisme
Metode ini dikelurkan oleh Agust Comte
(1798-1957). Metode ini berpangkal apa yang telah diketahui yang faktual dan positif.[19] Jadi
metode ini lebih cendrung kepada fakta.
4.
Metode Kontenplatif
Metode ini mengatakan
bahwa adanya keteerbatasan indra dan akal manusia untuk memperoleh
pengetahuan sehinnga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda sehingga
dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi.[20] Intuisi
dalam tasawuf disebut dengan ma’rifat yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan
melalui pencerahan dan penyinaran.
5.
Metode Dialektis
Dalam filsafat,
diialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan
filsafat.[21] Dengan
kata lain metode dialektis juga disebutmetode diskusi.
Melalui kelima metode tersebut maka epistimolgi ilmu pengetahuan dalam
perspektif filsafat ilmu tidak terlepas dari bagaimana cara memperoleh ilmu
pengetahuan itu.
3)
Ilmu
Pengetahuan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Berdasarkan Tinjauan Aksiologi
Aksiologi menurut bahasa berasal dari bahasa yunani "axios"
yang berarti bermanfaat dan 'logos' berarti ilmu pengetahuan atau ajaran.
Secara istilah, aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat
nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan[22].
Sejalan dengan itu, Sarwan menyatakan bahwa aksiologi adalah studi tentang
hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan,
dan kebenaran)[23].
Dengan demikian aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi dari
nilai-nilai etika dan estetika. Dengan kata lain, apakah yang baik atau bagus
itu.
Definisi lain mengatakan bahwa aksiologi adalah suatu pendidikan yang
menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan
menjaganya, membinanya di dalam kepribadian peserta didik.[24] Dengan
demikian aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang
nilai-nilai atau norma-norma terhadap sesuatu ilmu.
Berbicara mengenai nilai itu sendiri dapat kia jumpai dalam kehidupan
seperti kata-kata adil dan tidak adil, jujur dan curang. Hal itu semua
mengandung penilaian karena manusia yang dengan perbuatannya berhasrat mencapai
atau merealisasikan nilai.[25] Nilai
yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Secara singkat dapat dikatakan, perkataan "nilai" kiranya
mempunyai macam-macam makna seperti (1) mengandung nilai, artinya berguna; (2)
merupakan nilai, artinya baik atau benar, atau indah; (3) mempunyai nilai
artinya merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebab-kan
orang mengambil sikap menyetujui, atau mempunyai sifat nilai tertentu; (4)
memberi nilai artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau
sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu.[26] Nilai ini terkait
juga dengan etika dan nilai estetika. Nilai etika adalah teori perbuatan
manusia yang ditimbang menurut baik atau buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral. Sedangkan nilai estika adalah telaah filsafat tentang keindahan serta
keindahan, dan tanggapan manusia terhadapnya.[27]
Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral
persoalan karena menyangkut tanggung jawab, baik tanggung jawab pada diri
sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan.
Ilmu pengetahuan pun mendapatkan pedoman untuk bersikap penuh tanggung
jawab, baik tanggungjawab ilmiah maupun tanggungjawab moral.[28] Tanggungjawab
ilmiah adalah sejauhmana ilmu pengetahuan melalui pendekatan metode dan sistem
yang dipergunakan untuk memperoleh pendekatan metode dan sistem yang
dipergunakan untuk memperoleh kebenaran obyektif, baik secara
korehen-idealistik, koresponden realistis maupun secara pragmatis-empirik. Jadi
berdasarkan tanggungjawab ini, ilmu pengetahuan tidak dibenarkan untuk
mengejarkan kebohongan, dan hal-hal negatif lainnya
D.
Dasar-dasar Paradigma Ilmu
Pengetahuan
Terdapat tiga tahapan
dalam paradigma ilmu pengetahuan yaitu :
1.
Tahap pertama
Paradigma disini membimbing dan
mengarahkan aktifitas ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Disini
para ilmuan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma sebagai model
ilmiah yang di gelutinya secara rinci dan mendalam. Dalam tahapan ini para
ilmuan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktifitas
ilmiahnya selama menjalankan aktifitas para ilmuan menjumpai berbagai fenomena
yang tidak dapat di terangkan dengan paradigma yang digunakan sebagai bimbingan
atau arahan aktifitas/anomalinya.
Anomaly merupakan suatu keadaan
yang menunjukkan ketidak cocokan antara kenyataan dan paradigma yang di pakai.
2.
Tahap ke dua
Adanya anomaly tersebut menimbulkan
kecurigaan/pradugaan sehingga mulai diperiksa dan dipertanyakan mengenai
paradigma tersebut.
3.
Tahap ke tiga
Para ilmuan bisa kembali lagi ke jalan ilmiah
yang sama dengan memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang
dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing aktifitas ilmiah
berikutnya. Proses perubahan atau
peralihan paradigm lama ke paradigma baru inilah dinamakan revolusi ilmiah.
v Macam macam paradigma
ilmu pengetahuan
1.
Paradigma Kualitatif
Paradigma Kualitatif adalah
Proses penelitian berdasarkan
metodologi yang menyelidiki fenomena social untuk menemukan teori dari lapangan
secara deskriptif dengan menggunakan metode berfikir induktif.
Induksi adalah
cara mempelajari sesuatu yang bertolak dari hal-hal atau peristiwa khusus untuk
menentukan hukum yang umum. Induksi merupakan cara berpikir dimana ditarik
suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat
individual. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan
pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam
menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum.[29]
Jalan induksi
mengambil jalan tengah, yakni di antara jalan yang memeriksa cuma satu bukti
saja dan jalan yang menghitung lebih dari satu, tetapi boleh dihitung semuanya
satu persatu. Induksi mengandaikan, bahwa karena beberapa (tiada semuanya) di
antara bukti yang diperiksanya itu benar, maka sekalian bukti lain yang
sekawan, sekelas dengan dia benar jula.
2.
Paradigma deduksi-induksi
Penelitian deduksi
(penelitian dengan pendekatan kuantitatif). Analisis data-kesimpulan. Penelitian
induksi (pendekatan kualitatif). Pengumpulan
data-observasi-hipotesis-kesimpulan.
3.
Paradigma piramida
Kerangka berfikir/model penyelidikan ilmiah
yang tahapannya menyerupai piramida. Terbagi menjadi:
·
Piramida
berlapis, yang menunjukkan semakin ke atas berarti tujuan semakin tercapai
yaitu ditemukannya teori baru
·
Paramida
ganda, yang di buat berdasarkan piramida yang sudah ada
·
Piramida
terbalik, piramida yang di buat berdasarkan teori yang sudah ada
4.
Paradigma siklus empiris
Kerangka berfikir atau model penyelidikan
ilmiah berupa siklus, Istilah siklus empiris ini dikenalkan oleh
Walter L. Wallace adalah proses penelitian yang termuat pada lima komponen
informasi dan enam komponen metodologis. Lima komponen informasi yaitu: (1)
Hipotesa, (2) Pengujian hipotesa,
(3) Keputusan untuk menerima atau menolak hipotesa, (4) Generalisasi
empiris (5), Logika penarikan kesimpulan.
Adapun enam metodologis yaitu: (1) Pengamatan,
(2) Pengukuran, ringkasan sampel dan perkiraan parameter, (3) Pembentukan
konsep, pembentukan proposisi, dan penyusunan proposisi, (4) Teori, (5) Deduksi
logis, (6) Penjabaran insturmentasi, pembentukan skala, penentuan sampel.[30]
Sifat model penelitian ini mencerminkan
kerumitan, seni, vitalitas, kemampuan intuitif dan kreatif dalam suatu kegiatan
ilmiah dalam ilmu sosial dan humaniora. Objektivitas, sistematika dan
rasionalitas hasil penelitian ditentukan oleh proses penelitian yang tercermin
dalam lima kompomen informasi dan enam komponen metodologis tersebut di atas.
5.
Paradigma rekonstruksi teori.
Model
penyelidikan ilmiah yang berusaha merancang kembali teori atau metode yang
telah ada dan digunakan dalam penelitian. Agar model rekonstruksi teori dapat
di terapkan dengan baik,
pemilihan dan penguasaan teori tertentu yang dianggap relevan dengan penelitian
sangat menunjang keberhasilan teorinya.
Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 tahap dalam paradigma
ilmu pengetahuan yaitu tahap pertama, tahap ke dua, dan tahap ke tiga. Macam
macam paradigma ilmu pengetahuan ada 5 yaitu paradigma kualitatif, deduktif dan
induktif, piramida, siklus empiris dan paradigma rekonstruksi teori.
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Manusia dapat memperoleh
pengetahuan dalam perkembangannya melalui sumber-sumber dari sebuah Ilmu, . Dalam
menentukan sebuah ilmu ada beberapa teori sebagai ukuran kebenaran dari suatu
ilmu tersebut.
1.
Hakikat Ilmu diartikan sebagai sesuatu yang mendasari atau yang menjadi dasar dari
ilmu terssebut. Hakekat Ilmu dapat juga diartikan inti-sari dari ilmu tersebut.
2.
Pengertian ilmu dalam konteks Ilmu pengetahuan
ilmiah dapat diartikan sebagai sebuah pengetahuan dari hasil proses yang telah
memenuhi persyaratan-persyaratan atau ketentuan-ketentuan keilmiahan.
3.
Falsafah dari ilmu pengetahuan adalah jawaban
atas pertanyaan untuk apa ilmu itu (ontologi)? bagaimana cara memperolehnya
(epistemologi) dan apa manfaatnya ilmu tersebut (aksiologi).
4.
Dasar ontology Ilmu adalah ilmu membatasi diri
hanya kepada kejadian yang bersifat empiris yang mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia selama itu bisa dijangkau oleh panca indera manusia.
5.
Dasar epistemology ilmu merupakan kegiatan
dalam mencari pengetahuan tentang apapun, selama itu terbatas pada objek
empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode
keilmuan.
6.
Metode keilmuan adalah berpikir secara rasional
dan empiris. Gabungan kedua hal tersebut, disebut dengan metode keilmuan.
7.
Kelebihan berpikir keilmuan terletak pada
pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan logis serta telah teruji
kebenarannya. Karena tingkat kepercayaan masyarakar yang tinggi, memungkinkan
ilmu untuk memecahkan suatu masalah dalam bentuk suatu konsesus yang disetujui
bersama, setidak-tidaknya untuk sementara, sampai ditemukannya pemecahan lain
yang lebih diandalkan.
8.
Konsep dalam keilmuan dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu pertama induksi adalah suatu cara pengambilan ssuatu
keputusan dari kasus-kasus yang bersifat individu menjadi kesimpulan yang umum.
Contoh, semua logam bila dipanaskan akan memuai. Untuk mengambil sebuah
kesimpulan yang bersifat umum tersebut dan bisa dipercaya dan diandalkan maka
harus menggunakan dengan istilah statistik. Konsep keilmuan yang kedua ada yang
dinamakan dengan deduktif adalah proses penarikan kesimpulan dari yang bersifat
umum ke kesimpulan yang bersifat pribadi atau khusus. Contoh, logam jika
dipanaskan akan memuai.
9.
Kegiatan keilmuan merupakan proses untuk
menemukan pengetahuan-pengetahuan baik pengetahuan yang sudah ada sebelumnya
(penelitian terapan) maupun pengetahuan-pengetahuan baru yang belum pernah ada
sebelumnya (penelitian murni).
10. Secara aksiology
ilmu pengetahuan menyerahkan sepenuhnya kepada si pemilik ilmu tersebut. Namun
secaca ontology dan epistemology ilmuwan harus mampu menilai antara yang baik
dan yang buruk, sehingga pada hakekatnya mengharuskan dia menentukan sikap.
11.
Paradigma diartikan sebagai
pandangan mendasar para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang
senantiasa dipelajari oleh satu cabang ilmu pengetahuan.
12.
Paradigma
ilmu pengetahuan dan teori adalah asumsi dasar dan teoritis yang bersifat umum
yang merupakan sumber nilai sehingga menyadi sumber hukum, metode serta
penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta
karakter ilmu pengetahuan itu sendiri dan terspesialisasi berdasar bidangnya
masing masing.
13.
Tahap
dalam paradigma ilmu pengetahuan yaitu tahap pertama, tahap ke dua, dan tahap
ke tiga. Macam macam paradigm ilmu pengetahuan ada 5 yaitu paradigm kualitatif,
deduktif dan induktif, piramida, siklus empiris dan paradigma rekonstruksi
teori.
B.
PENUTUP
Dengan mengucapkan Alhamdulillah penulis telah mengakhiri penulisan
makalah ini. Sebagai manusia biasa tentunya dalam penulisan ini masih banyak
hal-hal yang belum terpenuhi, baik dari segi bahasa, penyusunan kalimat, dan
hal yang lainnya. Namun demikian penulis telah berupaya semaksimal mungkin demi
terselesaikannya makalah ini dan agar mendapat hasil sebaik mungkin, tetapi
kemampuan yang penulis miliki sangatlah terbatas. Oleh karena itu untuk
kesempurnaan karya yang sederhana ini penulis mengharapkan kritik dan saran
yang sifatnya membangun dari semua pihak demi keberhasilan karya penulis di
masa mendatang.
Akhirnya penulis ucapkan terimakasih dan semoga Allah SWT. selalu
memberkahi pembelajaran kita, khususnya untuk bapak Dr. H. Hasan Basri, M.A
sebagai perbendaharaan ilmu dan penambah wawasan kita dalam pembelajaran
Filsafat Ilmu dan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi
penulis dan pada umumnya semua pihak yang berkenan membaca makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Akhyar Yusuf Lubis, 2009 Epistemologi Fundasional, Akademika: Bogor
Ali Mudhafir 1997 "Pengenalan
Filsafat" dalam Tim Penyusun Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Cet. I; Yogyakarta: Intan Pariwara
Amsal Bahtiar, 2009 Filsafat Ilmu, Edisi
VII; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Burhanuddin
Salam, 1995 Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara
Curt John Ducasse, Cet. 1941 Philosophi
as a Science,
Jalaluddin dan Abdullah Idi, 1997, Filsafat Pendidikan Jakarta: Baya Madya Pratama.
Jon
hendrik Rapar, 1996 Pengantar Filsafat. yogyakarta: Kanisius
Jujun S. Surya Sumantri, Tentang Hakikat Ilmu Dalam
Perspektif, Cet. V; Jakarta: Gramedia
____________________, 2009.
Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan
Lih. James K.
Fibleman, 1976, Ontologi dalam Dagoberto Runesled Dictionary Philosiphy, Totowa
New Jersef : Liffle Adam & Co,
Louis O.
Kattsoff, Element of Philosophy diterjemahkan
oleh Soejono Soemargono 1992 Pengantar Filsafat Cet.
V; Yogyakarta: Tiara Wacana.
N. Drijakarta SJ, 1981 Percikan Filsafat Cet. IV; Jakarta: PT. Pembangunan,
Sarwan HB, 1994 Filsafat Agama Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sidi Gazalba, 1991, Sistemetika Filsafat Jakarta: Bulan Bintang
Suparlan Suhartono, 2004. Dasar-dasar Filsafat Cet.
I; Yogyakarta: al-Russ.
_______________, 2008, Filsafat Ilmu Pengetahuan
Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan Cet.I;
Yogyakarta: Arruz Media
The Liang Gie, 1997. Suatu Konsepsi
Kearah Penertiban Bidang Filsafat, (Yogyakarta: Karya Kencana.
_____________, 1991. Pengantar Filsafat Ilmu Edisi II;Cet I,
Yogyakarta: Liberty
[1] Louis O
Kattsof, Pengantar Filsafat (yogyakarta:
Tiara Wacana 2004) hlm. 7
[2] Ibid.
hlm. 8
[3] Burhanuddin Salam,
Pengantar Filsafat (Jakarta: Bumi
Aksara 1995) hlm 60
[4] Jon hendrik
Rapar, Pengantar Filsafat. (yogyakarta: Kanisius 1996) hlm . 22
[5] Jon Hendrik Rapar, Pengantar
Filsafat. …hlm 22
[6] Ibid. hlm . 21
[7] Louis O
Kattsof, Pengantar Filsafat …hlm. 12
[8] Burhanuddin
salam, Pengantar Filsafat …hlm 60
[9] Suriasumantri. Jujun S., 2009. Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm.22
[11] The Liang Gie, Suatu Konsepsi Kearah
Penertiban Bidang Filsafat, (Yogyakarta: Karya Kencana, 1997) hlm. 67.
[12] Lih. James K. Fibleman, Ontologi dalam Dagoberto Runesled
Dictionary Philosiphy, (Totowa New Jersef : Liffle Adam & Co,
1976), hlm. 219.
[13] Jujun S. Suria
Sumantri, Tentang Hakikat Ilmu Dalam Perspektif,
(Cet. V; Jakarta: Gramedia,), hlm. 5
[14] Suparlan
Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan Persoalan Eksistensi
dan Hakikat Ilmu Pengetahuan ( Cet.I; Yogyakarta: Arruz Media,
2008), hlm.24
[16] Ibid
[18] Ibid
[20] Ibid
[22] Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy diterjemahkan oleh Soejono
Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat (Cet.
V; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), hlm. 327.
[27] ibid., h.
327. Bandingkan dengan Ali Mudhafir "Pengenalan Filsafat" dalam Tim
Penyusun Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Cet. I; Yogyakarta: Intan
Pariwara, 1997), hlm. 19
No comments:
Post a Comment