BELAJAR ADALAH KEWAJIBAN

Monday, July 18, 2016

FAKTOR BAHASA

Mata Kuliah: Sejarah dan Peradaban Islam


FAKTOR-FAKTOR KEMAJUAN PERADABAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Peradaban memiliki kaitan yang erat dengan kebudayan. Kebudayaan hakikatnya adalah hasil cipta, rasa , dan karsa manusia. Peradaban merupakan tahap tertentu dari kebudayaan masyarakat yang telah mencapai kemajuan tertentu yang dicirikan oleh tingkat ilmu pengetahuan, tekhnologi dan seni.
Sejarah peradaban manusia pada dasarnya dimulai sejak awal kehidupan manusia di bumi ini. Ia memiliki banyak defenisi dalam berbagai variasinya, tergantung dari sudut mana orang mendefenisikan kata peradaban itu. Konsep mengenai peradaban biasanya selalu dipertentangkan dengan konsep ‘barbarisme’ atau dalam bahasa Islam disebut ‘zaman jahiliyah’. Peradaban juga sering dikaitkan dengan ‘tidak tersosialisasikannya nilai-nilai yang merangsang timbulnya pencerahan dalam suatu masyarakat’. Antitesis dari peradaban ternyata bukanlah konsep mengenai sebuah “masyarakat atau negara yang tak tercerahkan,” melainkan lebih merupakan fenomena etnis dan antropologis yang terjadi pada suatu masyarakat, baik pada masyarakat primitif atau yang terjadi pada masyarakat modern.
Dalam terbentuknya sebuah peradaban dalam masyarakat atau bangsa, dan untuk berdiri sebuah peradaban dalam sebuah wilayah, maka ada beberapa syarat yang harus dilalui untuk berkembang dan majunya sebuah peradaban. Bahasa merupakan kekuatan dari sebuah peradaban, bahasa yang merupakan factor majunya sebuah peradaban selain dari factor lingkungan.
Bahasa yang berbeda, warna kulit yang berbeda yang dimiliki oleh setiap manusia merupakannn Sunnatullah, dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai factor majinya sebuah peradaban dilihat dari segi bahasa.
B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1.     Apa itu Perkembangan Peradaban ?
2.     Apakah Pengaruh Bahasa dalam Kemajuan Sebuah Peradaban ?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Peradaban
Berbicara mengenai perkembangan peradaban diawali dengan hakikat peradaban itu sendiri. Dimulai dengan definisi peradaban itu sendiri. Peradaban mengambil dari kata civilitation yang berarti nilai hidup satu kelompok atau bangsa dalam merespons tantangan masa yang dihadapinya dalam era tertentu.[1]  Peradaban adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut bagian-bagian atau unsur-unsur suatu kebudayaan yang dianggap halus, maju, dan indah. Dalam definisi peradaban juga mengandung adanya perkembangan pengetahuan dan kecakapan, sehingga orang memungkinkan memiliki adab. Salah satu cirri manusia beradab adalah mampu mengendalikan diri, yakni menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa. Peradaban juga sering merujuk pada kemajuan ekonomi, teknologi, dan politik.
Melalui pendekatan sejarah peradaban, maka diajak untuk menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia.[2] Dari keadaan ini, maka akan terlihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis. Menurut Taufik Abdullah, sejarah adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut.[3] Sehingga menurut ilmu ini segala peristiwa adalah fakta atau realitas yang bersifat empiris-obyektif dan dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya dan siapa yang melihat peristiwa tersebut.
Manusia adalah sama karena dibekali Tuhan dengan Cipta, Rasa, dan Karsa, yang membedakan adalah perwujudan budaya karena lingkungan yang berbeda menurut keadaan, waktu dan tempat. Perwujudan budaya yang hanya menekankan pada akal(ratio) saja akan berlainan denganperwujudan budaya yang didasarkan pada akal, nurani, dan kehendak. Perwujudan budaya yang mengedapkan akal, maka akan timbul peradaban yang berbeda, karena peradaban akan diukur dari tingkat berfikir manusia, maka akan muncul istilah peradaban tinggi bukan lagi kebudayaan tinggi. Berbeda dengan yang menekankan ketiga unsur, (rasa, cipta, karsa) maka akan muncul kebudayaan-kebudayaan yang bernilai tinggi.
 
Tiada keraguan bahwa bahasa merupakan unsur pokok dan prasyarat utama perkembangan peradaban manusia. Oleh karena itu, menjadi menarik untuk kembali mengajukan sebuah pertanyaan klasik seputar kelahiran bahasa yang selama ini telah menjadi perdebatan para ahli dan filsuf bahasa. Sejak kapan bahasa ada? Secara sambil lalu mungkin bisa dijawab sejak manusia ada. Bila nirmana (perspective) evolusionisme Darwinian digunakan, maka bahasa lahir bersamaan dengan munculnya spesies homo sapiens.
Sayang sekali, seperti teori dasarnya yang gagal menemukan matarantai yang hilang (missing link), perluasan teori ini di bidang sosial-budaya juga gagal menghadirkan sedikit saja bukti tentang kehebatan manusia sebagai pencipta bahasa. Karena itu, alih-alih meninggalkan begitu saja pertanyaan ini, sebagai pengiman kitab suci, saya justru menawarkan sebuah titik tolak peristiwa bahasa pertama berdasarkan kisah penciptaan manusia pertama.
Dengan sedikit perenungan, akan tampak jelas bagaimana dalam kisah penciptaan Adam terdapat dialog yang tidak saja membuktikan adanya peristiwa bahasa pertama, tetapi juga menjelaskan kekhususan manusia dibanding makhluk lain, serta alasan mendasar atas fenomena penguasaan manusia atas bumi.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
“Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"
Dan (Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.[4]
Ada pelajaran sangat penting dari peristiwa bahasa pertama ini. Penguasaan kosa kata serta kecakapan merangkai kata-kata secara bermakna, sejauh mengikuti logika terbatas atas wacana tersebut, bisa ditafsir sebagai ciri kualitatif non-fisik Adam dibanding dengan makhluk lain. Ciri-ciri lain, misalnya dalam At-Tiin lebih menunjuk pada ciri kuantitatif fisik.[5] Oleh karena itu, ditambah dengan penegasan dan perintah dan bahkan sindiran berkali-kali agar manusia menggunakan akal atau berpikir, paling tidak terdapat tiga keistimewaan manusia dibanding makhluk lain, yaitu: penguasaan bahasa, kemampuan berpikir, dan kesempurnaan bentuk ragawi.
Secara teoretik terdapat sinergi sangat kuat di antara ketiga ciri istimewa manusia tersebut. Tanpa bahasa, maka sehebat apa pun pemikiran tidak akan bisa disampaikan kepada dan dipahami oleh orang lain. Demikian pula, tanpa pemikiran, maka bahasa manusia juga tidak akan berkembang sebagaimana sekarang. Sinergi antara bahasa dan pemikiran manusia ini pula yang mengantarkan manusia untuk tidak saja menyempurnakan penampilan ragawi mereka, tetapi juga mengatasi berbagai keterbatasan ragawi mereka sehingga memberi jalan bagi lahirnya fenomena khas manusia berupa kebudayaan, dan secara lebih khusus peradaban. Juga tampak dari perintah untuk menghormat kepada pemilik bahasa dan buah pemikiran berupa pengetahuan, betapa Islam menempatkan bahasa dan pemikiran secara sangat terhormat.
Menghayati kedudukan terhormat bahasa dan pemikiran, yang memberi jalan bagi kelahiran peradaban manusia, maka sesuai dengan bidang minat kajian pribadi saya, yaitu: filsafat pengetahuan dan sosiolinguistik, maka saya memilih bahasa, pemikiran dan peradaban sebagai tema pidato pengukuhan ini.

B.    Bahasa
Dari istilah episteme yang berarti pengetahuan, epistemologi kini dikenal sebagai cabang kajian tentang bentuk-bentuk pengetahuan yang sahih. Sering pula disebut sebagai filsafat atau teori pengetahuan. Epistemologi meminati sejumlah pertanyaan, antara lain: Apakah mungkin memperoleh pengetahuan sejati? Bagaimanakah sifat-sifat dasar kebenaran? Apa saja keterbatasan pengetahuan? Metode apakah yang harus diterapkan untuk mendapatkan pengetahuan yang sahih? Bagaimana menilai suatu pernyataan apriori? Dimanakah batas antara subjektivitas dan objektivitas?
Lazimnya, selain logika dan matematika, epistemologi juga memandang bahasa sebagai piranti sangat penting untuk menghasilkan pengetahuan yang sahih. Dengan ungkapan lebih sederhana, bahasa merupakan salah satu sarana berpikir ilmiah, sekaligus juga sarana untuk menyampaikan hasil pemikiran ilmiah. Karena itu, penting sekali bagi siapa pun yang akan memasuki dunia pengetahuan secara umum untuk memahami hubungan antara bahasa dengan kegiatan berpikir.
Memang tidak banyak filsuf atau ilmuwan yang menaruh perhatian cukup besar terhadap hubungan antara bahasa dan pemikiran, apalagi dikaitkan dengan peradaban. Dari jumlah yang sedikit tersebut, bisa disebut antara lain Thomas Hobbes, Ludwig Wittgenstein, Ernest Cassirer, dan Michael Polanyi.
Mana yang lebih dulu dan lebih penting antara bahasa dan pemikiran? Bisakah tumbuh bahasa tanpa pemikiran? Mungkinkah pemikiran berlangsung tanpa bahasa? Barangkali itu merupakan sejumlah pertanyaan yang begitu menggoda untuk ditelaah terus-menerus.
Thomas Hobbes, seorang filsuf terkemuka berkebangsaan Inggris, mempertanyakan ”apa yang memungkinkan pengetahuan manusia terus-menerus berkembang?” Perenungannya sampai pada simpulan bahwa keistimewaan manusia terletak pada kemampuannya menandai secara simbolik setiap kenyataan. Contoh sangat sederhana tetapi cukup mengejutkan kita adalah, sebuah perhelatan yang demikian rumit seperti ini., ada kepanitiaan, pidato ilmiah, tamu-tamu terhormat, paduan suara, prosesi anggota senat, spanduk, konsumsi dan sebagainya.,, bisa ditandai secara simbolik dengan istilah ”pengukuhan”, sebuah istilah yang sangat ringkas, sederhana, dan mudah dipahami. Memang salah satu fungsi bahasa adalah untuk membuat simplifikasi realitas yang kompleks agar mudah dipahami.
Manusia mampu membentuk lambang atau memberi nama guna menandai setiap kenyataan, sedangkan binatang tidak mampu melakukan itu semua. Karena ada sediaan nama-nama itu, maka manusia mampu memanggil kembali dan mengaitkannya satu sama lain. Ilmu dan filsafat dimungkinkan kelahirannya karena kemampuan manusia untuk merumuskan kata-kata dan kalimat. Karena itu, pengetahuan manusia pun memiliki dua bentuk berbeda, yaitu: pengetahuan realitas dan pengetahuan konsekuensi.
Science and philosophy are possible because of man's capacity to formulate words and sentences. Knowledge, then, takes on two different forms, one being knowledge of reality, and the other knowledge of consequences.[6]
Walhasil, menjadi agak mudah untuk memahami pernyataan seorang filsuf bahasa kenamaan Ludwig Wittgenstein bahwa ”batas bahasaku adalah batas duniaku” (Die Grenzen meiner Sprache bedeuten die Grenzen meiner Welt).[7] Kalau ketidak-mampuan berbahasa adalah batas dunia binatang, maka kekurang-cakapan berbahasa juga membatasi dunia manusia. Pun bila dikehendaki memperluas dunia manusia, maka salah satu piranti utamanya adalah kecakapan berbahasa.
Ernest Cassirer, menggeser locus kajian filosofisnya pada persoalan hubungan antara bahasa dan pemikiran. Hasilnya, meskipun pada bidang kajian yang berbeda, mengingatkan tengara Emile Durkheim tentang kekhususan seorang pemikir luar biasa:
[That] a superb sociologist can hold views of society as radically different from those of the common man as are the views of physical reality held by the best physicists.[8]
Memang Ernest Cassirer juga melahirkan suatu simpulan  yang berbeda dari kecenderungan pemikiran awam. Kalau kebanyakan dari kita meyakini bahwa pembeda utama manusia dari binatang adalah kemampuan berpikirnya, maka Cassirer menegaskan bahwa manusia menjadi begitu istimewa karena bahasa. Ungkapan Erving Goffman, ”... human beings are symbol-using creatures”,[9] pada dasarnya sama dan sebangun dengan penyebutan Cassirer bahwa manusia adalah animal symbolicum.[10]
Secara filosofis, sebutan manusia sebagai makhluk pengguna simbol memiliki cakupan lebih luas dibanding sebutan manusia sebagai makhluk berpikir (homo sapiens), karena hanya dan hanya bila menggunakan bahasa maka manusia bisa berpikir dengan runtut, teratur, canggih, dan abstrak. Lebih lanjut, semua prestasi kolektif manusia, seperti khasanah pengetahuan keilmuan, kemajuan peradaban, serta keadiluhungan budaya, hampir pasti tidak bisa diwujudkan tanpa peran bahasa sebagai prasyarat utama.
Tanpa bahasa, maka tiada pula kemampuan manusia untuk meneruskan nilai-nilai, pola-pola perilaku, dan benda-benda budaya dari satu angkatan kepada angkatan penerusnya. Lebih dari itu, tanpa bahasa boleh jadi juga akan jauh lebih sulit membayangkan terjadinya pengayaan budaya melalui pertukaran antar kelompok masyarakat.
Sebegitu jauh, bahasa telah memberikan sumbangan paling pentingnya bagi umat manusia. Namun demikian, sebagaimana diuraikan oleh Michael Polanyi, seorang filsuf berkebangsaan Hongaria, terdapat paradoks hubungan antara bahasa dan pengetahuan. Di satu sisi, bahasa memungkinkan manusia untuk berbagi, mewariskan, dan mengembangkan hasil buah pemikiran, yang di antaranya adalah pengetahuan. Di sisi lain, karena sifat dasar yang juga tak terelakkan, ternyata bahasa juga cenderung menyederhanakan kenyataan yang seharusnya bisa dipaparkan, dijelaskan, dan bahkan diramalkan secara apa adanya oleh ilmu pengetahuan.
Berdasarkan tinjauan matra bahasa pula, Michael Polanyi menggolongkan dua jenis pengetahuan manusia (Periksa Bagan 1). Menurutnya, dari kenyataan (the whole reality) yang hampir tak terbatas, sebagian kecilnya merupakan kenyataan yang diketahui (the known reality) manusia, sehingga melahirkan pengetahuan (knowledge). Selanjutnya, dari khasanah pengetahuan yang jumlahnya juga masih luar biasa, sebagian besar masih merupakan pengetahuan tak terbahasakan (pre-articulated knowledge), sedangkan sebagian kecil di antaranya merupakan pengetahuan terbahasakan (articulated knowledge). Konsekuensinya, tak mungkin menarik simpulan  lain, kecuali bahwa manusia pada dasarnya mengetahui lebih banyak daripada yang bisa diucapkan (we know more than we can say).[11]


Heuristik Kebudayaan
Tiga sub-sistem sosio-budaya, yaitu: ideologi, organisasi sosial, dan teknologi, saling memengaruhi untuk akhirnya membentuk perilaku masyarakat. Sub-sistem ideologi menjawab pertanyaan mengapa dan kemana. Ini mencakup seperangkat nilai, keyakinan, serta pengetahuan yang dimiliki dan dianut oleh masyarakat. Faktor-faktor yang tercakup dalam ideologi, utamanya memberikan arah kepada perilaku dan tindakan masyarakat. Dengan ungkapan lain, ideologi berperan sebagai paradigma ideal-normatif.
Organisasi sosial menunjuk pada pola-pola hubungan, tatanan, serta pranata-pranata yang digunakan oleh manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya, atau cara-cara individu mengorganisasikan hubungan-hubungan dan interaksi mereka dengan orang lain.
Sub-sistem teknologi mencakup baik kegiatan maupun objek yang oleh masyarakat digunakan untuk mengatur atau mengelola lingkungan atau benda-benda di sekitarnya. Dengan demikian, teknologi menunjuk pada keterampilan, piranti, tata kerja, dan teknik yang digunakan manusia untuk mewujudkan kehendak yang diarahkan oleh ideologi. Teknologi menjawab pertanyaan dengan apa, cara apa, atau alat apa dan bagaimana.
Bila disepadankan dengan civilization, maka istilah peradaban hanya menunjuk kepada benda-benda buatan manusia (cultural materials). Namun demikian, bila disepadankan dengan tamaddun, istilah peradaban mencakup tidak hanya benda-benda buatan manusia yang bermutu tinggi, tetapi juga berbagai gagasan cemerlang dan bijaksana, serta pola-pola perilaku luhur dan bermartabat.
Tamaddun sendiri berasal dari bahasa Arab madinah atau kota dan madaniyah atau aspek material dari peradaban atau tamaddun itu. Sedangkan aspek intelektual dan spiritual daritamaddun itu disebut budaya, dalam bahasa Arab disebut tsaqaafah dan dalam bahasa Inggris disebut culture. Pendeknya tamaddun itu mengandung dua komponen: madaniyah yaitu aspek material dari tamaddun, dan kebudayaan adalah aspek intelektual dan spiritual dari tamaddun itu. Ibarat sebuah mobil, madaniyah adalah badan mobil, sedang budaya adalah mesin yang mendorong mobil supaya bergerak. Aspek lain dari budaya (tsaqaafah) selain dari ilmu adalah seni, moral, dan lain-lain. Semua ini berfungsi sebagai penggerak tamaddun, ibarat mesin pada mobil.[12]
Peradaban bisa dipahami sebagai pola-pola yang maju dan tinggi dalam cara-cara kehidupan umat manusia, yang meliputi dua aspek, yaitu aspek budaya yang merupakan jiwa dan aspek pemikiran dan batin, sedangkan aspek madaniyah merupakan bentuk kebendaan dan bentuk luar peradaban. Karena itu, membangun peradaban berarti pula usaha sungguh-sungguh untuk mengembangkan baik aspek tsaqaafah dan aspek madaniyah.
Bertolak dari takrif yang diberikan kepada tamaddun, dapat kita simpulkan bahwa tamaddun tiada lain adalah proses dan hasil tindakan manusia. Rangkaian tindakan manusia bisa dikias sebagai batu-bata yang membangun tamaddun. Rangkaian tindakan manusia bisa dipilah menjadi dua kelompok besar, yaitu: (1) tindakan manusia sebagai akibat dari interaksinya dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan orang lain, baik sebagai individu, sebagai anggota masyarakat, maupun sebagai umat manusia, (2) tindakan manusia sebagai akibat dari interaksinya dengan alam, benda-benda, serta makhluk-makhluk lain.
Unsur-unsur tindakan manusia, sehagaimana dapat disimpulkan dari sejarah umat dan ayat-ayat- al-Qur’an, terdiri dari: kehendak bebas, kemampuan, dan pengetahuan. Tanpa kehendak bebas manusia tak dapat berbuat apa-apa, apalagi dalam fungsinya sebagai khalifah. Oleh sebab itu, unsur ini juga membedakan manusia dari makhluk lain. Malaikat tidak diangkat sebagai khalifah karena patuh sepenuhnya kepada perintah kepada Allah, dan tidak memiliki kehendak bebas. Namun kehendak bebas manusia bersifat terbatas. Seseorang, misalnya, tidak sanggup memilih ibu dan atau bapak yang akan melahirkannya. Kebebasan manusia dibatasi oleh kemampuan dan kodratnya, baik sebagai individu atau sebagai masyarakat.
Agar tindakan manusia itu tidak bersifat acak, maka ia memerlukan ilmu. Bagi manusia, ilmu berfungsi: (1) membimbingnya untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk, (2) menolong kemampuan yang terbatas itu agar lebih luas jangkauannya. Ilmu dan teknologi modern tidak menciptakan kemampuan baru manusia, tetapi hanya menolong dengan mempertajam dan memperluas kemampuan manusia.
Tampak jelas bahwa istilah peradaban lebih bermuatan nilai (value weighted) dibanding istilah kebudayaan. Karena itu, kita bisa mengatakan ada peradaban yang maju, tetapi tidak bisa mengatakan kebudayaan yang rendah. Tidak mengherankan kalau klaim tentang kebudayaan tinggi dan kebudayaan rendah senantiasa dipersoalkan.[13] 
Praktik berbahasa suatu masyarakat atau seseorang, mengacu konsep peradaban demikian, pada hakikatnya juga mencerminkan keberadaban masyarakat atau seseorang dimaksud.
Kemajuan peradaban, sejauh ia bergantung pada hasil pikiran kolektif manusia, dimungkinkan karena menyatunya tiga karakteristik manusia sebagai homo symbolicum, yang melandasi kegiatannya sebagai homo sapiens. Kegiatan manusia sebagai homo sapiens, pada gilirannya, melandasi perilakunya sebagai homo faber. Ini menjelaskan bahwa prestasi kolektif manusia sebagai makhluk perekayasa (homo faber) hanya akan berkembang pesat apabila dilandasi oleh bangunan pengetahuan yang logik dan teruji (logical and verified knowledge) sebagai hasil kegiatannya selaku makhluk bernalar (homo sapiens). Sebagaimana dijelaskan tentang hubungan antara karakteristik manusia sebagaihomo symbolicum dan sebagai homo sapiens, hanya dan hanya bila menggunakan bahasa maka manusia bisa berpikir dengan runtut, teratur, canggih, dan abstrak sebagaimana dituntut dalam kegiatan keilmuan. Walhasil, kemajuan peradaban diprasyarati oleh kemajuan pengetahuan. Kemajuan pengetahuan diprasyarati oleh kemapanan bahasa. Hasil kajian Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), bisa menjelaskan proposisi berantai tersebut.
Peter Russel mencoba menghitung laju dan percepatan pertumbuhan ilmu dan teknologi dengan hasil cukup mengejutkan.[14] Andai kita membiji satu satuan pengetahuan kolektif manusia untuk Tahun 1 Masehi, itu dicapai manusia selama 50.000 tahun. Menjelang tahun 1500, karena manusia telah berhasil mengembangkan sistem bahasa tulis, volume pengetahuan mengalami penggandaan, menjadi dua kali lebih besar daripada sebelumnya. Penggandaan berikutnya terjadi tahun 1750. Hingga awal 1900-an, jumlah pengetahuan kolektif manusia sudah mencapai 8 (delapan) satuan.
Masa penggandaan makin lama makin singkat. Untuk penggandaan berikutnya, umat manusia hanya butuh waktu 50 tahun, yang menurun lagi menjadi 10 tahun. Pada tahun 1960 umat manusia memiliki 32 satuan pengetahuan kolektif. Tiga belas tahun kemudian (1973) menjadi 128 satuan. Kini, penggandaan akan terjadi setiap 18 bulan. Tak pelak lagi, timbunan pengetahuan umat manusia sekarang jauh lebih besar ketimbang yang terkumpul selama 7 millenia alias 7000 tahun.
Mencermati peran sangat penting bahasa, dan lebih-lebih bahasa tulis dalam memajukan peradaban, tidak mengherankan kalau sosiolog terkemuka Talcott Parsons juga menempat pemilikan bahasa sebagai salah satu tahap paling kritis berkembangnya peradaban. Selengkapnya, Talcott Parsons menteorikan lima tahapan perkembangan kebudayaan, yaitu: (1) kebudayaan primitif, (2) kebudayaan baca-tulis, (3) kewarga-negaraan luas, (4) filsafat dan kesusasteraan, dan (5) kebudayaan berkaidah hukum dan agama universalistic.[15]
Para ahli bahasa menilai bahwa keterancaman bahasa merupakan masalah yang sungguh sangat serius karena memiliki konsekuensi humanistik dan keilmuan. Belakangan ini para ahli sosiolinguistik dan antropolinguistik semakin memahami pengaruh kepunahan bahasa terhadap masyarakat. Salah satu pengaruh paling menonjol dari punahnya suatu bahasa, baik karena terpaksa maupun sukarela,  adalah hilangnya identitas sosial. Lebih memprihatinkan lagi, kehilangan juga sampai pada aspek-aspek budaya, spiritual dan intelektual.
Moreover, the loss is not only a matter of perceived identity. Much of the cultural, spiritual, and intellectual life of a people is experienced through language. This ranges from prayers, myths, ceremonies, poetry, oratory, and technical vocabulary, to everyday greetings, leave-takings, conversational styles, humor, ways of speaking to children, and unique terms for habits, behavior, and emotions. When a language is lost, all this must be refashioned in the new language with different word categories, sounds, and grammatical structuresif it is to be kept at all. Linguists' work in communities when language shift is occurring shows that for the most part such refashioning, even when social identity is maintained, involves abrupt loss of tradition. More often, the cultural forms of the colonial power take over, transmitted often by television.[16]
Memang bisa saja dikatakan bahwa kepunahan sejumlah bahasa merupakan akibat tak terelakkan dari kemajuan dan akan meningkatkan kesaling-pemahaman antar kelompok masyarakat. Namun demikian, semestinya tujuan ini dapat dicapai dengan belajar bahasa kedua atau ketiga, dan bukan dengan membiarkan punahnya bahasa daerah sebagai bahasa pertama. Sebab, meminjam ungkapan Galtung, kepunahan suatu bahasa daerah lebih merupakan akibat kekerasan struktural terhadap keragaman budaya.





BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Sifat kepirantian bahasa memungkinkan manusia untuk terus-menerus memperluas tingkat keserba-gunaan bahasa. Praksis berbahasa pun niscaya menampilkan dinamika sosial, corak masyarakat dan perangai penggunanya. Karena itu, sebagai bidang kajian lintas-disiplin, sosiolinguistik memiliki daya-tarik tersendiri dan masa depan yang prospektif.
Bahasa yang bersinergi dengan pemikiran, merupakan prasyarat utama bagi usaha memajukan peradaban, karena bahasa dan pemikiran merupakan aspek batinian (tsaqaafah) dari peradaban. Hanya bila aspek batiniah ini berkembang dengan baik maka aspek kebendaan (madaniyah) dari peradaban juga akan berkembang. Sebagai lembaga yang digagas menjadi pusat peradaban Islam.
Betapapun manusia berdasarkan kecakapan bahasa, logika dan indra bisa mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, masih saja tersisa wilayah yang tak terungkap. Implikasinya, ilmu pengetahuan dan teknologi hanya bekerja efektif untuk memahami, menjelaskan dan sejauh mungkin memanfaatkan segala sesuatu yang berada di alam shahadah (empirical world). Fenomena alam ghaib (non-empirical world) terlalu sulit dan mustahil untuk diungkap oleh ilmu pengetahuan empirik (al-ma’arif). Sebagaimana tampak jelas, kegiatan keilmuan berpotensi untuk sampai pada keyakinan terhadap yangghaib. Namun demikian, ilmu pengetahuan saja tidak cukup untuk mengantarkan kita manusia yang baik. Untuk menjadi baik, manusia membutuhkan petunjuk yang lebih jelas sebagaimana telah diemban oleh agama.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam,Cet VII Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2002
Anthony Woodbury, Endangered Languages, a Working Paper, the University of Texas, Austin. 2005
Ernest Cassirer, An Essay on Man, New Haven: Yale University Press, 1944
Esposito, John L., The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Cet. I,New York: Oxford University Press, 1995[1]
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke 21, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1988
Ignas Kleden, Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan, dalam Prisma, No 5, Mei 1987
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, London: Routledge & Kegan Paul, 1972
Michael Polanyi, The Study of Man Chicago: The University of Chicago Press, 1959
Peter Russel, The White Hole in Time: Our Future Evolution and the Meaning of Now, New York: The Acquiran Press, 1992
Ray P. Cuzzort and Edith W. King, Social Thought, Colorado: Holt, Rinehart and Winston, 1990
Ray P. Cuzzort and Edith W. King, Social Thought, Colorado: Holt, Rinehart and Winston, 1990
Sakban Rosidi, The History of Modern Thought, (Malang: Center of Inter-Disiciplinary Study and Cooperation, 2002
Talcott Parsons, Societies: Evolutionary and Comparative Perspectives, (Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, 1966
Taufik Abdullah (ed), Sejarah dan Masyarakat. Jakarta :Pustaka Firdaus, 1987




[1] Esposito, John L., The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Cet. I,New York: Oxford University Press, 1995, Vol. 2
[2] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam,Cet VII (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2002), h. 47. 
[3] Taufik Abdullah (ed), Sejarah dan Masyarakat. (Jakarta :Pustaka Firdaus, 1987),h.105
[4] Ditulis ulang dari Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surat Al-Baqarah, ayat 30-34 (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971).
[5] Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Periksa Al-Qur’an Terjemahannya, Surat At Tiin, ayat 4 (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971
[6] Sakban Rosidi, The History of Modern Thought, (Malang: Center of Inter-Disiciplinary Study and Cooperation, 2002)  pp. 28.
[7] Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, (London: Routledge & Kegan Paul, 1972), pp. 115
[8] Ray P. Cuzzort and Edith W. King, Social Thought, (Colorado: Holt, Rinehart and Winston, 1990) pp. 62
[9] Ray P. Cuzzort and Edith W. King, Social Thought, (Colorado: Holt, Rinehart and Winston, 1990) pp. 28
[10] Ernest Cassirer, An Essay on Man, (New Haven: Yale University Press, 1944)
[11] Michael Polanyi, The Study of Man, (Chicago: The University of Chicago Press, 1959)
[12] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke 21, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1988), h. 17
[13] Ignas Kleden, Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan, dalam Prisma, No 5, Mei 1987
[14] Peter Russel, The White Hole in Time: Our Future Evolution and the Meaning of Now, (New York: The Acquiran Press, 1992).
[15] Talcott Parsons, Societies: Evolutionary and Comparative Perspectives, (Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, 1966).
[16]  Anthony Woodbury, Endangered Languages, a Working Paper, the University of Texas, Austin. 2005

No comments:

Post a Comment