Mata Kuliah:
Sejarah dan Peradaban Islam
FAKTOR-FAKTOR KEMAJUAN PERADABAN
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Peradaban memiliki kaitan yang erat dengan
kebudayan. Kebudayaan hakikatnya adalah hasil cipta, rasa , dan karsa manusia.
Peradaban merupakan tahap tertentu dari kebudayaan masyarakat yang telah
mencapai kemajuan tertentu yang dicirikan oleh tingkat ilmu pengetahuan,
tekhnologi dan seni.
Sejarah peradaban manusia pada dasarnya dimulai
sejak awal kehidupan manusia di bumi ini. Ia memiliki banyak defenisi dalam
berbagai variasinya, tergantung dari sudut mana orang mendefenisikan kata
peradaban itu. Konsep mengenai peradaban biasanya selalu dipertentangkan dengan
konsep ‘barbarisme’ atau dalam bahasa Islam disebut ‘zaman jahiliyah’.
Peradaban juga sering dikaitkan dengan ‘tidak tersosialisasikannya nilai-nilai
yang merangsang timbulnya pencerahan dalam suatu masyarakat’. Antitesis dari
peradaban ternyata bukanlah konsep mengenai sebuah “masyarakat atau negara yang
tak tercerahkan,” melainkan lebih merupakan fenomena etnis dan antropologis
yang terjadi pada suatu masyarakat, baik pada masyarakat primitif atau yang
terjadi pada masyarakat modern.
Dalam terbentuknya sebuah peradaban dalam
masyarakat atau bangsa, dan untuk berdiri sebuah peradaban dalam sebuah
wilayah, maka ada beberapa syarat yang harus dilalui untuk berkembang dan
majunya sebuah peradaban. Bahasa merupakan kekuatan dari sebuah peradaban,
bahasa yang merupakan factor majunya sebuah peradaban selain dari factor
lingkungan.
Bahasa yang berbeda, warna kulit yang berbeda
yang dimiliki oleh setiap manusia merupakannn Sunnatullah, dalam makalah ini
akan dipaparkan mengenai factor majinya sebuah peradaban dilihat dari segi
bahasa.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1.
Apa itu Perkembangan Peradaban ?
2.
Apakah Pengaruh Bahasa dalam Kemajuan Sebuah Peradaban
?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peradaban
Berbicara mengenai perkembangan peradaban
diawali dengan hakikat peradaban itu sendiri. Dimulai dengan definisi peradaban
itu sendiri. Peradaban mengambil dari kata civilitation yang
berarti nilai hidup satu kelompok atau bangsa dalam merespons tantangan masa
yang dihadapinya dalam era tertentu.[1]
Peradaban adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut
bagian-bagian atau unsur-unsur suatu kebudayaan yang dianggap halus, maju, dan
indah. Dalam definisi peradaban juga mengandung adanya perkembangan pengetahuan
dan kecakapan, sehingga orang memungkinkan memiliki adab. Salah satu cirri
manusia beradab adalah mampu mengendalikan diri, yakni menyangkut sopan santun,
budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa. Peradaban juga sering merujuk pada
kemajuan ekonomi, teknologi, dan politik.
Melalui pendekatan sejarah peradaban, maka diajak
untuk menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia.[2] Dari
keadaan ini, maka akan terlihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang
terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Menurut Taufik Abdullah, sejarah adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas
berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar
belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut.[3] Sehingga menurut ilmu ini segala
peristiwa adalah fakta atau realitas yang bersifat empiris-obyektif dan dapat
dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya dan
siapa yang melihat peristiwa tersebut.
Manusia adalah sama karena
dibekali Tuhan dengan Cipta, Rasa, dan Karsa, yang membedakan adalah perwujudan
budaya karena lingkungan yang berbeda menurut keadaan, waktu dan tempat.
Perwujudan budaya yang hanya menekankan pada akal(ratio) saja akan berlainan
denganperwujudan budaya yang didasarkan pada akal, nurani, dan kehendak.
Perwujudan budaya yang mengedapkan akal, maka akan timbul peradaban yang
berbeda, karena peradaban akan diukur dari tingkat berfikir manusia, maka akan
muncul istilah peradaban tinggi bukan lagi kebudayaan tinggi. Berbeda dengan yang menekankan ketiga unsur, (rasa,
cipta, karsa) maka akan muncul kebudayaan-kebudayaan yang bernilai tinggi.
Tiada keraguan bahwa bahasa merupakan unsur pokok dan prasyarat utama perkembangan peradaban manusia. Oleh karena itu, menjadi menarik untuk kembali mengajukan sebuah pertanyaan klasik seputar kelahiran bahasa yang selama ini telah menjadi perdebatan para ahli dan filsuf bahasa. Sejak kapan bahasa ada? Secara sambil lalu mungkin bisa dijawab sejak manusia ada. Bila nirmana (perspective) evolusionisme Darwinian digunakan, maka bahasa lahir bersamaan dengan munculnya spesies homo sapiens.
Sayang sekali,
seperti teori dasarnya yang gagal menemukan matarantai yang hilang (missing
link), perluasan teori ini di bidang sosial-budaya juga gagal menghadirkan
sedikit saja bukti tentang kehebatan manusia sebagai pencipta bahasa. Karena
itu, alih-alih meninggalkan begitu saja pertanyaan ini, sebagai pengiman kitab
suci, saya justru menawarkan sebuah titik tolak peristiwa bahasa pertama
berdasarkan kisah penciptaan manusia pertama.
Dengan sedikit
perenungan, akan tampak jelas bagaimana dalam kisah penciptaan Adam terdapat
dialog yang tidak saja membuktikan adanya peristiwa bahasa pertama, tetapi juga
menjelaskan kekhususan manusia dibanding makhluk lain, serta alasan mendasar
atas fenomena penguasaan manusia atas bumi.
“Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
“Dan Dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian
mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang
benar!"
“Mereka
menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa
yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Allah
berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda
ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu,
Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya
Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan
dan apa yang kamu sembunyikan?"
Dan (Ingatlah)
ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada
Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan
adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.[4]
Ada pelajaran
sangat penting dari peristiwa bahasa pertama ini. Penguasaan kosa kata serta
kecakapan merangkai kata-kata secara bermakna, sejauh mengikuti logika terbatas
atas wacana tersebut, bisa ditafsir sebagai ciri kualitatif non-fisik Adam
dibanding dengan makhluk lain. Ciri-ciri lain, misalnya dalam At-Tiin lebih
menunjuk pada ciri kuantitatif fisik.[5] Oleh
karena itu, ditambah dengan penegasan dan perintah dan bahkan sindiran berkali-kali
agar manusia menggunakan akal atau berpikir, paling tidak terdapat tiga
keistimewaan manusia dibanding makhluk lain, yaitu: penguasaan bahasa,
kemampuan berpikir, dan kesempurnaan bentuk ragawi.
Secara teoretik
terdapat sinergi sangat kuat di antara ketiga ciri istimewa manusia tersebut.
Tanpa bahasa, maka sehebat apa pun pemikiran tidak akan bisa disampaikan kepada
dan dipahami oleh orang lain. Demikian pula, tanpa pemikiran, maka bahasa
manusia juga tidak akan berkembang sebagaimana sekarang. Sinergi antara bahasa
dan pemikiran manusia ini pula yang mengantarkan manusia untuk tidak saja
menyempurnakan penampilan ragawi mereka, tetapi juga mengatasi berbagai
keterbatasan ragawi mereka sehingga memberi jalan bagi lahirnya fenomena khas
manusia berupa kebudayaan, dan secara lebih khusus peradaban. Juga tampak dari
perintah untuk menghormat kepada pemilik bahasa dan buah pemikiran berupa
pengetahuan, betapa Islam menempatkan bahasa dan pemikiran secara sangat
terhormat.
Menghayati kedudukan terhormat bahasa dan
pemikiran, yang memberi jalan bagi kelahiran peradaban manusia, maka sesuai
dengan bidang minat kajian pribadi saya, yaitu: filsafat pengetahuan dan
sosiolinguistik, maka saya memilih bahasa, pemikiran dan peradaban sebagai tema
pidato pengukuhan ini.
B. Bahasa
Dari istilah
episteme yang berarti pengetahuan, epistemologi kini dikenal sebagai cabang
kajian tentang bentuk-bentuk pengetahuan yang sahih. Sering pula disebut
sebagai filsafat atau teori pengetahuan. Epistemologi meminati sejumlah
pertanyaan, antara lain: Apakah mungkin memperoleh pengetahuan sejati?
Bagaimanakah sifat-sifat dasar kebenaran? Apa saja keterbatasan pengetahuan?
Metode apakah yang harus diterapkan untuk mendapatkan pengetahuan yang sahih?
Bagaimana menilai suatu pernyataan apriori? Dimanakah batas antara
subjektivitas dan objektivitas?
Lazimnya,
selain logika dan matematika, epistemologi juga memandang bahasa sebagai
piranti sangat penting untuk menghasilkan pengetahuan yang sahih. Dengan
ungkapan lebih sederhana, bahasa merupakan salah satu sarana berpikir ilmiah,
sekaligus juga sarana untuk menyampaikan hasil pemikiran ilmiah. Karena itu,
penting sekali bagi siapa pun yang akan memasuki dunia pengetahuan secara umum
untuk memahami hubungan antara bahasa dengan kegiatan berpikir.
Memang tidak
banyak filsuf atau ilmuwan yang menaruh perhatian cukup besar terhadap hubungan
antara bahasa dan pemikiran, apalagi dikaitkan dengan peradaban. Dari jumlah
yang sedikit tersebut, bisa disebut antara lain Thomas Hobbes, Ludwig
Wittgenstein, Ernest Cassirer, dan Michael Polanyi.
Mana yang lebih
dulu dan lebih penting antara bahasa dan pemikiran? Bisakah tumbuh bahasa tanpa
pemikiran? Mungkinkah pemikiran berlangsung tanpa bahasa? Barangkali itu
merupakan sejumlah pertanyaan yang begitu menggoda untuk ditelaah
terus-menerus.
Thomas Hobbes,
seorang filsuf terkemuka berkebangsaan Inggris, mempertanyakan ”apa yang
memungkinkan pengetahuan manusia terus-menerus berkembang?” Perenungannya
sampai pada simpulan bahwa keistimewaan manusia terletak pada kemampuannya
menandai secara simbolik setiap kenyataan. Contoh sangat sederhana tetapi cukup
mengejutkan kita adalah, sebuah perhelatan yang demikian rumit seperti ini.,
ada kepanitiaan, pidato ilmiah, tamu-tamu terhormat, paduan suara, prosesi
anggota senat, spanduk, konsumsi dan sebagainya.,, bisa ditandai secara
simbolik dengan istilah ”pengukuhan”, sebuah istilah yang sangat ringkas,
sederhana, dan mudah dipahami. Memang salah satu fungsi bahasa adalah untuk
membuat simplifikasi realitas yang kompleks agar mudah dipahami.
Manusia mampu
membentuk lambang atau memberi nama guna menandai setiap kenyataan, sedangkan
binatang tidak mampu melakukan itu semua. Karena ada sediaan nama-nama itu,
maka manusia mampu memanggil kembali dan mengaitkannya satu sama lain. Ilmu dan
filsafat dimungkinkan kelahirannya karena kemampuan manusia untuk merumuskan
kata-kata dan kalimat. Karena itu, pengetahuan manusia pun memiliki dua bentuk
berbeda, yaitu: pengetahuan realitas dan pengetahuan konsekuensi.
Science and
philosophy are possible because of man's capacity to formulate words and
sentences. Knowledge, then, takes on two different forms, one being knowledge
of reality, and the other knowledge of consequences.[6]
Walhasil,
menjadi agak mudah untuk memahami pernyataan seorang filsuf bahasa kenamaan
Ludwig Wittgenstein bahwa ”batas bahasaku adalah batas duniaku” (Die Grenzen
meiner Sprache bedeuten die Grenzen meiner Welt).[7] Kalau
ketidak-mampuan berbahasa adalah batas dunia binatang, maka kekurang-cakapan
berbahasa juga membatasi dunia manusia. Pun bila dikehendaki memperluas dunia
manusia, maka salah satu piranti utamanya adalah kecakapan berbahasa.
Ernest
Cassirer, menggeser locus kajian filosofisnya pada persoalan
hubungan antara bahasa dan pemikiran. Hasilnya, meskipun pada bidang kajian
yang berbeda, mengingatkan tengara Emile Durkheim tentang kekhususan seorang
pemikir luar biasa:
[That] a superb sociologist can hold views
of society as radically different from those of the common man as are the views
of physical reality held by the best physicists.[8]
Memang Ernest
Cassirer juga melahirkan suatu simpulan yang berbeda dari kecenderungan
pemikiran awam. Kalau kebanyakan dari kita meyakini bahwa pembeda utama manusia
dari binatang adalah kemampuan berpikirnya, maka Cassirer menegaskan bahwa
manusia menjadi begitu istimewa karena bahasa. Ungkapan Erving Goffman, ”... human
beings are symbol-using creatures”,[9] pada
dasarnya sama dan sebangun dengan penyebutan Cassirer bahwa manusia
adalah animal symbolicum.[10]
Secara filosofis, sebutan manusia sebagai
makhluk pengguna simbol memiliki cakupan lebih luas dibanding sebutan manusia
sebagai makhluk berpikir (homo sapiens), karena hanya dan hanya bila
menggunakan bahasa maka manusia bisa berpikir dengan runtut, teratur, canggih,
dan abstrak. Lebih lanjut, semua prestasi kolektif manusia, seperti khasanah
pengetahuan keilmuan, kemajuan peradaban, serta keadiluhungan budaya, hampir
pasti tidak bisa diwujudkan tanpa peran bahasa sebagai prasyarat utama.
Tanpa bahasa, maka tiada pula kemampuan manusia
untuk meneruskan nilai-nilai, pola-pola perilaku, dan benda-benda budaya dari
satu angkatan kepada angkatan penerusnya. Lebih dari itu, tanpa bahasa boleh
jadi juga akan jauh lebih sulit membayangkan terjadinya pengayaan budaya
melalui pertukaran antar kelompok masyarakat.
Sebegitu jauh, bahasa telah memberikan
sumbangan paling pentingnya bagi umat manusia. Namun demikian, sebagaimana
diuraikan oleh Michael Polanyi, seorang filsuf berkebangsaan Hongaria, terdapat
paradoks hubungan antara bahasa dan pengetahuan. Di satu sisi, bahasa
memungkinkan manusia untuk berbagi, mewariskan, dan mengembangkan hasil buah
pemikiran, yang di antaranya adalah pengetahuan. Di sisi lain, karena sifat
dasar yang juga tak terelakkan, ternyata bahasa juga cenderung menyederhanakan
kenyataan yang seharusnya bisa dipaparkan, dijelaskan, dan bahkan diramalkan
secara apa adanya oleh ilmu pengetahuan.
Berdasarkan tinjauan matra bahasa pula, Michael
Polanyi menggolongkan dua jenis pengetahuan manusia (Periksa Bagan 1). Menurutnya,
dari kenyataan (the whole reality) yang hampir tak terbatas, sebagian
kecilnya merupakan kenyataan yang diketahui (the known reality) manusia,
sehingga melahirkan pengetahuan (knowledge). Selanjutnya, dari khasanah
pengetahuan yang jumlahnya juga masih luar biasa, sebagian besar masih
merupakan pengetahuan tak terbahasakan (pre-articulated knowledge),
sedangkan sebagian kecil di antaranya merupakan pengetahuan terbahasakan (articulated
knowledge). Konsekuensinya, tak mungkin menarik simpulan lain, kecuali
bahwa manusia pada dasarnya mengetahui lebih banyak daripada yang bisa
diucapkan (we know more than we can say).[11]
Heuristik Kebudayaan
Tiga sub-sistem
sosio-budaya, yaitu: ideologi, organisasi sosial, dan teknologi, saling
memengaruhi untuk akhirnya membentuk perilaku masyarakat. Sub-sistem ideologi
menjawab pertanyaan mengapa dan kemana. Ini mencakup seperangkat nilai,
keyakinan, serta pengetahuan yang dimiliki dan dianut oleh masyarakat.
Faktor-faktor yang tercakup dalam ideologi, utamanya memberikan arah kepada
perilaku dan tindakan masyarakat. Dengan ungkapan lain, ideologi berperan
sebagai paradigma ideal-normatif.
Organisasi
sosial menunjuk pada pola-pola hubungan, tatanan, serta pranata-pranata yang
digunakan oleh manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya, atau cara-cara
individu mengorganisasikan hubungan-hubungan dan interaksi mereka dengan orang
lain.
Sub-sistem
teknologi mencakup baik kegiatan maupun objek yang oleh masyarakat digunakan
untuk mengatur atau mengelola lingkungan atau benda-benda di sekitarnya. Dengan
demikian, teknologi menunjuk pada keterampilan, piranti, tata kerja, dan teknik
yang digunakan manusia untuk mewujudkan kehendak yang diarahkan oleh ideologi.
Teknologi menjawab pertanyaan dengan apa, cara apa, atau alat apa dan bagaimana.
Bila
disepadankan dengan civilization, maka istilah peradaban hanya
menunjuk kepada benda-benda buatan manusia (cultural materials). Namun
demikian, bila disepadankan dengan tamaddun, istilah peradaban
mencakup tidak hanya benda-benda buatan manusia yang bermutu tinggi, tetapi
juga berbagai gagasan cemerlang dan bijaksana, serta pola-pola perilaku luhur
dan bermartabat.
Tamaddun sendiri
berasal dari bahasa Arab madinah atau kota dan madaniyah atau aspek material
dari peradaban atau tamaddun itu. Sedangkan aspek intelektual
dan spiritual daritamaddun itu disebut budaya, dalam bahasa Arab
disebut tsaqaafah dan dalam bahasa Inggris disebut culture.
Pendeknya tamaddun itu mengandung dua komponen: madaniyah
yaitu aspek material dari tamaddun, dan kebudayaan adalah aspek
intelektual dan spiritual dari tamaddun itu. Ibarat sebuah
mobil, madaniyah adalah badan mobil, sedang budaya adalah
mesin yang mendorong mobil supaya bergerak. Aspek lain dari budaya (tsaqaafah)
selain dari ilmu adalah seni, moral, dan lain-lain. Semua ini berfungsi sebagai
penggerak tamaddun, ibarat mesin pada mobil.[12]
Peradaban bisa
dipahami sebagai pola-pola yang maju dan tinggi dalam cara-cara kehidupan umat
manusia, yang meliputi dua aspek, yaitu aspek budaya yang merupakan jiwa dan aspek
pemikiran dan batin, sedangkan aspek madaniyah merupakan bentuk kebendaan dan
bentuk luar peradaban. Karena itu, membangun peradaban berarti pula usaha
sungguh-sungguh untuk mengembangkan baik aspek tsaqaafah dan aspek madaniyah.
Bertolak dari
takrif yang diberikan kepada tamaddun, dapat kita simpulkan bahwa tamaddun
tiada lain adalah proses dan hasil tindakan manusia. Rangkaian tindakan manusia
bisa dikias sebagai batu-bata yang membangun tamaddun. Rangkaian tindakan
manusia bisa dipilah menjadi dua kelompok besar, yaitu: (1) tindakan manusia
sebagai akibat dari interaksinya dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan
orang lain, baik sebagai individu, sebagai anggota masyarakat, maupun sebagai
umat manusia, (2) tindakan manusia sebagai akibat dari interaksinya dengan
alam, benda-benda, serta makhluk-makhluk lain.
Unsur-unsur
tindakan manusia, sehagaimana dapat disimpulkan dari sejarah umat dan
ayat-ayat- al-Qur’an, terdiri dari: kehendak bebas, kemampuan, dan pengetahuan.
Tanpa kehendak bebas manusia tak dapat berbuat apa-apa, apalagi dalam fungsinya
sebagai khalifah. Oleh sebab itu, unsur ini juga membedakan manusia dari
makhluk lain. Malaikat tidak diangkat sebagai khalifah karena patuh sepenuhnya
kepada perintah kepada Allah, dan tidak memiliki kehendak bebas. Namun kehendak
bebas manusia bersifat terbatas. Seseorang, misalnya, tidak sanggup memilih ibu
dan atau bapak yang akan melahirkannya. Kebebasan manusia dibatasi oleh
kemampuan dan kodratnya, baik sebagai individu atau sebagai masyarakat.
Agar tindakan
manusia itu tidak bersifat acak, maka ia memerlukan ilmu. Bagi manusia, ilmu
berfungsi: (1) membimbingnya untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk,
(2) menolong kemampuan yang terbatas itu agar lebih luas jangkauannya. Ilmu dan
teknologi modern tidak menciptakan kemampuan baru manusia, tetapi hanya
menolong dengan mempertajam dan memperluas kemampuan manusia.
Tampak jelas
bahwa istilah peradaban lebih bermuatan nilai (value weighted) dibanding
istilah kebudayaan. Karena itu, kita bisa mengatakan ada peradaban yang maju,
tetapi tidak bisa mengatakan kebudayaan yang rendah. Tidak mengherankan kalau
klaim tentang kebudayaan tinggi dan kebudayaan rendah senantiasa dipersoalkan.[13]
Praktik
berbahasa suatu masyarakat atau seseorang, mengacu konsep peradaban demikian,
pada hakikatnya juga mencerminkan keberadaban masyarakat atau seseorang
dimaksud.
Kemajuan
peradaban, sejauh ia bergantung pada hasil pikiran kolektif manusia,
dimungkinkan karena menyatunya tiga karakteristik manusia sebagai homo symbolicum,
yang melandasi kegiatannya sebagai homo sapiens. Kegiatan
manusia sebagai homo sapiens, pada gilirannya, melandasi
perilakunya sebagai homo faber. Ini menjelaskan bahwa prestasi
kolektif manusia sebagai makhluk perekayasa (homo faber) hanya akan
berkembang pesat apabila dilandasi oleh bangunan pengetahuan yang logik dan
teruji (logical and verified knowledge) sebagai hasil kegiatannya selaku
makhluk bernalar (homo sapiens). Sebagaimana dijelaskan tentang hubungan
antara karakteristik manusia sebagaihomo symbolicum dan
sebagai homo sapiens, hanya dan hanya bila menggunakan bahasa maka
manusia bisa berpikir dengan runtut, teratur, canggih, dan abstrak sebagaimana
dituntut dalam kegiatan keilmuan. Walhasil, kemajuan peradaban diprasyarati
oleh kemajuan pengetahuan. Kemajuan pengetahuan diprasyarati oleh kemapanan
bahasa. Hasil kajian Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD), bisa menjelaskan proposisi berantai tersebut.
Peter Russel
mencoba menghitung laju dan percepatan pertumbuhan ilmu dan teknologi dengan
hasil cukup mengejutkan.[14] Andai
kita membiji satu satuan pengetahuan kolektif manusia untuk Tahun 1 Masehi, itu
dicapai manusia selama 50.000 tahun. Menjelang tahun 1500, karena manusia telah
berhasil mengembangkan sistem bahasa tulis, volume pengetahuan mengalami
penggandaan, menjadi dua kali lebih besar daripada sebelumnya. Penggandaan
berikutnya terjadi tahun 1750. Hingga awal 1900-an, jumlah pengetahuan kolektif
manusia sudah mencapai 8 (delapan) satuan.
Masa
penggandaan makin lama makin singkat. Untuk penggandaan berikutnya, umat
manusia hanya butuh waktu 50 tahun, yang menurun lagi menjadi 10 tahun. Pada
tahun 1960 umat manusia memiliki 32 satuan pengetahuan kolektif. Tiga belas
tahun kemudian (1973) menjadi 128 satuan. Kini, penggandaan akan terjadi setiap
18 bulan. Tak pelak lagi, timbunan pengetahuan umat manusia sekarang jauh lebih
besar ketimbang yang terkumpul selama 7 millenia alias 7000 tahun.
Mencermati
peran sangat penting bahasa, dan lebih-lebih bahasa tulis dalam memajukan
peradaban, tidak mengherankan kalau sosiolog terkemuka Talcott Parsons juga
menempat pemilikan bahasa sebagai salah satu tahap paling kritis berkembangnya
peradaban. Selengkapnya, Talcott Parsons menteorikan lima tahapan perkembangan
kebudayaan, yaitu: (1) kebudayaan primitif, (2) kebudayaan baca-tulis, (3)
kewarga-negaraan luas, (4) filsafat dan kesusasteraan, dan (5) kebudayaan
berkaidah hukum dan agama universalistic.[15]
Para ahli
bahasa menilai bahwa keterancaman bahasa merupakan masalah yang sungguh sangat
serius karena memiliki konsekuensi humanistik dan keilmuan. Belakangan ini para
ahli sosiolinguistik dan antropolinguistik semakin memahami pengaruh kepunahan
bahasa terhadap masyarakat. Salah satu pengaruh paling menonjol dari punahnya
suatu bahasa, baik karena terpaksa maupun sukarela, adalah hilangnya
identitas sosial. Lebih memprihatinkan lagi, kehilangan juga sampai pada
aspek-aspek budaya, spiritual dan intelektual.
Moreover, the
loss is not only a matter of perceived identity. Much of the cultural,
spiritual, and intellectual life of a people is experienced through language.
This ranges from prayers, myths, ceremonies, poetry, oratory, and technical
vocabulary, to everyday greetings, leave-takings, conversational styles, humor,
ways of speaking to children, and unique terms for habits, behavior, and
emotions. When a language is lost, all this must be refashioned in the new
language with different word categories, sounds, and grammatical structuresif
it is to be kept at all. Linguists' work in communities when language shift is
occurring shows that for the most part such refashioning, even when social
identity is maintained, involves abrupt loss of tradition. More often, the
cultural forms of the colonial power take over, transmitted often by television.[16]
Memang bisa
saja dikatakan bahwa kepunahan sejumlah bahasa merupakan akibat tak terelakkan
dari kemajuan dan akan meningkatkan kesaling-pemahaman antar kelompok
masyarakat. Namun demikian, semestinya tujuan ini dapat dicapai dengan belajar
bahasa kedua atau ketiga, dan bukan dengan membiarkan punahnya bahasa daerah
sebagai bahasa pertama. Sebab, meminjam ungkapan Galtung, kepunahan suatu
bahasa daerah lebih merupakan akibat kekerasan struktural terhadap keragaman
budaya.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Sifat kepirantian bahasa memungkinkan
manusia untuk terus-menerus memperluas tingkat keserba-gunaan bahasa. Praksis
berbahasa pun niscaya menampilkan dinamika sosial, corak masyarakat dan
perangai penggunanya. Karena itu, sebagai bidang kajian lintas-disiplin,
sosiolinguistik memiliki daya-tarik tersendiri dan masa depan yang prospektif.
Bahasa yang bersinergi dengan pemikiran,
merupakan prasyarat utama bagi usaha memajukan peradaban, karena bahasa dan
pemikiran merupakan aspek batinian (tsaqaafah) dari peradaban. Hanya
bila aspek batiniah ini berkembang dengan baik maka aspek kebendaan (madaniyah)
dari peradaban juga akan berkembang. Sebagai lembaga yang digagas menjadi pusat
peradaban Islam.
Betapapun manusia berdasarkan kecakapan
bahasa, logika dan indra bisa mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi,
masih saja tersisa wilayah yang tak terungkap. Implikasinya, ilmu pengetahuan
dan teknologi hanya bekerja efektif untuk memahami, menjelaskan dan sejauh
mungkin memanfaatkan segala sesuatu yang berada di alam shahadah (empirical world). Fenomena
alam ghaib (non-empirical world) terlalu
sulit dan mustahil untuk diungkap oleh ilmu pengetahuan empirik (al-ma’arif).
Sebagaimana tampak jelas, kegiatan keilmuan berpotensi untuk sampai pada
keyakinan terhadap yangghaib. Namun
demikian, ilmu pengetahuan saja tidak cukup untuk mengantarkan kita manusia
yang baik. Untuk menjadi baik, manusia membutuhkan petunjuk yang lebih jelas
sebagaimana telah diemban oleh agama.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam,Cet
VII Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2002
Anthony Woodbury, Endangered Languages, a Working
Paper, the University of Texas, Austin. 2005
Ernest
Cassirer, An Essay on Man, New Haven: Yale University Press, 1944
Esposito, John L., The Oxford
Encyclopedia of The Modern Islamic World, Cet. I,New York: Oxford
University Press, 1995[1]
Hasan
Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke 21, Jakarta:
Pustaka Al Husna, 1988
Ignas
Kleden, Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan, dalam Prisma, No 5,
Mei 1987
Ludwig
Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, London: Routledge
& Kegan Paul, 1972
Michael
Polanyi, The Study of Man Chicago: The University of Chicago Press,
1959
Peter
Russel, The White Hole in Time: Our Future Evolution and the Meaning of
Now, New York: The Acquiran Press, 1992
Ray
P. Cuzzort and Edith W. King, Social Thought, Colorado: Holt,
Rinehart and Winston, 1990
Ray
P. Cuzzort and Edith W. King, Social Thought, Colorado: Holt,
Rinehart and Winston, 1990
Sakban Rosidi, The History of Modern
Thought, (Malang: Center of Inter-Disiciplinary Study and Cooperation, 2002
Talcott
Parsons, Societies: Evolutionary and Comparative Perspectives,
(Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, 1966
Taufik Abdullah (ed), Sejarah dan
Masyarakat. Jakarta :Pustaka Firdaus, 1987
[1] Esposito, John L., The Oxford
Encyclopedia of The Modern Islamic World, Cet. I,New York: Oxford
University Press, 1995, Vol. 2
[4] Ditulis ulang dari Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Surat Al-Baqarah, ayat 30-34 (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971).
[5] Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Periksa Al-Qur’an
Terjemahannya, Surat At Tiin, ayat 4 (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971
[6] Sakban Rosidi, The History of Modern
Thought, (Malang: Center of Inter-Disiciplinary Study and Cooperation,
2002) pp. 28.
[7] Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, (London: Routledge & Kegan Paul, 1972), pp. 115
[8] Ray P. Cuzzort and Edith W. King, Social
Thought, (Colorado: Holt, Rinehart and Winston, 1990) pp. 62
[9] Ray P. Cuzzort and Edith W. King, Social
Thought, (Colorado: Holt, Rinehart and Winston, 1990) pp. 28
[12] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam
Menghadapi Abad ke 21, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1988), h. 17
[14] Peter Russel, The White Hole in Time:
Our Future Evolution and the Meaning of Now, (New York: The Acquiran Press,
1992).
[15] Talcott Parsons, Societies:
Evolutionary and Comparative Perspectives, (Englewood Cliffs, New Jersey:
Prentice-Hall, 1966).
[16] Anthony Woodbury, Endangered
Languages, a Working Paper, the University of Texas, Austin. 2005
No comments:
Post a Comment